Someone Like You [END]

By tacoo_

134K 10K 305

Love wins. More

Prolog
SLY-1
SLY-2
SLY-3
SLY-4
SLY-5
SLY-6
SLY-7
SLY-8
SLY-9
SLY-10
SLY-11
SLY-12
SLY-13
SLY-14
SLY-15
SLY-16
SLY-18
SLY-19
SLY-20
SLY-21
SLY-22
SLY-23
SLY-24
SLY-25
End.

SLY-17

3.6K 300 6
By tacoo_

"No?"

Buru-buru aku dan Raisa memperbaiki posisi duduk kami. Takut yang datang orang lain dan kami di tuduh berbuat yang tidak-tidak.

Ternyata Raka yang datang. Tangannya mengisyaratkanku untuk mendekatinya. Raut wajah Raka seperti sedang mengalami kondisi genting.

Aku meninggalkan Raisa sebentar. Mendekatinya. "Gawat, no." Dari sini aku melihat Raisa sedang menguping pembicaraan kami.

Raka membisikkan kalimat padaku, yang membuatku harus terburu-buru melangkah. "Orang tua Oliv bercerai. Oliv koma masuk ICU, di RS Harapan" kakiku sudah lama meninggalkan rooftop saat ini. Meninggalkan Raisa yang mungkin menatapku aneh.

Pikiranku langsung tertuju pada perempuan bernama Olivia Agustine Harris. Aku berharap dia dalam keadaan baik-baik saja. Dan aku berharap dia segera pulih dari komanya.

Motorku sudah melaju dengan kecepatan cukup tinggi menuju RS Harapan. Cukup jauh dari sekolahku. Jadi aku harus mengejar waktu dengan cepat.

Aku bertemu dengan kedua orang tua Oliv. Bersalaman dengannya, karena kami sudah lama sekali tidak bertemu. Aku meminta izin untuk masuk ke dalam menemuinya.

Mereka duduk saling berjauhan. Papa Oliv duduk di kursi tunggu sebelah kanan, Ibu Oliv duduk di kursi tunggu sebelah kiri. Mereka berpisah, masih terlihat ketidak akraban mereka.

"Heiii" aku duduk menggengam tangannya. Ku akui aku memang belum bisa melepaskannya. Terlalu sulit untukku.

Beberapa kali ku ajak dia mengobrol tetapi tak kunjung ada respon. Dengan sabar aku mengusap punggung tangannya. Sesekali menciumnya agar ada respon, tetapi nihil.

Menit telah berlalu, sudah digantikan oleh jam. Sudah hampir malam. Aku masih setia menemani Oliv di rumah sakit. Papanya sudah kembali ke rumahnya. Ibunya masih duduk menemaniku. "Nak Sena gak pulang?" Aku merindukan Ibuku, Ibu Oliv sama lembutnya dengan ibuku.

Aku tersenyum. "Engga pulang kayaknya tante, Sena nginep aja. Nanti Sena kabarin Papa sama Samuel. Boleh kan?" Ibu Oliv mengangguk dan tersenyum.

Aku menemaninya mengobrol. Kami banyak berbincang membicarakan perkembangan aku selama ini, juga Olivia selama ini. Aku memang terlalu cuek dengannya tetapi aku tetap peduli padanya.

Sudah malam. Ibu Oliv sudah terlelap di samping Oliv. Memeluk anaknya yang belum juga sadar dari komanya. Percobaan bunuh dirinya membuat hatiku sakit melihatnya. Aku sedang duduk di sofa memandanginya dari sini dan tanpa sadar air mataku jatuh begitu saja, cukup banyak air mataku yang jatuh.

Praka:
Gimana, no?

Sena Andrea:
Blm ada perkembangan. Raisa gmana? Gue blm sempet kabarin dia

Mengingat tadi aku meninggalkannya begitu saja, aku merasa bersalah dengannya. Tapi aku harap dia tak marah padaku. Aku terlihat begitu egois seperti mengharapkan keduanya.

Jiwaku disini, tetapi hatiku disana.
Aku tak tahu harus memilih siapa diantara mereka. Aku takkan sanggup untuk memilih.

*

"Terus Raisa kemarin gimana?" Aku sedang berada di rooftop rumah sakit. Kawasan bebas rokok. Entahlah, aku sebenarnya ingin merokok tetapi aku selalu merasa bersalah jika ingin melakukannya.

Raka melihatku dengan tatapan sulit diartikan. "Gue anterin pulang. Dia sempet nanya lo kenapa, gue cuma bisa jawab lo ada urusan penting. Gue harap Raisa ngertiin keadaan lo, no" meskipun aku tak yakin Raisa tak akan seperti itu.

Ini sudah hari ketiga aku di rumah sakit. Bolos sekolah mengirimkan surat bahwa aku izin pergi kepada Fauzan.

Olivia pun tak ada perkembangan. Ia masih dalam keadaan koma. Aku berharap hari ini dia akan sadar. Aku sudah ke gereja pagi tadi. Tidak ada satu orang pun disana karena masih terlalu pagi.

"Yaudahlah. Nanti ada saatnya gue jelasin ke Raisa. Gue butuh waktu untuk jauhin dia dulu. Oliv butuh banyak support untuk saat ini, Rak."

Raka mengangguk. Menyetujui perkataanku. Aku pergi ke ruangan Olivia. Ibu Oliv berada di luar. Aku sedikit berlari menghampirinya. "Oliv, kenapa bu?" Aku terlihat begitu khawatir kali ini.

"Sudah sadar, nak. Doakan saja yang terbaik." Katanya memegang lenganku. Dalam diam aku berdoa semoga ia benar-benar sadar dan pulih.

Lima belas menit berlalu. Dokter sudah keluar dari dalam ruangan Oliv. Aku masuk bersama Ibu Oliv. Ia tersenyum getir padaku.

Aku duduk menghadapinya. "Jangan macem-macem lagi yahh" ku usap rambutnya yang masih terasa halus setelah sekian lama tak ku sentuh.

**

Sebulan tlah berlalu. Raisa mengirimkan begitu banyak pesan untukku. Aku sudah membalasnya. Sebelumnya aku takut jika Raisa marah padaku karena telah menghindar darinya.

Raisa Tamara:
Aku udh di Gereja ada acara. Kak Sena lg dmna?

Sena Andrea:
Di rumah temen, ngumpul. Dah makan?

Raisa Tamara:
Udah kok, kak Sena jgn lupa makan jg yah

Chat terakhir bersama dengan Raisa. Hanya itu. Aku belum mengabarinya lagi. Waktuku sudah habis bersama dengan Oliv. Menemani masa-masa pulihnya. Ia terlihat bahagia aku bersamanya. Menemaninya makan malam, membacakan cerita sebelum dia tidur di pundakku, atau bahkan menemaninya menghirup udara segar di taman rumahnya.

Rumahnya cukup luas tetapi terasa begitu sepi. Terlebih Oliv yang merasakannya hampir setiap hari. Tak ada adik dan kakak, rasanya hidupnya hanya ada dia seorang diri.

Aku tidak tahu ini namanya apa. Tahun-tahun kemarin, aku yang merasakan hal seperti itu karena merasa sakit hati ditinggalkan dia bersama dengan orang lain. Sekarang, Oliv yang merasakan seperti aku. Meskipun aku tetap menemaninya.

"Ndre, aku kangen deh." Dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Bergelayut manja di lenganku. "Kangen kita" kami sedang berada di taman lama. Taman buatanku. Tempat kami selalu menuangkan kasih sayang kami. Saksi bisu aku jatuh cinta dan patah hati.

Aku hanya terkekeh dan tak berniat membicarakannya lebih panjang. "Apa bener-bener udah gak ada ruang untuk aku, ndre?" Aku menggengan jemarinya.

"Aku hanya gak mau kita seperti dulu lagi, Liv. Biarkanlah aku bahagia dengan caraku sendiri. Kamu udah jauh lebih bahagia tanpaku." Dia menggelengkan kepalanya. "Kamu kebahagiaan aku, ndre." Aku tak menjawabnya hanya memeluknya. Aku tahu rasanya seperti dia.

Ponselku bergetar. Satu pesan masuk.

Raisa Tamara:
Kak Sena dimana sih?

Sena Andrea:
Di rumah, knp?

Aku berbohong lagi padanya. Sudah yang kesekian kalinya. Sudah hampir sebulan aku tidak lagi mengajak Raisa pulang bareng dan selalu pulang lebih cepat untuk bertemu dengan Oliv. Entahlah aku tak mengerti dengan perasaanku.

"Kamu gak pulang?" Baru saja Oliv berbicara seperti itu, Raisa menelfonku. "Sebentar" Aku menjauh dari Oliv.

"Kak Sena dimana?" Nada bicaranya sudah berubah.

Sejak aku dan Raisa saling terbuka, dia menjadi overprotective padaku "Di rumah, sayang" ku harap aku tidak ketahuan berbohong.

"Dimana?"

"Di rumah"

"Aku lagi duduk di ruang tamu rumah kamu ditemenin Samuel."

Seketika aku terdiam. Tak tahu lagi mau berbicara apa. Dengan terpaksa aku mematikan sambungan telefonnya. "Putus-putus, nanti gue telfon lagi." Terpaksa aku harus kembali ke rumah dengan cepat.

"Aku harus pulang sekarang, Liv." Oliv menahan lenganku. "Kenapa? Pacar kamu nyariin?" Tak tahu harus seperti apa lagi. Aku pergi meninggalkannya sendirian.

"Senaaa!" Sama seperti beberapa tahun yang lalu di tempat yang sama. Aku meninggalkannya seorang diri.

Beberapa hari kemudian.

"Sebenernya kak Sena anggap aku apa sih?" Sudah yang kesekian kalinya pertanyaan seperti ini terlontar dari bibir Raisa.

Aku harus menjelaskan seperti apa lagi? Aku benar-benar takut untuk memulai kembali.

"Lebih dari adik." Raisa diam. Ia tak lagi bersuara. Memunggungiku dan tak mau berbicara padaku.

"Ca, gue bener-bener takut. Takut untuk jatuh cinta lagi. Takut sama seperti sebelumnya. Takut lo sama kayak mereka." Aku mencoba menjelaskan lagi ketakutan-ketakutan ku soal cinta.

Raisa tetap tidak melihat ke arahku. "Aku ya aku. Aku bukan mereka ya kak. Kok kak Sena jahat banget sih ngebandingin akum" Raisa ada benarnya. Aku saja yang terlalu jahat.

"Aku terlanjur cinta sama kak Sena" ku lihat ia menundukkan kepalanya.

"Gue gak pernah lagi percaya cinta, ca. Cinta itu penuh kebohongan." Hening. Tak ada lagi yang berbicara.

Meskipun benar adanya bahwa Raisa tak pernah berbohong padaku. Tetapi siapa yang tahu jika saja kami sudah menjalin sebuah hubungan dia bisa saja berbohong.

Aku tak mampu lagi berbicara padanya. Takut aku tidak lagi bisa menahan perasaanku. Aku pergi meninggalkannya. "Maaf. Gue duluan, Ca." Tinggalah dia seorang diri di rooftop sekolah.

**

Sehari, dua hari, aku tak lagi menemui Raisa. Selalu diam diri di dalam kelas. Sahabat-sahabatku menanyakannya padaku bahkan aku sudah tak lagi bergabung dengan mereka di kantin.

"Sob. Kenapa?" Tanya Kevin padaku. Ia duduk di sampingku.

"Nothing"

Sahabatku yang lain datang duduk di tempat mereka masing-masing dengan saling menatap. Aku dapat merasakannya walaupun tidak melihat mereka.

Raka menaikkan kedua bahunya. Tak begitu peduli denganku. Aku tahu bahwa mereka sebenarnya sudah tahu masalahku. Hanya saja mereka tidak pernah mau membicarakannya di dalam kelas.

Mereka bergantian menepuk bahuku terkecuali Raka. Aku tak mengerti dengannya. Belakangan ini seolah memiliki masalah denganku.

Setelah bel pulang sekolah aku dan sahabatku menuju rooftop. Sudah lama kami tak berkumpul disana. Hanya tersisa beberapa waktu mereka bisa bersama, sebentar lagi mereka akan berpisah setelah Ujian Nasional.

"Lo gak bawa makanan, ndut?" Daniel menggeleng. Putra sedang merogoh tas Daniel. Mereka selalu seperti itu.

"Gue gak suka sama sikap lo, no." Raka membuka suara. Aku terhenyak dengan perkataannya.

Kevin duduk di sampingku. "Bukan gitu caranya, no." Katanya menepuk bahuku. Daniel dan Putra diam tak berkomentar.

Setelah itu Ananta ikut mengomentariku, "Gak gentle itu, no." Katanya.

"Lo pada gak ngerasain jadi gue."

"Gue tau sakitnya dikhiantin sama orang yang paling lo sayang, no. Terlebih tiba-tiba dia dateng lagi dikehidupan lo. Tapi cara lo pengecut."

Tak terima dibilang pengecut, aku bangkit berhadapan langsung dengan Raka. Suasana menjadi tegang. Mereka hanya memperhatikan aku dan Raka.

"Apa? Lo gak terima?" Raka menatapku tajam.

Jika diantara kami ada yang salah paham atau bahkan hingga baku hantam, mereka akan membiarkannya sampai yang memiliki masalah saling menjelaskan dan saling meminta maaf.

Tanganku terulur menarik kerah seragam Raka. "Lo gak tau rasanya sakit hati dan jatuh cinta dalam waktu bersamaan."

"Lo pengecut!" Tanganku semakin erat meremas kerah seragam Raka.

"Pilihan lo cuma antara mengulang atau memulai yang baru. Cuma itu!
Jangan jadi pengecut yang gak berani ambil keputusan dengan seenaknya lo mainin perasaan Raisa!" Raka menekan bahuku hingga menjauh darinya.

"Lo pikir dengan lo seperti itu memperbaiki keadaan? Di satu sisi Oliv emang butuh lo, tapi di sisi lain lo udah ngebuat Raisa nunggu dan berharap."

"Kalo lo mau jadi pengecut, pengecut sekalian. Tinggalin dua-duanya. Jangan kayak gini. Jiwa lo dimana, hati lo dimana. Pikirin perasaan orang lain jangan pikirin perasaan lo doang."

Sedaritadi aku terdiam. Bahkan remasan tanganku di kerah seragam Raka sudah terlepas.

"Pengalaman di masa lalu itu dijadikan untuk pelajaran di masa depan. Kalo masa lalu lo dateng lagi itu bukan artinya lo perlu singgah lagi, no." Putra bersuara.

"Papa setuju dengan temanmu, Sena." Candaan Daniel berhasil membuat Putra melemparkan cemilannya kearahnya.

Mereka benar. Aku memang terlalu pengecut untuk mengambil keputusan. Labil. Tak tahu harus maju atau mundur.

"Lo itu pengemudi di satu jalur, no. Tapi tiba-tiba lo lupa ada yang ketinggalan ketika lo dalam perjalanan. Terus pilihan lo apa? Muter balik dan lawan arus? Itu cuma nyelakain diri lo. Jalan aja terus, sesuatu yang ketinggalan di belakang itu akan digantikan dengan sesuatu yang lebih baik di depan nanti."

Mereka benar. Kali ini aku salah.

**

Hari ini aku beribadah dengan keluargaku. 2 laki-laki dan 1 perempuan maskulin dengan kemeja putih polos. Kami selalu seperti ini. Keluarga yang simple. Jika ada Ibu disini, aku lebih semangat lagi beribadahnya.

Selesai beribadah, 3 jam yang terlewatkan dengan khidmat. Semoga doa-doa kami di dengar oleh Tuhan.

Di dalam mobil, aku sibuk dengan ponselku. Menghubungi sahabat-sahabatku melalui Grup kami berenam. Seharusnya membernya adalah laki-laki semua, mereka mengambil nama 'papa papa muda' tetapi ada aku disana. Mereka memang gila.

Papada (6)

Sena Andrea:
Guys, gue minta tolong dong

G Putra:
Ape tuh?

Ananta Rizki:
Apaan dah?

Sena Andrea:
Nanti mlm, bantuin.

Kevin U:
Ngapain, no? Tumben. Lo udh gereja?

Praka Adit:
Mau ngapain lg sih, no? Udah cukup berani?

Sena Andrea:
Udh pin. Kumpul dulu deh, ke rumah gue atau apartment Ananta. Ada sesuatu.

Ananta Rizki:
Tempat gua aja guys😂

Daniel:
Brisik anjir gua lagi di gereja di omelin nyokap gua😤

G Putra:
Lah lu bego, hape gak di silent, dasar gendut!

Daniel:
Ganolong lu ah💩

Sena Andrea:
Yaudah apartment Ananta jam 12

Kevin U:
Oke siap

Daniel:
Tai lu no💩

G Putra:
Abaikan Daniel

Praka Adit:
Sip

Ananta Rizki:
Ditunggu

Ku matikan ponselku. Dan menyimpannya dalam saku.

Seperti itulah kami jika di grup. Mereka menjalani pekerjaan mereka masing-masing saat weekend seperti ini.

Putra dengan kemalasannya. Ananta dengan kesendiriannya. Raka, aku tak tahu dia kesibukannya apa, terakhir aku mengetahui dia sibuk membantu Papanya di kantor. Daniel, Kevin dan aku sibuk ibadah di Gereja.

Setelah makan bersama Papa dan Samuel. Aku langsung mengambil jaket dan kunci motorku. Melaju menuju apartment Ananta.

"Mau kemana lagi kamu?" Papa bertanya padaku yang baru saja hendak menyalakan motorku. Ia sedang merapihkan garasinya.

Aku sibuk memakai sepatu. "Ke rumah temen, pulang malem." Ku pakai helmku dan mulai melepaskan kopling motorku, melaju menuju apartment Ananta.

Tak butuh waktu yang lama. Tetapi cukup memakan waktu di jalan karena terjebak kemacetan, aku tiba di apartment Ananta.

Mereka sudah berkumpul di sana. Ternyata aku yang datang terlambat. Memang sudah menunjukkan pukul 12.30 kali ini aku terlambat karena makan siang tadi cukup lama. Samuel membuat makan siang jadinya lama. Adikku satu-satunya itu memang banyak maunya.

Aku menyalami mereka satu persatu. "Yang punya acara malah telat" celetuk Daniel padaku. Aku hanya menepuk tangannya dengan keras sebagai pembalasan. "Seno anjing"

Aku duduk bergabung bersama mereka setelah bertemu dengan mama Ananta. Kami berkumpul. Aku membuka suara. Menjelaskan maksudku mengumpulkan mereka hari ini juga.

Aku menjelaskan rencanaku yang aku buat dari jauh-jauh hari. Aku berharap mereka bisa membantuku dan berharap rencanaku berjalan dengan baik. "Gimana?" Aku memastikan mereka mengerti maksudku.

Raka hanya menganggukkan kepalanya, menyetujuinya. Yang lain terlihat berfikir dan Kevin terlihat ragu.

"Lo yang bayarin ya, no?" Kevin buka suara.

"Patunganlah. Kan lo juga anniversary sama Maura" tolakku. Yang lain langsung ikut menimpalinya.

"Tau lo, vin. Siapa suruh jadian tanggal tua"

Aku memiliki kesimpulan kalau mereka menyetujuiku untuk menjalankan rencanaku. Dan aku harap malam ini rencanaku berhasil.

Aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang akan menjadi rencanaku. Aku menyetujui perjanjianku dengan sang pengelola tempat tersebut. Setelah semua beres, aku sempatkan diriku untuk beristirahat sebentar di Cafe.

Membaca pesan dari Raisa dan Oliv yang memenuhi notifku. Mereka seperti berlomba-lomba untuk masuk ke dalam notification ponselku.

Raisa Tamara:
Kak Sena
Aku cuma mau nanya, dtg ke acara Kevin-Maura?
Mksh. Maaf ganggu kak Sena

Sena Andrea:
dtg kali, gatau.
ya

Olivia Harris:
Hei. Aku br sampe rumah
Km udh ibadah?
Lama banget blsnya
Sena
Ndreeeee
Km dimana?

Sena Andrea:
Sori br bls, td plg dr Gereja langsung ngumpul sm temen.
Lg di luar.

Baru saja membalasnya. Oliv sudah membalas lagi. Aku tak berniat lagi membukanya. Dengan seperti itu bisa merubah jalan pikiranku. Keputusanku bisa berubah tiba-tiba.

Ketika malam tiba.

Aku dengan pakaian yang terbilang santai hanya menggunakan kemeja putih kembali, sebenarnya aku punya kemeja dengan banyak warna. Tetapi aku selalu memilih warna putih atau hitam. Hanya itu pilihanku.

Aku sedang melakukan penyamaran. Menggunakan topi hitam dan bersikap layaknya bukan seorang Sena.

Aku duduk menghadapi keyboard milik Cafe ini. Aku bermain bersama band live music milik Cafe ini, di rooftop Cafe.

Sahabat-sahabatku sedang berkumpul di sana. Sedang menikmati obrolan mereka. Dan aku percaya bahwa obrolan itu sedang membicarakanku.

Andai engkau tahu.
Bila menjadi aku.
Sejuta rasa dihati.
Lama tlah ku pendam.
Tapi akan ku coba mengatakan.

Ku ingin kau menjadi milikku.
Entah bagaimana caranya.
Lihat mataku untuk memintamu.

Ku ingin jalani bersamamu.
Coba dengan penuh hati.
Ku ingin jujur apa adanya,
Dari hati.

Kini engkau tahu
Aku mengingkanmu
Tapi takkan ku paksakan

Kan ku buktikan
Kau belahan hati bila milikku

Suara melodi dari tuts yang ku tekan mengalun indah di udara. Dipadukan dengan suaraku yang tidak terlalu buruk untuk di dengar. Beberapa pasang mata tertuju padaku, termasuk pelanggan lain yang sedang makan malam di Cafe ini.

Sahabatku dan satu orang yang membuatku gugup malam ini sedang memperhatikanku bernyanyi.

Ku harap dia merasakan apa yang aku rasakan malam ini. Aku berharap rencanaku malam ini berhasil.

Satu lagu sudah selesai kunyanyikan. Tadi adalah lagu berjudul Dari Hati milik Clubeighties. Yang liriknya mewakili perasaanku pada gadis berkemeja merah muda di sana.

Usai bernyanyi tadi. Aku mencabut micnya dari standmic. Berjalan ke tengah-tengah rooftop ini.

Tamu yang datang adalah teman-teman kami saja, yang memang sudah mengetahui bahwa aku memang menyukai seoranv perempuan. Jadi tidak ada orang lain yang tidak kami kenal. Jadi wajar sekali aku merasa percaya diri.

Acara Maura Kevin sebetulnya hanyalah pengalihan saja, semua tagihan akan aku yang bayarkan.

Kini aku sedang berdiri di tengah-tengah tamu undangan. Satu tanganku menyimpan sesuatu di balik punggungku. Dalam hati aku berdoa semoga Tuhan melancarkan rencanaku.

"Boleh minta perhatiannya? Malam semua. Malam ini menjadi malam penuh tantangan untuk saya. Karena apa? Karena hari ini saya akan banyak berbicara dari biasanya." Sahabat-sahabatku tertawa disana. Gadis itu hanya memperhatikanku dengan senyuman yang disembunyikan.

Di belakangku, di live music mereka memainkan sebuah lagu. Sebenarnya aku tidak ada perjanjian soal itu. Mereka memainkannya atas ide mereka sendiri.

Lagu yang cukup membantuku.

"Saya memiliki seorang teman spesial yang saya tidak mengerti mengapa saya bisa jatuh cinta padanya. Saya ini tipe orang yang dingin dan susah untuk hangat pada orang baru. Tapi setelah saya mengenal dia, sepertinya bongkahan es dalam diri saya telah mencair setelah mengenal dia. Terimakasih ya" Aku tersenyum. Mengatur nafasku.

"Dan lagi, saya ini sebenarnya masih rada kaku untuk berbicara sebanyak ini. Tetapi, demi seorang gadis yang duduk disana dengan kemeja merah muda mulai hari ini apapun akan saya lakukan. Untuk gadis yang memakai kemeja merah muda, mba Raisa Tamara. Boleh minta waktunya?" Raisa berjalan mendekatiku. Dengan wajah malu-malunya. Karena hari ini jadi hari pertama kita bertemu lagi setelah 3 hari tak bertemu. Sahabat-sahabatku disana sedang rusuh bersorak-sorak.

"Lepas jomblo nih asikk"

"Besok gak jomblo nih"

Begitulah sekiranya mereka. Bersiul-siul.

Raisa berdiri di hadapanku. Aku menjadi gugup saat ia sudah berada di hadapanku. Tanganku gemetar, suaraku pun juga.

"Oke ini adalah perempuan yang saya cintai, Raisa."

"Raisa, mungkin aku emang gak gentle. Karena aku udah mempermainkan kamu secara tidak sengaja belakangan ini. Maafin aku soal itu. Selama seminggu lebih bahkan mungkin sebulan lebih, mungkin kamu bertanya-tanya 'Kak Sena anggap aku apa sih?'. Dan malam ini aku mau kamu jadi alasan aku harus semangat jalanin hari-hari aku, alasan aku harus terus jadi orang yang lebih baik lagi dan yang terpenting kamu jadi alasan aku gak bisa lagi kelain hati. Raisa, maukah kamu menjadi seseorang yang siap menemani hari-hariku, mengisi hati aku yang kosong dan menjadi teman hidup untukku?" Kali ini aku bersimpuh. Mengulurkan bucket bunga dan sebuah kotak cincin dari belakang punggungku yang aku sembunyikan tadi.

Entahlah. Rasanya benar-benar tak karuan. Sedaritadi keringatku terus bercucuran membasahi tubuhku bahkan kemeja yang aku gunakan sudah basah karena keringatku. Padahal angin di rooftop ini benar-benar terasa sejuknya.

"Jangan diterima!"

"Tolak aja tolak!"

"Jangan mau!"

"Sena bikin sakit hati, jangan mau"

Semua sahabatku bersorak menyuruh Raisa menolak cintaku. Mereka memang teman sialan. Aku disini sedang gugup setengah mati, mereka disana bersorak-sorak.

"Engga bisa," jawaban Raisa berhasil membuat mataku membulat. Tak percaya. Rasanya badanku lemas semuanya. Semua sahabatku tertawa, terkecuali Maura.

"Aku mencintai orang lain" Suasana menjadi menegangkan.

Aku terdiam, lemas tak tahu harus bagaimana lagi. Hatiku rasanya hancur mendengarkan jawaban Raisa.

"Aku mencintai seseorang yang berhasil membawa aku terlepas dari kegalauanku, meskipun dia juga yang buat aku galau. Seseorang yang berhasil mewarnai hari-hari aku dengan sikapnya. Seseorang yang terkadang dingin, terkadang lebih sweet dari siapapun. Seseorang yang sedang bersimpuh di hadapanku." Aku mengangkat kepalaku yang seketika aku kembali bersemangat.

"Aku mencintai seorang Sena Andrea. Iya, aku mau menjadi teman hidup kak Sena." Tamu undangan pun tak luput memberikan tepuk tangannya. Aku berhasil.

SHE SAID YESSSS!

Ingin rasanya bersorak gembira. Raisa mengatakan 'iya'. Raisa menerimaku. Raisa menjadi kekasihku.

Ku sematkan cincin yang berada di kotak ke jari manis tangan kiri Raisa dengan tangan gemetar.

"Tunggu!"

TBC.
Sori kepanjangan. :)

Continue Reading

You'll Also Like

92.4K 5.3K 13
Apa kedua orang tuanya sudah tidak waras?! mereka menjodohkannya dengan tidak wajar! "Bagaimanapun caranya... Kita harus membatalkan perjodohan aneh...
3.7M 295K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
86.8K 4.3K 24
Cinta apa bukan? Jika cinta tapi dia sama sepertiku, tapi jika bukan aku tak bisa jauh darinya. Aku cemburu jika dia dengan yang lain. Tapi aku j...
28.2K 2.4K 17
Menyebalkan, petakilan, cerewet dan suka menggombal. Itulah sifat-sifat yang tidak disukai Isabella kepada Jovanka -- karyawan baru di kantornya. S...