In a Dream

By Hanabisite

11.9K 1.1K 70

[Complete] Bagaimana kalau aku mengatakan Im Yoona bisa mengetahui kapan seseorang akan mati lewat mimpi? Apa... More

Prolog
Satu
Dua
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Epilog

Tiga

723 76 3
By Hanabisite


Bel istirahat baru berbunyi beberapa detik yang lalu. Namun meja Jessica Jung telah dipenuhi oleh teman-teman sekelasnya. Mereka menyerbunya seperti semut melihat gula. Jessica hanya menjawab dan tersenyum ketika mereka menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Sungguh merepotkan.

"Jessica-ssi, dimana rumahmu?" Seorang gadis berpenampilan mencolok memulai pembicaraan.

Belum sempat dijawab pertanyaan yang lain sudah muncul. "Apa makanan kesukaanmu?"

"Namamu bagus."

"Apa hobimu?"

"Boleh kupanggil Jessica-ya?"

"Suka karoke?"

"Apa pekerjaan orang tuamu?"

"Maaf," kalimat pertama yang keluar dari mulut Jessica membuat mereka bungkam. Jessica sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyaan mereka. "Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Tentu saja!" Mereka semua menjawab dengan penuh semangat.

"Kemana gadis yang duduk disana?"

Hening. Tidak ada satupun dari mereka yang menjawab. Tatapan mereka berubah menjadi tak suka. Tajam dan menusuk. Seolah Jessica telah menanyai kemana seorang penjahat pergi.

"Maksudmu Im Yoona?"

"Hei, jangan sebut namanya. Nanti kau kena sial."

Jessica tidak mengerti dengan ucapan mereka barusan, tapi dia tetap mengangguk. "Kau mengenalnya?" sambar yang lain.

"Bisa dibilang begitu."

Murid perempuan berpenampilan mencolok maju ke depan. Dari semua orang yang sekarang sedang menatapnya. Gadis ini lah yang tatapannya paling tajam seperti pisau yang baru diasah. "Kuperingatkan padamu. Jangan dekati dia atau kau bisa kena sial dan semua murid di sekolah ini akan memusuhimu."

"Pembawa sial? Apa maksudmu?"

"Kau anak baru, jadi kau tidak mengerti. Setiap orang yang berada di dekatnya, pasti akan mati. Buktinya, dia selalu menjadi saksi mata disetiap kecelakaan, pembunuhan, dan bunuh diri dalam kurun waktu satu tahun ini. Kau akan kena sial."

Jessica bangkit dan menatap tepat di manik mata milik murid perempuan berpenampilan mencolok. Dia terlihat muak dan ingin muntah di depan mereka semua. Astaga! Memangnya sekarang abad berapa? Mereka masih saja percaya dengan takhayul.

"Hanya orang primitif yang percaya dengan ucapanmu."

Hanya sebuah kalimat biasa dan diucapkan oleh orang biasa pula. Namun, kalimat yang baru saja gadis itu ucapkan membawa efek besar bagi setiap orang yang mendengarnya. Termasuk Im Yoona yang sedang berdiri di ambang pintu.

Ia sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi sebelumnya, nampaknya ia telah melewatkan sebuah pertunjukkan besar. Ia harus berekspresi seperti apa? Senang? Marah? Atau apa? Seorang murid baru bernama Jessica Jung membelanya? Gadis itu tidak mengenalnya, tapi mengapa Jessica membelanya? Banyak murid baru yang memilih jalur aman, tapi Jessica memberontak dan membelanya. Ini salah.

"Yoona-ya," panggil Jessica sambil berlari kecil ke arahnya. Bahkan gadis itu sok akrab. "Ayo kita pergi dari sini, ucapan kotor mereka membuatku sesak napas."

Yoona bergeming mengikuti langkah Jessica ke luar kelas. Mereka berjalan menuju atap tanpa memperdulikan banyak pasang mata yang menatap mereka aneh. Bukan rahasia lagi kalau Im Yoona adalah sumber dari segala kesiala, bagitulah kata mereka. Jadi wajar saja, tidak ada yang mau berteman dengannya. Dan hari ini seorang anak baru dengan berani membela Yoona. Oh astaga!

Yoona berhenti berjalan. Menahan lengannya yang dari tadi ditarik-tarik Jessica ke sana kemari. Ia berdiri diambang pintu atap sekolah. Hari ini langit terhilat cerah, matahari langsung menyorot ke bumi. Sinarnya sedikit menyilaukan mata gadis itu, ia sedikit menyipit.

"Kenapa kau melakukan ini?" tanya Yoona sambil menarik tangannya dari cengkraman Jessica. Ia tidak mengerti dengan gadis ini.

Kontan Jessica terlihat bingung. Dia tidak mengerti apa yang Yoona maksud. "Memangnya aku melakukan apa?"

"Kau tidak mengenalku, tapi kau malah membelaku."

"Kata siapa aku tidak mengenalmu. Aku mengenalmu."

Ucapan Jessica membuatnya sangat terkejut. Yoona tahu gadis itu adalah korban selanjutnya, ia mengenali gadis itu. Tapi, bagaimana gadis itu bisa mengenalnya? "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Jessica mengangguk antusias. "Kita sering bertemu."

"Kapan? Dimana?"

Bukannya menjawab Jessica malah memamerkan deretan gigi putihnya. "Di kantor polisi," Tentu saja Yoona terkejut mendengar jawab Jessica. Di kantor polisi? "Kau pasti terkejut," Jessica tertawa kecil. "Kau kenal Detektif Wu? Ah, bodoh! Tentu saja kau mengenalnya. Dia kakak sepupuku."

Kepala Yoona sudah dibebani dengan fakta bahwa murid baru di kelasnya adalah korban selanjutnya. Ditambah lagi dengan gadis itu membelanya. Dan sekarang, gadis itu malah mengaku kalau Detektif Wu yang sering menangani kasusnya adalah sepupunya. Astaga! Semua ini membuatnya gila.

"Tunggu! Kau bilang kau adalah sepupu Detektif Wu? Berarti kau mengetahui aku sering keluar masuk kantor polisi?" Jessica mengangguk untuk setiap jawaban yang Yoona lontarkan untuknya. "Kau tidak takut denganku? Maksudku, orang-orang mengatakan aku pembawa sial."

"Kenapa aku harus takut denganmu? Aku bukanlah orang yang percaya dengan hal mistis. Kalau mereka mati di dekatmu itu bukan salahmu. Itu takdir mereka. Dan kau..."

Yoona ingin menyela tapi bunyi bel masuk menghentikan niatnya dan membuat suara Jessica meredam. Kalimat terakhir yang gadis itu ucapkan tidak terdengar, Yoona memperhatikan gerakan bibir Jessica dan menyadari ucapan gadis itu. 'Tidak bersalah.'

Pada akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke kelas. Pelajaran ke lima setelah istirahat makan siang hari ini adalah kimia. Mereka tidak perlu buru-buru karena Baek Songsaenim, sang guru kimia sangat hobi telat masuk ruang lab. Sesampainya di kelas mereka sedikit terkejut. Kelasnya kosong. Semua murid pasti telah pergi ke ruang lab membawa tas mereka. Membawa semua tas. Tidak ada yang tersisa, termasuk tas Yoona dan Jessica.

Mereka saling memandang dan Jessica tertawa renyah. "Aku rasa mereka tidak akan membawakan tas kita setelah aku menghina mereka."

Yoona mengangkat bahu. "Kurasa begitu."

"Menurutmu, dimana kita bisa menemukan tas kita?"

Yoona tidak menjawab. Ia berjalan menuju mejanya yang berada di baris pertama dekat jendela. Jessica tidak mengerti apa yang Yoona lakukan, tapi gadis itu mengikutinya. Dia melihat Yoona melongok keluar jendela dan wajahnya terlihat malas. "Disana." katanya sambil menunjuk kebawah.

"Lihatkan. Jika kau berdekatan denganku, maka kau akan kena sial."

"Apa?" salah satu alis Jessica terangkat tinggi-tinggi. Kemudian melirik kearah dua buah tas yang tergeletak di bawah dekat selokan kecil. "Kupikir, aku semakin ingin berdekatan denganmu."

.

.

.

Kris Wu masih memakai handuk dipinggangnya ketika ia keluar dari kamar mandi dan terkejut melihat adik sepupunya sedang berbaring di ranjang. "Apa yang kau lakukan disini? Keluar sana." Kris menutupi tubuh bagian atasnya sambil berjalan mendekati Jessica yang terlihat tidak perduli dengan kehadiran pria itu. Gadis itu malah melirik malas dan melanjutkan gamenya lagi.

"Hey, sekarang sudah hampir tengah malam dan kenapa kau malah di kamarku. Pergi ke kamarmu sana."

Jessica mendudukan tubuhnya di ranjang, menatap Kris lekat-lekat dan membuat pria itu merasa tidak nyama. "Kau tahu, sekarang aku berteman dengan Yoona-ya."

"Yoona-ya?"

Jessica mengangguk. "Im Yoona."

"Ah, si muka datar," Pria itu kini duduk di samping Jessica di atas ranjang. Masih dengan ekspresi yang sama. Dia terlihat sangat tidak nyaman dengan keberadaan Jessica disini. Apalagi dia hanya memakai handuk. Tapi topik pembicaraan mereka kali ini membuat pikirannya sedikit teralihkan. "Sebegitu inginkah kau berteman dengannya? Sampai pindah sekolah."

"Bisa dibilang begitu. Lagi pula semenjak aku pindah ke rumahmu, jarak dari sini ke sekolah lamaku sangat jauh. Kurasa pindah sekolah bukanlah pilihan yang salah."

"Bagaimana kau bisa berteman dengannya? Hey, memaksa seseorang berteman denganmu adalah perbuatan yang tidak baik."

"Enak saja," Jessica kesal. "Hm, tapi dia juga belum bilang mau berteman denganku atau tidak." Lalu gadis itu tertawa.

Kris mengenal Jessica dengan baik. Dia telah menganggap Jessica sebagai adiknya sendiri, karena memang Kris adalah anak tunggal. Perbedaan umur yang sangat besar membuat Kris merasa Jessica akan tetap menjadi adik kecilnya dan tanpa dia sadari adik kecilnya kini telah berubah menjadi gadis remaja yang cantik. Dan Kris sangat tahu, betapa gigihnya Jessica dalam menjalani pertemanan. Dia jadi merasa kasihan dengan Im Yoona.

"Sepertinya kau tertarik padanya."

"Hm, aku menyukainya. Dia memang sedikit pendiam, tapi dia teman yang baik."

"Bagitukah?"

"Oh, Oppa," Seakan baru mengingat sesuatu, Jessica memekik keras diakhir kalimatnya. "Kau tahu, dia tidak memiliki teman. Maksudku, semua murid di sekolah menjauhinya. Mereka bilang dia pembawa sial."

"Kenapa mereka berpikir begitu? Oh, atau jangan-jangan karena dia selalu keluar masuk kantor polisi?"

Jessica mengangguk, namun wajahnya terlihat kesal. "Mereka sangat keterlaluan. Mereka mengatakan jika aku berdekatan dengannya, aku akan mati. Bukankah itu konyol?"

"Kupikir tidak. Mereka begitu mungkin karena mereka percaya dengan hal mistis, sedangkan kau," Kris melirik Jessica dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. "Hantu saja takut melihatmu."

Jessica melempar bantal ke wajah Kris. "Aku serius, bodoh!"

Kris tertawa. "Baiklah," Akhirnya pria itu menyerah. "Jadi, menurutmu apa yang mereka katakan itu konyol?" Jessica mengangguk. "Tapi bagaimana kau bisa menjelaskan tetang semua kasus yang Yoona-ssi alami. Begini, merunut catatan kepolisian, ada sekitar sepuluh kasus kematian dengan Yoona-ssi yang menjadi salah satu saksinya, dari kesepuluh kasus itu ada delapan kasus yang aku tangani sendiri."

Kris mengubah posisinya menghadap Jessica. "Dan yang dapat kuperhatikan dari delapan kasus tersebut. Yoona-ssi dan semua korban tidak memiliki hubungan, tidak saling mengenal satu sama lain, mungkin mereka pernah betemu secara kebetulan, tapi belum ada buktinya. Itu artinya, perkataan teman sekolahmu salah. Kalau memang Yoona-ssi pembawa sial dan membuat orang-orang disekitarnya mati jika berada di dekatnya, harusnya keluarga, guru, dan semua teman sekelasnya sudah mati sekarang."

"Oh, kau benar. Kenapa aku tidak berpikir sampai kesitu?"

"Ada sesuatu yang selalu aku pikirkan tentang Yoona-ssi."

"Apa?"

Kris terlihat ragu-ragu, tapi dia ingin mengungkapkan apa yang ada di dalam otaknya. Dia selalu memikirkan ini selama berhari-hari. Mungkin setelah Jessica mendengar penjelasan ini, gadis itu akan sependapat dengannya.

"Apa kau pernah berpikir dia memiliki kekuatan? Kalau dia bukan pembawa sial, bagaimana bisa dia selalu berada di dekat korban, seolah dia tahu kalau orang itu lah yang akan mati. Bisa saja, dia memiliki kekuatan seperti bisa membedakan orang-orang yang akan mati disekitarnya dengan melihat aura mereka, seperti difilm. Atau jangan-jangan sejak awal dia tahu kalau orang itu lah yang akan mati. Tapi, bagaimana caranya?"

Kris terlihat sedang berpikir keras, tapi adik sepupunya malah menampakkan ekpresi malas. Jessica kembali melempar bantal ke wajah Kris, sedikit membuat pria itu terkejut. "Kau bahkan lebih konyol dari teman sekolahku."

.

.

.

Tidak seperti biasanya. Hari ini Yoona terlambat masuk ke sekolah. Ini semua karena Jessica yang tiba-tiba menelpon ke rumahnya tengah malam dan membuat Nyonya Im terkejut, tentu saja orang tua mana yang tidak senang. Nyonya Im memaksa anaknya menceritakan semua kronologi yang terjadi kemarin. Sampai-sampai gadis itu hanya memiliki sedikit waktu untuk tertidur pulas.

Yoona termasuk ke dalam salah satu murid yang cukup berprestasi di sekolah. Karena ia tidak memiliki teman, Yoona memiliki banyak waktu luang yang ia isi dengan belajar. Cukup membuatnya tenang ketika terlamat masuk, karena guru piket tidak akan menayainya macam-macam dan mempermudahnya masuk ke kelas.

Jam pelajaran pertama hari ini adalah matematika. Han Songsaenim mungkin akan mengamuk melihat Yoona baru masuk kekelasnya setelah tujuh menit bel pelajaran pertama berkumandang. Tapi, apa yang ia dapat setelah berlari-lari melintasi tangga dan lorong koridor dengan tergesah-gesah? Kelas yang ribut. Tidak ada Han Songsaenim.

Ia berdiri diambang pintu dengan napas yang masih terengah-engah. Tidak ada satupun dari mereka yang memperhatikannya seperti hari biasa. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Bahkan Jessica yang kemarin sok akrab kepadanya kini malah sibuk dengan ponselnya.

Yoona mengambil langkah masuk dan terus menatap papan tulis. Banyak kalimat yang tercatat disana dan yang Yoona tahu, Han Songsaenim tidak masuk hari ini dan guru itu membuat kelompok untuk tugas-tugas yang dia berikan. Yoona mencari namanya di papan dan langsung terfokus pada tulisan kapur putih yang berada di pojok kiri bawah papan.

Kelompok 3 :

1. Huang Zitao

2. Jessica Jung

3. Im Yoona

Continue Reading

You'll Also Like

188K 29.3K 53
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
111K 18K 28
be careful, because we don't know when we will die. ⤵⤵⤵ published : 2017 revision : ↪19042020 - 22042020 ©jaefmin2017
258K 20.4K 99
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...