R untuk Raffa

By narsakarsa

228K 18.4K 1.3K

Ada tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah... More

Prolog
[1] Rahasia Hujan
[2] Mereka dan Sandiwaranya
[3] Kesialan yang Pertama
[4] Yang Tersembunyi
[5] Seharusnya, Semestinya
[6] Penjelasan Tersirat
[7] Pengumuman dari OSIS
[8] Melangkah Keluar
[9] Pantaskah Disebut Kesialan?
[11] Tentang yang Datang dan Pergi
[12A] Dua Perasaan
[12B] Dua Perasaan
[13] Sandiwara Asing
[14] Mungkin, Hanya Mungkin
[15] Pelarian, Tersesat, Pulang
[ ] Playlist #1
[16] Kedatangan Sekar
[17] Pintu Ruang Hati
[18] Senja untuk Kita
[19] Bersama Bintang
[20] Nyanyian Hujan
[21] Awal Mula dari Akhir
[22] Mengungkapmu
[23] Tik-tok, Tik-tok
[24] Pada Satu Titik Temu
[25 | Raffa] "Maaf," katanya
[26 | Raffa] "Maaf," kataku
[27] Bahagiamu, Bahagiaku
[28] Kembali
[29] Menuju Persimpangan
[30] Memahamimu, Memahami Waktu
[31] Jika Hati Bersinggah
[32] Hal Kecil Tentangmu
[33] Bertemu
[34] Yang Dulu, yang Sekarang
[35] Let Go
[36] Kisah Kita: Aku, Kamu, dan Dia
[37] Aku di antara Kita, Kita di antara Mereka
[38] Melangkah
[39] Hati yang Tersesat
[40] Pulang
[41A] Segala yang Pernah
[41B] Segala yang Tidak Pernah
[41C] Segala yang Bukan
[42] Rumah
[43] Kembali
Epilog

[10] Pergolakan Batin

5K 417 5
By narsakarsa

"Rena, tunggu!"

Gilang buru-buru mengejar perempuan itu yang berjalan keluar kelas dengan tergesa. Setelah menimbang-nimbang selama beberapa saat, Rena memutuskan untuk menghampiri Bu Retta di ruang guru dan menyampaikan protesnya. Ia masih tidak terima jika harus maju menjadi perwakilan musikalisasi puisi dengan Raffa, tanpa persetujuan terlebih dahulu. Ia bahkan tidak tahu bagaimana reaksi laki-laki itu ketika mendengar hal tersebut. Ia terlalu sibuk menekan emosinya dalam-dalam agar tidak meluap. 

Mereka nyaris berkejaran sepanjang koridor lantai tiga. Langkah kaki Rena yang cepat-cepat berlomba dengan langkah Gilang yang lebar-lebar, sehingga akhirnya posisi mereka bisa sejajar. Keduanya berhadapan di tengah koridor. Suasana di sekitar itu cukup sepi sebab seharusnya mereka tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti pelajaran pertama.

"Rena–" Kata-kata yang hendak Gilang utarakan mendadak buyar. Ada sesuatu yang mencelus di relung hatinya begitu Rena membalikkan badan untuk menatapnya dari kedua mata itu; yang menyiratkan amarah dan kekecewaan yang besar.

"Lo gak bilang sama gue!" Rena mati-matian menahan suaranya agar tidak meninggi dan membuat keributan. "Lo... lo tadi bilang apa? Bukan masalah besar? Bukan?" 

Gilang membuka mulutnya, tetapi lagi-lagi tidak ada kata-kata yang keluar.

"Lo tau gue gak suka sama dia!" bentak Rena berapi-api. "Lo tau gue sebisa mungkin menghindari dia! Tapi–" Rena ikut kehabisan kata-kata. Amarahnya sudah sampai dipuncak. Ia memalingkan wajahnya, mencoba untuk tidak membiarkan seluruh emosinya pecah. "Kenapa lo gak kasih tau gue?" katanya pelan.

Gilang menghela napas panjang. Ia kemudian berujar –nyaris tak terdengar. "Gue minta maaf."

Kepala Rena yang semula dipalingkan perlahan bergerak untuk membalas tatapan Gilang. Bibirnya hendak mecekah lagi untuk memberi argumen bahwa ia tidak menerima permintaan maaf dan bahwa permintaan maaf tidak akan merubah apa-apa. Tetapi kemudian kilat menyesal yang tersirat jelas pada mimik wajah Gilang membuat Rena menahan diri. Perempuan itu ikut menghela napas, dan menahan semua protesnya untuk sesaat.

"Gue sama keselnya kayak lo, Ren. Ini bukan cuma gak adil buat lo, tapi juga buat gue," jelas laki-laki itu setelah Rena bisa mengendalikan diri. "Tapi toh kita bisa apa? Dimas, Sekar, Kalila–semuanya, udah berusaha ngomong sama Bu Retta. Percuma. Bu Retta udah gak bisa dibujuk."

Rena merasa ada ribuan beban yang menimpa pundaknya. Tangannya terangkat untuk mengusap wajah, berharap dengan begitu semua kesialannya di pagi ini bisa sirna. Ia kemudian bertutur lamat-lamat. "Entah, Lang... Tapi gue mulai nyesel udah ambil langkah pertama buat keluar dari zona nyaman. Kalo tau risikonya sebesar ini–"

"Kalo lo nyesel, lo bisa mundur," sela Gilang cepat. Matanya memicing. "Tapi jangan harap lo bisa merubah apa-apa. Lo bakal selamanya tinggal di zona itu. Silakan menikmati hidup lo yang membosankan. Silakan simpen semua rahasia-rahasia lo dan jangan biarin orang lain tau. Silakan menderita dengan  kenyataan yang berusaha lo tolak dari dunia."

Gilang menandaskan ucapannya dengan tegas sebelum berbalik untuk meninggal Rena. Pergi begitu saja setelah menyelesaikan percakapan mereka dengan sepihak.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rena tak bisa menahan sesuatu menggenang di pelupuk matanya.

***

Risa yang baru memotong rambutnya sampai sebahu mengetuk pintu 12-MIPA-3 beberapa kali. Kalila yang kebetulan ingin pergi ke kantin menjadi sasarannya bertanya. Sebab pasalnya, sudah sedari tadi ia melongok ke dalam dan sosok Rena tak kunjung kelihatan.

"Eh, Rena mana?" Risa menahan lengan perempuan itu yang tengah membawa sisir di tangan kiri. Di sampingnya terdapat beberapa teman Kalila, mungkin hendak beramai-ramai ke toilet, seperti biasa.

Bukannya segera menjawab, Kalila malah melongok dahulu ke dalam kelas dan celingak-celinguk bingung. "Rena? Kok gak ada ya?" Alisnya bertaut. "Tadi pagi kayaknya ada. Kok ilang?"

Risa menghela napas. "Yaudah deh, kalo gak liat. Makasih ya," sahutnya sebelum beralih pada Dimas. Laki-laki itu berjalan beriringan dengan gerombolan kaum adam 12-MIPA-3 minus Gilang, tak jauh dari pintu kelas. Beberapa wajah di antara gerombolan itu tampak kusut. "Eh, Dim, Dimas –liat Rena gak?"

Dimas yang berwajah paling kusut menoleh. "Lo siapa?" tanyanya seperti orang linglung.

Erghi yang berdiri persis di sampignya langsung melayangkan tinju di pundak Dimas. "Itu Arisa Nandrika, kelas 12-MIPA-1, temennya Rena sama Laras. Bener kan?" Erghi melirik ke arah perempuan itu di akhir kalimat, disahut koor singkat dari teman seperkumpulannya yang lain.

Risa yang tidak berekspektasi apa-apa dari seorang Erghi Prasetya hanya mampu melongo kaget. "E-Eh.. iya," gumamnya jadi sama linglungnya dengan Dimas. "Anu, Rena-nya...?"

Erghi dan Dimas hampir menjawab berbarengan, "Rena-nya lagi sama Gilang."

"Apaan sih, Dim, dia kan ngomongnya sama gua!" Erghi menyikut Dimas.

Dimas hanya mendengus kesal. "Tapi tadi dia manggil nama gua."

Risa menyengir salah tingkah melihat dua laki-laki itu malah bertengkar. "Err... mereka kemana ya?"

Kevin yang semula sibuk memainkan ponsel menjawab lebih cepat dari Erghi maupun Dimas. "Lagi di UKS," katanya singkat. "Barusan dia nge-LINE."

"O-oh, ok. Thanks." Risa manggut-manggut dan memutuskan untuk angkat kaki secepatnya dari sana. Ia tidak menyimak lagi apa yang dibicarakan gerombolan itu, karena keramaian koridor menelannya sepanjang ia berjalan menuju UKS.

***

Tik-tok. Tik-tok. Tik-tok.

Entah sudah berapa lama mereka sama-sama terdiam. Rena merasa gerah.

Bukan, bukan karena panas. Melainkan karena atmosfer yang menjurang di antara dirinya dan Gilang. Beberapa saat lalu laki-laki itu bersikeras untuk menemaninya di UKS, tetapi justru membuat keadaan lebih parah walau ia tidak membahas lagi percakapan mereka di koridor.

Rena mendengus. Percuma saja berusaha keras terlelap ketika berbagai pikiran terus berdatangan ke benaknya. Otaknya seakan tak bisa berhenti berpikir, membuat ia berandai-andai jika saja kerja tubuh memiliki tombol turn off.

"Masih sakit?" Terdengar suara Gilang yang duduk persis di sampingnya. Bu Tatik yang seharusnya menjaga UKS sedang pergi untuk mengurus berkas obat-obatan.

Rena hanya menggumam tak jelas sebagai jawaban. Tubuhnya meringkuk di atas kasur, membelakangi Gilang sehingga laki-laki itu tak bisa melihat wajahnya. Dalam hati ia membatin, bahwa hatinya terasa lebih sakit ketimbang perutnya yang perih karena gastritisnya kambuh.

"Mau dibikinin teh anget? Atau mau dibeliin makan?" tanya Gilang lagi.

Kali ini Rena tidak menggumam, melainkan mendengus. "Kalo lagi kayak gini mana boleh minum teh," katanya agak terlalu ketus. Ternyata masih jengkel. "Gue bawa bekal kok, jadi gak usah repot-repot ke kantin. Gue gak apa-apa."

Tangan Gilang terangkat untuk membenarkan selimut yang membalut sekujur tubuh Rena. "Dingin ya? Mau gue naikin suhu AC-nya nya?"

"Gak usah."

"Mau tambah selimut?"

"Gak usah."

"Mau–"

"Gak usah, gue gak apa-apa," sela Rena. Bergerak untuk berubah posisi jadi telentang. Masih menghindari tatapan Gilang. "Ke kantin sana."

"Gue gak laper," kilah laki-laki itu. Wajahnya menatap lurus ke Rena, membuat si perempuan langsung melengoskan pandangannya ke arah lemari obat.

Rena berdecak. "Siapa nyuruh lo makan? Ka bisa nontonin temen lo yang lagi ngunyah."

"Temen gue gak minta ditontonin." Gilang lagi-lagi memberi alibi, diam-diam tersenyum geli. "Udah ah, Ren, diem aja kenapa? Gak usah banyak ngomong."

"Lah, tadi yang ngajak ngomong duluan siapa?" Mata Rena beralih untuk menatap tajam pada Gilang. Tetapi detik berikutnya kembali teralih. Ia membelakangi laki-laki itu lagi, membiarkan Gilang hanya melihat rambut sepunggungnya yang acak-acakkan.

Tadi, setelah percakapan singkat mereka di koridor, Rena mengulur beberapa menit lebih lama untuk berdiam diri di toilet. Perempuan dengan manik mata kecoklatan itu membasuh wajahnya, agar tidak ada sisa-sisa air mata yang sempat menetes beberapa kali. Barulah di saat itu ia sadar bahwa perutnya belum diisi sejak semalam.

Dua jam berlalu dengan cukup lancar, meski diselingi Rena yang sesekali harus menarik napas dalam-dalam. Penyakit gastritis yang diidapnya lumayan akut, hingga jika tidak cepat-cepat ditangani, dadanya akan menjadi sesak. Maka dari itu, satu jam setelahnya ia sudah tidak tahan. Rena memutuskan untuk meminta izin pada Pak Tetra–guru sejarah–untuk pergi ke UKS. Suasana kelas yang sedang berisik membuat hanya beberapa anak yang menyadari kepergian Rena, dan itu termasuk Gilang.

Mungkin Gilang memutuskan untuk menyusulnya karena merasa bersalah telah meninggalkan perempuan itu sendirian di koridor, setelah menusukkan beberapa kata yang terbilang cukup tajam.

Atau mungkin Gilang memang sepeduli itu pada Rena.

Tidak ada yang tahu yang mana yang benar. Tetapi yang jelas, sekesal apapun Rena pada Gilang atas kata-katanya, toh perempuan itu tetap membiarkan dia tinggal di UKS. 

"Mau diambilin bekal gak?" Suara Gilang terdengar lagi setelah cukup lama terdiam.

Rena hanya menggeliat pelan dan menggumam, "Hm-mh," yang Gilang artikan sebagai 'iya'.

"Ok, gue ke kelas dulu kalo gitu." Gilang bangkit berdiri.

Rena tidak memberi tanggapan apa-apa.

Tak lama kemudian pintu UKS tertutup di belakang punggung Gilang. Kakinya hendak terayun untuk berjalan cepat menuju kelas, ketika matanya menatap sosok lain yang berdiri di dekat pintu.

"Risa? Ngapain berdiri doang di sini?"

***

RUR

07/11/16

Continue Reading

You'll Also Like

635K 24.9K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
1.7M 204K 41
[Sudah terbit dan bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku terdekat atau WA ke nomor : 0857 9702 3488] Syanala Arin Saat pertama masuk kelas sepulu...
7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
404K 5.9K 5
[MISTAKE versi cetak sudah dipindahkan ke aplikasi Karyakarsa] ~~ Gilang pernah berpikir apa jadinya jika ia tidak pernah ada. Jika saja waktu itu ia...