R untuk Raffa

By narsakarsa

228K 18.4K 1.3K

Ada tiga hal yang paling Rena sukai: hujan, teh, dan Raffa. Karena menurutnya, tiga hal itu tidak akan pernah... More

Prolog
[1] Rahasia Hujan
[2] Mereka dan Sandiwaranya
[3] Kesialan yang Pertama
[4] Yang Tersembunyi
[5] Seharusnya, Semestinya
[6] Penjelasan Tersirat
[7] Pengumuman dari OSIS
[8] Melangkah Keluar
[10] Pergolakan Batin
[11] Tentang yang Datang dan Pergi
[12A] Dua Perasaan
[12B] Dua Perasaan
[13] Sandiwara Asing
[14] Mungkin, Hanya Mungkin
[15] Pelarian, Tersesat, Pulang
[ ] Playlist #1
[16] Kedatangan Sekar
[17] Pintu Ruang Hati
[18] Senja untuk Kita
[19] Bersama Bintang
[20] Nyanyian Hujan
[21] Awal Mula dari Akhir
[22] Mengungkapmu
[23] Tik-tok, Tik-tok
[24] Pada Satu Titik Temu
[25 | Raffa] "Maaf," katanya
[26 | Raffa] "Maaf," kataku
[27] Bahagiamu, Bahagiaku
[28] Kembali
[29] Menuju Persimpangan
[30] Memahamimu, Memahami Waktu
[31] Jika Hati Bersinggah
[32] Hal Kecil Tentangmu
[33] Bertemu
[34] Yang Dulu, yang Sekarang
[35] Let Go
[36] Kisah Kita: Aku, Kamu, dan Dia
[37] Aku di antara Kita, Kita di antara Mereka
[38] Melangkah
[39] Hati yang Tersesat
[40] Pulang
[41A] Segala yang Pernah
[41B] Segala yang Tidak Pernah
[41C] Segala yang Bukan
[42] Rumah
[43] Kembali
Epilog

[9] Pantaskah Disebut Kesialan?

5.4K 526 20
By narsakarsa

Pada setiap pertemuan, ada perpisahan yang menanti.

***

Esok paginya Rena terbangun dengan perasaan aneh.

Rena bisa merasakan darah pada tubuhnya mengalir; jantungnya berdetak amat cepat, sehingga ia harus mengembuskan napas berkali-kali agar bisa terlihat tenang.

Apa ini yang disebut antusias berlebih? Jika ya, rasa-rasanya sudah lama sekali Rena tidak merasa seperti ini. Terakhir kali mungkin sekitar... empat tahun lalu? Sebegini besarkah dampak teori mengenai zona nyaman yang dijabarkan Gilang kemarin?

Ia tidak tahu apa yang sedang menantinya di depan sana. Ia tidak tahu rencana apa yang sedang disusun semesta untuk menggariskan takdirnya. Tetapi hal tersebut membuat jiwanya terpacu untuk menguak sesuatu yang belum terungkap; sesuatu yang hilang dan belum kembali.

Dan Rena tidak tahu apakah itu semua akan bermuara pada suatu hal yang baik, atau justru menjadi patah hati selanjutnya.

Ia tidak bisa menahan rasa takut dan ragu itu untuk tidak menyerang lagi.

"Ren?" Sebuah tepukan pada pundaknya membuat ia mendongak. Matanya segera menangkap wajah ibunya yang tetap ayu meski tampak letih. 

"Kok bengong aja dari tadi. Liat tuh udah jam berapa. Kamu mau telat?" Alih-alih menegur, suara ibunya lebih terdengar cemas.

"Lima belas menit lagi bel!" seru Rena tertahan setelah menengok jam dinding. Maka dengan satu sentakan cepat, Rena bangkit berdiri dan membenarkan letak strap tasnya. "Rena berangkat ya, ma."

"Kamu kan belum sarapan!" Ibunya berjengit kaget.

Rena hanya menggeleng. "Gak sempet, ma. Nanti aja di sekolah!"

"Tapi bekalnya udah, 'kan?"

Ibunya selalu mengabsen yang satu itu, sebab Rena memang cukup teledor dan apatis dengan jadwal makannya.

Perempuan itu mengangguk yakin, mengayunkan rambut hitam sepunggungnya yang tak dikuncir.

Dengan satu senyum lembut yang masih diwarnai dengan sirat khawatir, ibunya melambaikan tangan dan berpesan, "Hati-hati! Makannya jangan lupa!"

Punggung Rena menghilang dari balik pintu apartemen; segera menyusun langkah-langkah cepat untuk berangkat ke sekolahnya. Seperti biasa, menggunakan kendaraan umum.

***

"Lo bisa gak sih, Dim, sehari aja gak usah sok bossy!" Lengkingan suara Kalila menyambut Rena begitu ia sampai di pintu kelas.

Suasana pagi itu cukup heboh. Segerombolan anak yang menjabat sebagai pengurus kelas beserta beberapa murid lain berkumpul di belakang, membicarakan entah apa yang tidak terlalu diperhatikan Rena. Tetapi sesekali salah satu dari mereka bersuara cukup keras hingga menarik perhatiannya.

"Ada apaan sih?" teriak Erghi dari tempat duduknya; terlalu malas untuk berjalan mendekat.

Sang ketua kelas hanya melirik temannya itu sekilas dan kembali sibuk bicara dengan Sekar. Raut wajah keduanya tampak serius, sisanya tampak kesal dan masam.

"Lagi sok-sok rapat mereka, katanya jangan ganggu," jelas Gilang begitu Rena tiba di tempat duduknya. Perempuan itu menaruh tasnya dengan perlahan, sambil diam-diam melirik ke arah gerombolan tersebut.

"Emangnya ada apa?" tanya Rena karena sama sekali tak mendapat petunjuk. Ia selanjutnya sadar bahwa kursi di sebelahnya kosong; Raffa ikut bergabung bersama mereka. 

Kenapa juga harus peduli? Rena mendengus, mencoba untuk bersikap apatis.

"Katanya ada perwakilan yang harus diganti," jawab Gilang sambil melirik ke belakang; tidak membalas tatapan Rena.

Serta-merta wajah perempuan itu berubah cemas, sama sekali tidak peduli dengan posisi tak etis Gilang. "Perwakilan apa? Siapa?"

Laki-laki itu hanya mengibaskan sebelah tangannya di depan wajah. "Tenang, elah, gak usah panik. Bukan lo kok."

"Serius? Eh, gak, maksud gue–"

"Gak apa-apa, Ren." Kali ini kalimat Gilang disertai tawa kecil. Rena tidak bisa mengartikan tawa itu; sebab Gilang memalingkan wajah dan Rena hanya bisa mendengarnya. Ia tak bisa melihat mata Gilang, dan tanpa Rena sadari; hal itulah yang membuatnya ragu. 

"Gak apa-apa," kata laki-laki untuk yang kedua kali. "Bukan masalah besar."

Rena tahu Gilang berbohong.

***

Selalu ada waktu persiapan sekitar lima belas menit sebelum pelajaran dimulai. Waktu itu digunakan para wali kelas untuk mengecek keadaan kelas, sekaligus menyampaikan informasi dari pihak sekolah.

Dan pagi itu, Bu Retta masuk disertai napas tertahan sebagian murid. Rena dan beberapa di antaranya masih tidak mengerti mengapa; namun mereka tahu ada sesuatu yang tak beres. Raut wajah Bu Retta yang terlihat ringan sangat terbalik dengan wajah beberapa murid yang masam.

"Selamat pagi," sapa Bu Retta dengan nada riang.

Rena membalas dengan gumam pelan. Ia melirik Sekar yang tampak gusar di barisan depan, Dimas yang memberengut di kursinya, dan Kalila yang seperti sedang menelan es batu karena terpaksa menahan segala gerutunya. Sedangkan Raffa, laki-laki tidak menampilkan ekspresi apa-apa.

Rena mendengus lagi. Kenapa ia masih peduli dengan yang terakhir.

Mereka menyempatkan diri untuk berdoa menurut kepercayaan masing-masing, sebelum Bu Retta memulai pembicaraan. 

"Ok. Jadi, saya sudah menerima list perwakilannya dari Dimas. Ternyata lebih cepat dari deadline yang saya tentukan," katanya sembari melempar senyum puas pada Dimas, yang hanya dibalas dengan senyum tak bersemangat. "Nah, dari situ, saya mengambil beberapa keputusan yang sudah saya pertimbangkan matang-matang." Ia memberi penekanan pada beberapa kata dengan tegas. 

Rena menunggu kelanjutannya dengan tidak sabar.

"Saya akan mengganti beberapa perwakilan." 

Kelas yang semula hening perlahan jadi bising; ada yang mengeluh, ada yang mengumpat tertahan, dan ada juga yang tak peduli karena mungkin hal tersebut tidak berpengaruh pada nasibnya.

Sekar kemudian menangkat tangan dengan sopan; entah untuk bertanya atau mengutarakan pendapat. Tetapi tidak dihiraukan oleh Bu Retta.

"Saya tidak menerima protes dan keluhan, karena seperti yang saya bilang tadi; saya sudah memikirkan hal ini matang-matang," pungkasnya. "Dimas, silakan bacakan nama-nama yang saya ganti."

Semua mata segera beralih pada Dimas. Kalila menggerutu terang-terangan, dan wajah Sekar sampai merah karena menahan emosi.

"Ayo, Dimas, baca," titah Bu Retta lagi karena ketua kelas itu terlihat enggan.

Mau tak mau, Dimas berdiri juga dan mulai membacakan tulisan dari kertas yang sudah lusuh di tangan kanannya.

"Hasil revisi dari Bu Retta," ia membaca keras-keras. "Lomba lari marathon diwakilkan oleh Kalila–"

Kalila mendengus terlalu keras, menuai tatapan tajam dari Bu Retta. 

"–Ellya, Rika, dan Naya." Dimas memberi jeda. "Lomba panjat pinang diwakilkan oleh Jojo–"

"Pfttt–hahaha Jojo!!" 

Sebagian anak menahan tawa. Jojo yang bertubuh gempal, duduk paling belakang, langsung berseru tak terima dan mengangkat tangan untuk protes. 

Namun lagi-lagi, tak dihiraukan oleh Bu Retta.

"Semuanya tenang!" seru wali kelas itu.

Dimas menghela napas panjang. "Saya ulangi. Lombat panjat pinang diwakilkan oleh Jojo, Erghi, Andre, Bintang, dan– Gilang."

Barulah tawa berhenti. Kepala mereka langsung menoleh ke arah Gilang yang kemarin berkoar hendak duet musikalisasi dengan Rena, tetapi laki-laki itu hanya berekspresi datar dan tidak membalas satupun tatapan mereka. Rena melotot kaget, dan Gilang enggan memberi penjelasan lebih lanjut.

Bibir Rena mencekah. "Gilang kok–"

"Rena, berdiskusinya nanti," sela Bu Retta tajam.

Ia terpaksa menahan diri dan menanti lanjutan dari Dimas dengan dada berdebar kencang. Tangannya mengepal kuat.

"Musikalisasi puisi diwakilkan oleh–"

Semuanya menahan napas.

"–eh, jatoh. Maap." Dimas membungkuk untuk mengambil kertasnya yang lepas dari tangan.

"Gak lucu, sumpah." Erghi mendesis.

"Dia gak lagi ngelucu," sahut Gilang datar.

Bu Retta menatap keduanya dengan tajam.

Dimas sudah berdiri tegap lagi. "Musikalisasi puisi diwakilkan oleh Rena–"

Rena menahan napas.

"–dan Raffa."

Kelas lantas hening. Tak ada yang bereaksi. Rena bisa merasakan jantungnya berdebar amat cepat, tangannya mengepel semakin erat, dan bibirnya tak bisa terbuka. Ia kehilangan suaranya.

"Sisanya, yang belum disebut, ikut lomba gerak dan tari."

Rena sekarang paham mengapa ia terbangun dengan perasaan aneh.

Ternyata, sesuatu yang menantinya itu sudah berada di depan mata; siap menghantam hidupnya saat ini juga.

Pantaskah ini disebut kesialan?

***

RUR

2/11/16

Bersedia untuk vote dan comment? Tanggapan kalian penyemangatku.
Terima kasih banyak! Hope you have a nice day.

Continue Reading

You'll Also Like

24.1K 2.7K 28
Kamu akan jatuh cinta, pada lelaki bernama Suho. Tapi, ia akan membuatmu menangis, dan merutuki denyut sakit yang ada di hatimu. Kamu akan merasa rin...
636K 24.9K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
36.7K 6.9K 9
❛❛Aftan tidak sengaja bertemu dengan Naisha pada siang yang panas di lab kimia. Lalu, di antara rak-rak yang dipenuhi tabung reaksi, diantara kursi k...
1.7M 204K 41
[Sudah terbit dan bisa didapatkan di Gramedia dan toko buku terdekat atau WA ke nomor : 0857 9702 3488] Syanala Arin Saat pertama masuk kelas sepulu...