LFS 1 - Air Train [END]

By PrythaLize

1.1M 144K 6.3K

[Little Fantasy Secret 1] Pertama kali Tyara merasakan keberadaan kereta api itu adalah setelah malam tahun b... More

PROLOGUE
The First Station - "Tears After The Day"
The Second Station - "Those Rain That Passes by"
The Third Station - "Unheard Voice"
The Fourth Station - "Passenger"
The Fifth Station - "Pretend"
The Sixth Station - "The Falling Name"
The Seventh Station - "Another Moment"
The Eighth Station - "Another Gift"
The Nineth Station - "The Miracle She Used to Wait"
The Tenth Station - "New Year Eve's Miracle"
The Eleventh Station - "TERROR"
The Twelfth Station - "The Second Message"
The Thirteenth Station - "The Second Entrance"
The Fifteenth Station - "Heartache"
The Sixteenth Station - "So Near Yet Nobody Could Reach"
-TUNNEL-
-A STOP-
The Seventeenth Station - "Hope in Nope"
The Eighteenth Station - "The Secret Miracle"
The Nineteenth Station - "How Do You Know?"
The Twentieth Station - "Night"
The Twenty First Station - "The Conversation"
The Last Station - "The Final"
EPILOGUE

The Fourteenth Station - "I'm Not The Only One"

32.8K 4.8K 84
By PrythaLize

Waktu-waktuku akhir-akhir ini dihabiskan untuk belajar.

Hal ini dikarenakan tanggal penetapan Ujian Nasional yang sudah berada di depan mata, seminggu lagi. Akhirnya, setelah menghadapi Try Out, UTS dan UAS yang dilakukan secara kilat, kami akan menghadapi Ujian Nasional.

Oh, atau biasanya kita penyebutnya..., Ujian yang paling berat, mungkin.

Dan, aku tidak bilang kalau waktuku hanya dihabiskan untuk belajar, kan? Nyaris sebulan ini, pikiranku juga melayang pada kejadian sebulan lalu.

Tentang kereta api itu.

Aku masih bertanya-tanya dalam hati, mengapa Aetherd bisa terjebak di dalam sana? Mengapa? Mengapa hanya aku yang bisa melihatnya?

Aku tidak tahu.

Selama sebulan inilah, aku mencoba peduli, mencari keberadaan kereta api yang sering datang, namun akhir-akhir ini tidak mendarat seperti hari itu atau saat pertama kali aku menaikinya.

Aku selalu menunggu kesempatan untuk naik di dalam kereta api itu, lagi.

Untuk beberapa alasan, kereta api dan Aetherd sendiri mampu mencuri perhatiannya dariku. Aku tahu persis apa alasannya, aku menganggap mereka sebagai keajaiban yang disebutkan oleh Kakek dan Nenek, meskipun, entahlah, benar atau tidak.

"Meong ...,"

Terdengar suara, yang membuatku tersentak. Aku yang baru saja hendak melangkah keluar pagar untuk perjalanan ke sekolah pun berhenti dan terdiam di sana.

Kurasakan sesuatu di kakiku, ada sesuatu yang bersentuhan dengan sepatuku dan aku dapat merasakannya meskipun kakiku di balut oleh sepatu sekolah.

Kepalaku menunduk, meratapi seekor kucing yang tengah mengelus kepalanya dikakiku. Kucing itu memiliki warna dasar putih dan bercak hitam di telinga dan ekornya. Setiap dia bergerak, akan ada suara lonceng yang ada di lehernya.

Aneh, apa aku melamun sampai tak mendengar lonceng itu?, pikirku. Tapi untung saja kucingnya tak terpijak.

"Meong."

Selanjutnya kucing itu mendongkak menatapku dengan mata birunya. Mata biru?

"Meong..."

Aku membungkuk sedikit, tanganku menopang dikedua lututku. "Hai?"

Melihat kucing yang cantik itu membuatku tertarik untuk bermain dengannya. Aku mengelus kepalanya dan mengelitik lehernya.

"Meong...,"

Aku menaikan alisku. "Apa kamu lapar?"

Selanjutnya aku tertawa konyol, mana mungkin kucing ini bisa menjawabku. Memangnya ini dunia dongeng?

Tak mau kehabisan waktu untuk menyempatkan diriku untuk belajar di sekolah nanti meskipun hari masih pagi, aku pun membuka tasku dan mengeluarkan biskuit yang kubawa dari rumah. Aku langsung membukanya lebar-lebar, lalu meletakannya di atas tanah. Melihat itu, kucing itu langsung memakan biskuit itu.

"Ternyata kamu beneran lapar ya?"

Melihatnya masih memakan biskuit itu dengan lahap, aku mengulum senyum. Tapi saat melihat jam menunjukan hampir pukul tujuh, aku langsung berdiri tegak.

"Ah, aku harus pergi."

Aku pun berbalik menjauh pergi dan langsung pergi meninggalkan tempat itu.

*

Aku menarik nafas dan melepaskannya perlahan, sambil memperhatikan LJUN dengan perasaan berdebar-debar. Mata pelajaran terakhir yang dihadapi di Ujian Nasional, IPA, sudah kujawab dan soal yang sulit mungkin hanya beberapa saja di materi biologi.

Aku memeriksa bulatan namaku lagi sebelum mengumpulkan, seperti yang kulakukan di tiga pelajaran Mapel lain UN.

Tyara Flarandra, oke.

Nomor peserta UN, oke.

01-01..., oke.

Oke, tinggal mengumpulkan saja.

Entahlah, aku sudah nyaris tiga kali memeriksa semua jawaban yang kuhitamkan, dan semua jawaban yang di lembar jawaban itu sudah persis mirip dengan jawaban yang kulingkari di soal UN sendiri.

Kamu pasti bisa, Tyara. Kamu pasti bisa!

Aku mengenggam erat kunci yang menggantung di kalungku, melafalkan doa dalam hati, berharap doaku dapat didengar dan dikabulkan.

Aku menunjuk tanganku, membiarkan guru pengawas membawa soal dan lembar jawabanku. Ah, ini masih saja mendebarkan seperti sebelum-sebelumnya. Aku memang bukan pengumpul pertama di kelas ini, malahan aku hampir yang terakhir.

Tarik nafas-lepas.

Aku lega, sangat.

Beban di pundakku terasa terangkat semua.

Aku memperhatikan di meja paling depan, Gracia melambai-lambaikan tangannya dengan semangat empatlima. Wajahnya tampak sangat berseri dan awet dua tahun, berbeda dengan malam sehari sebelum UN dimulai kemarin-kemarin.

Bahkan, saking semangatnya, dia tidak sadar guru pengawas sudah berdehem di depannya, memintanya berbalik ke depan kembali.

Keheningan dalam kelas perlahan berubah menjadi bisikan, lama-lama suara obrolan yang terdengar jelas, namun sembunyi-sembunyi.

.

.

.

Aku meratapi langit senja, memperhatikan sebuah benda yang terbang berlika-liku tak beraturan. Besi hitamnya terpantulkan matahari, suara knalpotnya dilemahkan oleh jarak. Kereta api itu ada di dekat bukit di kejauhan sana, bergerak lurus sesekali berputar menyebarkan asap hitamnya.

Sudah lama kereta itu berhenti menggangguku, maksudku, kereta itu tak lagi muncul tiba-tiba di hadapanku. Kereta itu itu hanya lewat, dan kadang hanya bisa kulihat dari kejauhan. Itu terjadi sudah hampir enam minggu, bahkan sebelum Ujian Nasional selesai dilaksanakan.

Aku selalu menunggu saat dimana kereta api itu tahu tempat pemberhentiannya, di atap rumahku. Aku sudah diam-diam membawa peralatan untuk menghadapi itu semua nanti. Palu, kunci inggris, obeng, dan semua alat-alat yang mungkin bisa digunakan untuk membebaskannya.

Aku tidak tahu apakah itu akan berhasil, setidaknya aku harus mencobanya dahulu.

Mataku terus bergerak mengikuti kemana kereta api itu bergerak, saat kereta api itu melewati Papan iklan yang terpajang di atas bukit atau saat kereta api itu merendah dan berputar mengelilingi tempat penyeberangan jalan.

Di dalam kereta api itu..., ada seseorang yang membutuhkan bantuan.

Lelah hanya berdiri di balkon kamar dan meratapi kereta api yang tak kunjung mendekat, akhirnya aku turun ke lantai dasar, menemani Bi Erni yang memasak sendirian biasanya.

"Non Tyara, ujiannya sudah selesai ya? Sudah lega?"

Aku menganggukan kepalaku. Aku memang sudah lega, tapi perasaanku ini seperti menjerit mengatakan ada saja sesuatu yang belum diselesaikan, dan tak mungkin bisa diselesaikan oleh orang lain.

"Nyonya bilang malam ini mau pulang. Sekarang Bibi masakin masakan yang disukai Nyonya."

Mendengar itu, aku menjadi bersemangat. Ujung bibirku sudah terangkat tanpa kusadari. Akhirnya Mama pulang, setelah Ujianku sudah selesai.

"Kapan Mama telepon, Bi?"

"Tadi siang, Non."

Aku makin bersemangat saja mendengar perkataan Bi Erni. Aku belum bertemu Mama nyaris sebulan ini. Karena Mama sibuk di kantornya, dan aku nyaris menghabiskan sepanjang malamku untuk belajar dan belajar.

Bahkan saat hendak berangkat ke sekolah pagi-pagi untuk Ujian, aku hanya mengirimkan pesan singkat, meminta izin dan doa-nya untuk mendukungku dari sana. Aku takut jika aku meneleponnya, beliau mungkin masih tidur dan butuh istirahat.

"Kalau Papa, gimana?"

"Tuan belum mengabari, Non."

Aku pun membayangkan kembali kejadian beberapa bulan silam, saat Papa mengajakku makan di cafe depan dan mempertanyakan kunci yang kupakai ini.

Usai kejadian itu, entah mengapa, aku merasa Papa semakin..., jauh dariku. Beberapa bulan ini aku nyaris tak pernah melihat wajahnya. Beliau selalu meninggalkan pesan di kertas yang dilekatkan di kulkas dan ditimpa dengan magnet, atau mungkin langsung mengabari Bi Erni.

Apa Papa menganggapku aneh?

Aku duduk di sofa sambil menonton siaran berita tentang politik di depanku. Aku mencoba mendalami apa yang dikatakan di sana, hanya untuk mengenyahkan perasaan aneh yang kurasakan sekarang.

Aku yakin..., ini hanya perasaanku saja.

"Non, kenapa menangis nonton berita tentang politik?" tegur Bi Erni membuatku sontak tersadar dari lamunanku.

Ah, kenapa aku menangis?

"Non?"

"Enggak, Bi. Cuman kepikiran sama film melodrama kemarin," ujarku sambil tersenyum tipis. Tanganku bergerak untuk menganti siaran televisi.

Bi Erni mengiyakan. "Non, akhir-akhir ini di depan ada kucing yang terus menunggu di depan rumah ini, ya."

"Kucing putih-hitam itu?" tanyaku. Bi Erni mengangguk. "Aku memberinya makan lagi tadi pagi."

"Oh, pantas saja. Bibi lihat kucing itu memakai kalung di lehernya. Dia bukan kucing liar. Apa dia tersesat?"

"Mungkin," jawabku.

"Tapi kalau bukan, kasihan juga kucing itu terlantar seperti itu."

Terlantar.

"Atau mungkin kucing itu sudah dibuang?"

Dibuang.

Mengapa kata-kata sekecil itu..., bisa menyakitiku?

*

Aku berbalik saat mendengar suara lonceng yang terdengar samar. Sosok yang mengeluarkan suara bel itu mendongak menatapku dengan anggun. Aku pun berjalan ke arahnya dan berjongkok.

"Kamu mengikutiku lagi?"

Tentu saja sosok itu tidak menjawab, sebab sosok itu adalah seekor kucing berwarna hitam-putih, memiliki kalung dan bel kecil yang menggantung disana. Keadaannya masih sama seperti saat aku melihatnya tempo hari. Kucing itu memiliki bercak hitam di bagian telinga dan ekornya, sisanya putih. Kucing itu punya mata biru yang menurutku cocok untuknya.

Saat aku berdiri dan berjalan, kucing itu kembali mengikutiku.

Padahal niatku hanya membantu Bi Erni untuk membuang kantong sampah ini di depan.

"Bi, ada makanan sisa?"

"Nona mau memberikannya kepada kucing itu lagi?" tanya Bi Erni sedikit tak percaya.

"Aku ingin memeliharanya," ungkapku jujur.

"Jangan Nona. Nyonya mungkin tak akan mengizinkan. Lagipula kucing itu punya kalung di lehernya, mungkin saja pemiliknya juga sedang mencari-cari keberadaannya." Bi Erni berusaha mencegahku.

"Ngga papa, Bi. Ikan sisa kemarin juga, ngga papa, kok."

"Tapi, Non..." Akhirnya Bi Erni menghela nafas. "Ada di atas meja, Non."

.

.

Kucing itu mengikutiku kemanapun aku pergi. Bahkan disaat aku hendak pergi ke rumah Gracia. Gracia meneleponku dan memintaku untuk datang ke rumahnya. Alasannya belum dikatakannya. Dia langsung menutup teleponnya begitu menyelesaikan kata-katanya.

"Mengapa kamu mengikutiku terus?"

Kucing itu duduk anggun dan menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Intens, mungkin?

Mata biru kucing itu menatap ke arahku, bukan, belakangku?

Aku menatap belakangku, tidak ada yang kutemukan selain kekosongan. Sekilas, aku bergidik ngeri saat mengingat bahwa kucing dapat melihat makhluk-makhluk gaib semacam itu.

"Apa yang kamu lihat?" tanyaku panik ke arahnya, namun dia masih menatap ke arah yang sama, membuatku ingin segera melarikan diri saja.

Namun langkahku terhenti saat kudengar suara knalpot melengking di atasku, membuatku mendongakan kepalaku dan menatap kereta api yang melaju cepat itu.

"Ah, lewat la-"

Aku terdiam saat melihat kucing itu kini menghadap ke arah lain. Dia juga menghadap ke langit, namun hal yang membuatku tertegun adalah..., dia melihat ke arah yang sama dengan di mana kereta api itu berada.

Aku mengerjapkan mataku.

Jangan bilang..., kucing ini juga melihatnya?

Dengan sedikit tak percaya aku menatap kembali kereta api itu. Kereta itu berputar-putar di langit, berbelok melekuk seolah ingin menarik perhatian. Di sepanjang putaran dan likukan yang tercipta itulah, aku menyadari sesuatu.

Kucing selalu tertarik dengan benda yang bergerak.

Dan pandangan kucing putih ini..., tidak pernah lepas dari kereta api itu, sampai sosok kereta itu menghilang di balik awan.

***TBC***

24 Juli 2016, Minggu.

Cindyana's Note

Lol maap, lupa up kemarin, wkwk.

Kayaknya perasaan kesepian Tyara itu malah kelempar ke Piya di chapter enam SA #bhakkk.

Mengapa Air Train dipasang SLOW UPDATE? Yaaa..., karena saya masih belum bisa menentukan endingnya. Tapi sepertinya udah dekat, gatau deng.

[05/03/16-18:07]

CINDYANA

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 133K 73
NOT BL! (Follow biar tahu cerita author yang lain ok!) Update sesuai mood ๐Ÿ™‚ Seorang remaja laki-laki spesial yang berpindah tubuh pada tubuh remaja...
604K 22.3K 29
Judul Sebelumnya : My Cold Husband Selena Azaerin, itulah namanya, walau dirinya bekerja sebagai agen intelijen negara, dia tak pernah kehilangan sif...
17.4K 2.6K 14
Cocok untuk kamu peminat cerita dengan genre #misteri dan penuh #tekateki, juga berbalut #action yang dilatarbelakangi #balasdendam. Kecelakaan yang...
3.1M 300K 84
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya.