Blood and Faith

By diahsulis

63.6K 8.2K 2K

[WARNING: YOUNG ADULT FICTION! Anak-anak di bawah 18+ harap menyingkir] [ARUNA SERIES #2] Komite Keamanan K... More

Prolog
1. Misi
2. Trio
3. Kisah-Kisah Seram
4. Jebakan
5. Lembaga Penyalur
6. Ratna: The Unexpected
7. Gadis itu Bernama Chandra
8. Nara: Di Luar Rencana
9. Ratna: Go or Gone
10. Nara: Sidang
11. Nara: Kenangan yang Ingin Dilupakan
12. Ratna: Rejection
13. Anomali
14. Maraditya: Sesuatu yang Disebut Ikatan
15. Penataran
16. Buku Pegangan
17. Diserang dan Menyerang
18. Iblis Merah
19. Musuh dalam Selimut
20. Mengejar Buronan
21. Ratna: Boiling Rage
22. Spesies Langka
23. Kekecewaan
24. Permainan
25. Nara: Istirahat
26. Perselisihan
27. Kebebasan
28. Permintaan
29. Alasan Bertarung
30. Tidak Punya Pilihan
31. Final Jayasrata
32. Waktu untuk Bicara
33. Nara: Mereka yang Mulai Bergerak
34. Pesta Penutupan
35. Kelompok Berbahaya
36. Produk Gagal
37. Agenda Terselubung
38. Mutasi
39. Taraksa
40. Di Balik Layar
[Sekilas Promo] Lazarus Chest
42. Video
43. Kenyataan yang Pahit
44. Bertarung Sampai Akhir
[Epilog] Nara: Mereka yang Pergi
[Fun Fact]
[Special Chap 1] Evan: Seseorang yang Berharga

41. Ruang Kendali

1K 160 60
By diahsulis

Mataku membelalak tak percaya melihat makhluk-makhluk penghuni sel itu. Suara raungan mereka mirip rintihan makhluk menderita, namun di sisi lain juga terdengar sangat mengerikan, penuh kemarahan dan kelaparan.

Wujud mereka tak lebih baik dari suara mereka yang parau. Tubuh mereka hanya terdiri dari otot tanpa kulit. Serat-serat dan tendon mereka tampak jelas. Sepasang mata yang mencuat dari balik otot-otot itu tampak memiliki iris berwarna merah dengan sklera berwarna merah darah.

Mereka tidak berambut sehingga sulit dibedakan mana jantan dan betina. Tidak ada pula ciri fisik yang membedakan jenis kelamin mereka. Seakan mereka tak punya jenis kelamin tertentu.

Tidak ada hidung di wajah makhluk-makhluk ini. Hanya ada tiga pasang katup mirip insang yang terus membuka dan menutup di bagian seharusnya hidung berada.

Kuku-kuku tangan mereka digantikan cakar-cakar mereka berwarna hitam legam dengan ukuran dua kali jari normal. Cakar-cakar itu mencakar-cakari dinding jeruji dan melepuh tanpa henti. Meski jari dan kuku mereka melepuh hingga mengeluarkan asap, makhluk-makhluk itu terus dan terus mencakari jeruji lagi dan lagi, seperti makhluk tak berakal.

Sepasang taring mencuat dari dalam mulut mereka yang merintih dan hanya itu. Maksudku, mereka hanya punya taring. Tidak ada yang lain. Kutatap sepasang taring pucat itu lama-lama sampai tiba-tiba saja taring itu meluncur dan berada dekat sekali dengan wajahku.

Pedangku tercabut dari sarungnya. Tanganku secara refleks berayun, menebas apapun yang tadi menyerang. Darah memancar dan terdengar bunyi berkelepak. Tanganku merasa telah membelah sesuatu. Salah satu makhluk merintih semakin keras, terdengar kesakitan dan mundur ke bagian kandang yang lebih dalam dengan mulut mengeluarkan cairan berwarna hitam pekat. Pembelaan diriku barusan malah membuat makhluk-makhluk yang lain merangsek maju dan benda-benda menjijikkan yang kulihat mirip lidah yang menjulur panjang itu menyerangku lagi. Kali ini lebih banyak.

Pedangku mengayun, namun kemudian tubuhku ditarik ke belakang. Pak Riza beringsut ke depan, menarik sebilah pedang tipis berwarna hitam legam dari balik mantel hitamnya. Dengan gerakan cepat yang hampir tak bisa tertangkap mata, ia menebas semua lidah yang menjulur itu dalam hitungan detik.

Hujan darah hitam membasahi lantai. Organ-organ entah apa namanya itu berjatuhan sebanyak daun-daun yang meranggas dari pohon jati. Mereka menggelepar-gelepar di lantai seperti ikan kehabisan oksigen sebelum perlahan berhenti bergerak, menyisakan denyut kehidupan yang perlahan mati.

Di belakangnya, aku mengamati organ-apapun-itu yang berjatuhan itu dengan horor.

Bentuknya seperti belalai, tapi tidak ada belalai yang bisa menjulur demikian cepat seperti lidah reptil. Keningku berkerut melihat sepasang taring yang melengkung di ujungnya yang hampir mengenai wajahku. Bentuknya mirip kait dan dari jumlahnya yang sepasang mirip taring aruna umum, sepertinya itu taring mereka.

Taring.

Kenyataan itu membuat seluruh sel otakku berpikir keras.

Sepasang taring itu, entah bagaimana tertanam di ujung organ mirip lidah bunglon yang bisa menjulur keluar, menjangkau hingga puluhan senti jauhnya. Juluran yang mengingatkanku pada penyengat yang dimiliki nyamuk itu menjulur mengincar permukaan kulit yang terbuka. Juluran dari mereka yang berada di sel atas beberapa kali hampir mencapai kepala pak Riza. Mereka pasti bisa mencapai pria itu seandainya ayunan cepat dari tangan Dua Belas Pilar terkuat itu tidak menebas taring-taring juluran mereka lebih dulu.

Organ-organ masih menggelepar-gelepar di lantai dengan darah berwarna nyaris hitam keluar dari daerah perpotongannya.

Raungan dan rintihan kesakitan makhluk nonmanusia memenuhi lantai yang sepi itu. Raungan kesakitan itu dalam sekejap berubah menjadi raungan marah. Makhluk-makhluk itu semakin ganas menyerang pak Riza. Dari dalam, mereka mulai menghantamkan tubuh-tubuh mereka sendiri ke jeruji, membuat tubuh tanpa kulit mereka melepuh dan meleleh terkena jeruji, namun seperti sebelumnya, seolah tidak merasakan sakit, mereka terus membenturkan tubuh ke jeruji bersamaan, membuat jeruji kokoh itu bergetar dan mengancam akan jebol dalam waktu dekat.

Pak Riza beringsut mundur dan menekan tombol lagi, menutup sel-sel itu kembali ke dalam dinding besi. Sampai di detik-detik terakhir, cakar-cakar hitam mereka masih terus keluar dari jeruji seakan tak ingin membiarkan kami kabur. Darah yang keluar dari mulut mereka yang kini tanpa taring tak sama sekali digubris makhluk-makhluk itu. Mereka terus menatap ke arah kami berdua dengan sorot mata hewani yang tak berakal, seakan-akan inilah pertama kalinya mereka melihat makanan di depan mata.

Ketika lapisan besi itu menutup sepenuhnya, barulah aku sadar, lapisan besi yang lain bergetar, samar-samar mengeluarkan suara yang sama dengan lapisan besi yang baru saja terbuka. Semua suara itu datang dari dinding, seluruh dinding, dari atas hingga ke bawah, kanan maupun kiri, dari ujung hingga ujung lorong di sisi lain sana.

Astaga.

"Agatya." pak Riza menjelaskan dengan tenang sambil membersihkan darah yang mengotori seragam dinasnya. "Para perintih."

Itu jawaban dari pertanyaanku sebelumnya, pertanyaan yang secara tak sengaja meluncur dan belum terjawab. "Mereka..." Aku menatap pak Riza dan dinding yang masih bergetar itu berganti-gantian. Masih tidak mengerti. "Mereka... dari mana?"

"Dari mana-mana. Aruna produk gagal, generasi pertama, semuanya," pak Riza menjawab, lagi-lagi dengan tenang. Beliau menyisir seluruh lapisan besi itu dengan wajah datar.

Pikiranku masih berusaha mencerna ucapan itu tapi gagal. Seluruh penjelasan pak Riza mengantri di dalam kepalaku untuk terjawab. Mataku turun, beralih ke organ penyengat yang kini sudah diam tak bergerak.

"Ini... aruna?" Aku menatap organ itu dengan tak percaya. Aruna yang dikenal sebagai monster berwajah malaikat, bisa menjadi makhluk seperti di dalam sana?

"Yang diberi makan darah dari tubuh spesies langka itu." Apa? "Jangan sampai tergigit. Bagi manusia, taring mereka memiliki efek melumpuhkan yang lebih cepat dari aruna biasa." Pak Riza beranjak pergi. "Mereka memang tampak liar, tapi mereka jinak oleh satu hal dan hanya satu. Itu yang kami berusaha cari hingga sekarang. Menemukan benda yang kami cari itu adalah tujuan tur panjangmu malam ini."

Aku berjalan mengikuti langkah ringan pak Riza dengan langkah seberat besi satu ton. Sungguh, seluruh otot di tungkaiku lemas, terhisap habis oleh pemandangan mengerikan tadi. Ini pertama kalinya aku melihat makhluk aneh tak terdefinisikan seperti itu dan hampir saja mati dalam serangan pertama.

Aruna menjadi seperti itu karena meminum darah spesies langka?

Mulutku baru saja akan bertanya lebih jauh ketika pak Riza berbalik. "Sebagai ranking S, ini menjadi bagian dari tugas dan bebanmu. Aku menunjukkan semua ini karena merasa kamu sudah menjadi bagian dari kami sekarang. Dan sebagai bagian dari kami, kamu harus melakukan apa yang kamu bisa untuk kami."

Firasatku jelek soal ini. "Apa... yang bisa saya lakukan?"

"Seharusnya kamu sudah tahu." Pak Riza berbalik dan melangkah pergi.

Dalam hati, aku mengetahui jawaban dari pertanyaanku barusan. Apa yang harus kulakukan untuk Komite adalah mencari apa yang dicari oleh Komite dan belum ketemu hingga sekarang, sesuatu yang mereka rasa mungkin dapat menjadi kunci untuk mengandalikan makhluk-makhluk itu.

Jika dugaanku benar, aku ditugaskan untuk menemukan kepala spesies langka itu.

***

Pagi hari ini adalah pagi terberat yang pernah datang.

Kata-kata pak Riza berdengung tak henti di kepalaku selama semalaman penuh. Berbaring di dipan, kepalaku disesaki berbagai pikiran dari tur panjang semalam: beban jabatanku sebagai ranking S, rahasia yang disimpan di penjara ini yang kemungkinan tidak diketahui kecuali para ranking S, lalu sebelum ini aku juga diberitahu klasifikasi yang hanya diketahui jajaran ranking S dan petinggi Komite, dan sekarang aku terjebak misi harus mencari kepala makhluk tak jelas tanpa ada petunjuk apapun.

Elis dan Anggi belum terlihat lagi sampai detik ini. Ah lagipula sepertinya aku tidak akan siap jika harus bertemu mereka pagi-pagi sekali seperti ini. Mereka mungkin saja punya petunjuk soal apa yang kucari, tapi entah kenapa, wajah mereka tidak ingin aku temui sekarang ini.

Suntuk, aku pun melangkah keluar mess dan berjalan ke arah kafetaria, berharap mendapat segelas kopi untuk menenangkan pikiran. Namun tanpa diduga, baru beberapa langkah keluar mess, aku berjumpa dengan wajah yang kutunggu untuk kujumpai.

Bersama beberapa orang sipir yang mengajaknya mengobrol, pemuda itu berjalan dengan tenang keluar dari kafetaria. Pemuda itu dalam kondisi yang aneh. Lengan kirinya dibalut seperti orang patah tulang. Terakhir kali kami bertemu dia masih baik-baik saja.

Bertemu pandang denganku, wajah datarnya tetap terjaga. Dia hanya mengangguk samar sebelum melangkah pergi menjauhiku. Mulutku membeku, kontras dengan pikiranku yang berpacu cepat dan jantungku yang memompa seluruh aliran darah bergantian, mencoba menyambungkan akal pikiran dengan kewarasanku saat ini. Adrenalin berdetak di telingaku, menyamarkan suara-suara keramaian kafetaria.

Albert ada di sini. Dia ada di depan mataku. Dia, orang yang mencari-cari Klaus, ada di dalam jangkauan tanganku sekarang. Tanpa pemuda itu ketahui, dia berdiri beberapa meter di atas target yang dicarinya. Informasi yang kudapat bisa mengakhiri pencarian pemuda itu hari ini juga.

Tapi memangnya ada perlu apa dirinya dengan Klaus?

Jawaban dari pertanyaan itu pun aku tidak tahu. Entah apa yang diinginkan Albert dengan Klaus. Tujuannya bisa baik dan bisa buruk. Jika dia tidak berniat macam-macam, aku mungkin bisa memberitahukannya sedikit informasi.

Benar, pertama-tama, cari tahu dulu apa tujuan Albert mencari Klaus.

"Albert!" Aku berputar, berbalik ke arah lima orang yang berjalan berkelompok membelah kafetaria yang sepi di pagi hari itu. Hanya ada satu yang menoleh, tapi empat orang pemuda lain juga ikut menoleh ke arahku.

"Apa?" Mulut Albert berkata demikian.

"Bisa gue ngomong sama lo?"

Sebelah alis Albert terangkat tinggi, tapi dia tidak berkata apa-apa. Empat sipir lain hanya memain-mainkan alisnya kepada Albert dan menyikut rusuknya sambil menyeringai jahil. Sudah pasti akan ada gosip tak enak menyebar soal ini tapi masa bodo dengan itu semua sekarang. Ada urusan lain yang lebih mendesak daripada gosip.

Tanpa berkata apa-apa, Albert berpamitan pada kelompoknya dan menghampiriku. Ekspresinya masih semulus trotoar ketika mulai bicara.

"Ada apa?" Dia bertanya langsung, tapi mataku masih saja tertuju pada tangannya yang dibalut.

Tanganku menunjuk tangannya yang cedera itu. "Lo patah tulang?"

"Biar keliatan ... keren," jawabnya singkat dengan pemilihan kata yang bagus. Baguslah dia mengerti. Pemulihan budak lebih cepat dari pemulihan manusia biasa. Lucu sekali melihatnya membalut tangan seperti ini. "Ada apa?"

"Kok tangan lo bisa cedera?" Aku bertanya lagi.

"Nasib." Jawabannya lagi-lagi singkat. "Ada kandang yang diakali dari dalam dan... lo tau kelanjutannya." Albert menatapku dengan pandangan menyelidik. "Ini bukan soal gue kan?"

Ak mendengus. "Kok kayaknya gue berasa antagonis yang nyamperin lo kalau ada perlunya doang ya?"

"Lo orang yang ngajak ngomong kalau omongan itu penting, itu yang gue pelajarin dari lo," jelas Albert tenang menghadapi pelototan mataku yang tak suka. "Nah, ada apa?"

Tanpa menggerakkan kepala, aku melihat kamera CCTV kecil berbentuk setengah bola sebesar tak lebih besar dari bola pingpong di sudut ruangan. Mata lensanya mengawasi sekitar. "Lo bisa nyari tempat yang nyaman buat ngomong?"

Tidak ada perubahan ekspresi di wajah Albert, tapi aku tahu dia mengerti maksudku. "Kalau gitu biar gue yang beli minum."

"Gue cuma mau ngomong sebentar aja."

"Tapi gue maksa." Tanpa menggubris ucapanku, Albert masuk kembali ke kafetaria.

Mengikutinya dengan kesal, kami masuk ke kafetaria, melangkahi belasan meja kosong dan beberapa meja berisikan sipir yang menikmati sarapan dengan tenang. Aroma kopi dan roti yang baru matang dari oven memenuhi hidungku. Tanpa menggubris aktivitas di kafetaria, kami melangkah ke vending machine. Albert mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan. Ia memasukkan sepuluh ribuan pertama dan menekan tombol untuk memilih fanta kalengan dari vending machine. Albert meraih botol yang keluar dari vending machine dan memintaku memeganginya. Satu lembar lagi ia masukkan ke dalam mesin.

"Lo mau apa?" tanyanya tanpa menatapku.

"Vanilla latte," jawabku seadanya. Albert menekan tombol dan satu botol nescafe turun. Seperti sebelumnya, Albert membungkuk dan meraih kaleng nescafe dari dalam mesin dan melemparkannya padaku.

Keluar dari kafetaria, Albert memibimbingku keluar dari penjara. Kami berjalan keluar penjara, melewati hutan kecil yang membatasinya hingga sampai ke tepian tebing. Albert berdiri menghadap laut lepas, membiarkan angin beraroma garam menerpa wajahnya. Aku berdiri di sisinya, ikut memandang laut yang bergelora dengan tenang. Sinar matahari menyengat di atas kami. Membuka botol minum pemberiannya, aku menarik napas dalam-dalam.

"Nggak ada tempat yang bener-bener aman di pulau ini." Albert angkat suara. "Tapi seenggaknya di sini, kalau lo berbalik, munggungin pohon satu itu, gerakan bibir lo nggak akan kebaca." Pikiranku lantas melayang ke kumpulan pepohonan di belakang kami, namun tdak menoleh.

"Lo lagi nyari sesuatu ya kan?" Aku bertanya. Albert tidak menjawab. "Apa tujuan lo?"

Diam untuk beberapa saat yang terasa seperti selamanya. "Ada seseorang ...." Ia menjeda. "Ada seseorang yang harus gue tolong."

Kurang. Jawabannya masih kurang spesifik. "Mau apa lo kalau sampai ketemu dia?" Aku meneguk kopi dan langsung mengernyit.

Rasa kopinya aneh banget! Padahal ini merk dan rasa favoritku. Apa kopi ini sudah kadaluwarsa? Melirik Albert dan merasa tak enak hati kalau membuang pemberiannya, aku meneguk kopi tak enak ini lagi, meski harus memberengut kesal setiap kali rasanya yang aneh dan tak jelas membasahi kerongkonganku.

"Gue nggak bisa jawab." Aku baru akan bicara ketika Albert menambahkan. "Gue bisa membahayakan lebih dari satu nyawa kalau ngomong sembarangan. Lo emang bukan orang sembarangan tapi..." Lagi-lagi ia menjeda. "Gue belum bisa kasih tau. Maaf."

Ternyata percuma.

"Kenapa lo mendadak nanyain?" Albert bertanya lagi. Matanya kini memandang langit biru. "Kenapa lo mendadak minta privasi dan ngajak ngomong?" Kurasakan lirikannya membakar wajahku. "Apa ada sesuatu?"

Aku balas meliriknya, melihat tatapan mata tajam Albert baik-baik. Dulu ketika pertama kali mengenalnya, aku hanya beranggapan bahwa cara pandang mata itu tidak istimewa: datar tanpa mengandung emosi apapun di dalamnya. Namun kini, sorot aneh itu muncul di sana, sorot tajam seseorang yang sudah menelan banyak sekali asam garam kehidupan, sorot serupa yang dimiliki pak Riza dan pak Darius, tapi milik Albert kelihatan jauh lebih ... tua. Baiklah, sekarang aku melihatnya seperti orang tua yang sedang mencoba melihat kebohonganku.

Menakutkan.

"Kalau gue bilang ... gue punya info soal apa yang lo cari ... apa jawaban lo?" Aku bertanya dengan hati-hati.

Tidak ada yang berubah dari cara pandang Albert padaku. Namun kemudian pemuda itu kembali memandang laut lepas. "Dia di sini ya?" Bagaimana dia melakukannya? Apa tadi wajahku memampang jawabannya dengan jelas? "Jawaban buat pertanyaan lo itu ... sori, gue nggak akan ambil risiko. Dan lo sebaiknya juga begitu."

Apa telingaku tidak salah dengar? Albert baru saja mengancamku? "Apa maksud lo?"

"Kita ada di kandang singa." Albert meneguk minumannya dalam satu tegukan panjang dan meremas kalengnya hingga tak berbentuk dalam sekali percobaan. "Nasib kita bergantung sama semua tindakan dan ucapan kita."

Kemudian Albert melempar jauh-jauh kaleng minumannya ke laut lepas.

***

Sudah satu minggu di Taraksa dan teman bicaraku hanya puluhan sms tak penting yang dikirimkan Nara. Beruntunglah ada banyak pemancar di sini jadi sinyal di sini tak jelek-jelek amat, kecuali sengaja dihalangi tentu saja. Siang itu, untuk kesekian kalinya aku menerima sms dari aruna satu itu.

Gilang: Ada masalah?

Eh, buset! Cowok satu ini cenayang ya?

Kok tw?

Gilang: Kamu terlalu banyak memakai singkatan. Ada masalah apa?

Setelah kuteliti lagi, ternyata memang benar. Aku terlalu banyak memakai singkatan. Baru saja aku akan mengetik balasannya ketika terdapat panggilan masuk dari nomor pribadi.

"Halo?" sapaku pada siapapun yang ada di ujung sambungan sana, meski aku sudah tahu siapa itu.

"Mau cerita?" Entah kenapa, hanya dengan mendengar suaranya ini, sedikit bebanku menguap. "Aku mungkin bukan orang yang ahli memberi saran, tapi setidaknya—

"Thanks," Aku menukas, teringat bahwa mungkin saja percakapan kami disadap. Pesan singkat pun kemungkinan besar juga disadap, makanya aku tidak pernah memberitahukan hal-hal penting padanya, termasuk apa yang ditunjukkan padaku di bawah tanah Taraksa ini. Aku tak bisa mengungkapkan apapun kepadanya kecuali beberapa hal penting. Mungkin dengan begitu kegelisahan dalam nada suaranya bisa berkurang sedikit. "Nggak banyak masalah kok."

"Pernyataanmu kontradiktif."

Sial. Tadi aku kan mengaku sedang punya masalah. Terkutuklah kejujuran sialan di depan Nara ini! "Nggak gawat banget oke? Cuma kecapekan."

"Apa ini soal penyerangan-penyerangan oleh makhluk misterius itu?" Nara bertanya dengan nada kecemasan yang tak berkurang dari suaranya.

Ah ya. Aku mendengar kasus itu di TV. Berita itu sedang ramai. Ada penyerangan-penyerangan dan pengrusakan pada malam hari yang dilakukan oleh sekelompok makhluk misterius. Kesaksian orang-orang yang menyaksikannya simpang siur dan samar, tapi jika aku menarik benang merah dari beberapa pernyataan dari saksi: cepat, mirip binatang buas, meraung, dan mirip aruna, sepertinya aku bisa menyimpulkan.

Sampai saat ini baru ada korban terluka. Belum ada korban tewas. Dari pihak manusia maupun aruna. Semoga saja tidak akan pernah ada.

Pak Riza serius dengan ucapannya. Aku baru tahu kalau rencana pemusnahan ini sudah dilakukan diam-diam.

"Bukan," Aku menepis dengan gugup, sadar aku telah mendiamkan Nara terlalu lama. "Sebenernya kayaknya seru buat cari tau soal makhluk nggak jelas begitu, tapi..."

"Tapi?" Terdengar nada menuntut di ujung sambungan, menyadarkanku bahwa telepon ini masih tersambung.

"Tapi gue nggak lagi di lapangan. Gue jadi satpam yang kerjaannya ngeronda setiap malem," Aku berseloroh.

"Selelah itukah? Apa ada yang mengacau?" Sekarang Nara bernada senyum. Pertanda bagus.

"Jangan sampai, kalau nggak leher gue taruhannya. Nggak lucu banget jadinya kalau gue masuk koran sebagai sipir yang ceroboh waktu jaga malam."

Diam selama sedetik. Aku sempat bertanya-tanya sebelum tertegun sendiri menyadari kesalahanku. Seribu sial.

"Sipir?" Terdengar nada mendesis mengancam dari ujung sambungan. Uh-oh. Mulutku sepertinya sudah kelewat batas. "Taraksa." Dan itu bukan pertanyaan. Nara sudah menduganya. Sepertinya dia tahu kejadian menghebohkan di Taraksa itu.

"Ya ... gitu deh."

"Keberatan kalau aku menyuruhmu keluar dari sana detik ini juga?"

"Banget!" Tanpa sadar aku memekik marah, mengundang berpasang-pasang mata heran yang mendelik padaku. Buru-buru aku berdeham, memulihkan suasana. "Lo jangan seenaknya dong!" Desisan keluar dari mulutku. "Lo kata ini penjara nenek moyang lo?"

"Tidak." Nara menolak. "Itu penjara yang ... buruk untukmu."

Serius, sekarang aku bingung harus senang ataukah harus marah karena bisa terhubung dengan Nara, tidak langsung putus komunikasi seperti dulu kami berpisah dengan cara yang tidak baik.

"Yeah ...." Maksudnya pasti Maraditya. "Nggak terlalu kerasa juga kok sekarang."

Maraditya. Nama itu bergema berulang kali di dalam kepalaku. Sejak penyerangannya ke markas utama K3, aruna itu tidak terdengar lagi kabarnya. Dia kabur, Zen membiarkannya kabur.

Zen. Bagaimana juga kabar aruna itu sekarang? Setelah ditetapkan menjadi buronan, aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya ataupun ... Ratna.

Mendadak saja kenangan tentang masa-masa damai di akademi yang terasa sangt jauh itu menari-nari di dalam kepalaku: masa-masa normal seorang remaja putri yang dikelilingi aktivitas sekolah, teman yang bisa diajak bercanda, kehidupan asrama, aksi bullying di sekolah, hingga ....

Wajah Nara sebagai staff kebersihan singgah di benakku, menghangatkan wajahku hingga beberapa derajat panasnya. Sungguh, rasanya sudah lama sekali masa itu berlalu, padahal kenyataannya baru tahun lalu.

Jika dipikir, memang sudah banyak yang terjadi sejak masuk ke akademi itu. Pada awalnya, itu hanya sebuah kesalahan dalam misi, kegagalan yang membawaku ke akademi, membawaku ke kehidupan sekolah seorang remaja normal yang dipenuhi teman, aktivitas sekolah yang ringan tanpa beban apapun, repotnya harus mempersiapkan diri menjelang ujian, hingga ... masalah konyol soal jatuh hati pada seseorang. Dalam kasusku, kekonyolan itu meningkat dua kali lipatnya karena aku jatuh hati pada seorang staff kebersihan.

Yah, staff kebersihan yang ternyata aruna terkuat yang juga majikan yang kucari-cari selama bertahun-tahun untuk kubunuh.

"Eka?"

Terkesiap, buru-buru aku kembali ke kenyataan. "Ya, ya, gue di sini," jawabku agak tergagap. "Maaf, lagi banyak pikiran."

"Sudah kubilang sebaiknya kamu—

"Bukan, bukan soal itu!" Aku menampik dengan jengkel. Mengherankan bagaimana ku bisa berpikir yang baik-baik soal orang ini dan lupa soal betapa dia bisa menjadi orang paling menjengkelkan di alam semesta. "Gue cuma mikir ... udah banyak yang ... terjadi."

"Maksudmu?" Nara terdengar heran di ujung sambungan sana.

Menyadari betapa konyol semua pikiran ini, aku tak bisa menahan diri untuk tidak tergelak. "Maksud gue, yah udah banyak aja kejadian yang gue lewatin. Gue sampe nggak sadar, kalau tahun lalu gue masih hidup buat bunuh lo."

Nara tidak menanggapi di ujung sambungan, tapi aku tahu dia mendengarkan.

"Gue masih nggak terima kalau gue jadi budak lo dan ... masih ngira kalau lo yang bunuh orang tua gue, terus gue masuk ke Komite, bikin misi berantakan, dan masuk akademi, terus ketemu lo pagi-pagi. Rasanya udah lama banget ya?"

"Ya," Nara menanggapi dengan nada senyum di ujung lain sambungan. "Aku tidak akan pernah lupa. Kamu manis dalam seragam sekolah."

"Tapi gue masih nggak terima sama kelakuan lo di Jakarta, sumpah," Aku menggerutu.

"Oh, tapi aku bersedia mengulanginya lagi jika kamu mau." Nara mengeluarkan nada jahilnya.

Aku memutr bola mata, malas meneruskan omongan yang sepertinya hanya akan berujung perdebatan. Menghela napas, aku kembali meneruskan obrolan dengan cara baik-baik. "Ada banyak yang terjadi setelah itu. Gue tau siapa lo sebenernya dan tau bahwa lo bukan yang bunuh orang tua gue. Setelah itu hubungan kita ... jadi nggak enak, tapi lo terus lindungin gue mati-matian."

Diam. Aku menjauhkan telepon dan mengecek, takut-takut Nara mematikan sambungan di tengah ocehan panjangku ini, tapi ternyata tidak. Sambungan masih menyala.

"Eka?" Terdengar suara Nara. Ia terdengar khawatir.

"Apa?"

"Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan masa lalu?"

Kenapa? Ah ya, aku juga penasaran. Kenapa tiba-tiba aku teringat banyak hal? Kenapa aku teringat pada masa lalu yang tidak penting? Kenapa aku tiba-tiba jadi asyik membicarakan masa-masa yang tidak akan bisa diputar kembali?

"Nggak tau. Pengen aja," jawabku asal, lantas tertawa. "Mungkin karena nggak ada temen ngobrol di sini dan di sini bawaannya mau nostalgia mulu."

Sebenarnya kumaksudkan itu sebagai bahan candaan, tapi sepertinya aku sudah salah bicara. Nara jelas khawatir karena tempat ini punya kenangan buruk terhadapku, tapi tadi aku malah bilang tempat ini membuatku bernostalgia. Bukankah itu artinya aku membuktikan bahwa kekhawatirannya ternyata benar?

Tapi Nara tidak memberi jawaban apapun. Hanya diam di ujung lain sambungan. Oke, ganti topik. Ganti topik.

Lalu aku teringat pembicaraanku dengan Albert, serta apa yang sudah ditunjukkan Elis dan Anggi di lapisan bawah.

Klaus, tubuh tanpa kepala dari spesies langka paling tua, jika kuhubungkan, dua benda itu punya usia yang lumayan panjang. Nara kan Pelintas Zaman, mungkin dia tahu tentang dua benda itu. Tapi aku tidak mungkin membicarakannya di saluran yang mungkin akan disadap. Aku juga tidak mungkin bilang ingin bertemu dan membicarakan sesuatu, itu malah kedengaran semakin mencurigakan.

Lalu aku harus apa? Ah sudahlah, akhiri saja. Nanti setelah keluar dari pulau ini, baru bicarakan dengannya. Ya, aku harus catat itu di kepala.

Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan Nara setelah tugas jaga di Taraksa selesai.

"Eh, sori, ada yang manggil, udah dulu ya. Bye!" Jariku langsung menekan tombol eject dan menekannya lama untuk mematikan ponsel. Astaga, tadi itu kedengaran sekali aku memutus sambungan dengan sengaja. Aku kedengaran seperti orang yang berusaha lari dari Nara.

Ah sudahlah, setelah ini akan kutebus semuanya, kok. Masih ada hari esok. Aku masih bisa bertemu Nara lain kali, tidak perlu khawatir hanya karena mengakhiri satu percakapan dengan cara yang tidak baik.

***

Aku menghela napas di hadapan tabung kaca Klaus. Sudah beberapa menit sejak aku memutuskan untuk datang ke sini lagi malam ini. Aku masih belum puas. Ada sesuatu seperti missing link yang masih belum terhubung ke logika otakku kemarin.

Kutatap Klaus yang masih memejamkan mata di dalam tabung dan kabel-kabel darah yang tersambung ke tubuhnya. Gelembung-gelembung udara kecil terpantau naik di dalam selang berwarna merah gelap, pertanda darahnya sedang diambil. Di selang-selang lain yang terhubung padanya, terdapat cairan berwarna putih berkilau yang mengalir turun menuju pembuluh darah di beberapa titik tubuhnya.

Perak cair.

Selain darahnya diambil, rupanya dia juga disuntikkan perak cair. Wajar saja aruna ini tetap dalam kondisi koma.

Kemudian gelembung-gelembung udara itu berhenti.

Sempat mengecek apa terjadi kesalahan mesin, tiba-tiba saja selang-selang lain, dengan warna merah terang, bergerak. Di dalam selang jernih itu, gelembung-gelembung udara kecil turun, pertanda darah sedang disuplai masuk.

Seketika terjadi perubahan pada tubuh itu.

Rambut putihnya perlahan menghitam, wajah tirusnya perlahan berisi seolah ada yang meniupkan angin ke dalam tubuhnya, pucat kulitnya pelan-pelan mulai luntur dan menunjukkan warna kehidupan. Darah sedang disuplai masuk ke dalam tubuhnya. Seperti sapi perah. Ironis sekali aruna terkuat bisa jadi dalam keadaan menyedihkan seperti sekarang ini.

Mataku memicing heran. Ada yang aneh.

Tiba-tiba saja aruna itu tampak lebih tinggi, sementara tubuhku mengecil. Aku mendongak menatapnya. Di sampingku, berdiri menjulang kak Yuda yang memandang lekat-lekat tabung kaca tempat Klaus berada.

"Nama itu penting buat mereka. Kalau kamu tau nama sejati mereka, kamu bisa nyuruh-nyuruh mereka apa aja." Mata kak Yuda mengernyit dari balik kaca matanya dan menoleh padaku. "Ya, bener. Termasuk bantu-bantu bersih kamar kamu." Ia kembali menatap tabung itu. "Makanya, lebih baik orang-orang tau dia sebagai SE-132056 daripada nama aslinya. Itu lebih baik buat dirinya sendiri."

"Tapi namamu juga nggak kalah penting."

Aku kembali ke kenyataan dan Klaus tak tampak terlalu tinggi lagi.

Kilasan lagi. Sekali lagi kilasan yang tidak aku tahu kapan terjadinya. Kilasan yang tampak begitu nyata ... dan mungkin memang nyata. Mungkin memang pernah terjadi.

Nama sejati, dua kata itu bergaung di dalam telingaku. Kak Yuda membahas nama sejati para aruna, betapa pentingnya nama sejati bagi para aruna.

Sekarang coba kucerna apa saja yang pak Riza bilang kemarin. Pak Riza bilang Klaus menyerahkan diri secara sukarela kepada kami, menyuplai darah kepadanya setiap dua kali selama seminggu, dan menggunakan darah Klaus untuk membuat prajurit kuat dan darah spesies langka di dalam sana untuk membuat... senjata.

Senjata ... agatya, para perintih di bawah sana. Pak Riza pernah bilang para perintih sebagai senjata untuk memusnahkan semua aruna. Jadi bisa disimpulkan, senjata yang dimaksud pak Riza adalah mereka. Tapi... bagaimana bisa darah spesies langka menciptakan makhluk-makhluk mengerikan itu? Oke, itu bisa ditanyakan lain waktu.

Lalu prajurit-prajurit kuat... dengan darah Klaus... apa maksudnya? Apa kami diam-diam membuat prajurit aruna original yang memihak manusia?

"Aku kasihan padanya."

Sekali lagi tubuh Klaus tampak lebih tinggi dariku. Tubuh aruna itu tampak hampir sempurna. Rambutnya sudah menghitam seluruhnya dan rona wajah sudah kembali ke pipinya yang penuh, tidak tirus seperti sebelumnya. Namun tetap saja matanya terpejam.

"Aku kasihan tapi tidak bisa menolongnya." Kak Yuda terus memandangi tabung kaca itu. Empati tulus terukir dalam-dalam di wajahnya. Kekaguman merekah di dadaku. Setiap kali kak Yuda menampakkan emosi kuat, aku tidak pernah bisa berhenti untuk kagum. "Tapi kamu bisa. Kamu mau nolong dia?" Melihat senyum kak Yuda yang kemudian terkembang, aku tahu jawabanku pastilah 'ya'. "Bagus. Ayo!"

Di sebelahku, kak Yuda berjalan ke salah satu sisi dinding di dalam ruangan yang sama dengan ruangan Klaus. Aku tidak mengerti kenapa kak Yuda berjalan ke arah dinding sebelah sana, mengingat lift berada di arah sebaliknya. Namun ia terus berjalan dengan yakin, seakan memang itulah jalan yang benar. Dia menoleh kepadaku yang berjalan di belakangnya seraya tersenyum.

"Ini kamar pribadiku." Kak Yuda menyentuh salah satu bagian kosong di dinding. Ajaibnya, dinding itu terbuka sedikit, menunjukkan tombol-tombol rahasia seperti tombol di pintu masuk ke sini. Kak Yuda menekan kombinasi tombol, membiarkanku melihat kodenya dengan jelas.

Dinding itu terbuka. Kak Yuda masuk ke dalamnya. Aku menyusul di belakang dan pintu itu pun menutup lagi di belakang kami. Kak Yuda menunjukkan padaku ruang sempit penuh layar dan monitor kecil dengan gambar yang berbeda-beda. Masing-masing gambar itu bergerak dan tahulah aku bahwa itu adalah video. Ada kursi putar di depan layar-layar itu. Kakakku menggendong tubuh mungilku dengan mudah, menaruh tubuhku duduk di kursi putar itu sementara dia berdiri di sisiku. Bersama, kami memerhatikan semua video itu. Semuanya berisi orang-orang yang berbeda.

Aku diempas kembali ke kenyataan. Kepalaku langsung menoleh ke arah sebaliknya dari lift berada: ke dinding yang ditampilkan dalam kilas balikku tadi. Dinding ini seharusnya kosong. Di sini bukan tempat menaruh sang spesies langka maupun lift, tapi menurut kilas balikku, ada sesuatu yang disembunyikan kak Yuda di sini.

Pelan-pelan, aku melangkah menuju dinding itu, mencari sisi dinding yang sama dengan yang ditekan kak Yuda. Butuh beberapa lama bagiku untuk mencari sampai menemukan satu sisi dinding yang terasa empuk dan melejit ke dalam.

Tombol tersembunyi.

Aku menekan tombol itu dan panel yang sama dengan yang kilas balik itu tunjukkan, terbuka. Tombol-tombol rahasia itu benar-benar ada. Aku menekan dua belas angka kombinasi untuk membuka pintu rahasia di balik dinding ini. Kombinasi angka itu keluar begitu saja saat jari jemariku menyentuh tombol-tombol angka itu.

Kudiamkan kedua belas angka itu di layar selama tiga detik sampai hilang. Lampu merah di dekat layar berubah menjadi hijau dan pintu tersembunyi itu pun terbuka. Aku tidak tahu apa namanya waktu itu. Tapi kini aku tahu apa sebutan untuk ruangan yang disebut kak Yuda sebagai kamar pribadi ini.

Ruang kendali rahasia.

***

Catatan Pengarang:

Bagaimana chap yang panjang ini? Maaf isinya lagi-lagi cuma ngomong dan ngomong. Siapa yang excited untuk chap depan?

Me! Me! Me! Karena bakal ada sesuatu yang terjadi di chap depan. Saya nggak bisa banyak berkata-kata selain bilang Tunggu aja ya.

Akhir kata, saya tunggu vote dan komennya.

-

39. Video

-

Pokoknya ih wow deh besok. Buat saya sih hehehe



Continue Reading

You'll Also Like

83K 16.9K 46
Wattys winner 2021 🏆 (4 Desember 2021) Daftar Pendek Wattys 2021 (1 November 2021) Elijah dan para tawanan perang Kerajaan Avery diasingkan menuju s...
555K 40.9K 48
[ BUKU SATU ] Completed ☑ Entah bisa dikatakan sebagai sebuah kesialan atau bukan, empat remaja terperangkap di sebuah hutan yang tidak terdata di...
677K 76.4K 25
[Paranormal & (Minor)Romance] Yume, seorang gadis indigo yang tidak pernah menyukai bakat dari garis keturunan ayahnya, tiba-tiba saja mengetah...
1.3M 114K 33
Ares, mantan Dewa Perang dan juga seorang Titan yang berasal dari Planet lain, berkunjung kembali ke Bumi untuk kekasihnya. Namun ternyata mereka buk...