Blood and Faith

بواسطة diahsulis

63.6K 8.3K 2K

[WARNING: YOUNG ADULT FICTION! Anak-anak di bawah 18+ harap menyingkir] [ARUNA SERIES #2] Komite Keamanan K... المزيد

Prolog
1. Misi
2. Trio
3. Kisah-Kisah Seram
4. Jebakan
5. Lembaga Penyalur
6. Ratna: The Unexpected
7. Gadis itu Bernama Chandra
8. Nara: Di Luar Rencana
9. Ratna: Go or Gone
10. Nara: Sidang
11. Nara: Kenangan yang Ingin Dilupakan
12. Ratna: Rejection
13. Anomali
14. Maraditya: Sesuatu yang Disebut Ikatan
15. Penataran
16. Buku Pegangan
17. Diserang dan Menyerang
18. Iblis Merah
19. Musuh dalam Selimut
20. Mengejar Buronan
21. Ratna: Boiling Rage
22. Spesies Langka
23. Kekecewaan
24. Permainan
25. Nara: Istirahat
26. Perselisihan
27. Kebebasan
28. Permintaan
29. Alasan Bertarung
30. Tidak Punya Pilihan
31. Final Jayasrata
32. Waktu untuk Bicara
33. Nara: Mereka yang Mulai Bergerak
34. Pesta Penutupan
35. Kelompok Berbahaya
36. Produk Gagal
38. Mutasi
39. Taraksa
40. Di Balik Layar
41. Ruang Kendali
[Sekilas Promo] Lazarus Chest
42. Video
43. Kenyataan yang Pahit
44. Bertarung Sampai Akhir
[Epilog] Nara: Mereka yang Pergi
[Fun Fact]
[Special Chap 1] Evan: Seseorang yang Berharga

37. Agenda Terselubung

897 150 40
بواسطة diahsulis


Satu hal yang perlu aku ketahui ketika berburu aruna adalah jangan membelakangi arah angin. Berdiri di posisi yang salah dapat membuat angin membawa aroma tubuhku dengan mudah ke hidung para pemangsa itu.

Seperti yang aku dan Albert lakukan kali ini.

Di balik kolom yang menjulang di lantai tiga, kami berdua bersembunyi mengamati pergerakan di sekitar, di kanan, kiri, depan, belakang, maupun atas dan bawah. Aneh tapi nyata, gedung ini sudah sangat sepi ketika kami tiba.

Maksudku sepi dari aruna. Jika sepi dari mayat dan darah, gedung ini jauh dari kata sepi. Banyak potongan tubuh, tulang belulang, darah, dan organ-organ tubuh berceceran di sepanjang jalan, baik yang lama maupun yang masih segar. Dari semua mayat dan semua anggota tubuh utuh segar yang kami temui di jalan, semuanya milik manusia, tepatnya anggota K3. Bukan milik aruna. Artinya pasukan kami dibantai habis, tapi mereka masih utuh. Itu berarti seharusnya kami menemui setidaknya satu aruna di sepanjang jalan.

Kenyataannya tidak ada satupun yang kami temui.

Dengan mudah, aku dan Albert lewat jalur belakang dan berhasil mencapai lantai tiga tanpa halangan apapun. Itu bagus, mengingat kami tidak boleh membunuh aruna satupun di sini demi menghindari bau darah yang akan dicium oleh hidung-hidung super para aruna itu.

Pertanyaannya sekarang, kenapa tidak ada aruna sama sekali di jalan kami?

Jawaban datang dengan sendirinya ketika kami mengintip dari balik kolom.

Satu lantai di bawah kami, para anggota kelompok Evan berkumpul, bersama para anggota berseragam dinas K3. Mataku menyipit curiga. Beberapa dari pasukan di bawah sana, tak kulihat berada di dalam pasukan yang ditugaskan hari ini. Mataku membulat lebar-lebar melihat Anggi dan Elis ikut ada di bawah sana. Visiku bergerak liar ke seluruh orang di bawah sana dan mendapat satu kesimpulan mencengangkan.

Semua ranking S datang ke tempat ini?

Aku dan Albert bertatapan selama sedetik, berbagi keterkejutan dan keheranan yang sama sebelum menatap ke bawah lagi. Keheranan di dalam diriku semakin bertumpuk melihat Bella dan aruna bernama Arka itu sedang dijegal. Kedua tangan mereka dirantai dengan belenggu yang kuhapal terbuat dari perak murni dengan banyak duri kecil hematit di lingkaran dalamnya. Tidak hanya itu, tubuh mereka berdua ditancapi beberapa pedang dan tombak besi perak dan hematit yang semakin melemahkan mereka berdua.

Banyak mayat aruna bergelimpangan tak bergerak di sekitar mereka berdua, kontras dengan pemandangan yang kami lalui tadi. Sepasang aruna itu jelas tidak menyukai keadaan ini. Keduanya menatap benci ke arah satu pria, yang berdiri menjulang di hadapan mereka dengan kepala terangkat tinggi-tinggi penuh keangkuhan. Dia berseragam dinas Komite Keamanan Khusus sama seperti kami.

Siapa pria itu? Wajahnya tampak tak asing, tapi... aku tidak mengenalnya. Kenapa dia berada bersama para ranking S? Kemana pak Indra?

"Bagaimana kesepakatan yang kami tawarkan tadi? Itu win-win solution bukan?" Pria itu menawarkan. Ah sial, sepertinya kami sudah ketinggalan bagian penting.

Diam-diam, aku meraih kotak perekam video kecil yang ada di tas pinggang. Kunyalakan tombol rekam, berharap mendapat suara yang jelas di tengah kesunyian dan jarak rekam yang lumayan bagus ini. Kunyalakan tombol rekam. Untungnya sudut perekaman menangkap gerakan mulut mereka dengan jelas.

"Aku tidak membuat kesepakatan dengan manusia." Arka menjawab dengan keras kepala.

"Atau kamu kehilangan semua keluargamu di sini," Pria bersuara bass itu melanjutkan lagi.

"Keluarga?" Arka menyeringai keji, tapi bisa kulihat itu hanya kamuflase. Dia hanya menggertak. "Mereka sama sekali tak kuanggap sebagai keluarga. Mereka semua ini hanya pion yang kumanfaatkan."

"Usaha yang bagus." Pria misterius itu mengangkat tangan dan memberi isyarat entah pada siapa.

Fokusku beralih ke tempat lain, ke arah Bella sedang ditawan. Salah satu penawan memotong tangan aruna betina itu tanpa ragu. Bella tidak menjerit, tidak meringis, tidak pula tampak kesakitan, singkat kata, ia tampak tenang. Berbeda dengan Arka. Sang wakil ketua memberikan reaksi yang berlawanan dengan pernyataannya sebelum ini. Pejantan itu jelas-jelas murka dan berusaha keras melepaskan diri saat tangan Bella terpotong, meski setelahnya tangan itu tumbuh lagi dalam keadaan mulus.

"Kami punya banyak cara untuk menghadapi kepala batu kalian," Ia berujar. "Percayalah, kalian pasti akan bicara cepat atau lambat, karena kami tau metode paling efektif untuk buat kalian bicara dan nggak akan segan menggunakannya pelan-pelan sampai kalian memohon untuk mati."

Arka kelihatan sangat tidak suka ide ini, tapi selayaknya binatang terluka dalam kurungan, ia tidak berkata apa-apa. Jika ada di posisinya pun aku akan kehabisan kata-kata juga. Jumlah di bawah sana bukan jumlah seluruh ranking S. Dilihat dari kepercayaan diri yang tinggi dari pria yang bertingkah laku bak pimpinan operasi itu (aku masih bertanya-tanya ke mana gerangan pak indra pergi) ada kemungkinan beliau menyembunyikan lebih banyak lagi ranking S di gedung ini untuk melaksanakan ancamannya tadi. Dan komandan operasi itu tampak puas melihat reaksi Arka yang sudah diduga.

"Karena ketua kalian tidak ada di sini, kurasa kepemimpinan jatuh kepadamu, bukan?" Pria itu mendekati Arka yang tak berkutik. "Aku memberimu pilihan bagus. Kamu tinggal menjadi kaki tangan kami dan akan kami berikan apa yang kamu mau. Kami cuma meminta pengabdianmu sebagai imbalan."

"Apa yang aku mau?" Arka meludahkan darah dari mulutnya ke sepatu pria tinggi itu. Ia mendongak menantang komandan itu. "Memangnya apa yang kalian tahu soal apa yang aku mau?"

"Kami memiliki itu," Entah apa maksudnya 'itu' ini sampai mata Arka membelalak lebar begitu. "Kami memiliki hampir semua bagiannya, kecuali satu. Kami akan mencari pecahan yang terakhir dan kamu bisa membalaskan dendammu yang kekanak-kanakan itu."

Arka mengernyit skeptis.

"Apa?" Ia berujar dengan wajah lugu yang dipaksakan. "Kamu bingung kenapa kami tahu begitu banyak? Nak, telinga kami ada di mana-mana."

"Jangan panggil aku 'nak', Manusia! Umurmu tidak sampai separuh umurku!" geram Arka.

"Baiklah, kalau itu masih belum cukup juga, kami juga punya senjata untukmu mencapai tujuanmu. Kami akan berikan senjata itu secara cuma-cuma," Pria itu menambahkan. "Yah, lagipula senjata itu hanya sekali pakai, jadi kalau tujuanmu sudah selesai, senjata itu bisa kamu hancurkan sekalian. Bagaimana? Kurang murah hati apalagi kesepakatan ini?"

Terlihat Arka berusaha berpikir. Ia melirik Bella yang masih tak bergerak, lalu menatap lagi ke pria angkuh di hadapannya. Sorot benci itu masih ada di sana ketika mulutnya bersuara.

"Sepakat."

Sesaat setelah kata-kata itu keluar, rantai yang membelenggu mereka berdua dilepaskan. Beberapa ranking S menghampiri mereka berdua, termasuk Anggi dan Elis, mencabut pedang dan tombak yang menancap di tubuh kedua aruna itu sebelum pergi mencampakkan mereka berdua yang langsung jatuh terbaring di tanah. Aku berhenti merekam dan memasukkan rekaman itu ke tas pinggang lagi dengan berbagai perasaan berkecamuk.

Ini tak ada dalam agenda misi. Tujuan misi kali ini, seperti yang sudah kubaca berkali-kali, adalah untuk memusnahkan kelompok Evan. Tidak ada agenda bekerja sama dengan mereka dalam bentuk apapun. Selain itu, kapan para anggota ranking S itu datang?

Ada yang tiak beres.

Kami dimusnahkan di luar gedung, pusat komando yang tidak menyahut bala bantuan, mungkinkah keberadaan semua ranking C yang ditugaskan di luar sana dan menjadi korban, hanya sebagai pengalih perhatian agar semua ranking S itu bisa menyusup masuk ke sini?

Kalau ya, semua ini benar-benar busuk.

Setelah langkah para anggota pasukan K3 itu sudah tak terdengar lagi, Bella bangkit lebih dulu dari Arka dan langsung menghampiri sang wakil ketua dengan murka, tak mengindahkan luka-lukanya sendiri yang belum pulih.

"Apa yang kamu lakukan? Kamu membuat keputusan tanpa bertanya lebih dulu pada Evan, Arka!" Bella membentak. Aksen Prancis kembali muncul dalam suaranya. "Kalau sampai Evan tahu, kita semua akan—

"Evan tidak ada di sini!" Arka membentak. Matanya menatap Bella nyalang. "Selama Evan tidak ada, aku yang memegang kendali penuh! Apa kamu lupa itu?"

"Kalian berdua menikmati pertunjukannya?"

Bisikan itu datang tanpa peringatan, pelan bagai bisikan dari alam lain, dan terbang langsung ke telingaku dari jarak yang sangat dekat. Aku menoleh, hanya untuk dibenturkan kembali ke dinding pilar. Hal yang sama juga terjadi pada Albert. Lewat tatapan mata, aku tahu isyarat yang ia berikan: Bahaya.

Tanpa perlu menoleh, aku yakin Evan-lah yang berada di belakang kami.

"Keluar."

Selama sedetik, aku hanya bengong. Ekspresi tertegun yang sama tampak terpatri di wajah Albert. Kami berdua shock berat. Tangan yang menekan wajah kami ke dinding dengan cepat terangkat, secepat tangan itu menekan kepala kami tadi. Tekanan dari tenaga luar biasa kuat itu tidak terasa lagi.

Aku berbalik ke belakang, mendongak menatap seorang pemuda berpenampilan tak lebih tua dari Nara, berambut hitam lurus yang mulai panjang dengan sejumput rambut berwarna putih di belahan kiri rambutnya. Irisnya yang berubah merah perlahan menjadi peringatan keras di benakku.

"Aku. Bilang. Keluar."

Pelototan Evan menyentakku dari momen tablo itu. Albert mengangguk dan kami pun melesat dari sana secepat angin. Kami melompat keluar dari lantai tiga gedung itu dan mendarat tanpa suara di tanah. Tanpa buang waktu, kami berdua melesat pergi sebelum ada produk gagal lain yang berpikiran iseng untuk menyambar leher kami.

Sesaat sebelum terlalu jauh, aku mendengar suara pekikan selantang halilintar.

"Apa maksud semua ini?!"

Itu suara Evan. Cukup mengerikan mendengar suara yang begitu pekat oleh kemarahan dari orang yang bahkan tak bisa kurasakan kedatangannya. Tidak terbayang bagaimana ekspresi mereka yang harus berhadapan langsung dengan amarah seorang elder. Aku bahkan tidak pernah membuat Nara membentak sekeras itu, yah... menampar memang pernah, dan rasa sakitnya sampai sekarang masih membekas, tak peduli seberapa lembut aruna itu mencoba menghapusnya.

Satu pelajaran yang kupetik dari seorang elder, pandai-pandailah menyembunyikan kesalahan jika tak ingin umurmu berkurang separuh.

***

Setelah dirasa cukup aman, kami berdua berhenti. Aku mengecek isi tas pinggang berisi berbagai alat keselamatan standar. Masih ada tiga serum penawar lagi dan empat serum penenang, alat perekam yang kugunakan tadi pun masih ada. Aku mengecek isinya dan merasa puas melihat gerakan mulut mereka terbaca dengan jelas pada rekaman itu. Aku juga merekam pria-entah-siapa itu yang berbicara dengan mereka. Ini akan jadi bukti yang cukup untuk kulaporkan pada pak Riza. Ada sesuatu yang terjadi di dalam lingkungan ranking S dan beliau harus tahu.

Namun jika mengadukan isi rekaman ini, nasibku dan mungkin juga Albert, berada dalam bahaya. Jajaran ranking S Komite pusat bukan sesuatu yang bisa dianggap angin lalu.

Ah bukankah aku pernah berhadapan dengan sesuatu yang sama berbahayanya dengan seluruh pleton ranking S? Bukankah para elder juga sama berbahayanya dengan mereka?

"Lo nggak apa-apa?" Pertanyaan Albert mengembalikanku ke kenyataan. "Ada yang luka?"

Agak terganggu oleh pertanyaannya yang perhatian membuatku agak was-was. Kumasukkan alat perekam itu kembali ke tas pinggang, ke tempatnya yang aman sebelum mengangguk kepada Albert.

"Ya. Mulus-mulus aja kok." Kemudian aku termenung sejenak. "Sekarang apa? Gimana cara kita balik?"

"Banyak mobil." Albert menjawab singkat. "Ada bandara dan pelabuhan juga dekat sini."

"Duitnya?"

"Gue bawa ATM." Benar juga. Aku juga bawa ATM. "Tapi kayaknya kita nggak bakalan bisa numpang kendaraan komersil. Nggak tanpa dikira pembunuh gila."

Itu juga benar. Penampilan kami sekarang benar-benar mengerikan. "Pelabuhan?" usulku. "Numpang ilegal di salah satu kargo?"

"Sepakat."

Kami mulai berjalan menyusuri pepohonan yang semakin jarang di sekitar kami. Matahari sudah sangat tinggi. Seharusnya kami bisa memakai jaulr bawah tanah, tapi karena tadi terlalu ketakutan akan kehadiran Evan, tidak ada satu pun dari kami yang kepikiran untuk menggunakannya. Untuk berbalik lagi juga riskan. Evan tadi menyuruh kami keluar dalam keadaan marah, tidak menutup kemungkinan dia sedang menyisir area sekitar karena menyesal telah membiarkan dua manusia kabur begitu saja.

"Sejak kapan dia ada di belakang kita?" Aku bertanya kepada Albert ketika kami sudah melihat jalan aspal di depan.

"Entah. Gue juga nggak sadar kapan dia ada di belakang," Albert mengakui dengan pahit. "Tapi Evan selalu begitu. Di kalangan aruna sendiri, jarang ada yang bisa ngeduga kapan dia bakal datang. Makanya kelompoknya kuat."

Sekarang aku baru benar-benar mengerti kenapa sulit sekali menumpas mereka. Para ranking S itu menyia-nyiakan kesempatan emas yang mungkin tidak akan datang lagi dan malah mengajak kelompok paling berbahaya di negara ini untuk bekerja sama. Entah untuk tujuan apa. Ini sepertinya bukan masalah kecil. Satu-satunya hal bagus yang terjadi hari ini, Evan sepertinya tidak setuju keputusan Arka.

"Sekarang yang jadi masalah..." Albert berhenti, memberiku tatapan serius. "Apa alibi kita nanti?"

***

Catatan Pengarang:

Update lagi yuhuuu~

Ini sebagai balasan saya karena tidak update selama seminggu ini. Maaf, agak sibuk sama naskah yang ini ono dan proposal yang menunggak. Lappi saya juga rusak jadi harus menunggu perbaikan dulu. Saya ngepos ini di warnet dan kayaknya bakal numpang laptop temen buat posting karena PC di rumah itu PC jadul yang belum. diatur internetnya

Gimana chap singkat kali ini? Kira-kira isi negosiasinya apa ya? Dan gimana penampakan singkat Evan yang lagi murka? Semoga kalian suka karakter Evan. Dia termasuk karakter baru di cerita ini, nggak kolot kayak Eka dan Ratna

Oh ya, apa ada yang kangen Ratna?

Akhir kata, ditunggu vote dan komennya.

-

Next: 35. Mutasi

-

PS: Ini nggak ada kaitannya sama aktivitas biologis kok. -_-



واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

85.3K 8.1K 32
(Sudah Terbit) (The Watty Awards 2019 Horror-Paranormal Winner) Stela Halim, gadis dengan emosi yang tidak biasa, harus melawan paranoidnya...
Through the Dark بواسطة Viko

الخيال (فانتازيا)

33.2K 6K 132
Ribuan tahun yang lalu, dunia dikuasai oleh kaum yang memiliki kekuatan super. Kaum Werewolf, Vampire, Witch, Mermaid, dan Fairy. Di saat keadaan dun...
15.7K 6.8K 35
Buku terakhir dari trilogi The New Girl. Jen harus berhadapan dengan Antoinette, pengendali langka dengan kekuatan yang mengerikan. Di tengah-tengah...
The Sky People (TAMAT) بواسطة NINA

الخيال (فانتازيا)

1.3M 114K 33
Ares, mantan Dewa Perang dan juga seorang Titan yang berasal dari Planet lain, berkunjung kembali ke Bumi untuk kekasihnya. Namun ternyata mereka buk...