Blood and Faith

Door diahsulis

63.6K 8.3K 2K

[WARNING: YOUNG ADULT FICTION! Anak-anak di bawah 18+ harap menyingkir] [ARUNA SERIES #2] Komite Keamanan K... Meer

Prolog
1. Misi
2. Trio
3. Kisah-Kisah Seram
4. Jebakan
5. Lembaga Penyalur
6. Ratna: The Unexpected
7. Gadis itu Bernama Chandra
8. Nara: Di Luar Rencana
9. Ratna: Go or Gone
10. Nara: Sidang
11. Nara: Kenangan yang Ingin Dilupakan
12. Ratna: Rejection
13. Anomali
14. Maraditya: Sesuatu yang Disebut Ikatan
15. Penataran
16. Buku Pegangan
17. Diserang dan Menyerang
18. Iblis Merah
19. Musuh dalam Selimut
20. Mengejar Buronan
21. Ratna: Boiling Rage
22. Spesies Langka
23. Kekecewaan
24. Permainan
25. Nara: Istirahat
26. Perselisihan
27. Kebebasan
28. Permintaan
29. Alasan Bertarung
30. Tidak Punya Pilihan
31. Final Jayasrata
32. Waktu untuk Bicara
33. Nara: Mereka yang Mulai Bergerak
34. Pesta Penutupan
35. Kelompok Berbahaya
37. Agenda Terselubung
38. Mutasi
39. Taraksa
40. Di Balik Layar
41. Ruang Kendali
[Sekilas Promo] Lazarus Chest
42. Video
43. Kenyataan yang Pahit
44. Bertarung Sampai Akhir
[Epilog] Nara: Mereka yang Pergi
[Fun Fact]
[Special Chap 1] Evan: Seseorang yang Berharga

36. Produk Gagal

1K 168 20
Door diahsulis

Setiap dunia punya sisi gelap. Hukum ini berlaku juga bagi kaum aruna yang membanga-banggakan diri sebagai penguasa puncak rantai makanan. Mereka punya sisi gelap dalam kaum yang ditakuti oleh kalangan mereka sendiri.

Produk Gagal, begitu mereka menyebutnya.

Seperti namanya, mereka dicap sebagai keturunan gagal secara biologis. Lahir sebagai pemakan segala—aruna ataupun manusia—mereka dikenal sebagai makhluk dengan rasa lapar yang hanya bisa hilang ketika mereka mengoyak leher mangsanya. Karena sifat liar yang membahayakan dua kaum dan kekuatan serta metabolisme hampir setara elder, produk gagal menjadi musuh bersama manusia dan aruna. Hanya untuk hal ini, kami punya pendapat sama.

Produk gagal bisa berasal dari kelas manapun, namun kebanyakan berasal dari kelas original. Inilah sebabnya, seringkali aruna menghina manusia dengan menyalahkan gen kami. Mereka bilang gen kami rusak dan menyalahkan manusia atas banyaknya produk gagal yang lahir pascaperang.

Melihat dari kebalnya pemuda satu ini dan pejantan yang kubunuh tadi dari sinar matahari, besar kemungkinan mereka berasal dari kelas original. Artinya kami tidak perlu was-was dia akan berubah ke fase peralihan dan menginfeksi seseorang yang bukan imun di sini.

"Sejujurnya, ya," Aku menatap pejantan kurang ajar yang sudah menyebutku sebagai makanan. "Gue pahit. Lo nggak bakal suka rasa gue."

"Aku tidak berkompromi..." Tahu-tahu saja ia sudah berada di hadapanku, "dengan manusia."

Ujung sepatu bootsnya mendarat dengan mulus di wajahku, mementalkan tubuhku dalam gerakan spiral di udara dan dengan mudah mengempasku terbang jauh. Sebelum terlempar terlalu jauh, dengan cepat, kuulurkan tangan, menjadikan pedangku sebagai tumpuan.

Dan berhenti tepat sebelum ujung runcing salah satu dahan menembus kepalaku.

Nyaris. Benar-benar nyaris.

Aroma rumput muncul di sekitarku. Perlahan, dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya, dedaunan dari berbagai warna serta beberapa ranting dan dahan berukuran kecil, berjatuhan dari langit, menutupi pandangan kami semua. Seperti dihujani dari langit, semua bagian pohon itu berjatuhan menimpa kami. Aku segera menapak ke tanah sambil melindungi kepala dari salah beberapa ranting.

Aku mendongak, kesulitan melihat matahari yang tertutup bayangan anggota badan pepohonan yang berjatuhan.

Bayangan apa itu?

Suara jeritan seseorang terdengar satu kali sebelum akhirnya senyap. Setelahnya, secara berturut-turut terdengar suara cipratan dan suara daging yang dirobek paksa dari tulang belulang, suara ayunan pedang yang diayunkan asal-asalan dalam kegelisahan, dan pekikan manusia yang frustasi dan di ambang kewarasan. Berkali-kali. Dalam jumlah yang semakin lama semakin tak bisa dihitung. Suara itu benar-benar menyayat telinga, tapi jika pergi sembarangan sementara tak tahu sudah terlempar sejauh apa dan berada di tengah tipuan mata begini, nyawa hanya akan terbuang sia-sia.

Bau darah semakin kental seiring semakin sunyinya suasana. Dedaunan yang jatuh banyak ternodai warna merah darah segar. Radio kancing yang aku kenakan secara berganti-ganti memperdengarkan suara-suara jeritan dari berbagai sisi sebelum suara-suara itu akhirnya ditelan sunyi.

Kelompok keparat. Mereka tidak memberiku pilihan lain selain menjaga nyawa sendiri sambil mendengar nyawa-nyawa direnggut di sekitarku satu per satu tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka ingin membuatku tegang dalam kegilaan karena takut giliranku akan segera tiba.

Kerja sama kelompok yang merepotkan!

Aku menekan tombol radio kancing milikku. "Pusat komando, ini regu A, ganti!" Hanya ada dengung statis di ujung lain sambungan. "Pusat komando, ini regu A, kami butuh bantuan dan tim medis, ganti!" Lagi-lagi hanya dengung statis kosong di ujung lain sambungan. Aku mendecih kesal.

"Si tudung merah kecil akhirnya sendirian di hutan..." Terdengar suara tawa di belakangku.

Aku langsung mengarahkan katana ke belakang. Ada seseorang yang menangkap senjataku. Bunyi desis terdengar. Aku pun menoleh.

"Manis, senjata ini terlalu berbahaya untukmu." Aruna pejantan itu menggenggam bilah katanaku. Meski kutarik kuat-kuat, dia hanya bergeming, menegaskan parit dalam antara kekuatan fisik kami berdua. Dia menyeringai dan menjilat bibir sendiri. "Percuma mau melawanku," cibirnya. "Kalau kamu mau menurut, aku akan membiarkanmu hidup, dan malah kita akan bersenang-senang nanti. Mau kan?"

Aku menghentak kaki satu kali, melepaskan pisau rahasia yang ada di ujung sepatu. Kulepaskan genggaman pada katanaku dan berputar ke belakang. Dengan kaki terangkat, ujung pisauku membelah dengan sempurna tenggorokan aruna pejantan bermulut kurang ajar itu. Darah kehitaman memancar menciprati wajahku saat pisau di kakiku berhasil menggorok nadi karotisnya. Sekali lagi aku menggenggam pedang dan menuntaskan tebasan yang tidak selesai tadi. Ayunan ke arah kiri yang kulancarkan sukses memotong kepala beserta jari jemarinya yang nekat menggenggam senjataku. Lebih banyak darah memancar saat kepala itu terpisah dari badannya. Tanpa nyawa, tubuh itu jatuh ke samping.

Bayangan dan ilusi mata yang melingkupi mataku lenyap seiring dengan jelasnya bersihnya jarak pandang. Daun-daun dan ranting telah berhenti berjatuhan. Aku segera berlari ke tempat bau darah ini berasal sambil terus berharap.

Syukurlah karena aku tidak pernah membiarkan diriku berharap terlalu banyak.

Lautan merah menggenang, ujungnya menganak sungai perlahan mengalir mendekatiku, seperti mengajakku ikut serta terbujur kaku ke dalam kubangan darah itu bersama beberapa tubuh tak bergerak yang kulitnya melepuh dan terbakar di bawah sinar matahari yang tergeletak di dalam sana.

Albert berdiri seorang diri di tengah kubangan darah itu, di antara mayat-mayat aruna tanpa gemetar sama sekali. Wajah, seragam, dan senjatanya berlumuran darah. Sosoknya yang tenang tanpa ekspresi di atas kolam darah itu berbeda dengan pemuda anggota ranking C yang kukenal. Aku melangkahi beberapa mayat untuk mendekati Albert, mendekati pemuda yang mengusap darah dari wajah dengan sorot tanpa ekspresi itu.

"Mana yang lain?" tanyaku, tak bisa untuk tidak prihatin.

"Ada lima yang selamat. Tapi mereka langsung lari," jelas Albert. "Berharap saja mereka selamat sampai ke regu lain."

"Doa yang sia-sia."

Kami berdua, bersama-sama, menengadah ke arah sumber suara. Di atas salah satu dahan pohon, satu betina berjongkok dengan santai mengamati kami berdua. Dia menyeringai, memamerkan deretan giginya yang berlumuran darah. Seringai dan cara pandang matanya tidak berbeda dari singa yang bahagia mendapati tikus yang diincar ternyata terperangkap dalam jebakan. Ia menjilati bibir sendiri.

"Kalian berharap ada makanan yang sia-sia di sini? Jangan bercanda!" Betina itu mengeluarkan tangannya yang lain, yang tersembunyi di balik punggung, menunjukkan kepala seorang pria yang kukenali sebagai salah satu dari kami. Dengan enteng, dia mengayun-ayunkan kepala itu tak ubahnay seperti seorang anak kecil mengayun-ayunkan bandul mainan. Dari leher kepala pria malang itu masih mengalir darah segar, yang tentu saja tidak disia-siakan.

Bagai hewan buas, dengan taringnya, betina itu mengoyak daging leher kepala itu, memancing lebih banyak darah yang keluar. Aku menjengit jijik mendengar suara daging yang tercabik dan tulang yang hancur dalam setiap kunyahan yang dilakukan sang betina. Sungguh aku lebih dari sekali mendengar kalau produk gagal itu menjijikkan, tapi baru kali ini aku benar menyerap ungkapan itu.

Cara makan mereka benar-benar tak ada bedanya dengan binatang.

"Vulgar." Alber berkomentar. Cukup dengan satu komentar singkat itu, kegiatan makan betina itu berhenti. Seringai lenyap dari wajahnya.

Uh-oh. Aku mencium sesuatu yang tidak baik di sini.

Benar saja. Kepala itu dilemparkan tepat ke arah kami. Kami menghindari lemparan kepala itu dengan refleks cepat. Tapi rupanya itu hanya pengecoh. Betina itu sekarang sudah ada di hadapan kami berdua. Albert menghindar, sementara aku menghadapinya. Betina itu mengarahkan tendangan. Kupasang katana sebagai tameng sekaligus senjata untuk memotong kakinya, namun ternyata sekali lagi itu hanya pengecoh. Kakinya jatuh, lalu tanpa kuduga, rahangku ditanduk kuat-kuat dengan kepalanya. Sekali lagi aku terpental.

Menahan sakit dari rahang yang sepertinya patah, aku dikejutkan dengan kehadiran gadis itu yang tiba-tiba sudah melayang di atasku. Kakinya ancang-ancang melakukan tendangan kapak. Tapi ada lengan yang tiba-tiba melingkari piggangku dan membawaku menghindari tendangan mematikan itu. Kaki sang betina mendarat di tanah kosong, langsung melesak dalam-dalam sementara aku mendarat lima puluh meter dari tempat aku seharusnya jatuh dalam keadaan malang. Lengan yang melingkari pinggangku dengan segera terlepas.

Meski masih agak sakit, aku langsung berusaha mengembalikan posisi rahangku yang ganjil ke posisi semula. Bunyi berderak dari sendi yang bergeser agak mengerikan untuk didengar, tapi setidaknya rahangku langsung berfungsi normal. Aku bangkit sekali lagi.

Albert berdiri di depanku. Gantian membentengi diriku. Sikap tubuhnya berusaha menghalangiku menyerang balas betina kurang ajar itu. Di depan sana, terlihat sang betina bangun dengan mudah.

"Sir Aidyn, bukankah Evan sudah memperingatkanmu untuk jangan menunjukkan wajahmu di hadapan kami lagi?" Betina itu menatap Albert dengan kesal.

"Aku tidak berharap untuk diampuni." Aku tercenung mendengar kata-kata formal itu keluar dari mulut Albert lengkap dengan aksen asing yang tak dikenal.

"Sombong sekali. Inilah sebabnya aku benci manusia. Tidak tahu terima kasih," betina itu mengumpat jijik dengan aksen yang terdengar seperti aksen Prancis.

"Aku bukannya tak tahu terima kasih. Ini masalah prinsip, Bella," Albert berkata dengan tenang kepada betina itu. "Aku membela apa yang menurutku benar, dan kamu membela apa yang menurutmu benar. Kamu punya prinsip yang kamu bela dan aku punya hutang yang sampai kapanpun tidak akan pernah lunas. Itu saja."

Sial. Aku dicuekin.

"Ada yang bisa jelasin kenapa lo dan anggota kelompok ini saling kenal?" Aku menginterupsi dengan kesal karena dibiarkan buta tuli selama pertarungan berlangsung.

"Kami pernah ketemu. Dulu." Albert kembali ke nada bicaranya yang biasa. Aksen asing itu hilang dari suaranya.

"Teman?" Aku bertanya lagi pada Albert sambil menghunuskan katana.

"Daripada teman..." Bella lagi-lagi sudah tiba, tapi kali ini dia datang dari belakang. Aku dan Albert berputar sambil menghunuskan senjata masing-masing, "... kami lebih tepat disebut musuh lama."

Bunyi tembakan dari senjata Albert memekakkan telingaku. Bella menghindar dengan cepat. Betina itu menghilang dari pandangan.

Aku mendecih kesal. Kini aku dan Albert saling melindungi punggung. Senjata kami masing-masing bersiaga penuh.

"Baunya nggak enak ya?" Albert tiba-tiba berujar.

"Jelas aja. Banyak mayat di mana-mana." Aku mengiyakan.

Mendadak Albert diam. Kami langsung terjebak suasana sunyi yang menurutku agak canggung.

"Radio lo masih berfungsi?" tanyanya seraya memeriksa radio kancing sendiri.

Aku mengecek radio di seragamku, mendapat balasan sunyi dari ujung lain balasan. Kucabut radio kancing itu dengan kesal. "Nggak."

Albert melakukan hal yang sama. "Gue juga." Lantas diinjaknya radio itu dengan kekesalan yang sama.

"Apa udah lama radionya nggak berfungsi?" Karena aku ada jauh di depan sana akibat ditendang aruna sialan bernama Arka itu, aku tidak sempat mengecek komunikasi. Terakhir kali aku mengecek, hanya ada dengung statis di ujung lain sambungan, belum mati total seperti sekarang ini.

"Begitulah. Karena itu jumlah kita berkurang begini banyaknya," Baiklah, siapa yang ikut mencium bau amis dari semua ini?

"Menurut lo pusat komando diserang juga?" Aku bertanya.

"Nggak tau." Albert menjawab dengan suara seperti orang yang menahan amarah mati-matian. "Baunya makin busuk aja."

Aku memandangi potongan-potongan mayat yang memegang senjata dan berseragam dinas sepertiku. Entah nasib sisa potongan tubuh ini seperti apa. "Bau mayat emang makin lama makin busuk kan?"

"Maksud gue, semua misi ini." Albert mengoreksi. Wajahnya menggelap saat menatap sekeliling yang penuh oleh percikan darah. "Untuk misi sekelas ini, kenapa banyak sekali ranking C yang dilibatkan? Kenapa nggak banyak melibatkan ranking A atau B? Seingatku tidak ada misi yang sebegitu gawatnya belakangan sampe ngelibatin banyak ranking A atau B. Mereka menganggur, kenapa yang masih hijau yang dikirim?"

Itu juga menjadi buah pikiranku sejak awal misi ini.

"Dan lagi... alasan kita ditempatin dalam satu tim kayak gini..." Albert menggantung kalimatnya. "Eka, di depan."

Aku mengayunkan pedang dan sukses memotong dua tangan aruna yang hampir saja merenggut leherku. Lain dengan aruna sebelumnya yang minimal meringis kesakitan, aruna jantan yang hampir menyerangku ini hanya mundur. Kulitnya tampak melepuh dan menghitam terbakar sinar matahari. Aruna itu melompat mundur ingin kembali ke dalam semak-semak.

"Gantian!" Albert berseru. Aku memahami isyaratnya dan segera bertukar posisi. Albert melepaskan tembakan tepat ke arah aruna pejantan itu, menghancurkan sebagian tengkoraknya.

Tanpa membuang waktu, Albert maju selangkah, dan menghunuskan bayonet tepat ke tenggorokan aruna itu. Tanpa jijik ia mencengkam bagian tengkorak aruna itu yang sudah coak lalu menuntaskan potongannya. Kepala itu tercampakkan begitu saja ke tanah sementara tubuhnya bergabung dengan mayat teman satu kelompoknya di dekat kaki-kaki kami.

Terlihat belasan mata dari arah semak-semak. Manik-manik merah yang menyala itu dalam sekejap menjelma menjadi sosok aruna utuh yang menyerang kami di saat bersamaan.

"Ini masalah." Albert berkata dari punggungku.

"Setuju."

Lalu kami pun memulai ajang sabung nyawa bersama puluhan aruna yang menyerang kami secara bersama-sama itu.

***

Dengan napas terengah, aku menyapihkan darah aruna yang tanpa sengaja masuk ke mulutku. Rasanya sepuluh kali lebih menjijikkan dari darah Nara.

Albert, yang masih menempel di punggungku, juga tersengal. Andaikata kami bisa duduk, sudah tentu kami akan duduk dan menghela napas barang sejenak, namun di mana kami bisa duduk? Seluruh area kosong di tengah hutan ini sudah dipenuhi mayat aruna.

Kulihat mayat-mayat para produk gagal itu sambil menghitung dalam hati. Sebagian ada yang melepuh terbakar matahari, sebagian tampak baik-baik saja, ada juga yang tadi sempat berubah ke fase peralihan dan menyulitkan kami. Suatu keajaiban kami bisa melalui ini tanpa masalah sama sekali, dan terutama tanpa kesehatanku menunjukkan tanda-tanda akan menurun. Bagus. Kalau saja tidak bertemu Nara, mungkin saja aku sudah akan kepayahan di sini.

Hitunganku berhenti di angka tiga puluh lima. Aneh. "Kayaknya ada misinformation ya?" Aku menggumam tak suka.

"Nggak juga," Albert menjawab dengan tenang, mengundang keherananku. "Kelompok produk gagal biasa berjumlah lebih banyak dari data yang ada. Selain karena produk gagal emang gampang banget bikin kelompok, perkelahian kita di sini kayaknya udah ngundang produk gagal yang lewat. Lo nggak tau apa mereka semua ini kelompok Evan atau bukan kan?"

"Ya, gue nggak tau." Aku menyipit menatap Albert. "Tapi lo kayaknya tau banyak."

Pemuda itu tidak menaggapi dan malah mengisi ulang senapannya. Kelihatannya itu amunisinya yang terakhir. "Gue pernah ketemu mereka. Dulu. Dan kayak yang lo denger dari Bela, Evan biarin gue hidup."

Untuk saat ini, aku tidak terlalu tertarik dengan pertanyaan 'kenapa'. "Tapi kayaknya lebih dari itu. Kalau lo sampai ngomongin urusan masing-masing, gue rasa hubungan lo dan mereka lebih dari sekadar musuh yang cuma ketemu satu-dua kali."

"Beneran cuma sekali kok." Albert mengusap peluh dari dahinya. "Nggak mungkin gue bisa hidup sampe sekarang kalau pernah ketemu monster-monster kayak mereka lebih dari sekali."

Akan makan waktu lama untuk meminta penjelasan lengkapnya kepada Albert, jadi lebih baik kufokuskan pada poin-poin penting saja dulu. "Aidyn? Sir? Itu nama asli lo?"

Sebelum sempat pertanyaan itu terjawab, mendadak saja Albert berlutut. Sedetik kemudian dia ambruk menimpa tumpukan mayat dan kubangan darah. Lengan seragam dinasnya rusak, menampilkan coakan daging dengan patahan tulang yang mencuat. Dia tergigit.

Segera kukeluarkan penawar dari dalam kotak obat darurat di tas pinggang. Kusingkirkan mayat-mayat yang mengganggu dan membiarkan tubuh Albert rebah di atas dedaunan. Aku menyingkap kerah seragamnya dan menusukkan jarum penawar tepat ke nadinya yang berdenyut. Napas Albert berangsur-angsur normal.

Napas lega hampir keluar dari mulutku saat mata Albert membelalak. Gigi-giginya terkatup rapat. Pekikan sakit yang tertahan keluar dari mulutnya. Kedua mata itu lantas tertutup keras. Kedua alisnya menyatu, membentu kerutan dalam di dahinya yang langsung banjir keringat. Tubuhnya mengejang hebat.

Aku mengernyit melihat reaksi ini. Tubuh yang kejang dan reaksi kesakitan, bukan pemandangan baru untukku.

Kubiarkan kejangnya sampai berhenti beberapa menit kemudian. Sesuai dugaanku, luka di lengan Albert yang tadi terbuka lebar kini sudah menutup tanpa bekas. Pemuda itu hampir kehabisan napas, tapi tak lekas membuang waktu. Dia bangkit, langsung memunggungiku. Tidak mau menatap wajahku. Kubayangkan wajahnya bersemu merah seperti Nara, tapi kalau membayangkan orang berwajah selempeng Albert malu-malu kucing agak menjijikkan juga.

"Sir Aidyn." Aku berkata dengan nada menyindir saat Albert memungut kembali senjatanya yang terjatuh. Sama seperti dirinya yang tidak membuang waktu, aku pun tidak membuang waktu. Segera kuarahkan sisi tajam katanaku ke lehernya. "Lo ada di pihak mana?"

Pemuda itu berdiri tanpa mengindahkan ancaman pedangku. Dia juga tidak mengangkat kedua tangan ke udara, tanda dirinya sama sekali tidak takut aku akan mewujudkan ancaman ini sekarang juga.

"Itu juga pertanyaanku padamu, Yureka Caiden." Sekali lagi aksen asing dan cara bicara formal itu kembali.

Anehnya aku tidak terkejut dia mengetahui nama asliku yang hanya sedikit orang tahu itu. "Jangan balikin pertanyaan gue!"

"Pertanyaan itu kembali padamu karena keberpihakanku bergantung pada jawabanmu," Albert menoleh, membiarkan sedikit kulit lehernya tergores katanaku. Wajahnya masih sedatar biasanya, tapi ada sorot lain di mata yang biasanya tak menampilkan apa-apa itu: sorot mata orang yang penuh pengalaman. Tampak dewasa, tajam, memancarkan kekuatan kuno yang tak dapat ditebak, seperti sorot mata Nara ketika marah. "Jika Eka yang kuhadapi sekarang adalah kaki tangan Komite, kita musuh. Jika Eka yang kuhadapi sekarang percaya pada Gilang, kita bukan musuh."

Kaki tangan Komite, Gilang, keberpihakan, kenapa cara bicaranya mirip sekali dengan cara bicara Ratna? Kenapa semua orang sepertinya mengenal Nara lebih baik dariku? Oke, aruna satu itu memang sudah bercerita bahwa dia punya banyak telinga, tapi tetap saja, mengetahui ada satu lagi yang mengenalnya membuatku frustasi! Ada berapa banyak yang mengetahui Gilang selain aku sebenarnya?

"Gue bukan kaki tangan Komite." Aku mencabut pedangku dengan mantap. Tanpa keraguan. Tindakan Komite dan pak Riza belakangan ini sudah mengikis rasa percayaku pada Komite Keamanan Khusus. Aku menghela napas. "Dan gue percaya Gilang."

"Kalau begitu, lo nggak perlu khawatirin keberadaan gue." Albert kembali ke dirinya yang biasa lagi. Matanya memandang gedung kosong di kejauhan.

"Apa Ega sama Indri tau soal kondisi lo ini?" Aku bertanya lagi.

"Mereka tau." Luar biasa sekali mulut dua orang paling ember yang pernah kukenal itu bisa menjaga rahasia.

"Gimana soal alarm budak?"

"Ada banyak cara mengelabuinya kok." Jawabannya bernada senyum. Entah kenapa, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika Albert tersenyum. "Terutama kalau lo pernah perbaikin mesin detektor."

"Lo nggak lagi nyengir kan?" Entah kenapa aku juga ikut tersenyum. Astaga, siapa sangka anak pendiam seperti dia bisa selihai ini. Benar kata pepatah, air tenang tanda menghanyutkan.

"Nggak." Mendadak saja cara bicaranya yang datar itu kembali. "Kita harus ke sana." Albert menunjuk gedung tempat operasi kami berada. "Bella nggak ada di sini, Arka juga ilang. Itu artinya ada sesuatu di gedung utama. Gue juga penasaran ke mana Evan."

Aku menyetujui usulnya dan kami segera berlari ke gedung itu. Di langkah biasa, lariku akan jauh berada di atas Albert. Namun sekarang kecepatan lari kami setara, padahal aku mengerahkan seluruh kemampuan. Sialan. Dilihat dari pertarungan tadi, anak ini sudah menahan diri mati-matian saat melawanku selama ini.

"Dari cara lo ngomong soal Evan ini, kayaknya dia nggak seliar temen-temennya," Aku berujar agak keras melawan angin yang menerpa wajah kami.

"Dia produk gagal juga, Ka. Nafsunya nggak beda sama mereka yang udah kita temuin," jawab Albert sama kerasnya. "Dia cuma lebih tenang dan lebih toleran dibanding Arka dan Bella, itu aja."

"Itu sebabnya dia ngampunin nyawa lo?"

"Bukan." Albert menjawab cepat. "Dia ngampunin nyawa gue bukan karena dia toleran. Itu lain urusan."

Aku hanya diam. Sepertinya itu batasanku bertanya. Gedung sudah berada di depan mata. Tidak ada waktu lagi untuk mengobrol. Aroma amis darah sudah menyambut kami dengan semarak seratus meter dari gedung tempat operasi utama.

"Sedikit saran buat lo, Ka." Albert berujar lagi. "Kalau Bella, lo bisa hadepin sendirian, tapi Evan atau Arka, lebih baik lo lari."

"Kenapa?"

Albert melirik. "Lo liat Bella kan?"

"Dia nggak kebakar sinar matahari maksud lo?" Albert mengangguk. "Itu artinya dia original kan? Arka juga nggak kebakar matahari, itu artinya dia original juga, kenapa gue mesti..." Kata-kataku terhenti di hadapan wajah serius Albert. Wajahku jadi horor seketika. "Nggak mungkin... Lo bercanda kan?'

"Aku harap juga ini hanya candaan. Tapi kenyataannya emang begitu." Albert mengiyakan dengan nada pahit. "Evan dan Arka, mereka berdua produk gagal dari kelas Elder."

***

Catatan Pengarang:

Bagaimana pendapat kalian tentang Albert di chapter ini? Apa pendapat kalian soal cowok satu itu berubah? Tapi dia ada di pihak Eka kok. Dia nggak memihak aruna lain. hehehe. Tenang aja.

Dan untuk sekadar konfirmasi, Albert emang benar hanya ketemu kelompok Arka satu kali kok. Ugh... makin penasaran sama cowok dingin satu ini ya?

Kira-kira bau amis apa yang tercium ya? Aduh saya nyium bau amis juga nih di sini. Eh salah ding, emak lagi goreng ikan hahaha...

Gimana pendapat kalian soal Arka dan Bella? Kalian mulai benci atau malah jatuh hati pada dua char itu? Hahaha, curahkan isi hati kalian lewat komen ya. Saya nggak sungkan denger kok.

Oh dan nanti setelah penyerbuan ke markas Evan ini selesai, tinggal arc yang terakhir. Akan saya siapin kejutan berupa teaser untuk sekuel  pamungkas seri utama aruna series. Seperti apa teasernya? Nantikan saja setelah arc ini selesai.

Akhir kata, ditunggu vote dan komennya. ^^

OKe mau ciao dulu. Bye bye

-

Next: 34. Agenda Terselubung

-

Uuu.... makin amis aja nih baunya ahai!



Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

96K 22.1K 84
Sebelum kalian membaca kisahku ini, ketahuilah satu hal: Penyihir itu nyata. Dan mereka kuat. Sangat kuat melebihi bayangan kita. Berabad-abad s...
16.2K 525 63
"jangan lo sentuh gadis gue!" "dia bukan milik lo" "dia milik gue!dan jangan lo sentuh dengan tangan kotor dan menjijikkan itu!" amarah dari pemuda v...
23.7K 2.9K 43
Master! BOOK III [END] __ "Berhenti melawan, nak. Tangan dan kakimu akan patah." "Tidak akan!" "Ayah masih menyayangimu." "AKU MASIH MEMBENCIMU!" "Ka...
1.3M 114K 33
Ares, mantan Dewa Perang dan juga seorang Titan yang berasal dari Planet lain, berkunjung kembali ke Bumi untuk kekasihnya. Namun ternyata mereka buk...