THE SHADES OF RAINBOW

By Abiyasha

55.2K 2K 493

THE SHADES OF RAINBOW adalah sebuah kumpulan cerita pendek atau antologi bertema gay. Work ini adalah untuk... More

A TAME DOVE
BLACK NIGHT
POSTCARD
REUNION
PAVO'S SANCTUARY
LOVEABLE
SETENGAH JIWA
SATU MALAM DI KLOROFIL
SOERAT OENTOEK SOERJADI
CLOSURE
URTICA FEROX
PENGAKUAN

LIFE'S GAME

1.4K 121 39
By Abiyasha

Mataku masih terpejam meski sejatinya otakku sudah kembali bekerja entah berapa menit yang lalu. Keinginan memejamkan mata hingga pria di sampingku terbangun dan pergi begitu besar. Aku hanya ingin menghindari situasi canggung yang akan ada di antara kami. Jika pria yang masih terlelap dengan dengkuran pelan ini punya pendengaran super, aku yakin dia sudah mendengar jantungku yang berdegup kencang.

Memiringkan tubuh untuk memunggungi pria berambut pirang itu, aku perlahan membuka mata. Kamar apartemenku masih belum berubah bentuk sejak tadi malam. Catnya masih berwarna putih telur seperti ketika pertama kali menempatnya, perabotnya belum berubah menjadi produk-produk terbaru IKEA, dan seprai yang mengalasi tubuh kami berdua masih berwarna ungu―yang baru aku ganti dua hari lalu. Apakah kejadian semalam benar-benar terjadi? Atau aku terlalu mabuk sampai tidak sadar apa yang aku lakukan? Kalaupun terlalu banyak alkohol yang aku konsumsi di bar tadi malam, aku tidak mungkin terbangun pukul ... 07.15. Aku mengerjapkan mata untuk meyakinkan bahwa jam di dinding kamarku memang menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit.

Aku mendengus pelan.

Tidak mungkin aku bangun sepagi ini di akhir pekan. Hari biasa pun hampir selalu diisi dengan panggilan dari Rieke yang membangunkanku jika jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Melewatkan sarapan dan mandi seperti bebek sebelum tergesa-gesa pergi ke kantor bukanlah hal baru bagiku. Lalu kenapa aku malah terbangun pada hari Sabtu di waktu tidak biasa ini?

Aku mulai percaya ada roh lain yang mengambil alih diriku hingga sekarang ada pria lain yang masih nyenyak tertidur. Sangat tidak mungkin semalam aku begitu berani menyeret pria ini sampai ke kamar. Ataukah dia yang berhasil membujukku untuk mengajaknya ke sini?

Argggh! Aku menjerit kesal dalam hati.

Pelan, aku memutar tubuh tanpa membuka mata untuk menghadapnya. Mustahil jika aku sampai lupa apa yang terjadi semalam. Semuanya masih dengan jelas seperti sebuah film biru dengan resolusi high definition dengan suara sejelas Dolby Digital. Tidak mengejutkan jika masih ada bekas-bekas kecupan penuh nafsunya di tubuhku. Dan bagaimana juga dia tahu 'my holy spot' hanya dengan satu sentuhan? Pria ini pasti sudah memakan banyak korban di tempat tidur. Dia begitu ... lihai memanjakan setiap inci tubuhku.

Dear God, why am I thinking about last night? It can't happen. Again.

Setelah berdeham sepelan mungkin, aku memutuskan membuka mata sedikit demi sedikit. Embusan napasnya membuatku ragu sejenak, tetapi kemudian mataku terbuka seluruhnya. Yang menyambutku adalah hidung mancung dengan sedikit bengkokan di ujung, kedua matanya yang masih terpejam, rambutnya yang berantakan—yang membuatnya terlihat begitu menggoda—rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di sekitar mulutnya, serta bibir tipisnya yang membuatku gelagapan karena dia begitu lihai menggunakannya.

Keinginan untuk merasakan kembali ciumannya pun mengemuka.

Dammit! What is happening to me now?

Ketika telingaku menangkap sebuah erangan pelan, aku dengan cepat menutup kembali mataku. Dia mulai memainkan jemarinya di lenganku. Menelusuri rambut-rambutku di sana seolah tahu aku hanya pura-pura tertidur. Napasnya semakin kuat menusuk hidungku sementara wajahnya terasa semakin dekat. Entah apa yang membuatku bertahan dengan kepura-puraan ini.

"Good morning. You don't have to pretend you're sleeping, because you failed miserably."

Tidak lagi tahan, aku memberikan senyum tipis sebelum akhirnya membuka mata. Sudah ketahuan, tidak ada gunanya masih berpura-pura.

"Hi."

"Kenapa kamu harus pura-pura tidur? Ada yang kamu takutkan?"

"Aku ngg—"

"Aku bukan vampir, apalagi drakula. I bite, but you know it's different. It's ... a tool to give a pleasure. Don't you agree with me?"

"Well, I think you're just wr"

Dengan cepat, pria itu membuka selimut yang masih menutupi tubuh kami. Aku tidak sempat bereaksi ketika tubuh telanjang kami terekspos begitu jelas.

"Aku harap kamu tidak berencana untuk berenang atau bertelanjang dada hari ini. Those marks seem ... um ... too obvious for everyone to see. I've learned not to leave mark on your collarbone. You should thank me for that."

Craig―nama pria itu¾kemudian menarik selimut itu untuk menutupi bagian bawah tubuhnya begitu dia menyandarkan punggung ke headboard. Aku memperhatikannya penuh dengan kejutan sebelum melakukan hal yang sama. Craig menatapku dengan sebuah cengiran dan bagiku itu sambutan paling menyenangkan dalam kurun satu setengah tahun sejak hubunganku dengan Arthur kandas.

"How are you feeling?"

"Okay, I guess. What about you?"

"I'm extraordinary! Tell me, did you enjoy our ... ehm ... adventure last night? It was great, wasn't it? It's been a while since I met with a compatible partner in bed. You surprised me, actually."

Aku menganga karena tidak menyangka dia akan blak-blakan seperti ini dan kebingungan harus meresponnya dengan kalimat seperti apa. Harus aku akui, semalam memang luar biasa. Craig berhasil membuatku mengeluarkan sisi diriku yang bahkan tidak aku ketahui ada. Permainan cintaku dengan Arthur memang tidak buruk, hanya saja tidak ada kejutan jika menyangkut kehidupan seks kami. Dia pria konservatif dan aku tidak pernah protes karena memang aku tidak keberatan.

"Kamu keliatan terkejut. Jangan bilang kamu kecewa soal semalam?"

Aku menggeleng cepat. "It was fantastic. You're clearly ... very skillful in that department." Ucapanku itu memang jujur, tetapi aku berusaha menghindarkan bahasan tentang semalam. Craig terlalu ... outspoken.

"Jika aku mengiyakan pernyataan itu, kamu pasti menganggapku angkuh dan besar kepala. Instead, I'll take your words as compliment without having to say yes or no."

"Wise."

Suara tawa Craig mengisi kamarku sebelum dia menghela napas. Jujur, aku semakin tidak nyaman berada sedekat ini dengannya. His charm is, indeed, dangerous. Aku tidak keberatan dengan one night stand, tapi bukan berarti aku sering melakukannya. Sejak putus dari Arthur, hanya tiga kali aku melakukannya. Tiga pria itu, anehnya, justru menjadi temanku. We casually meet for dinner, go to the beach or club, having Sunday brunch, or watch festival, but no more sex involved. Aku sering heran dengan fakta itu. Dua dari mereka bahkan sudah memiliki pacar dan aku kenal dengan mereka. Tidak ada kecemburuan dari mereka setiap kali Rhys dan Dylan menceritakan bagaimana kami saling mengenal. Pria ketiga, Sanders, sudah kembali ke Kanada, tetapi kami masih sering berkirim kabar lewat surel. Dan mereka bertigalah yang pertama kali meminta nomorku. Ada begitu banyak yang tidak bisa dijelaskan di dunia ini meskipun dengan sesuatu dengan status sejelas one night stand.

"You know what? Sudah lebih dari setahun aku tidak melakukannya."

Aku mengerutkan kening, membiarkan Craig tahu bahwa aku tidak memahami maksud kalimatnya.

"Talking to a guy in the bar and ended up ... in his bed." Craig mengucapkannya dengan begitu ringan, seperti bukan perkara besar tidur dengan orang yang baru ditemuinya. "But you ... you're just different. I wish I could, but I just have no words to explain it perfectly."

Aku kontan tertawa dengan kalimat terakhirnya. Craig kemudian ikut tertawa bersamaku. Tiga kasus one night stand sebelumnya, aku selalu terbangun lebih awal dan menuju dapur, menyiapkan sarapan. None of them stayed for breakfast though they asked me for lunch few days later. Bukankah one night stand harusnya berakhir dengan salah satu meninggalkan yang lain, kemudian tanpa ada kontak lagi? That's why they named it one night stand, because ... it should only lasted for one night only.

"I'm ... flattered."

"Aku selalu suka Bali. It's been ... ten years since the last time I came here. And this time is going to be different."

"Kenapa kali ini berbeda?"

Craig menghela napasnya sebelum memandangku. "Aku ingin pindah ke sini awal tahun depan. Keputusan yang tiba-tiba sebenarnya. It's just ... I feel like there's one part of me missing. Aku pernah tinggal di Indonesia sebelumnya."

Kalimat terakhir Craig jelas menarik perhatianku. Aku meraih bantal dan memeluknya, sementara memperhatikan wajah Craig yang terlihat berbeda dari beberapa menit lalu.

"Kamu mengejutkanku dengan fakta itu."

Craig menatapku. "Orang tuaku pindah ke Jakarta waktu aku berumur satu tahun dan tinggal di sana selama delapan tahun. Kami kemudian kembali ke Amerika. Meski hanya delapan tahun masa tinggalku di Indonesia, ada begitu banyak memori yang masih aku simpan hingga sekarang. Mungkin memori-memori itu yang memanggilku kembali ke sini." Craig tersenyum. "Do you think I'm sentimental?"

"Setiap orang punya sisi sentimental, Craig. No one is going to judge you for moving here because of the memories you have. Memory is a powerful thing."

"Well, my friends in Chicago did. Aku pergi ke sini untuk meyakinkan diri tentang keputusanku untuk pindah tahun depan bukan sekadar ... keinginan sementara."

"Kamu masih bisa berbahasa Indonesia?"

"Don't you dare to speak Indonesian to me, I can't remember any Indonesian word except terima kasih." Ada jenaka dalam nada suara Craig hingga aku tidak mampu menahan senyum.

"Kamu harus mulai belajar lagi. It will help you a lot."

"I know. By the way, your name is ... unusual for Indonesian. Pascal ... sounds so ... European."

Aku tertawa. Craig bukan orang pertama yang menanyakan tentang namaku. Namun karena terlalu seringnya ditanyai tentang hal ini, aku jadi tidak begitu memedulikannya lagi. Malas kan kalau harus mengulang cerita yang sama ratusan kali? Tapi aku ingin menceritakan tentang kenapa orang tuaku menggunakan Pascal untuk namaku.

"Aku lahir di Rouen ketika Papa dapat beasiswa di Universitas Rouen dan karena itu kota kelahiran Blaine Pascal, maka mereka menamaiku Pascal, berharap aku jadi ahli matematika seperti dia. But I was raised and grew up in Jakarta. Pindah ke Bali juga baru satu setengah tahun."

"Now, that is hilarious."

Aku mengerutkan keningku. "Apanya yang lucu?"

"Kamu besar di Jakarta sementara aku pernah tinggal di Jakarta."

"It's pure coincidence, Craig. Banyak orang Jakarta yang tinggal di Bali, aku cuma salah satunya."

"Silly me."

Kami berdua tertawa.

"Kamu tidak keberatan kalau aku tanya sesuatu?"

"I'm an open book. Ask me anything."

"Kalau kamu memutuskan untuk pindah ke sini karena kenangan, pastilah kenangan itu begitu ... luar biasa sampai memengaruhi keputusan besar dalam hidup kamu. Do you mind telling me what the reasons are? Tentu saja kalau nggak terlalu personal buat kamu."

Senyum Craig melebar. Aku lega, paling tidak pertanyaanku itu membuatnya tersenyum, yang berarti kenangan yang dimilikinya pastilah kenangan indah.

Craig menatapku. "Nobody ever asked me that question, so thank you for bringing that up. Aku senang tiap kali ada yang bertanya tentang hal itu."

Aku diam untuk membiarkan Craig melanjutkan kalimatnya. Aku benar-benar ingin tahu.

"Aku punya teman sekaligus tetangga ketika pindah rumah di Jakarta, namanya Jati. Seperti kayu. Aku tidak pernah tahu nama lengkapnya, tetapi ingatanku masih jelas tentang sosoknya. Kecil, pendek, kulitnya cokelat, dan gigi ompongnya selalu terlihat setiap kali dia tertawa. Dia suka sekali dengan gulali dan permen. Kantong celananya tidak pernah kosong dari permen. Sayangnya kami hanya bertetangga selama dua tahun sebelum orang tuaku harus kembali ke Chicago. Tapi dua tahun itu benar-benar ... tidak terlupakan."

"Bukankah dua tahun terlalu singkat untuk diingat anak sembilan tahun? Pasti banyak kenangan lain yang jauh lebih mengesankan daripada dua tahun itu. It's amazing that you still remember him clearly."

"Kebanyakan orang akan begitu, tetapi aku tidak pernah lupa dengan Jati dan semua yang kami lakukan selama dua tahun itu. Dia selalu pulang ke rumah tiap kali kalah main ular tangga dan monopoli."

Aku tersenyum tipis setelah membasahi tenggorokanku. "Bagaimana kalian berkomunikasi? Pasti bahasa jadi kendala buat kalian."

Craig tertawa. "Sometimes, as kids, we understand each other even though we don't speak the same language. It's like the universal language of baby. Aku bicara dengan bahasa Inggris, sementara Jati dengan bahasa Indonesia. Tapi kami saling memahami. Jati anak yang menyenangkan."

"Ada kenangan khusus?"

Craig mengangguk. Seperti tidak perlu mengingatnya dengan keras. "Kami main seperti biasa di rumahku siang itu. Papa dan Mama sedang pergi, jadi hanya tinggal pembantu yang ada. Oh ya, Jati takut dengan guntur hingga aku menantangnya untuk main hujan-hujanan di luar, karena siang itu sedang hujan lebat. Awalnya Jati menolak, tapi kemudian dia setuju. Tentu saja, pembantu di rumah tidak mengizinkan kami main di luar. You know what we did? We locked her in her room from outside and then we played in the yard, we sang, danced, and closed our eyes while laying down on the grass. It was ... very fun and I was happy, I guess he was happy as well. Entah siapa yang memulai, kami kemudian saling pandang dan kami berciuman. Well, I kissed him first. I didn't know why I did it, but he looked so handsome and adorable."

Ada jeda sejenak sebelum Craig melanjutkan kalimatnya.

"Mungkin bagi Jati, itu adalah hal biasa. Buatku, ciuman itu selamanya akan jadi ciuman pertama. Mungkin terdengar tidak masuk akal kalau aku bilang ciuman itu awal dari segalanya."

"Maksud kamu?"

"Aku sadar lebih tertarik kepada pria daripada wanita. Dorongan itu sudah ada sejak aku berusia enam tahun, tapi sebagai anak kecil, tentu saja aku menganggap itu hal biasa. When I was in high school, I finally admitted to myself that I was gay. In my third year in university, I decided to come out to my family and since then, they always support me. My mother even tried to matchmaking me, but it never worked. But that kiss ... was the beginning."

"Apakah karena kamu masih ingat Jati?"

Craig mengangguk. "Aku berusaha mencari tahu keberadaannya, bahkan sempat ke Jakarta untuk mencari tahu tentangnya. Namun tetap tidak ada hasilnya. Aku sempat berhubungan dengan beberapa pria sebelum akhirnya aku menjadi pihak yang mengakhirinya. Aku ingin tahu di mana Jati sekarang dan bagaimana keadaanya. I feel like I owe him an explanation. It sounds silly but I can't forget him."

Aku hanya terdiam mendengar cerita Craig. Hampir semua yang dikatakannya tentang Jati memang tidak masuk akal, tapi siapa yang tahu dia berbohong atau tidak? Yang membuatku terdiam adalah Craig membuka dirinya dengan pertanyaanku tadi, lebih dari yang aku duga sebelumnya. Bagi sebagian besar orang, masa kecil memang sulit dilupakan, tapi mengetahui Craig masih dengan jelas mengingat beberapa detail tentang Jati membuatku kagum.

Aku menatap Craig—yang sepertinya masih memikirkan tentang Jati—sebelum berdehem pelan. Craig tersenyum ke arahku.

"He's the reason why I decided to move to Indonesia next year."

"Apa yang akan kamu lakukan kalau bertemu lagi dengannya? Dia mungkin saja sudah menikah, punya keluarga, mungkin dia sudah ... tidak ada. Ada banyak yang bisa terjadi dalam kurun waktu puluhan tahun."

"I know that. Kalaupun dia sudah menikah dan punya keluarga, aku tetap ingin bertemu dengannya. As an old friend. Kalau dia sudah meninggal, aku ingin tahu di mana makamnya. I just want to find him."

Kalimat Craig terdengar tulus, jadi aku mengutuki diri yang sempat meragukan ceritanya tentang Jati.

"Selain gulali dan permen, apakah Jati suka menggigiti kukunya?"

Tubuh Craig menegang, seolah pertanyaanku itu tidak berbeda dengan sengatan listrik bervoltase rendah. Dari keningnya yang sedikit mengerut, dia pasti terkejut.

"How did you know? Bagiku, kebiasaannya itu jorok sekali."

"Teman masa kecilmu itu juga nggak suka tiap kali kamu menggelitiknya, kan? Dia akan langsung pulang ke rumah dan nggak mau bertemu kamu lagi. Tapi sorenya dia akan memanggil nama kamu dari luar pintu gerbang."

Craig dengan cepat mendekatkan wajahnya hingga jarak kami hanya tinggal beberapa senti. Wajahnya dipenuhi kebingungan. Aku ikut bingung melihat reaksinya seperti itu.

"You know Jati! It's definitely not a coincidence anymore."

"Aku mengenalnya, Craig. Aku baru sadar ketika kamu cerita tentang hujan-hujanan itu."

"Tell me where he is, Pascal!"

Aku tersenyum. Craig's reaction is priceless.

"Kamu yakin?"

"Aku tidak pernah seyakin ini sebelumnya. Please, tell me, Pascal. Where is he?"

Sesuatu dalam tatapannya membuatku tidak ingin membuat Craig semakin menderita. Dia sangat ingin bertemu Jati.

"Dia di sini, sedang berbicara dengan kamu. In fact, you slept with him last night."

Craig tidak akan percaya begitu saja dengan pengakuanku, dan aku tidak menyalahkannya. Namun aku punya begitu banyak kenangan yang akan membuatnya yakin kalau akulah teman masa kecilnya itu.

"You must be joking. This can't be!"

"Listen to me, don't interrupt. Nama lengkapku adalah Pascal Indrajati dan semua orang memang memanggilku Jati. Sejak pindah ke Bali, teman-teman kerjaku lebih suka memanggilku Pascal, jadi aku juga terbiasa dengan nama itu sekarang. Craig kecil suka melempar batu ke jendela kamarku supaya aku nggak bisa tidur siang. Mama kamu pasti marah-marah kalu tahu kamu yang mecahin botol parfumnya yang kamu bawa ke ruang tamu. Kamu pasti belum lupa kalau kita berdua dirawat di rumah sakit, dengan tempat tidur sebelahan setelah acara hujan-hujanan itu. Kamu jug—"

Craig langsung mengunci bibirku sebelum kalimat tersebut selesai. Ciumannya jelas adalah sebuah kelegaan. It wasn't until he deepened his kiss that I started to get carried away. Craig memelukku erat setelah ciuman kami selesai dan ada rasa haru mengetahui kalau dia masih memikirkanku setelah sekian lama. Aku tidak pernah lupa satu pun kejadian yang kami alami berdua. Craig has always been a long lost dream for me. Tidak ada harapan untuk kami bertemu lagi dan aku memang mengubur keinginan itu dan melanjutkan hidup.

"You're so mean, Jati. Why did you have to torture me? Was it your way to revenge for all the lost you got when you were kid?"

Aku hanya tersenyum mendengar kalimat itu dibisikkan di telingaku. Tanganku mengelus punggung Craig sebelum membenamkan hidungku di tengkuknya.

"I'm sorry."

"I won't let you get away with it easily."

Kami berdua tertawa kecil sebelum Craig melepaskan pelukannya. Dia menangkupkan kedua tangannya di wajahku, sementara matanya menatap dalam milikku. Seperti sebuah lagu, hidup adalah panggung sandiwara. Namun pertemuanku dengan Craig lebih seperti permainan yang dikendalikan oleh hidup. A life's game.

"Aku memaksamu untuk membatalkan semua janji yang sudah kamu buat hari ini. You're my prisoner for today, Jati. Ada terlalu banyak cerita yang aku ingin dengar dari kamu. Every. Single. Thing. I won't take no as an answer and you really have no choice."

Aku hanya mengangguk sebelum bibir kami kembali bertemu. Craig pasti tidak percaya dengan apa yang dialaminya sekarang, seperti halnya aku. Siapa yang menyangka, dua pria dewasa yang saling bertemu di bar sebelum berakhir di tempat tidur adalah dua manusia dengan satu kenangan?


***


Continue Reading

You'll Also Like

55.8K 8.9K 34
Gatau baca aja!
1.5M 32.2K 23
Yusuf Kuswanto, 35 tahun. seorang duda yg ditinggal pergi oleh istrinya saat melahirkan sang buah hati Ery Putri Kuswanto. anaknya sensitif dengan su...
583K 6.1K 26
Hanya cerita hayalan🙏