Her Sweet Breath ✔ ( TELAH TE...

By PenyihirAgung

810K 26.1K 504

Quality: Raw Status: 25 to 25 (Completed) Rate: 21+ Started: April 22, 2016 End: July 18, 2016 *Prequel of Hi... More

Nol: Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Dua belas
ATTENTION!/PENGUMUMAN!
Tiga Belas
Empat Belas
Enam Belas
Tujuh Belas (Re-Write)
Her Crystal Heart (Side Story)
Sembilan Belas
Dua Puluh . Satu
Dua Puluh . Dua
Dua Satu
Dua Dua. Satu
Dua Empat
Preview: HIS EYES ON HER(Lanjutan HSB)

Dua Dua. Dua

14.5K 709 11
By PenyihirAgung

Asap panas menyembul keluar dari cangkir kopi maupun teh yang disediakan Minah, ART paling muda, di atas meja diantara kami berlima kecuali Rekka yang saat ini sudah berada di luar ruangan. Suasana befitu serius saat semua berkumpul dalam satu ruangan. Tidak suka. Suasana paling tidak mengenakkan pada waktu genting, dimana aku sedang was was memikirkan keberadaan Chika yang sampai sekarang belum ada jejak.

Beberapa waktu sebelumnya, Fajri menghubungi Rekka. Ia menginformasikan mengenai lelaki brengsek yang berbicara dengan Chika sebelum ia menghilang, Nathan, yang juga menghilang tanpa jejak. Dalam rekaman terakhir terlihat ia mengejar mobil van yang membawa Chika. Ia saat ini menjadi kunci keberadaan Chika, tapi keberadannnya pun tidak terlihat.

Hening terasa begitu menyesakkan saat ini. Kepergian Minah dari ruangan tak ada seorang pun mengucapkan kata-kata, hanya suara napas masing-masing yang saling beradu satu sama lain. aku tidak punya banyak waktu, "bisa jelaskan maksud pembicaraan kalian tadi? Jangan membuatku menunggu dengan sia-sia tanpa kepastian."

Om Noval meraih cangkir kopi didepannya, menyesap pelan dan menghembuskan napas pendeknya, "apa yang ingin kamu ketahui?"

"Semuanya yang kalian berdua tutupi."

"Rima tidak membunuh ayah. Dia bukan orang terakhir yang ditemui ayah," gumamnya pelan.

Flashback ON

Pria itu duduk di kursi kebangannya di dalam ruangan pribadi di rumah megah yang ia tinggali saat ini. Ia membuka file penyelidikan yang ia minta kepada Robert, penyelidik kepercayannya dan tanggap mengenai serigala berbulu domba yang berdiam disekitarnya untuk menghancurkannya dan keluarganya.

Ia meraih ponsel flip kecilnya yang ia letakan di atas meja dekat lampu meja dan menghubungi seseorang di seberang sana. Pengacara keluarganya. Seperti ajaran tua keluarganya, dimana ia harus memiliki berbagai rencana dalam hidup, kali ini ia menerapkan ajaran tersebut. Ia menginformasikan pengacaranya untuk segera mengganti surat wasiatnya dengan wasiat cadangan yang ia buat dan memintanya untuk menghancurkan surat wasiat pertamanya.

Dan yang terakhir adalah menjaga hal berharga miliknya. Ia menghubungi pengawal pribadinya untuk menjaga anak satu-satunya dan satu orang lagi yang mungkin dapat ia andalkan untuk menjaga miliknya saat sesuatu terjadi dengannya.

"Selamat malam Tuan Besar," jawab lelaki di sebrang sana dengan suaranya yang samar dengan dentuman musik keras di belakangnya.

"Kalian masih ada diluar?" tanyanya.

"Maaf."

"Bukan salahmu. Cepat bawa dia kembali sekarang dan untuk sementara jangan keluar di tempat umum kecuali kampus."

"Jika saya boleh tahu, ada apa sebenarnya?"

Hening. Pria tua itu, Raden Djaja Kandou terdiam sambil menatap file di depannya yang membuatnya khawatir akan keluarganya.

"Bawa dia pulang sekarang."

"Baik."

"dan Rekka," panggilnya sebelum panggilan ia putus, "apa kamu bisa berjanji akan menjaganya apapun yang terjadi? Menemaninya sampai ia benar-benar bisa berdiri sendiri?"

"Apapun itu, saya berjanji kepada anda," jawab Rekka dengan nada tulusnya yang membuat Djaja menghela napas lega.

Saat hendak mengucapkan kata terakhirnya, pintu ruangannya terbuka lebar diikuti dengan hentakan keras yang berhasil membuat pria itu menjatuhkan ponsel flipnya diantara tumpukan kertas di mejanya tanpa memutus sambungan. Seorang wanita dengan wajah anggunnya di usia kepala empat, masuk kedalam ruang kerja pribadi pria itu dengan raut muka marah.

"Katakan padaku kalau semuanya itu bohong?" teriak Rima begitu saja.

"Aku tidak pernah mengajarkanmu untuk masuk ke ruangan orang lain tanpa mengetuk pintu."

Brakk ... Rima memukul keras meja Djaja, "katakan semuanya ini bohong. Katakan kalau ayah tidak ada sangkut pautnya dengan kebangkrutan perusahaan Abraham dan juga bukan ayah yang membuat Abraham meninggalkanku."

"Apa yang masih kamu harapkan darinya? Itu sudah masa lalu dan kamu masih mengungkitnya?"

"Dia ayah dari anakku. Bagaimana ayah tega?"

"Jangan salah sangka. Aku tidak pernah menyuruh Abraham untuk meninggalkanmu ataupun bercerai denganmu. Itu keputusannya. Aku hanya memberikan pilihan padanya karena perbuatannya yang sudah menggelapkan uang."

"A-Aku membenci ayah!" teriak Rima yang langsung berjalan pergi meninggalkan ruangan. Meninggalkan Djaja dengan seorang lelaki yang sedari tadi berdiri dibelakang tanpa suara dengan menampilkan senyuman liciknya.

Lelaki itu, Abraham berjalan mendekat masih tanpa suara mendekat ke arah Djaja. Djaja berdiri dari tempatnya sambil menutup ponsel flipnya sehingga sambungan terputus begitu saja. Mereka berdua saling pandang dengan penuh kebencian.

"Apa kau puas membuat putriku membenciku sendiri?" sindir Djaja dengan mencengram pegangan kursinya. Suara tawa mengejek keluar dari mulut Abraham.

"Tentu saja tidak. Aku akan puas jika sudah menghancurkan keluargamu, seperti kamu menghancurkan keluargaku," ancam Abraham dengan percaya diri.

Diluar ruangan, Rima berlari dengan air mata yang tergenang di pelupuk matanya sehingga ia menabrak sesuatu yang keras dan bidang, membuatnya terhuyung kebelakang. Sepasang tangan kekar yang ia kenali menangkap tubuhnya sebelum terjatuh. Noval, suaminya saat ini, satu-satunya orang yang ia cintai yang akhirnya mendapatkan restu Djaja karena perjuangan Noval yang setia kepada Rima.

"Ada apa?" tanya Noval yang mendapati istrinya menyambut kedatangannya dengan tangisan. Tanpa menjawab pertanyannya, Rima memeluk erat tubuh hangat Noval, menenggelamkan suara isak tangisan pada dadanya. Noval yang pulang kerja dan tidak mengetahui apapun, hanya bisa membalas pelukan Rima dengan mengusap lembut kepalanya.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku yakin semua akan baik-baik saja," ucap Noval yang mencoba menghibur istrinya. Isak tangis yang saat ini ia dapatkan sebagai respon. Ia mengecup lembut puncak kepala Rima yang masih dalam dekapannya. Sebuah tatapan tajam mengusik ketenangan Noval yang membuatnya segera melihat ke arah seseorang yang sedang memandang mereka berdua.

Abraham berdiri tepat di depan ruangan Djaja yang sudah ia tutup kembali ketika ia keluar. Pemandangan tidak sedap dihadapannya membuatnya begitu muak. Wanita yang berhasil menghangatkan hatinya yang dingin sedang berpelukan dengan lelaki payah. Sampai sekarang ia tidak habis pikir dengan apa yang dilihat Rima kepada lelaki payah itu, Noval, lelaki yang mengisi sebagian hati Rima saat ia masih berstatus sebagai suami Rima.

"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Noval yang menyadari keberadaan Abraha, setelah ia melonggarkan pelukannya kepada Rima.

"hanya bertemu dengan keluarga lama," jawab Abraham dengan senyum liciknya.

"Kalian masih saling bertemu satu sama lain?" tanya Noval kali ini kepada Rima yang tengah berdiri di hadapannya.

"Ti-tidak ... Kita-"

"Tentu saja kita masih saling bertemu. Bagaimanapun juga dia masih ibu dari anakku." Abraham memutus ucapan Rima dengan berjalan mendekat kearah dua pasangan di depannya. Ia meraih tangan kecil Rima dan mengecup lembut punggung tangannya.

Noval menyentak tangan Abraham sehingga ia melepaskan tangan Rima. Noval meraih kerah baju Abraham sehingga mereka saling menatap satu sama lain, "jangan sentuh istriku."

"Noval! Apa yang kamu lakukan?" teriak Rima yang terkejut dengan perbuatan Noval secara tiba-tiba.

Brakk ... suara keras terdengar dari arah ruangan Djaja yang tertutup. Rima dan Noval saling memandang, sedangkan Abraham hanya menampakan senyuman di mukanya. Merasa ada yang salah, Rima bergegas berlari ke arah ruangan Ayahnya dan masuk ke dalam.

"Jika aku menjadi dirimu, aku akan melihat pertunjukan didalam dengan Rima," ucap Abraham.

"Apa mak-"

"Kyaaaa ..." suara teriakkan Rima seakan menjadi jawaban atas apa yang akan Noval tanyakan. Ia melepaskan genggamannya pada kerah kemeja Abraham dan berlari menghampiri istrinya.

Wajah panik Rima terlihat begitu jelas. Air matanya yang sempat terhenti kembali mengalir. Ia menggerakan tubuh Djaja yang tergeletak di atas karpet ruangannya di samping meja kerjanya. Noval berjalan mendekat ke sisi lain tubuh tua itu.

"Aku ... aku tidak bisa mendengar debaran jantungnya," ucap Rima dengan panik.

Noval menekan pelan urat nadi pada pergelangan tangan Djaja untuk merasakan aliran darah, dimana ia bisa merasakannya perlahan. Ia pun segera memberika pertolongan pertama yang pernah ia pelajari sebelumnya dengan memompa keras tepat pada jantung Djaja dan setiap sebelas hentakan ia memberi napas buatan melalui mulut.

"Panggil ambulans. Cepat!" teriaknya kepada Rima yang sedari tadi melihatnya. Dengan panik Rima mencoba mencari ponsel di sakunya, tapi sayang ia sedang tidak membawanya. Ia pun berjalan ke arah meja kerja ayahnya dan mendapati telepon disana. Ia segera menghubungi nomor ambulans seperti yang diperintahkan Noval kepadanya.

Butuh waktu lima belas menit untuk ambulans datang ke rumah besar itu. Petugas dengan segera membawa Djaja ke rumah sakit. Noval di ruang tengah sedang sibuk berbicara dengan seseorang di ponselnya. Merasa tidak bisa pergi sendirian, Rima mendekati Noval untuk menemaninya.

"sedang bicara dengan siapa?"

"pak Sudarso. Aku memintanya untuk mencari Abraham dan melaporkannya ke polisi."

"Melaporkan? Apa kamu sudah gila."

"Aku tidak gila, aku berbuat hal yang benar."

"Ini kecelakaan. Bagaimana bisa kamu melaporkannya ke polisi? Apa kamu tidak berpikir jernih?"

"Kamu masih memihaknya? Sudah jelas ia yang terakhir berbicara dengan Ayah. Ia penyebabnya."

"Itu kecelakaan. Bilang kepada pak Sudarso untuk menghentikan semua perintahmu tadi atau ... atau kita berpisah."

"Kau lebih memilih pria itu?"

"Tidak. Demi tuhan, aku tidak suka kamu menuduhnya."

"Cukup!" Noval berjalan meninggalkan Rima. Ia pergi ke kamar tidur Alice dan menggendong Alice yang masih terlelap dalam dekapannya.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Rima saat melihat Noval yang hendak keluar rumah sambil menggendong anak perempuannya.

"Berpisah seperti yang kamu inginkan." Noval berjalan pergi meninggalkan rumah tersebut tanpa menoleh kebelakang, mengacuhkan panggilan Rima kepadanya.

"Bohong. Semua ini bohong kan, Ma?" Dimas memberikan responnya setelah om Noval menyelesaikan ceritanya. Ia seperti tidak menerima apa yang ia dengar mengenai ayah kandungnya. Tante Rima hanya terdiam, menunduk ke bawah sembari meremas tangannya sendiri dengan cemas.

"Jadi maksud cerita tadi, tante Rima tidak ada sangkut pautnya?" Om Noval memandangku lurus sambil mengangguk, "jangan bodoh. Sudah jelas tante Rima ikut andil akan hal itu. kalau saja tante Rima tidak termakana ucapan Abraham, kakek pasti masih ada bersama kita," geramku yang masih mencoba mencerna cerita barusan.

Semua terdiam tanpa suara, hanya suara isakan Alice yang ia coba untuk menahannya. Kutebak ia tidak menyangka bahwa alasan ini yang membuat orang tuanya berpisah. Ia masih terlalu muda saat itu. ia hanya anak berumur sebelas tahun kala itu.

"Orang-orang yang menculikku saat itu apa utusannya? Abraham?" tanyaku. Aku saat ini tidak sudi memberi embel 'om' kepada nama pria sialan itu.

"Entahlah. Aku tidak tahu," jawab om Noval dengan wajah menyesalnya. "Ceritaku tadi hanya ingin memberitahumu dan kalian semua apa yang sebenarnya terjadi agar kalian tidak selalu menyalahkan Rima atas semua yang ia lakukan."

"Ya. Langkah yang bagus agar membuat kita semua tidak menyalahkannya, tapi apa om tahu kalau omong kosong ini menyiakan waktuku untuk mencari Chika?" ucapku dengan nada menyindir. Aku berdiri dari tempatku, berjalan pergi meninggalkan keluarga dan tak lupa menendang kursi kosong di ruangan tersebut.

"Mau kemana kamu?" tanya tante Rima yang kali ini sudah berdiri dari tempatnya.

"Kembali mencari istriku," jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Aku pergi meninggalkan ruangan diikut Rekka yang langsung berdiri mengikutiku dari belakang. "Mana kunci mobilku?" pintaku.

"Mau kemana? Ini sudah malam. Kamu perlu istirahat, Leo."

"Kamu pikir aku bisa beristirahat dengan tenang saat Chika menghilang?" Aku mendorong tubuh kekarnya pada dinding di sebelah dengan membelalak kearahnya, "serahkan kunciku!" teriakku sambil mencari kunci di kantong jasnya, dimana ia biasa menyimpan kunci mobilnya disana dan aku menemukannya.

Setengah berlari, aku menuju ke arah mobil merahku yang terparkir di depan rumah. Aku segera menginjak keras pedal gasnya saat mobil menyala, meninggalkan rumah dan kembali mencari Chika dengan menelusuri jalanan Jakarta.

Tuk ... tuk ... Suara ketukan pada kaca jendela berhasil membangunkanku dari tidur sesaat aku. Aku memicingkan mata mencoba beradaptasi dengan cahaya matahari yanag menyorot ke arahku. Aku menatap sosok anak laki-laki diluar mobilku sedang menawarkan sebuah koran pagi. Aku mencoba menolak dengan halus anak tersebut, tapi sebuah foto yang terpampang di halaman pertama menarik perhatianku. Aku membuka lebar kacaku dan membeli salah satu koran pagi milikknya. Dengan seksama kubaca berita pada tajuk utama tersebut yang berhasil membuatku geram pada pagi hari.

Akau meraih ponselku yang kuset bergetar agar tidak menggangguku, dimana terdapat 10 pesan dan 20 panggilan tak terjawam. Aku membuka kotak pesanku perharap salah satu dari banyak pesan itu dari Chika, sayangnya itu semua hanya pesan dari Rekka, Fajri dan Dimas.

Sialan, pasti mengenai tajuk berita di halaman utama ini.

Aku membuka menu panggilan dan memanggil salah satu dari banyaknya orang-orang yang menghubungiku pagi ini. Pada deringan kedua panggilanku tersambung.

"Panggil semua tim perencana untuk rapat satu jam lagi," perintahku tanpa basa basi.

"Kamu ada dimana sekarang? Aku akan menjemputmu."

"Siapkan saja ruang rapatnya sekarang. Aku akan kesana dalam waktu setengah jam," ucapku mengulang perintah, "dan jangan lupa siapkan pakaian gantiku," lanjutku yang langsung mematikan sambunga.

Dasar orang-orang bodoh bagaimana bisa mereka membocorkan rahasia klien dan terpampang jelas di surat kabar pagi. Aku benar-benar harus menyingkirkan tikus-tikus kecil pembawa penyakit di perusahaanku dengan segera.

Aku memutar kemudi mobilku ke jalanan dan melajukannya dengan cepat menuju perusahaan. Meski aku masih belum menemukan Chika, bukan berarti aku akan menterlantarkan perusahaanku dimana terdapat sekitar 5000an karyawan, baik itu karyawan tetap ataupun kontrak, yang menjadi tanggung jawabku. Semalaman aku keliling Jakarta, tapi keberadaan Chika masih belum kutemukan, bahkan aku tidak kunjung mendapatkan kabar dari Fajri. Bisa kutebak saat ini ia masih mencarinya. Kuharap seperti itu.

"Ruang rapat sudah siap, beberapa orang sudah siap di dalam," ujar Rekka saat melihatku memasuki gedung, dimana ia sudah menunggu di lobi, "apa kamu sudah istirahat," lanjutnya dengan berbisik.

Aku menatapnya kesal, "bajuku sudah kau siapkan?" tnayaku tanpa repot menjawab pertanyaannya, karena dengan sekali lihat ia pasti tahu jawaban atas pertanyaannya sendiri.

"Sudah kusiapkan di ruanganmu."

"Lima belas menit lagi aku akan ke ruang rapat, pastikan semua pengurus proyek ini hadir tanpa terkecuali, termasuk Dimas." Aku mempercepat langkahku menuju lift khusus yang langsung menuju ke ruanganku. Saat ini aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Aku ingin sendirian untuk sesaat memikirkan semua masalah yang datang disaat bersamaan.

Semua orang di ruang rapat terdiam melihat kedatanganku. Mereka membungkukkan badannya setengah dengan wajah tegang mereka. aku melangkah menuju kursiku dan duduk diam disana memperhatikan satu persatu wajah orang-orang yang ada didalam. Tak ada suara ataupun gerakan mencurigakan. Aku hanya menatap tajam ke seluruh penjuru ruangan dimana mereka semua sebagian besar menunduk kebawah.

Merasa sebagai ketua tim, Dimas maju kedepan membacakan isu yang baru saja terjadi, dimana barang yang akan dikirim oleh Wins Inc. Telah bocor ke media. Klien merasa dirugikan dan meminta ganti rugi dua kali lipat dari ganti rugi yang biasa kita janjikan kepada klient. Semua orang saling melirik satu sama lain dengan pandangan curiga kepada rekannya, seakan kesetian mereka dengan rekan kerja sedang diuji.

Aku menyisir rambutku yang sudah kurapikan sebelumnya kebelakang dengan bukur jariku. Aku harus menghentikan perdepatan mereka dan menggunakan waktu berhargaku untuk mencari Chia kembali, "jika salah satu dari kalian tidak ada yang mengakui akan kebocoran informasi ini, satu-satunya jalan yang saya tawarkan, kalian semua yang menanggung 60 persen ganti rugi yang diminta klien."

Semua terdiam dengan pilihan yang aku berikan. Aku benar-benar tidak ada waktu. Sebelum aku menutup rapat yang tak kunjung selesai, salah satu dari mereka berdiri.

"Kami menolak jika diminta membayar ganti rugi, dimana kami sendiri bahkan tidak mengetahui isi dari barang pengiriman tersebut. Jadi bagaimana kami bisa membocorkan informasi tersebut ke media jika kita tidak mengetahuinya?" Ia menatapku penuh keyakinan, "lagipula jika disuruh bertang jawab seharusnya hanya satu orang yang lebih mengetahui lebih dalam mengenai proyek ini."

"Jadi maksudmu kamu tidak tahu menahu apa yang kamu kerjakan? Apa yang sebenarnya kamu lakukan di tempat ini jika kamu tidak tahu tugas pekerjaanmu?" tanyaku padanya yang langsung menunduk kembali, duduk di kursinya.

Aku menghela napas panjang, berdiri dari kursiku dan pergi meninggalkan ruang rapat setelah menutup dan meminta Dimas menghadap ke ruanganku. Aku mengerti sebenarnya maksud dari karyawan tersebut, mengenai orang yang paham betul mengenai perjanjian ini. Dimas satu-satunya yang tahu mengenai proyek ini dan isi barang yang akan kita kirim.

"Serahkan surat pengunduran dirimu segera ke HRD atau kamu harus mencari proyek baru dengan nilai keuntungan yang sama dengan kerugian kita," ucapku disaat Dimas sudah berdiri di hadapanku. Ia menatapku tak percaya dengan apa yang aku ucapkan, dimana aku tidak peduli karena saat ini aku sedang sibuk mengirim surel untuk klien mengenai ganti rugi ini.

"Jangan bercanda kamu, bagaimana mungkin ada proyek dengan nilai keuntungan yang besar seperti itu."

"Kalau begitu bisa kamu jelaskan bagaimana informasi klien bisa bocor ke media?"

"Itu ... aku tidak tahu."

"Bagaimana kamu tidak tahu, jika informasi penting itu yang mengetahui hanya dirimu dan diriku. Perlu kau ingat dari kemarin aku tidak ada di kantor, file klien aku simpan di dalam laptopku dimana tidak ada seorang pun yang bisa membukanya, termasuk Rekka, karena aku selalu mengganti kata sandinya setiap hari. Bisa kamu jelaskan bagaimana media bisa mendapatkannya?" Aku menatap lurus ke arah. Ia terdiam di hadapanku seakan berpikir keras.

"Sepertinya suasana begitu tegang di ruangan ini." Suara perempuan terdengar melalui pintu ruanganku. Tampak Jessica Windler dengan pakaian mininya yang begitu ketat berwarna biru tua masuk kedalam ruanganku dengan percaya diri.

"Apa kamu tidak tahu tata krama? Apa kamu tidak pernah diajari untuk mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk?" sindirku kepadanya yang saat ini sedang duduk tanpa di persilahkan di hadapanku, dimana Dimas yang sedari tadi di ruanganku masih berdiri.

"Entahlah, sepertinya aku lupa. Lagipula pintu ruanganmu terbuka dan sekertarismu juga tidak ada di depan." Ia memberikan senyumannya kepadaku dengan mencodongkan tubuhnya kedepan sehingga aku bisa mencium aroma coklat yang membuatku sedikit mual, "Ah salah, bukan sekertaris. Dia tunanganmu," lanjutnya dengan nada mengejek yang berhasil membuat darahku berdesir karena amarah.

"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Dimas dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan, karena pandangannya beda dari biasanya ia melihat Jessica sebelumnya.

Jessica melihat sekilas ke arah Dimas dan beralih keapdaku dengan senyumannya, "menemuimu. Aku dengar mengenai kebocoran informasi dengan Wins Inc., bukankah itu perusahaan besar?" ucapnya dengan nada ceria yang memuakkan, "pasti ganti rugi yang diminta mereka sungguh besar, bukan? Berapa? Dua setengah miliar?"

Aku bergidik saat Jessica menyebutkan nominal akurat mengenai ganti rugi tersebut. Bagaimana dia bisa mengetahuinya?

"Aku bisa membantumu untuk mengganti kerugian itu."

"Kurasa perusahaanku masih mampu membayar kerugian itu," tolakku masih mengamati ekspresinya yang mencurigakan, "Apa maumu kemari? Bagaimana kamu mengetahui jumlah nominal kerugiannya?"

"Dari kabar burung yang sudah beredar luas, bahkan media mengetahuinya. Lagipula aku kemari ingin memberimu penawaran yang menguntungkan." Aku menaikan sebelah alisku seakan tidak tertarik dengan penawarannya, tapi sepertinya ia tidak menyadari ketidak tertarikkanku. Ia mendekatkan tubuhnya kembali ke atas meja sehingga wajahnya ada di hadapanku.

"Batalkan pertunanganmu dengan perempuan murahan pilihanmu dan menikah denganku. Kamu akan mendapat banyak keuntungan jika kita menikahh nanti." Ia kembali memberikan senyumannya yang kali ini berhasil membuat amarahku semakin memuncak. Aku mengepalkan tanganku berusaha menahan letupan yang sudah siap keluar.

"Pergi dari hadapanku sekarang juga dengan kakimu sendiri atau aku mengusirmu dengan tidak terhormat nona Jessica Windler." Aku berusaha menjaga nada bicaraku sedatar mungkin. Senyuman yang muncul dari wajah Jessica seketika berubah menjadi raut marahnya karena aku bisa mendengar gertakan giginya yang saling bertemu.

"Kamu tidakperlu repot-repot. Aku bisa pergi dengan kakiku sendiri," ujarnya sambil mengibaskan rambutnya yang ada di depan ke belakang. Ia memutar tubuhnya, berjalan menuju pintu ruanganku untuk keluar dengan tubuh tegapnya.

"Apaa dia pernah datang ke ruanganmu akhir-akhir ini?" tanyaku setelah Jessica menghilang dari ruanganku, karena saat ini aku menaruh curiga pada dirinya yang mengetahui proyek ini, dimana karyawan tim tidak tahu secara detail.

"Satu kali setelah acara Valentine kemarin," jawab Dimas yang sepertinya mengerti maksud tersembunyi dari pertanyaanku kepadanya. Jika bukan dimas ataupun diriku yang membocorkannya pasti ada orang lain yang menyelinap dan mencuri informasi tersebut.

"Hei," sapaan Jessica yang muncul kembali di balik daun pintu saat aku hendak mengambil ganggan telepon menghentikanku, "apa tunanganmu pintar berenang?"

Pertanyannya kali ini berhasil membuat pertahanku mulai rubuh, "Apa maksudmu?" geramku dengan membelalak kearahnya.

"Entahlah. Kurasa sebentar lagi ada pertunjukkan yang menarik," jawabnya dengan senyuman licik muncul dari wajahnya. Ia pun menghilang kembali dari hadapan kami berdua.

Aku meraih ganggang telepon dan menghubungi Fajri dengan segera sambil berharap kecemasanku tidak akan pernah terjadi.

"Ikuti Jessica Windler dan selediki apapun mengenai dirinya," perintahku saat Fajri mengangkat panggilanku. Aku segera membanting ganggang telepon dengan keras saat menutupnya, membuat Dimas yang masih didalam ruanganku terperanjat kaget. Aku mengambil kunci mobilku kembali, berjalan meninggalkan ruangan tanpa mendengar panggilan Dimas di belakangku.

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 626 7
Sejak ditolak cintanya oleh Mario 3 tahun yang lalu, Arissa selalu memanggap pria tersebut seperti kuman. Kuman yang harus dihidari agar dia tidak me...
8.4K 489 43
( 𝐊𝐎𝐍𝐅𝐋𝐈𝐊 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐀𝐇𝐀𝐏! ) 𝐌𝐄𝐍𝐆𝐀𝐃𝐔𝐍𝐆 𝐀𝐃𝐄𝐆𝐀𝐍 𝐃𝐄𝐖𝐀𝐒𝐀 & 𝐁𝐄𝐑𝐃𝐀𝐑𝐀𝐇 🔞 "𝘛𝘦𝘳𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱𝘯𝘺𝘢 𝘳𝘢𝘩𝘢𝘴𝘪𝘢 𝘥�...
2.1M 30.2K 27
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
21M 182K 18
NO. 1 General Fiction : 23/12/2017 & 10/01/2018 BAB DIPRIVATE ACAK!! FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!! ROMANCE ADULT (Cerita ini mengandung unsur adegan...