LFS 1 - Air Train [END]

By PrythaLize

1.1M 144K 6.3K

[Little Fantasy Secret 1] Pertama kali Tyara merasakan keberadaan kereta api itu adalah setelah malam tahun b... More

PROLOGUE
The First Station - "Tears After The Day"
The Second Station - "Those Rain That Passes by"
The Third Station - "Unheard Voice"
The Fourth Station - "Passenger"
The Fifth Station - "Pretend"
The Sixth Station - "The Falling Name"
The Seventh Station - "Another Moment"
The Eighth Station - "Another Gift"
The Tenth Station - "New Year Eve's Miracle"
The Eleventh Station - "TERROR"
The Twelfth Station - "The Second Message"
The Thirteenth Station - "The Second Entrance"
The Fourteenth Station - "I'm Not The Only One"
The Fifteenth Station - "Heartache"
The Sixteenth Station - "So Near Yet Nobody Could Reach"
-TUNNEL-
-A STOP-
The Seventeenth Station - "Hope in Nope"
The Eighteenth Station - "The Secret Miracle"
The Nineteenth Station - "How Do You Know?"
The Twentieth Station - "Night"
The Twenty First Station - "The Conversation"
The Last Station - "The Final"
EPILOGUE

The Nineth Station - "The Miracle She Used to Wait"

37.4K 5.2K 38
By PrythaLize

Suara mobil yang memacu normal, lampu-lampu jalanan yang masih menyala meski langit mulai mengangkat naik dirinya. Matahari belum menampakan dirinya, namun dapat membuat sebagian besar langit mulai jelas. Awan-awan putih yang tampak dan bintang-bintang yang bersedia menghilang.

Kuperhatikan air botol mineral yang bahkan tidak sampai seperempat itu, tampak bergetar mengikuti getaran mesin mobil yang menyala dan memantulkan cahaya lampu jalanan beberapa kali saat lewat. Tidak ada apapun yang menerangi tempat ini kecuali lampu itu.

Tak lama kemudian, terdengar suara dering telepon yang membuatku familiar sejenak. Lagu base song ponsel Mama yang sejak dulu tidak pernah diganti. Tapi, sudah beberapa tahun ini aku tidak pernah mendengarkan lagu itu kembali.

"Halo?"

Suara desas-desis terdengar dari telepon, mungkin hal yang penting, sebab ekspresi Mama tampak terkejut saat orang itu menjelaskannya.

"Benarkah? Akan kuperiksa lagi nanti."

Beliau mematikan teleponnya, yang membuatku menghela nafas lega untuk sejenak. Kukira Mama akan meminta Papa untuk memutar balik ke rumah. Kami sudah berada di setengah jalan menuju rumah Kakek dan Nenek. Terdengar mustahil namun benar-benar terjadi.

Hari ini kami sekeluarga berencana menginap di rumah Kakek dan Nenek, sebab di saat aku kebetulan tengah liburan sekolah, mereka juga tengah menikmati cuti akhir tahun mereka. Waktu terasa cepat berlalu, bahkan aku telah lupa bahwa waktu telah terputar dua tahun hingga hari ini.

Aku menguap beberapa kali, lalu memejamkan mataku berusaha untuk tertidur, setidaknya untuk mengistirahatkan mataku dari lelah yang juga kurasakan. Hampir tiga jam perjalanan, kami belum juga mencapai tempat yang kami tuju, bahkan masih ada dua jam lagi sebelum kami tiba di sana.

Alasan kami berangkat jam dua pagi tadi, hanya untuk menghindari macet panjang yang biasanya terjadi saat pasar-pasar pagi dibuka nanti.

Beberapa saat setelah mataku terpejam, aku mendengarkan percakapan Papa dan Mama yang menyangkut pautkan diriku.

"Sudah kubilang kalau Tyara bukanlah anak yang menyusahkan." Papa membuka suara. "Atau bisa kukatakan, Tyara hampir tidak pernah menyusahkan kita."

Mama terdiam sejenak, lalu menghela nafas.

"Dia memang tidak menyusahkan."

Aku ingin sekali tersenyum lebar mendengar perkataan Mama, namun kutahan dengan sekuat tenaga. Apalagi aku tengah yakin bahwa Mama tengah menatapku.

"Tapi dia benar-benar sulit."

Kebahagiaanku yang sempat melambung tinggi, langsung terbanting ke bumi kembali ketika mendengarkan perkataan itu. Aku anak yang sulit? Apa maksudnya?

"Beberapa bulan yang lalu, dia memperlihatkanku sebuah kunci."

Aku terdiam, berusaha menetralkan nafasku agar terdengar normal. Sekat pernafasanku rasanya semakin menyempit saja.

"Hm, aku tahu."

"Itu mirip kunci kuno yang sudah lama tak dipakai, kan?"

Kini aku merasakan tatapan mereka terhadap sesuatu yang kini kukenakan di leherku. Aku memang membuat kunci itu menjadi barang bawaan wajib yang harus dibawa kemana-mana dan kini aku merasa terpojokan.

"Entahlah, menurutku itu kunci untuk membuka gembok yang besar."

Aku mengetahui bahwa benda yang dijatuhkan oleh Kereta api itu adalah kunci dari Bi Erni. Setelah kuperhatikan dengan seksama, barulah aku mempercayainya. Adalah kesalahan saat aku kembali mempertanyakan hal ini kepada Mama. Mama tampaknya risih terhadap semua topik yang bersangkutan dengan kunci ini.

"Sudah beberapa kali aku mencoba menjauhkan kunci itu dari Tyara. Tapi kunci itu selalu kembali padanya keesokan harinya."

Aku tersentak, namun aku berusaha tak memperlihatkannya sejelas itu. Aku tidak tahu kalau Mama segitu risihnya dengan kunci ini. Memangnya apa yang salah dengan kunci ini?

"Sudahlah, biarkan saja. Mungkin Tyara memang menginginkan kunci itu." Papa menjawab disela mengemudi.

"Tapi aku khawatir."

Khawatir? Mama khawatir?

Apa yang Mama pikirkan sampai beliau bisa khawatir denganku?

Selama tigabelas tahun ini, aku tidak pernah sekalipun mendengar kata-kata Mama yang mengatakan bahwa beliau khawatir denganku.

Aku tidak tahu kenyataan ini menyenangkanku atau malah menyakitkanku.

Aku tidak tahu.

*

Pepohonan, rerumputan yang padat, semak berukar, bunga-bunga, bangunan-bangunan yang kini telah berdiri berbeda dengan dua tahun lalu. Tahun lalu, aku memang mengunjungi tempat ini setelah diantar oleh Mas Acep, tapi aku tidak menginap dan langsung memilih pulang kembali begitu aku sampai di pemakaman umum menemui makam mereka.

Mobil pun berhenti bergetar saat Papa mematikan mesinnya. Kami sudah berada di depan bangunan kuno yang membuat memoriku berputar kembali. Sekilas, rumah itu tampak masih baik-baik saja saat kita melihat bangunannya dari luar pagar besi itu saja. Tapi, saat melihat kondisi kebun yang tidak terawat, hatiku benar-benar terasa pedih.

Papa mengeluarkan puluhan kunci yang semuanya disatukan dalam sebuah gantungan kunci, lalu membuka gembok pagar dengan salah satu kunci perak. Begitu gembok itu terbuka dan Papa memisahkan gembok dan pagar itu, aku kembali teringat dengan kejadian malam itu.

Kuratapi jendela besar di atas sana dan mengenang kembali saat-saat dimana aku menunggu kepulangan Kakek dan Nenek. Saat itu, aku terlalu bodoh untuk tahu bahwa mereka tidak akan kembali lagi.

"Tyara, ayo."

Papa menegurku yang tengah melamun, aku pun merasa bersalah saat melihat Papa membawa koperku dan koper miliknya turun dari bagasi sendirian. Sedangkan Mama membawa kopernya sendiri.

Saat Papa menurunkan koperku dan kopernya ketika dia hendak membuka kunci pintu, aku buru-buru mengambil alih koper milikku, takut menyusahkannya setelah dia lelah mengemudi tadi.

KREK.

Pintu terbuka, aroma yang biasanya hanya kurasakan di rumah ini pun menyeruak keluar. Keadaan dalam rumah masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Benar-benar masih sama.

Sofa dan meja di ruang tengah, jendela kayu yang tertutup, rak sepatu, figura foto Papa memakai toga sarjana, dan bahkan bungkusan kembang api yang ingin kunyalakan dua tahun lalu tetapi tidak terwujud. Kukira akan ada seseorang yang membuangnya saat hari pemakaman mereka saat itu, rupanya aku salah.

Semua hal disini masih sama, seperti kenangan yang tidak berubah.

"Kamu ke kamar atas saja yah, Ra?"

Aku tersentak dan bahkan tubuhku menegang tanpa kusadari. Aku memang selalu mendapat kamar lantai atas karena kamar itu merupakan kamar milikku, Kakek dan Nenek yang mengatakannya. Aku bahkan masih yakin bahwa pintu kamar itu masih tergantung namaku disana.

Kamar di bawah adalah kamar tamu, sedangkan kamar Kakek dan Nenek berada di sebelah kamarku.

Takut dijatuhkan kembali oleh kenangan, sebenarnya aku ingin menolak. Tapi, mulutku sama sekali tidak bisa menolaknya. Aku sadar, Papa dan Mama akan jauh lebih sakit dibandingkan aku.

"Baiklah."

Setengah berat hati, aku menaiki tangga yang sesekali akan mengeluarkan suara. Juga lantai atas yang mulai terlihat terang, mungkin karena efek matahari pagi hari ini.

Mungkin karena terlalu lama mengenang setiap detik yang kini berjalan, aku sampai tidak sadar bahwa aku telah berada di depan pintu kamarku. Dugaanku benar, masih tergantung namaku di depan pintu itu.

Agak ragu, kubuka pintu itu dan hal pertama yang menyambutku adalah..., cahaya matahari yang memaksa masuk dari balik kaca jendela.

Hatiku sedikit tenang saat aku mulai menjatuhkan diriku diatas kasur, menghirup aroma yang terasa seperti rumah bagiku. Tak kupedulikan lagi jika sprei ini telah lama tak diganti atau terhadap debu-debu yang tampak berterbangan berkat cahaya matahari.

"Aku pulang," gumamku dengan suara kecil dan senyuman tipis.

*

Makan malam tidak pernah terasa begitu hangat akhir-akhir ini. Atau mungkin aku baru merasakan kehangatan itu saat makan malam sekarang dan setelah terlalu lama menikmati kesendirianku?

Entahlah. Aku tidak bisa menjawab.

Kami berada di keheningan yang selalu kurasakan setiap makan. Mungkin karena Papa dan Mama benar-benar tegas dalam tata etika di atas meja makan. Itulah sebabnya aku tidak pernah berbicara disela makan, bahkan saat aku tidak sedang makan bertiga dengan mereka.

"Sebentar lagi kamu akan Ujian Nasional dan masuk SMA, kan?" tanya Papa setelah acara makannya selesai.

Aku menelan makananku terlebih dahulu sebelum menjawab, "iya, Pa."

"Mama tahu sekolah swasta yang bagus. Mungkin nanti Mama akan mendaftarkanmu langsung begitu selesai Ujian?"

Aku hanya diam dan pasrah mendengarkan. Toh, aku tidak pernah sekalipun berhasil mengubah keputusan Mama berapa kalipun aku mencoba. Lagipula, Mama pasti tahu hal yang terbaik untukku.

Usai makan malam, aku naik ke atas kamarku, sementara Papa dan Mama masuk ke kamar mereka. Mungkin saja mereka sibuk dengan laptop yang mereka bawa dari rumah.

Sprei milikku sudah diganti, tadi siang aku, Mama dan Papa sibuk membersihkan rumah ini. Lelah namun menyenangkan. Tapi aku melarang keras diriku untuk mengeluh, sebab kini aku tengah berbunga-bunga karena masih tidak percaya dengan apa yang tengah terjadi saat ini.

Aku berada di ruangan gelap, sangat gelap sampai aku tidak dapat melihat apapun. Sebuah cahaya dari arah berlawanan datang menyapa, membuatku menatap ke arah itu dan bertanya-tanya tentang hal itu.

Saat kuputuskan untuk menghampiri cahaya itu, aku mendengar suara yang membuatku tersentuh nyaris menangis.

Suara Kakek dan Nenek.

"Hai, Tyara."

Kudongkakan kepalaku mencari asal suara yang kuyakini adalah suara milik mereka yang terdengar dari atasku. Aku tidak mungkin salah mendengarnya, kan?

Tiba-tiba kurasakan seseorang menyentuh bahuku.

"Kami akan selalu ada di hatimu."

Tak terasa airmata yang kutahan mendesak keluar, mereka jatuh bersamaan tanpa menelusuri pipiku terlebih dahulu. Ini menyakitkan.

"Jangan menangis." Terdengar suara Nenek. "Karena kamu akan mendapatkan keajaibanmu sebentar lagi."

Aku terbangun, dengan lembab yang kurasakan dikedua mataku dan bantalku yang basah karena airmataku.

Kupandangi pemandangan diluar jendela, seperti menunggu sesuatu yang tidak pasti. Kugenggam kunci di leherku kuat-kuat, seperti menginginkannya hancur dan membangun kekuatan baru untukku.

***TBC***

28 Juni 2016, Selasa.

Cindyana's Note

Seingatku stasiun berikutnya adalah saat-saat yang mungkin kalian tunggu.

Setahu saya, saya terus mengingatkan bahwa cerita ini--dan LFS lainnya--dibawa santai ajahh~ Jadi gausah tegang gitu ah, bacanya. Baca Air Train aja tegang, yang lain gimana coba entar?

Iya, setahu saya Air Train yang paling santai dibanding keempat temannya.

Saya rada ragu kasih spoiler buat Metta, Clay, Riryn dan Alena. Tapi seharusnya saat baca cerita mereka nanti, kalian santai juga ya.

[25/01/2016-18:58]

Cindyana

Continue Reading

You'll Also Like

22.9K 1.1K 28
#2melodylan 1-01-2020 #1 erisca oktober-november-desember 2019 #1 melodylan #2 i'myours 29-09-2018 #4 alasan 24-05-2019 "Alda, gue suka sama lo." Sel...
3.1M 299K 84
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya.
35.7K 3.4K 56
Telah diterbitkan oleh Elex Media dalam bentuk E-book. *** Suatu senyuman dianggap sangat penting bagi sebagian orang. Berbeda dengan orang lain, seb...
1.5M 132K 73
NOT BL! (Follow biar tahu cerita author yang lain ok!) Update sesuai mood 🙂 Seorang remaja laki-laki spesial yang berpindah tubuh pada tubuh remaja...