Biduk Terbelah

By deerama

196K 18.1K 1.9K

(SELESAI) Lanang; "Aku tahu, dari sekian banyak penderitaan yang telah kamu alami selama kita bersama, memaaf... More

PROLOG
1. Kepergian Nara
2. Eccedentesiast
4. Film Barbie
5. Salah Sangka
6. Geng Koprol
7. Cinta dalam Sehelai Rambut
8. Cemburu
9. Seorang Kawan Lama
10. Testpack
11. Upiak - Buyuang
12. Alasan sholat?
13. Restu Tiwuk
14. Rajukan Nara
15. Persaudaraan
16. Jadian?
17. Papa Andri
18. Curahan Hati
19. Kepala Batu
20. Terminal
21. Kabar baik
22. RENDEZVOUS
23. Karma
24. Ngayugyokarto
25. SMS misterius
26. Superhero
27. Sapu Terbang
28. Balas Dendam
29. Sengketa Hati
30. Talak Tiga
31. Empat Pasang Mata
32. Trauma
33. EGO
34. Surat Ajaib
Epilog

3. Tiwuk

7.6K 622 32
By deerama

Flashback

"Assalamualaikum..." terdengar suara Lanang datang. Nara segera membukakan pintu dan menutupnya kembali, sesaat setelah suaminya masuk ke kamar kos mereka.

"Sayang...aku punya kabar baik dan buruk buat kamu. Kamu mau dengar yang mana dulu?" Lanang meletakkan tas kerjanya di kursi lalu menarik tangan Nara agar duduk di sampingnya --di tepi pembaringan.

"Ada apa sih mas? Kok penting banget kayaknya?" Nara tahu bahwa apa yang akan dibicarakan oleh suaminya adalah hal penting. Karena biasanya Lanang langsung melepas kemeja begitu masuk kamar. Hanya menyisakan kaos singlet putih di badan, lalu dia rebahan di ranjang sambil mengipasi badannya dengan sobekan kertas kalender lama. Tapi kali ini, untuk melakukan hal itu saja Lanang seolah tidak sempat.

"Jawab dulu pertanyaanku tadi"

"Ehmm..." Nara berpikir sejenak, "Yang buruk dulu aja."

"Kamu jangan kaget ya?" Nara mengangguk ragu. "Aku sudah mengajukan resign per tanggal dua belas. Senin depan."

"Apa? Serius kamu mas?" Seperti dugaan Lanang, Nara terkejut mendengar pernyataan darinya. Lalu Lanang mempersiapkan diri untuk mendengar kalimat Nara berikutnya. "Pasti gara-gara kamu bertengkar lagi sama temanmu itu ya?" Nara tidak memberi kesempatan Lanang untuk menjawab. "Kamu gimana sih mas? Terus kita dapat uang dari mana buat kebutuhan sehari-hari? Apalagi aku sudah hamil tua begini. Kita butuh uang untuk mempersiapkan kelahiran anak kita buat biaya persalinan, beli baju bayi, bak mandi, sabun, bedak, bedong, popok dan lain-lain. Itu butuh biaya nggak sedikit mas. Kamu sebelum bertindak, pikir dulu masak-masak. Jangan pendek pikiranmu," Lanang hanya mendengus. Dia memaklumi Nara yang selama ini pendiam bisa ngomel sepanjang itu, melebihi panjangnya rel kereta sejak hamil. Semakin membesar perut istrinya, semakin sensitif dan semakin sering uring-uringan.

"Sudah ngomelnya, sayang?"

"Belum!" Nara cemberut.

"Ya udah terusin. Aku dengerin kok." Lanang menaikkan kedua kakinya ke atas kasur. Lalu bersila. Sebuah bantal buluk tak bersarung dia letakkan di atas pangkuan. Kini tangannya menopang dagu. Ekspresi mirip murid yang siap menyimak pelajaran dari guru dalam kelas.

"Aku ndak bercanda mas!" Melihat gelagat suaminya yang tidak serius menanggapi omelannya, Nara kian berang.

"Nanti setelah kamu puas ngomel. Akan ku beritahu kabar baiknya"

"Ya sudah. Kalo gitu sekarang kabar baiknya apa?" Tanya Nara dengan bibir yang masih mencebik.

"Yakin kamu sudah puas ngomelnya?" Lanang malah sengaja menggoda.

"Mas!"  Nara melotot.

"Hoho...iya..iya deh aku mulai cerita" Lanang meraih tangan Nara, di elus-elus dengan lembut untuk meredakan sisa amarah yang tadi bergejolak. "Begini loh sayang. Inget nggak aku pernah cerita punya teman kuliah orang Padang? Fathian namanya," Nara diam sejenak, lalu menganggukkan kepala. "Nah, ternyata dia disana jadi pengusaha sukses. Meneruskan perusahaan retail orang tuanya."

"Terus?" Nara mengernyitkan kening, masih tidak mengerti dengan arah obrolan ini.

"Terus kemarin dia nelpon aku. Katanya sih dapat nomer hapeku dari orang rumah di Semarang. Jadi dia sengaja nelpon ke rumah nyari aku. Dia itu nggak tahu kalo aku di Pekanbaru"

"Terus?"

"Ya begitu tahu ternyata aku di Pekanbaru dia senang. Berarti kami dekat dan bisa ketemuan. Lalu dia bilang kalo butuh orang untuk jadi manager area. Dia nawarin aku mau apa nggak? Soalnya dia udah kenal dan percaya padaku"

"Terus-terus...terus kamu jawab apa?" Tanya Nara penuh antusias. Dia sudah mulai bisa membaca akhir cerita Lanang yang membuat senyumnya mengembang seketika. Dia tahu, jabatan manager itu bukan main kerennya.

"Ya ku jawab mau kalo gajinya sesuai"

"Terus dia bilang apa?"

"Dia menawarkan sejumlah nominal untuk disepakati sebagai gajiku nanti. Kamu mau tahu berapa gaji yang dia tawarkan?" Nara mengangguk mantap. Matanya berbinar-binar, secerah rembulan di luar sana yang sedang menggantung mesra bersama bintang-bintang.

"Berapa mas?"

"Empat kali lipat gajiku yang sekarang!" Nara melotot. "Nah, hitung sendiri berapa jumlahnya!" Mulut Nara komat-kamit. Jari-jamarinya menekuk dengan teliti untuk menggambarkan jumlah uang yang akan dia terima tiap bulan nanti.

"Hampir delapan juta?" Lanang menggangguk. "Haaa? Astaga!" Mulut Nara menganga sejenak lalu dia tutup dengan telapak tangan."Ya Allah...banyak sekali." Nara seolah tidak percaya dengan berita yang dia dengar. Ini seperti mimpi di siang bolong.

"Bukan hanya itu sayang. Nanti kita disiapin rumah beserta isinya dan mobil dari kantor. Walaupun semua itu merupakan aset kantor, setidaknya kita nggak perlu keluar uang buat ngontrak rumah kan?"

"Kamu nggak bohong kan mas?" Sekarang Nara mengikuti jejak suaminya, menaikkan kedua kaki lalu bersila di atas kasur. Kini tubuh mereka berhadapan.

"Buat apa aku bohong sayang? Anggap saja ini rejeki yang dibawa anak kita" Lanang mengelus-elus perut istrinya yang sudah membuncit.

"Kamu benar mas. Tiap anak membawa rejekinya masing-masing. Alhamdulillah...terima kasih Ya Allah" Nara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Selamat ya mas. Aku bangga sama kamu. Temanmu nggak akan semudah itu memberikan kepercayaan besar jika nggak mengenalmu sebagai orang yang bertanggung jawab"

"Terima kasih sayang. Saat kuliah kami memang lumayan dekat. Tapi aku nggak pernah nyangka kalo dia anak orang kaya dari Padang. Penampilannya biasa-biasa saja."

"Orang baik akan dipertemukan dengan orang baik juga mas"

"Ah, nggak semata-mata karena itu juga sayang. Semua ini berkat kesabaran dan doamu juga. Selama ini kamu sabar menerima keadaan kita yang serba kekurangan. Kamu nggak pernah ngeluh dan nggak pernah berhenti berdoa"

"Itu sudah tugasku sebagai istri, mendoakan suamiku sehat dan diberi rejeki yang halal barokah"

"Makasih ya sayang. Kamu sudi mendampingiku dalam keadaan susah"

"Dalam keadaan apapun aku akan mendampingimu mas."

"Oya, berarti minggu depan kita pindah ke Padang"

"Mulai besok aku akan mengemasi barang-barang yang jarang kita pakai dulu" mereka saling melemparkan senyuman manis lalu berbagi kebahagiaan dalam hangatnya pelukan.

***

Saat Nara sedang bergulat dengan tepung di dapur, tiba-tiba seseorang masuk, menyeret sebuah kursi makan kayu tua, lalu mendudukinya. Suara deritan kursi itu memecah keheningan malam.

"Kamu belum tidur, Wuk?"

"Ra iso tidur aku Ra"

"Loh, kenapa?"

"Ndak tau. Sudah tak pejam-pejamkan mata. Tetep saja ndak bisa tidur"

"Kamu lagi jatuh cinta kali. Makanya nggak bisa tidur" Goda Nara santai sambil tetap menguleni adonan donat.

"Hush! Ngawur kamu kalo ngomong! Kamu kan tahu, aku ini paling benci sama makhluk yang namanya lelaki! Mana mungkin jatuh cinta." Tiwuk begitu emosi sampai ludahnya muncrat.

"Nggak boleh gitu Wuk...kodrat hidup kita ya berpasangan. Ada perempuan, ada lelaki. Ada sayang, ada cinta"

"Ogah! Yang namanya lelaki dimana saja sama. Bejat! Liat nasibmu. Sengsara gini juga gara-gara makhluk astral yang namanya lelaki toh?" Pertanyaan Tiwuk menusuk hati Nara yang terdalam. Tangannya berhenti menguleni adonan dalam baskom. Seketika kesedihan menghinggapinya. Matanya berkaca-kaca.

"Duh Ra...Maaf yo? Mulutku ini memang gitu. Ndak bisa ngerem kalo ngomong" Tiwuk merasa bersalah melihat Nara kembali dirundung duka. Sejak pertama mereka bertemu setahun lalu, Tiwuk hampir belum pernah melihat Nara tertawa. Hanya air bening saja yang keluar dari mata wanita berwajah sendu itu.

"Nggak apa kok Wuk. Kamu nggak salah. Memang sudah garis takdirku begini." Nara menarik nafas panjang, lalu meneruskan membuat donat untuk dijual besok pagi di depan pabrik tempat Tiwuk bekerja.

Kebetulan jarak rumah Tiwuk dengan pabrik bisa ditempuh jalan kaki selama dua puluh menit. Di sana Nara sudah punya tempat jualan kecil-kecilan --sebuah warung berdinding anyaman bambu. Tiap hari dia menjual berragam kue, teh, kopi, pecel dan soto.

Labanya tidak seberapa, tapi lumayan untuk membayar iuran sekolah Nayla tiap bulan. Sebagian untuk membeli sayur dan lauk di pasar. Sedangkan beras, minyak dan listrik, itu menjadi urusan Tiwuk.

"Aku minta maaf kalo membuatmu inget dia lagi."

"Nggak apa Wuk...tanpa kamu ingatkan sekalipun. Selamanya aku juga nggak akan pernah lupa sama dia. Paling nggak, setiap aku melihat Nayla." Tiwuk menatap Nara iba.

Setahun lalu, ibu dan anak itu dia temukan sedang menggelandang di sekitar pabrik. Mengais tong sampah untuk mencari botol-botol plastik bekas. Tubuh mereka kering kerontang, wajah pucat bagai mayat. Baju kusam yang bolong dan sobek di beberapa bagian.

Beberapa hari Tiwuk sebenarnya tahu kalo mereka tidur di depan emperan toko sekitar pabrik tiap malam. Sebenarnya Tiwuk prihatin dan ingin menolong, tapi dia masih ragu mengingat riwayat hidupnya yang dipertemukan dengan beberapa orang jahat, membuatnya ekstra waspada pada orang yang tidak dikenal.

Sampai suatu sore, saat dia  berjalan pulang kerja ke rumahnya. Dia menemukan seorang wanita yang panik meminta bantuan karena putrinya pingsan di tepi jalan. Beberapa orang hanya mengerubung tanpa melakukan apa-apa. Mereka semua seakan harus berpikir jutaan kali untuk menolong ibu dan anak yang berpenampilan bagai pengemis itu. Wanita itu hanya bisa menangis pilu sambil memegang kepala anaknya di pangkuan. Hati Tiwuk terketuk melihat peristiwa itu. Dia sudah tidak peduli wanita itu orang jahat atau bukan.

Tiwuk membawa anak beranak itu ke rumahnya; rumah warisan orang tua yang meninggal lima belas tahun silam dalam kecelakaan. Sebagai anak tunggal, tinggallah Tiwuk seorang diri dalam rumah tua yang luas itu selama bertahun-tahun.

Tiwuk memberi kedua manusia bernasib mengenaskan itu dengan dua piring nasi dan lauk. Si anak melahapnya dengan cepat sedangkan sang ibu hanya diam menahan lapar dengan berpura-pura kenyang lalu menyerahkan sepiring bagiannya untuk si anak habiskan. Tiwuk terrenyuh melihatnya. Dia menyadari bahwa dia tidak sedang berhadapan dengan orang jahat, melainkan hanya seorang ibu yang sangat mencintai anaknya. Yang rela melakukan apapun demi anak.

Tiwuk akhirnya menawarkan mereka tinggal bersama, mengisi salah satu kamar dari empat yang kosong dalam rumah itu. Setidaknya sementara sampai mereka tahu kemana arah yang akan dituju. Atau suatu hari memiliki cukup uang untuk tinggal sendiri.

Seiring berjalannya waktu, Tiwuk sering menanyakan kenapa nasib Nara semalang itu. Nara yang biasanya tertutup pada siapapun, bahkan pada ibunya sendiri, tak bisa menutupi apapun dari Tiwuk yang telah di anggap sebagai malaikat penolong. Nara tidak ingin menutupi apapun dari Tiwuk agar Tiwuk tidak berpikiran negatif tentangnya. Agar Tiwuk bisa menilai bahwa dia datang ke rumah itu tanpa membawa niat jahat sedikitpun karena sebenarnya dia memang lahir dari keluarga baik-baik.

Mendengar semua kemalangan yang menimpa Nara, Tiwuk jatuh kasihan yang teramat dalam pada wanita itu. Dia pikir selama ini hanya dia perempuan yang paling merana sebagai korban lelaki. Ternyata apa yang menimpa Nara lebih menyakitkan.

"Pastelnya sudah? Sini biar ku bantu" Tiwuk mengalihkan perhatian agar Nara melupakan kesedihannya.

"Belum. Pastel Subuh saja biar nggak basi buat besok."

"Terus apa yang bisa ku bantu?"

"Nggak ada. Kamu tidur saja. Besok kamu harus kerja kan?"

"Yo wes. Kalo gitu aku tidur" Wanita berbahasa medok Jawa itu berdiri. Kursi kayu tua terdorong ke belakang, kembali menghasilkan suara deritan yang mencekam di tengah malam.

"Besok pagi kalo jam enam belum bangun, tolong bangunin seperti biasa yo? Nanti aku telat lagi ke pabriknya"

"Makanya Subuhan toh Wuk...biar bangunnya nggak kesiangan terus,"

"Ah itu lagi yang kamu bahas! Bosen aku. Sudah, aku mau tidur. Kalo ndak mau bangunin juga ndak apa-apa. Yang penting kamu ndak usah ceramah lagi. Ngelu ndasku ndengerin" Nara tidak pernah bosan mengingatkan Tiwuk pada ibadahnya. Walaupun Nara tahu, itu hanya membuat Tiwuk naik pitam.

Tiwuk membenci lelaki, juga pada penciptanya. Masa lalu yang kelam membuat Tiwuk berpikir bahwa Tuhan begitu tidak adil pada dirinya. Dia mempertanyakan keberadaan Tuhan ketika peristiwa menyakitkan menimpanya. Kenapa Tuhan membiarkan semua itu terjadi? Dia menilai bahwa Tuhan turut andil dalam kehancuran hidupnya sekarang.

"Akan ku suruh Nayla bangunkan kamu seperti biasa" Nara agak teriak, karena Tiwuk sudah menghilang dari dapur. Dia pasti sudah menuju ke kamarnya paling depan.

Tidak ada sahutan dari Tiwuk. Tapi Nara yakin Tiwuk bisa mendengar suaranya.

"Maafkan aku Wuk. Mungkin kamu sekarang sedih, meratapi nasib burukmu di masa lalu. Tapi sebagai orang yang sudah menganggapmu bagai saudara, aku harus meluruskan pemikiranmu yang keblinger itu" batin Nara.

***

"Hayo...lagi apa?" Tiwuk menepuk pundak Nayla dari belakang, membuat jantung gadis cilik itu jumpalitan.

"Issshh...bude ini! Kaget tau!" Nayla mengelus-elus dadanya. Nayla tidak menyangka bahwa wanita yang dia panggil bude Tiwuk itu akan menemukannya, padahal dia sudah bersembunyi di balik tirai jendela ruang tamu. Biasanya lepas makan malam, Tiwuk masuk ke kamarnya dan tidak keluar sampai dia bangunkan besok paginya.

"Habisnya kamu ngapain intip-intip disini?"

"Ssshhh...jangan berisik. Nanti mama tau kalo Nay ngintip sejak tadi"

"Nah kamu ngapain ngintip mamamu?"

"Liat tuh bude" Nayla menunjuk ke arah luar jendela, di balik kaca nampak Nara sedang duduk termangu sendiri di halaman. Duduk di sebuah bangku kayu yang panjang, wajahnya menengadah tersapu sinar rembulan. "Hampir tiap malam mama duduk sana. Ngeliat langit, terus sedih, terus nangis. Nay nggak tega liatnya. Pasti mama kangen papa kayak Nay,"

"Eh, mamamu itu bukan kangen. Harus berapa kali bude bilang? Papamu itu nakal. Makanya mamamu sedih."

"Itu kan kata bude. Kata mama, papa baik kok. Nggak nakal."

"Mamamu bohong. Papamu itu jahat. Nyakitin hati mamamu terus," jawab Tiwuk kesal. Dia melemparkan badannya di sofa yang busanya sudah menyembul keluar di beberapa bagian.

"Ih. Bude jangan ngomong gitu. Papa Nay baik!"

"Kalo baik, kemana dia waktu kalian nggelandang dulu? Waktu kalian harus nyari botol bekas buat dijual demi sepiring nasi? Waktu kamu kelaparan sampai pingsan? Kemana coba, bude tanya?" Nayla diam. Wajahnya tertunduk lesu. Apa yang dikatakan budenya kali ini tak sanggup dia bantah. Dia hanya bisa menangis.

"Bude Tiwuk jahat!" Lalu gadis delapan tahun itu berlari menuju kamarnya.

"Itu kenyataan Nay. Kamu harus bisa terima kenyataan!" Teriak Tiwuk agar Nayla mendengarnya. "Hidup perempuan memang pahit" lanjutnya lirih, seolah hanya berbicara pada diri sendiri.

"Bude jahat!" Nayla teriak dari kamar. Sebelum pintunya dia banting. Nayla tidak peduli kalo pintu itu nanti rusak lalu yang punya rumah akan marah. Akhir-akhir ini, itu menjadi salah satu caranya melampiaskan kekesalan.

Sayup-sayup Nara mendengar kegaduhan di dalam rumah. Dia bergegas mengusap air mata. Tergopoh-gopoh masuk rumah dan mendapati Tiwuk sedang bersandar lelah di sofa ruang tamu.

"Aku seperti mendengar Nay teriak."

"Ajari anakmu itu memanggilku bulek. Bukan bude. Umur kita cuma selisih dua tahun."

"Kan kamu tahu sendiri, dia nggak mau. Masak kamu harus marah cuma gara-gara itu."

"Oh, aku tadi ndak marah soal itu. Aku hanya mau mengajarinya nerima kenyataan bahwa hidup ini memang kejam." Tiwuk mendengus, lalu memejamkan mata. Dia seolah meresapi sakitnya luka yang selama ini dia simpan dalam-dalam.

"Dia masih terlalu kecil Wuk. Kamu jangan mencekokinya dengan hal-hal buruk."

"Ra...lebih awal dia tahu, itu lebih baik. Agar dia menjadi perempuan yang siap menghadapi kerasnya dunia. Ndak banyak mimpi dan berharap terlalu tinggi. Kita ini rakyat jelata. Hidup enak itu cuma buat konglomerat dan para lelaki bangsat!"

"Tiwuk! Pokoknya aku minta kamu jangan ngomong macam-macam pada anakku. Bagaimana aku mendidiknya, itu urusanku!"

"Yo wes kalo gitu. Sekarepmu. Aku ngantuk, mau tidur" Tiwuk berdiri, meninggalkan Nara sendiri di ruang tamu.

***

Flashback

"Sakit apa anak saya, dok?"

"Maaf kalo saya sempat memvonis Thalasemia dua minggu lalu. Tapi hasil lab hari ini menyatakan bahwa saya keliru"

"Kalo bukan thalasemia, lalu apa dok?"

"Ehmmm...boleh saya bicara pada bapak saja? Ibu dan si kecil, mohon tunggu di luar sebentar"

"Kenapa begitu? Saya juga ingin tahu penyakit anak saya"

"Saya lebih nyaman berbicara antar lelaki saja. Mohon ibu mengerti." Dokter itu tersenyum. Nara merasa ada yang salah. Senyum dokter itu seperti dipaksakan.

Nara menggendong Nayla yang masih berusia tiga tahun untuk keluar ruangan. Lalu duduk di kursi panjang yang terpajang di depan ruang praktek.

Hati Nara gelisah, sudah lima belas menit, Lanang tak juga keluar dari ruangan dokter Aryadi. Dia melihat gadis kecilnya yang tengah nyenyak tertidur dalam pelukan. Dia ciumi kening dan pipi anaknya berkali-kali. Sekuat mungkin dia menepis pikiran buruk bahwa Nayla sakit lebih parah dari yang divonis dokter sebelumnya.

Krek...
Akhirnya pintu terbuka. Nara ingin berdiri, tapi dia memilih tetap duduk agar tidur Nayla tidak terganggu. Lanang menghampiri istri dan anaknya. Dia duduk di sebelah mereka berdua.

Melihat wajah Lanang yang memucat, Nara tahu pasti ada yang gawat.

"Apa kata dokter mas?"

"Kita pasti bisa membesarkannya sama-sama. Percayalah" Lanang mengusap kepala Nayla perlahan.

"Apa kata dokter mas? Sakit apa anak kita?" Air mata yang sejak tadi Lanang tahan sejak di dalam ruangan, akhirnya pecah.

Tubuhnya bergetar hebat sambil memeluk sang istri. Lanang sudah tidak peduli jika nanti Nayla terbangun karenanya. Pertahanan lelaki itu sudah hancur.

Sedangkan Nara membiarkan suaminya menangis sesenggukan di balik punggungnya. Nara memang masih bingung dan tidak tahu ujian apa yang sedang menantinya di depan. Yang dia tahu pasti bahwa tidak sekalipun dia melihat lelaki tegar di depannya ini menangis, kecuali hari ini.

"Kita pasti bisa melewati ujian ini. Suatu hari kita pasti bisa menyaksikan Nay memakai toga. Suatu hari aku akan menjadi wali nikahnya" Lanang seolah meyakinkan dirinya sendiri. Nara hanya mengangguk. Dia tidak ingin memaksa Lanang untuk bicara sekarang. Walau dia begitu penasaran dengan sebutan penyakit yang menimpa putrinya, tapi Nara akan tetap menunggu sampai Lanang siap memberitahunya.

Tbc.

17 Juni 2016


Ngelu ndasku = pusing kepalaku.
Sekarepmu     = terserah kamu.

Continue Reading

You'll Also Like

11.7K 929 73
Diana mulai risau, sekuat apapun dia menolak merasakannya. She used to live in a society that marriage is every woman's expected path to success. Jad...
14.4K 743 11
Arnette benci keramaian. Hidup sebatang kara, setelah kematian orang tua dan kakaknya, Arnette mulai takut dekat dengan orang lain. Ia takut akan mer...
13.2K 1.5K 44
Aku tidak akan menghilang hanya agar kau menyadari keberadaan ku.. Jangan khawatir sebanyak apapun kamu mengabaikan ku aku akan tetap di sini untuk m...
26.4K 1K 9
Dua hati yang pernah disatukan oleh cinta sempat terjerumus ke dalam lembah nista. Namun sang permaisuri tersadar dan kemudian sujud, berserah. Semen...