Marriage With Benefits (Terbi...

By lalalatte85

4.5M 103K 2.4K

Pertemuan tidak terduga antara Arland dan Seanna membawa mereka kepada sebuah hubungan yang sulit terdefinisi... More

Prolog
Unwanted Guy
Wedding is A Competition
New Relationship?
Something About the Invitation
Beginning
Responsibility
Life After Marriage
Short Message Service (1)
Short Message Service (2)
Bukan Update
What If We Hate Each Other?
Why Didn't You Come?
The Call
Hey, You!
You, Yes You (1)
Kenapa Dihapus? (Bukan Update)
Untitled
Selingan
ASK AUTHOR
Just random thing
CANDY 🍭🍭🍭
GIVEAWAY MARRIAGE WITH BENEFITS
VOTE COVER
YOU'RE INVITED
Countdown PO H-8
H-5 Preorder
PRE ORDER
SUDAH PUNYA NOVEL MWB?
SEKUEL?

A Question?

90.1K 5.6K 66
By lalalatte85


                                                                                           


Hai..haii...

Aku tau ini gak panjang, tapi mayan kan dibaca sekali duduk?

Apa yang ditakutkan Seanna tentang Adit terjadi juga. Adit bisa jadi mengintai selama ini, sejak Arland tidak lagi berada di dekatnya. Dengan pendekatan yang sama sekali tidak kasual, bahkan cenderung memaksa, Adit kembali mencoba mencari kemungkinan menjalin hubungan lagi dengannya.

"Na. Adit tuh."

"Iya."

Seanna tidak peduli dengan kedatangan Adit ke kantor di saat menjelang jam makan siang. Dia terlalu sibuk untuk sekedar meladeni Adit yang kemarin sudah disuruhnya pulang ketika bermaksud mengantarnya ke kantor.

Adit masih menunggu di luar, di dalam mobil. Dan tidak sekalipun Seanna melongok walau sebentar saja, memastikan Adit masih akan menunggu atau memilih pergi.

Menurut Erika, situasi mulai semakin mengkhawatirkan. Adit melihat peluang ketika tahu Arland tidak lagi ada di sekitar Seanna. Dan menurut Erika lagi, Seanna harus mengambil langkah besar untuk mengamankan hidupnya. Jika tidak, kemungkinan besar Adit pun tidak akan tinggal diam.

***

Setelah dua minggu tidak ada komunikasi dengan Seanna sama sekali, Arland memutuskan menunggui Seanna pulang dari kantor. Mobilnya memelan saat mendekati pagar Kirei. Sepertinya bukan hanya dirinya saja yang tengah menunggu Seanna.

Pukul 5 sore. Dia mencuri kesempatan pulang lebih awal, karena hari itu pekerjaannya di kantor tidak begitu padat. Kecuali untuk minggu depan, dia harus bersiap untuk lembur berhari-hari.

Dari dalam mobil, Arland mengamati pintu kantor Kirei di mana Seanna keluar bersama Alyssa. Satu orang lagi yang dikenali sebagai staff menyusul di belakang mereka.

Adit mendekati Seanna. Dari raut wajahnya, Seanna menunjukkan penolakan, sambil menunjuk Alyssa di sampingnya. Mungkin Adit menjemputnya, tapi Seanna menolak.

Ketika Seanna melihat ke arah mobilnya, gadis itu nampak terkejut. Masih dengan menggandeng Alyssa, mereka berjalan menuju Honda Jazz merah yang terparkir di sana.

Arland bergegas keluar dari mobil sebelum Seanna dan Alyssa masuk ke dalam mobil Honda Jazz tersebut. Arland mencegatnya, sebelum Seanna menghindar lagi.

Alyssa tersenyum. "Aku duluan ya, Na?"

"Eh, Cha?" Seanna menarik lengan Alyssa.

Arland tidak akan memaksa jika Seanna memang tidak mau dijemput olehnya.

"Kalau boleh, aku aja yang antar kamu pulang."

"Terimakasih. Aku pulang sama Alyssa aja."

Arland sudah menduga penolakan itu. Dia akan mencoba menawarkan tumpangan sekali lagi, sebelum Adit mengambil kesempatan.

"Ada yang mau aku bicarakan sama kamu. Sekali ini saja."

Alyssa menepuk bahu Seanna pelan. "Duluan."

Seanna tidak lagi mencegah Alyssa yang membiarkannya pulang bersama Arland. Tidak ada pilihan lain.

Oke, sebenarnya ada pilihan lain. Dia bisa naik taksi atau menghubungi Gojek. Tapi dia sedang malas berkali-kali menolak Arland. Lagipula, dia juga merasa bersalah untuk alasan yang dia sendiri tidak tahu persis.

Bersalah karena menolak Arland? Menolak lamaran omong kosong itu?

"Aku bisa nganterin kamu ke kantor..., besok."

Seanna menghela napas. "Sebenarnya aku nggak mau mikir terlalu jauh tentang kenapa kamu ada di sini. Aku rasa ucapan aku waktu itu udah cukup jelas."

"Aku serius, Seanna."

"Kamu nggak punya alasan tepat untuk lamaran itu." Seanna menahan suaranya sebelum terdengar seperti teriakan. "Aku nggak minta kamu ngelakuin apapun lagi."

"Kamu setuju dengan ide...penjajakan dan cinta akan mengikuti?" kata Arland seakan kehabisan kata-kata apalagi yang bisa diucapkan.

"Kamu nggak perlu maksain diri." Seanna tetap menolak.

"Bukan memaksakan diri." Arland mengoreksi. "Aku cuma mencoba menjajaki kemungkinan hubungan kita nanti. Maksudku, kita memang saling mengenal dengan cara yang salah, tapi kita bisa memperbaikinya dengan penjajakan yang lebih baik. Apa aku kurang ganteng dan kurang baik buat kamu?"

Seanna bersedekap. "Don't push it."

Arland malah tertawa dengan reaksi Seanna yang sedang kesal.

"Oke. Nanti kutelepon lagi. Nomer kamu nggak ganti kan?"

Seanna mendelik, kekesalannya semakin bertambah.

"Kamu nggak perlu ngabisin waktu dan pulsa kamu buat nelepon aku. I hate this conversation! Nggak mutu!" Lalu kembali membuang muka.

"Jadi, kapan kamu ada waktu buat makan siang bareng? Atau makan malam?"

Seanna melirik Arland. Sementara yang dilirik hanya tertawa seperti tidak merasa melakukan kesalahan apapun.

"Nggak usah ketawa. Nggak ada yang lucu."

Arland masih tertawa. "Memang ada yang lucu."

"Maksud kamu?"

"Kamu kelihatan mati-matian menolak aku. Kalau nggak mau, kamu nggak perlu segitunya."

Seanna membuka mulut, sedikit tergeragap. "Itu...bukan...maksudku.."

Dan dia harus mengakui, kata-kata Arland benar adanya. Dari sudut pandang Arland, mungkin sikapnya terlalu berlebihan. Mati-matian menolak. Yaa, bukan begitu juga. Seanna hanya merasa, hubungan mereka tidak perlu dilanjutkan karena memang tidak perlu dilanjutkan.

Dia pun masih berpikir sebenarnya mereka punya hubungan atau tidak. Hanya kata ANEH yang bisa menggambarkan interaksinya selama ini dengan Arland.

"Jadi daripada kamu bengong, lebih baik aku antar kamu pulang sekarang." Arland membukakan pintu penumpang di depan, di samping kemudi.

Seanna menggeram. "Mau kamu apa sih?"

"Nganterin kamu pulang," jawab Arland singkat, dengan sisa senyum di wajahnya.

"Aku kan sudah bilang tadi, kalo aku..." Seanna bermaksud mengambil ponsel dari tasnya, ide yang tercetus begitu saja. Mending naik Gojek kalau kasusnya begini.

"Apa aku harus memohon hanya supaya kamu ngijinin aku nganter kamu pulang?" tanya Arland, dengan gerakan halus memasukkan kembali ponsel yang dipegang Seanna dalam rentang beberapa detik itu kembali ke dalam tasnya.

Seanna memejamkan matanya untuk beberapa detik. Helaan napasnya terdengar berat. "Oke. Fine. Terserah kamu deh."

***

Seanna melirik Arland yang tengah mengemudi dengan santai. Santai karena kegiatan mengendalikan mobil yang kini membawa mereka menyusuri jalan lengang menuju rumahnya, dilakukan Arland sambil bersenandung mengikuti lagu Kangen yang diputar di radio. Walau senandungnya itu terdengar samar, tidak senorak yang mungkin dilakukan Seanna jika iseng konser di dalam kamar mandi. Dia akan memperdengarkan nada-nada yang diakuinya sendiri benar-benar payah.

"Kenapa?"

Eh?

"Kenapa, apa?" tanya Seanna balik sambil buru-buru memalingkan wajah.

"Kalau mau mengagumi wajah ganteng di sampingmu ini gak perlu sungkan."

Astaga. Ada cowok yang sedang kepedean, rupanya. Tidak ada yang lebih buruk dari seorang cowok yang mengakui dirinya ganteng secara terang-terangan, sekalipun...ehm...sekalipun kenyataannya memang begitu.

"Kamu punya bekas luka di atas bibir kiri kamu." Seanna menjawab.

"Kena kawat." Arland meraba bibir kirinya. "Aku kira kamu nggak merhatiin."

"Nggak. Kebetulan aja tadi." Seanna tanpa sadar melirik lagi kepada Arland, kali ini sedikit lebih lama.

Mereka tidak akan membahas topik luka karena tergores kawat di atas bibir itu untuk sekedar jadi percakapan iseng.

Seperti tidak ada topik yang menarik saja.

"Oh, ya. Seanna." Kali ini giliran Arland berbicara setelah mereka sempat sama-sama terdiam, setelah momen membahas bibir tergores kawat itu usai. "Soal ajakan nikah waktu itu, aku harap kamu nggak tersinggung. Kalau iya, aku minta maaf."

"Aku nggak mau bahas soal itu lagi."

"Tapi kamu ada rencana ke sana?"

"Menikah? Ya tentu saja." Seanna menjawab dengan gusar, dengan helaan napas yang lagi-lagi berat. "Tapi sekarang nggak dulu."

"Kenapa? Karena Ervan?"

Seanna melirik Arland. Tepatnya menoleh karena dirasakannya, wajahnya berbalik sekian derajat hingga kini fokusnya pada wajah Arland yang sedang menghadap ke depan, ke arah jalan.

"Bukan urusan kamu." Seanna menjawab dengan ketus.

"Sori."

Seanna membuang napas. Entah, meskipun dulu dia sudah bertekad melupakan Ervan, tapi tetap saja ketika ada yang menyinggungnya, apalagi menghubungkan dengan pernikahan, dia bisa jadi benar-benar marah.

"Aku nggak mau ngomongin soal dia."

"Kalo soal Adit?"

"Arland, please deh." Seanna mengucapkannya dengan nada benar-benar memohon. Dia tidak ingin sebelum turun dari mobil, dia mencakar-cakar Arland karena pertanyaan, atau apapun tentang Ervan maupun Adit.

Kenapa? Kenapa hidupnya selalu dihadapkan dengan laki-laki yang tidak ditakdirkan untuk menjadi pelindungnya?

"Besok kujemput?"

"Nggak perlu."

Arland bersiul. "Kamu selalu begini sama cowok yang pedekate sama kamu?"

Seanna mengerutkan kening. "Kamu lagi pedekate ya?"

Arland membelokkan mobil ke gapura kompleks perumahan di mana Seanna tinggal.

"Menurut kamu?"

"Aku nggak tau. Aku nggak bisa nebak. Aku nggak mau salah ngomong juga." Seanna masih menunjukkan kerutan di kening.

"Kalo aku bilang iya, kamu mau?"

Seanna merasa tergelitik. Dia benar-benar tidak tahu kapan Arland serius dan kapan hanya bercanda.

"Untuk kesalahan kita waktu di Bali, aku nggak mau jawab."

"Kenapa?"

"Ya, karena aku nggak tau sebenarnya hubungan kita kayak gimana?" Seanna merasakan suaranya mengeras. "Aku udah bilang aku nggak mau lagi terlibat sama kamu. Aku mau menjauh dari kamu karena aku pusing mikirin semua ini."

"Kamu mabuk, aku nolong kamu, kamu cium aku, aku balas cium kamu." Arland merasakan rahangnya mengeras. "Dan faktanya, aku dan kamu terikat karena kejadian insidental itu."

"Kita nggak terikat, Arland."

"Dan apa kamu bisa lupa soal itu? Apa setelah balik ke Jakarta kamu lupa?"

"Aku nggak bakal lupa, Ar. Tapi aku berusaha ngelupain." Seanna mengatakannya dengan gemas. Dia mulai tidak suka dengan arah pembicaraan ini.

"Aku juga begitu. Tapi aku nggak bisa." Arland mengakui. Tepat saat itu juga kakinya menginjak rem. "Dan soal baju kamu, memang aku yang lepas."

Seanna menutup mukanya dengan telapak tangan setelah mobil berhenti.

"Tuhan..."

***

Pernikahan bukan perkara main-main. Arland menyadari hal itu. Namun demi ketenangan batinnya dan Seanna, mereka pun memutuskan menikah. Sebuah kejadian luar biasa telah membuat mereka sampai pada gerbang pernikahan. Mereka belajar untuk saling mengenal kepribadian masing-masing setelah menikah.

Seanna masih belum mempercayai kenyataan ini. Memiliki seorang suami tanpa pernah direncanakan akan secepat ini. Tapi, dia tetap mempercayai takdir. Semua telah digariskan oleh Tuhan. Walaupun belum mampu beradaptasi lebih cepat, dia akan berusaha melaluinya dengan sepenuh hati.

***

Seanna menatap gaun pengantin putih yang dipakainya semalam. Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Dia seharusnya bahagia karena akhirnya kini dia telah menikah. Meskipun bukan dengan laki-laki yang dicintainya. Setidaknya untuk sementara ini, statusnya seperti itu.

Suara kenop pintu yang diputar sedikit mengagetkan. Seanna balik badan, dan menemukan Arland sudah berjalan keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Handuk biru dongker menggantung di pinggangnya.

"Aku selesai."

"Hmm." Seanna mengangguk, tapi kembali menekuri gaun berkerah Sabrina yang tergeletak di atas tempat tidur. "Aku masih nggak percaya."

"Masih nggak percaya di bagian mananya?"

Arland mendekati tempat tidur, dan ikut berdiri memandangi gaun yang dipandangi Seanna. Sejak gaun tersebut rampung, selesai fitting, selesai dipakai di resepsi, Seanna selalu memuji gaun tersebut. padahal gaun tersebut bukan rancangan Vera Wang yang tersohor sebagai salah satu disainer gaun pengantin kelas dunia. Dari beberapa gaun mahal, Seanna malah memilih gaun sederhana dengan harga sangat terjangkau itu.

"Aku udah nikah."

Arland menggumam. "Mm."

"Jangan bosen dengernya."

Arland mengangguk. Seperti Seanna, dia pun merasakan hal yang sama. Mereka kini menjadi sepasang suami isteri. Sebuah ikatan yang tidak main-main. Namun juga diikuti dengan kesepakatan tidak resmi.

Bahwa mereka akan menjalani pernikahan dengan saling menjajaki satu sama lain.

Lalu tercetus sebuah gagasan.

Satu tahun, limit waktu yang ditetapkan.

*** 

Continue Reading

You'll Also Like

296K 12.2K 32
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.3M 115K 26
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2M 17.3K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
946K 44.1K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...