Stream Of Dream : Aliran Mimp...

Por chellemmanuella

17.8K 1.3K 83

Dulu, waktu Yoel masih menjadi bocah SMA, ia pernah kenal perempuan dengan gemerincing gelang warna-warni dan... Mais

Project #BreakStereotype
Pembuka
Dua Puluh Kunciran Tegak
Si Pelukis Lara
Lelaki Melankolis
Di Balik Tirai Dua Pelakon
Ngomong-Ngomong Soal Melankolis...

Gambar-Gambar Itu

1.6K 146 3
Por chellemmanuella

Bertepatan dengan tahun ajaran baru, demo eskul selalu diselingi lomba-lomba kesenian. Final pada lomba seni-seni perform akan ditampilkan pada akhir demo eskul dan diberikan penjurian langsung.

Reinala?

"Jadi siapa yang mau ngewakilin kelas buat lomba menggambar?" tanya Kak Hadin, ketua PJ kelas X IPS 1.

Seisi kelas mulai kasak-kusuk. Tiga hari perkenalan sudah cukup bagi mereka untuk mengakrabkan diri, terutama kontak mereka di sosial media di luar sekolah yang semakin membuat mereka akrab.

Jelas Reinala mempertimbangkan lomba itu. Ia ingin sekali hobinya ini menghasilkan manfaat. Apalagi ini bisa menjadi sebuah ajang advertising, kalau-kalau nanti ada yang naksir gambarnya dan merekam dalam memori, bisa saja nanti mereka akan jadi pembeli setia karya Reinala... meski itu untuk sepupu atau keponakan mereka.

"Lu gak mau ikut?" tanya Joanna dengan intonasi menanjak naik seperti biasanya. Ia antusias.

"Mau, maulah! Jelas mau!"

Mata Joanna berbinar. "Kak! Reinala mau ikut lomba gambar!"

Sekelompok kakak penanggungjawab yang sedang kasak-kusuk itu pun langsung memusatkan perhatian mereka pada Joanna. Kakak yang kemarin menyeret Reinala ke dalam kelas dengan muka galak pun menghampiri meja mereka berdua. Auranya masih galak seperti kemarin, menatap Reinala tajam.

"Lo mau ikutan?"

Faktor tatapan dingin itu membuat Reinala yang tadinya berapi-api jadi menciut. Salahkah kalau bersemangat di depan kakak satu ini? Atau dia nantinya akan memberi pengalaman buruk lainnya pada hari ketiga Reinala di sekolah ini?

Pelan-pelan Reinala mengucap, "Iya, Kak. Mau ikut lomba gambar..."

Kepala itu manggut-manggut kecil. "Hmm, lomba gambar." Anting di kepalanya berdenting-denting. "Jon, sini kertas tadi! Ada yang mau ikut lomba gambar!"

Jon, yang bernama asli Jean itu, berjalan tertatih-tatih dan memberikan kertas penuh nama itu padanya. "Nih, Dya. Nanti lu yang kumpul ke Mr. Taufik, ya?"

"Tai lu. Lu lah!"

Jon tidak mengacuhkan pekikan Alodya dan kembali berkasak-kusuk dengan kumpulan PJ lainnya di depan pintu ruangan kelas.

Alodya mencibir. "Setan lu, Jon." Mata itu kembali beralih pada Reinala. "Nih, isi ya." Ia menyodorkan kertas itu pada Reinala.

Nada suara itu tiba-tiba melembut meski gerakannya masih kasar dan jutek. Tangan Reinala ragu meraih kertas itu. Bakal dibully gak, ya? Reinala menoreh kertas itu perlahan, sambil sesekali melirik reaksi Alodya. Cewek itu sama sekali tidak peduli.

Setelah kertas itu selesai ditulis, Reinala perlahan-lahan menyerahkan kertas itu pada Alodya, sambil berharap gerakannya tak ada sesentipun salah, seperti menghadapi sebuah singa, singa betina yang galak bila anaknya diusik.

Rupanya ketakutan itu tidak dikonfirmasi oleh Tuhan. Kuku-kuku tangan bercat pola galaxy itu hanya menarik kertas dari atas meja dan kembali bergabung dengan kumpulan OSIS-nya di depan pintu. Tak lupa menghajar kepala Jon, karena meninggalkannya di tengah tugas.

"Lu kenapa, Rei?" Joanna rupanya menyadari kelegaan Reinala dan napasnya yang terhela.

"G-gue takut sama Kak Alodya, karena masalah kemarin. T-takut dia marah berkepanjangan sama gue..." ucap Reinala lirih.

Joanna jadi ikut-ikutan menatap lekat ke arah perempuan jangkung yang terlihat angkuh dan penuh integritas itu. Secara keseluruhan, ia terlihat sangat superior dengan otoritas pada suaranya, terutama intimidasi yang dirasakan adik-adik kelas saat ia berjalan di sela-sela barisan meja, meneliti makanan-makanan 4 sehat 5 sempurna mereka yang harus habis, suka atau tidak suka.

"Reinala bener loh, Jo," imbuh Karin, teman di belakang meja mereka. "Gue... takut sama Kak Alodya. Seakan dia punya seribu satu cara buat ngebully kita kalau kita macam-macam."

Kini mereka bertiga menjadikan Alodya tontonan. Perempuan itu masih berlipat lengan di dada, menatap satu-satu teman-temannya yang tertawa terbahak-bahak... sampai ia ikut terkekeh dengan menutup mulutnya.

Seketika tubuh Reinala menegang, dan Joanna menyadari hal tersebut.

"Kenapa, Rei? Dia tau kita... liatin dia?" Joanna mencoba mengalihkan pandangannya sedikit.

"Bukan, Jo... maksudnya... ketawanya barusan."

"Ketawanya?"

Lekat-lekat ia menatap Alodya, menunggu perempuan cantik Indo itu tertawa lagi. Namun momen itu tak datang juga untuk ia tunjukkan pada Joanna.

"Gak, gak apa-apa."

***

Sebuah kelas di sayap kiri sekolah sedang ricuh luar biasa. PJ kelas pun tidak lagi ambil pusing dengan keributan yang terjadi, ataupun tingkah binal cowok kecil bersuara cempreng bernama Aldi itu. Mereka malah melakukan komunikasi dua arah setiap si kecil nyaring itu berkomedi, atau malah saat kakak-kakak OSIS itulah yang menjadi bahan celetukan Aldi. Tidak ada yang merasa jadi badut, semuanya nampak bahagia menertawakan diri mereka sendiri.

Tidak ada yang tersinggung, tapi ada juga yang sejak hari pertama tidak dibajak berkomunikasi. Duduk sendiri di pojokan kelas dengan pensil dan buku sketsanya.

"Eh, Bang! Kalau elo jago, sini lawan gue!" Aldi mencondongkan badannya, menggoyang-goyangkan dadanya dengan binal, seakan menyerahkan diri untuk berkelahi dengan si kakak OSIS dari kelas sebelah.

Seisi kelas tertawa terbahak-bahak melihat aksi itu, terutama ekspresi jijik Hadin yang melihat Aldi yang mirip cacing kena air panas itu. Lambat laun, Hadin terkekeh, mulai paham kalau anak ini memang komedian sejati.

"Santai, Bos. Hiburan, hiburan," bisik Rio, PJ asli kelas tersebut. Hadin mengangguk, sambil berpikir dalam hati, coba gue yang dapet kelas ini.y

Seheboh-hebohnya X IPA 3 saat ini, anak di pojok kelas itu tidak bergeming. Sibuk dengan pensilnya, sibuk dengan Deadpool yang sedang berdiri terbalik di ujung buku sketsanya, dengan tas Hello Kitty yang tersampir di badannya. Ia tegaskan lagi bayang-bayang gambar, ia tambahkan gurat-gurat ala komik aksi Amerika yang sudah ia pelajari dan imitasikan selama bertahun-tahun, sejak ia jatuh cinta pada komik Marvel yang pamannya bawakan dari Amerika langsung.

Ia suka bagaimana superhero-superhero itu punya dunia yang luas, bersinggungan dengan superhero lainnya, menyelamatkan dunia, dan punya kelemahan mereka masing-masing.

Yoel tidak mengkhususkan hatinya hanya pada Marvel. Baginya, baik Marvel maupun DC, semua sama saja dan punya keunikannya masing-masing. Yang ia suka hanya menggambar mereka, dan mewujudkan superheronya sendiri suatu hari nanti, atau menjadi superhero itu sendiri.

Tapi untuk siapa?

"Eh, hampir lupa." Hadin kembali fokus pada tujuan awalnya memasuki kelas bising ini. "Nama gue Hadin. Gue sebagai ketua panitia Pentas MOS tahun ini, mau ngajak kalian untuk ikut lomba. Kita ada dance, nyanyi dalam bentuk solo dan band, ada menggambar..."

Menggambar.

"Nah, ada yang mau ikut?"

"Bang! Gue mau ikut lomba dandutan, ada gak? Biar digoyang asik!" Aldi seketika goyang Bang Jali di atas bangkunya.

Seisi kelas bergemuruh dalam tawa. Hadin menepuk dahinya sambil terkekeh sampai bahunya berguncang-guncang heboh.

Tapi Yoel, tetap tidak bergeming di ujung sana.

Lomba menggambar, ya?

"Woy, masa nih kelas cuma ada satu orang doang sih yang gila? Yang lainnya gaada yang mau nekat ikut lomba nih?" seru Hadin sambil mengangkat kertas data per kelas di tangannya.

Seisi kelas terdiam dari tawa. Bahkan Aldi pun tertawa terbahak-bahak. "Yaaah, cuma gede ketawa doang lu semua!" celetuknya persuasif.

Hadin terdiam dengan senyum puas. Si badut ini berani juga...

Di tengah keheningan, tangan Yoel terangkat di udara. Pensilnya masih ada di sela-sela jarinya dengan pinggir telapak tangan penuh bekas arsiran dan jejak-jejak pensil. Seakan meyakinkan semua orang, Yoel yang pendiam tanpa diusik itu pun sukses mewakili kelas X IPA 3 dalam Pensi MOS tahun ini.

***

Dua anak itu berjalan di lorong dengan lengan saling bertautan. Di dahi Joanna masih tumbuh banyak bulir-bulir keringat. Baru saja ia menaruh formulir di eskul band SMA mereka, sebagai gitaris. Ia dengar kabar kalau latihan band sekolah mereka sangat ketat dan disiplin. Ia dengar kabar kalau yang gagal akan kena hukum rimba, bahkan malu bermusik di luar eskul setelah dikeluarkan.

"Udahlah, mitos itu. Jangan merinding gitu," bisik Reinala.

"Ih, gue takut, Rei! Lu gak pernah mikir apa, tekanannya di sana gimana. Kabar-kabar itu ga muncul begitu aja, kan?" balas Joanna dengan bisikan yang lebih menekan.

Reinala memutar bola mata. "Duh, woles! Intinya sekarang lu dukung gue daftar lomba gambar, oke?"

Kini giliran Joanna yang memutar bola matanya, kesal. "Lu ya, temen lagi takut bukannya didukung!"

Reinala hanya membalas dengan kekehan. Mereka sudah dekat dengan meja registrasi lomba menggambar. Ini saatnya Reinala kembali meninggalkan jejak sebagai ilustrator di dunia barunya, sama seperti yang ia sukses lakukan saat SMP dulu. Sebuah gambarnya yang berukuran gigantik, yang ia kerjakan selama hampir setahun dengan pensil, kini terpajang di lorong utama almamater SMPnya.

"Hai, anak utas, ya? Mau ikutan lomba?" sapa seorang perempuan dengan kacamata yang cukup besar. "Ini formulirnya, diisi aja, yah."

Kertas kecil berisi 6 kolom itu hadir ditemani pensil sederhana berwarna merah tua. Dengan yakin Reinala menuliskan namanya dan data diri lainnya, sambil dipandangi oleh Joanna.

"Oke, udah lengkap semua, ya?" Kakak itu mengambil formulir dari depan Reinala dan menggabungkannya dengan arsip lain.

"Kak, tahun lalu pemenangnya siapa?" tanya Reinala tanpa pikir panjang.

Kakak itu tersenyum simpul. "Adias Kuntoro. Dia dulu paling jago di angkatannya--angkatan gue. Karena gambarnya yang kontroversial soal bullying MOS, guru-guru kagum sama dia dan semua angkatan respect sama dia." Panjang lebar mata itu menjelaskan kekagumannya akan Adias Kuncoro. Panjang lebar pula mata itu menyiratkan rasa lebih dari kagum pada Adias Kuncoro.

Reinala semakin penasaran akan nama itu, karena kilatan mata si kakak berkacamata. Barangkali orang itu tidak ikut tahun ini.

"Iya, Dias ga boleh ikut lagi karena udah pernah menang. Jadi kamu gak usah khawatir." Ia menambahkan sedikit senyuman.

Seperginya Reinala dari hadapan kakak itu, ia bertekad dalam hatinya : ia akan meninggalkan kesan pada gambarnya. Kesan yang besar. Mungkin melubangi hati seseorang, atau bahkan mengisi hati seseorang. Entah, yang pasti ia sudah merencanakan sesuatu yang hebat.

Continuar a ler

Também vai Gostar

1.3M 58.4K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
Kak Elang: ELAZEL Por Ejl_Jk

Ficção Adolescente

5M 377K 53
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
ALZELVIN Por Diazepam

Ficção Adolescente

4.4M 257K 31
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
6.1M 260K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...