untitled...

By zoolanderzariuszack

34.8K 737 222

Mikha, mahasiswa yang suka teka-teki. Nami kitagawa, gadis jutawan yang suka berpetualang. Jun kitagawa, hack... More

Bab Satu
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas

Bab Dua

3.2K 73 2
By zoolanderzariuszack

Kematian profesor Jeremia atau sering disapa para mahasiswa pak Jay, membawa luka yang dalam bagi yang mengenalnya. Beliau dikenal sangat ramah dan murah senyum. Mudah bergaul tapi juga serius dalam mengajar. Namun hanya satu hal yang paling disayangkan adalah pak Jay belum menikah. Dan karena alasan itulah yang membuat ruangan yang bisa dikatakan kecil ini hanya dipenuhi oleh mahasiswa atau rekan dosen beliau.

Ruangan itu tertata rapi dengan beberapa meja dan kursi-kursi besi yang mengitarinya. Di tiap meja terdapat sepiring kacang tanah dan air mineral dalam gelas yang dapat dinikmati bagi para pelayat. Tapi yang paling unik ada di depan ruangan itu, di mana ada puluhan karangan bunga yang di alamatkan kepada keluarga pak Jay yang isinya menyatakan rasa bela sungkawa mereka.

Karangan bunga yang berbagai macam itu, diberikan oleh berbagai orang. Ada dari perusahaan-perusahaan, universitas ataupun nama pribadi saja. Tapi yang menarik adalah perusahaan, universitas dan nama pribadinya pun bukan hanya dari Indonesia, tetapi juga dari luar negeri. Ini bukti kuat bahwa pak Jay juga sangat terkenal di dunia.   

Baju hitam terlihat sekali mendominasi ruangan itu. Meja-meja kecil panjang sudah terisi oleh beberapa orang yang hadir. Keluarga pak Jay berdiri di dekat peti mati yang sedikit terbuka sambil menyalami tamu-tamu yang hadir saat itu. Mereka menyambut tiap orang dengan isak tangis yang mendalam dan membuat siapa pun yang melihatnya akan menjadi iba.

Mikha mengenakan kemeja kasual berwarna hitam. Seperti biasa, outfit kemeja dan kaos berkerah itu adalah pakaian yang selalu terlihat padanya. Di mana pun, kapan pun dan dalam kondisi apa pun, sebisa mungkin Mikha akan memakai pakaian seperti itu.

Penampilan Mikha memang selalu terlihat rapi, wajah melankolis dengan rambut terbelah samping sempurna itulah yang hampir membuat ia mendapat julukan si genius di kampusnya. Mata Mikha sebenarnya minus dua setengah pada mata kanan dan kiri, namun Mikha enggan untuk mengenakan kacamatanya itu.

Pemuda di hadapan Mikha saat ini adalah Toni. Teman satu kampus, hanya mereka berbeda angkatan saja. Mikha mengenal Toni baru saja, sekitar dua semester terakhir. Toni menjadi sering mengajaknya pergi, semenjak Mikha membantu Toni dalam mengerjakan tugas-tugasnya.

Toni sendiri adalah laki-laki yang terlihat selalu bersemangat. Raut wajahnya kaku namun tidak membosankan, bahkan sedikit terlihat lucu dengan alis tebal seperti pasukan semut berbaris.

“Tidak ada yang aku kenal di ruangan ini?” ujar Mikha sambil melihat satu persatu orang yang ada di ruangan tersebut, “tidak ada satu pun.”

“Ya. Aku juga.”

Toni ikut mengelilingi ruangan itu dengan pandangan tajamnya. Satu persatu wajah dilihatnya dengan perlahan, tapi sejenak saja pandangannya berhenti pada wajah gadis manis yang ada pojok ruangan itu.

“Mikha...”

“Kenapa?”

“Coba kamu lihat gadis manis di belakangmu!”

“Untuk apa?”

“Lihat dulu!”

Mikha walau sedikit enggan berusaha untuk menengok ke belakang dengan perlahan-lahan. Ia memutar badannya sambil berpura-pura mengayunkan pinggangnya karena pegal, lalu melihat gadis yang dimaksud Toni.

“Manis ya?”

Mikha kembali ke posisi semula sambil mengangguk setuju.

“Siapa ya dia?”

“Tanyakan saja sendiri!”

“Ah...Tidak.”

“Payah...!!!”

Toni hanya tersenyum.

“Kasihan ya. Padahal aku suka padanya.”

“Iya kan...Dia memang manis.”

“Bukan gadis itu.”

“Bukan ya?”

“Pak Jay.”

“Oh...” Toni mengaruk-garuk kepalanya sambil tertawa lebar.

 “Dia salah satu dosen favoritku.” Mikha termenung sebentar, “oh ya, katanya  kamu tahu bagaimana kejadian sebenarnya?”

“Entahlah. Tapi yang aku dengar, dua hari lalu saat pak Jay pulang ke rumahnya, tiba-tiba ada perampok masuk ke rumahnya. Mungkin saat tertangkap basah, perampok itu malah menusuk pak Jay. Tanpa perlawanan pak Jay tumbang.”

“Perampok?”

“Iya. Tapi ada yang mengherankan.”

Toni berhenti untuk minum air, lalu kembali melanjutkannya.

“Menurut keluarganya, ini menurut mereka. Tidak ada satu pun benda berharga yang hilang, walau memang rumah pak Jay ditemukan dalam keadaan berantakan.”

“Aneh ya?”

“Iya. Kau tahu kira-kira apa pendapatku tentang hal ini?”

“Tidak.”

“Coba kau pikirkan! Terlihat sekali ada kesan kejadian itu memang pembunuhan yang disamarkan sebuah perampokan.”

“Pembunuhan berencana?”

“Ya bisa dibilang begitu.”

Mikha tahu, Toni adalah pemuda dengan imajinasi tinggi. Dan memang kemampuan Toni dalam berimajinasi itulah yang membuat Toni berhasil membuat novel remaja, walau pun tidak terlalu terkenal.

“Siapa yang bisa dendam dengan pak Jay? Dia baik pada semua orang dan tidak pernah terdengar mempunyai musuh.”

“Entahlah,” sahut Toni. “Aku juga heran. Tapi aku berpikir kalau apa yang ku katakan tadi memang benar.”

Toni mengambil air mineral yang baru yang tergeletak di tengah-tengah meja, menusuknya dengan sedotan lalu meminumnya.

“Mungkinkah itu benar terjadi?”

“Mungkin. Segala kemungkinan itu ada kok, walau hanya 0,01%”

“Begitu ya?”

“Oh ya. Apa maksudmu saat mengatakan kemarin pak Jay salah kirim email?”

“Ya. Mungkin begitu. Aku sendiri belum bisa memastikannya.”

“Maksudnya bagaimana?”

“Kemarin malam aku memeriksa email dan menemukan satu email yang dikirim pak Jay kepadaku. Dan saat aku membaca isi dalam email itu, ternyata isi email itu aku rasa bukan untukku. Segala hal yang terdapat di dalamnya sangat aneh dan tidak familiar untukku.”

“Jangan-jangan itu bisa menjadi pesan kematian.”

“Sembarangan.”

Toni tertawa dengan imajinasi barunya itu, sedang Mikha masih berpikir keras tentang email anehnya itu. Sambil melihat sekeliling, tiba-tiba matanya beradu dengan seorang pria berwajah sayu dan berkacamata yang duduk di pojok ruangan. Ia mencoba mengingat siapa orang itu sambil kembali memperhatikan temannya yang sedang mengeluarkan karya imajinasinya tentang pesan kematian.

“Begitu?”

“Iya begitu.”

Mikha melihat pria itu lagi. Dan Mikha akhirnya sadar bahwa pria itu memperhatikannya dari tadi. 

Timbul pergumulan dalam pikiran Mikha saat ini. Kenapa pria sayu itu memperhatikan ia seperti itu. Itu jelas menganggu pikirannya tentang siapa pria itu? Mikha yakin bahwa ia sering melihat pria itu, hanya saja bukan dengan pakaian seperti yang pria itu pakai saat ini.

Tiba-tiba saja, pria itu bangun dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Mikha. Mikha secara reflek mencoba untuk berdiri dan pergi dari sana, tapi terlambat. Pria itu sudah berada di depannya sekarang.

“Mikha, kamu masih ingat aku?”

Pria itu menyodorkan tangannya. 

“Siapa ya?”

“Aku Willam. Aku pernah menjadi asisten dosen pak Jay.”

Akhirnya Mikha ingat siapa dia. Seperti kata pria itu, ia memang pernah Mikha lihat di kelasnya sebagai penganti pak Jay dalam mengajar. Mikha menganggukkan kepala lalu tersenyum dan menyalami tangan William.

“Ada apa ya?”

“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”

“Mengenai apa?”

“Ini tentang pak Jay.”

Mikha dan Toni mengerutkan kening mereka.

“Ya sudah. Cerita saja di sini!” sahut Toni tiba-tiba.

William menggelengkan kepalanya.

“Tidak bisa. Kita harus bertemu di tempat lain.”

“Kenapa?”

“Aku tidak bisa mengatakan itu sekarang.”

“Tapi...” potong Toni. Tapi tiba-tiba suara ringtones handphone Toni berbunyi dan ia mengangkatnya, “sebentar ya.” Toni berdiri lalu berjalan menjauhi meja di mana Mikha duduk.

“Jadi kita bisa membicarakannya sekarang bukan?”

“Apa ini penting?”

“Menurutku ini sangat penting.”

“Oke.”

“Bagaimana kalau kita bicarakan di jalan saja. Aku bawa mobil. Kita berputar-putar saja sambil berbicara di mobilku. Jadi kita tidak perlu pergi ke tempat lain.”

“Bagaimana dengan motorku?”

“Nanti aku akan antar kamu ke sini lagi.”

“Bagaimana dengan Toni?”

“Aku tidak bisa menceritakan soal ini kepadanya.”

***

Gumpalan asap kecil rokok terlihat keluar dari mulut pria yang duduk dengan gelisah menunggu seseorang untuk ditemui di taman ini. Untuk kesekian kalinya pria berstelan coklat itu menghisap rokoknya dalam-dalam sambil melihat ke kanan dan ke kiri seakan tidak tahu siapa yang ditunggunya. 

Dalam lima belas menit penantiannya, pria itu sudah menghabiskan tiga batang rokok dan siap untuk menghabiskan batang rokok terakhir yang ada di antara kedua jari kanannya saat ini.

Tiba-tiba, dalam sepinya taman ini, seorang gadis muda berjalan dengan penuh percaya diri mendekati pria ini dan mengambil bagian untuk duduk tepat di samping kanan pria ini.

Sambil membuka majalah wanita di tangannya, gadis itu mulai membuka pembicaraan.

“Bagaimana?”

“Aku memasuki akun email Profesor dan tidak menemukan email yang masuk.”

“Bagaimana dengan kotak keluar?”

“Dia hanya mengirim pesan biasa tentang perbaikan nilai kepada muridnya saja. Dan dalam tulisan itu tidak ada yang penting.”

“Begitukah?”

“Ya. Hanya pesan biasa.”

“Bagus kalau hanya itu. Aku harap jangan sampai masalah ini sampai menyebar. Rahasia itu harus tetap kita jaga.”

Gadis itu tersenyum lagi.

“Baik.”

“Oke...Selanjutnya, kita jangan pernah bertemu lagi!”

Gadis itu berdiri, meletakkan majalah yang tadi dipegangnya di bangku taman itu, lalu pergi dengan perlahan meninggalkan taman itu. Setelah gadis itu tidak terlihat lagi, pria itu mengambil majalah itu dan membukanya. Sesuai dugaan pria itu, ada sebuah amplop putih dengan beberapa lembar uang di dalamnya.

***

“Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Mikha saat mobil yang dinaikinya mulai keluar dari lahan parkir rumah duka itu.

“Begini. Aku rasa aku harus langsung ke pokok pembicaraan kita.”

“Lebih baik kamu menceritakannya.”

“Aku curiga profesor Jeremia dibunuh.”

“Dia memang dibunuh bukan?”

“Maksud aku, dia itu sengaja dibunuh. Tidak seperti hasil penyelidikan polisi yang menyatakan dia dirampok dan terbunuh karena membela diri.”

Mikha mulai memperhatikan lawan bicaranya dan merasa sedikit aneh dengan sikap pria berkacamata yang terlihat banyak pikiran. Mikha pernah diajar oleh William beberapa semester awal dan hematnya, William yang di hadapannya ini berbeda dengan yang pernah mengajarnya dulu. William ini terlihat sangat gugup.

“Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?”

“Beberapa minggu lalu, pak Jay meneleponku. Dia mengatakan bahwa selama beberapa hari dia merasa diikuti seseorang.”

Mata Mikha tiba-tiba menjadi tajam dengan pernyataan itu.

“Diikuti?”

“Iya.”

“Maksudmu, sejak saat itu dia diincar pembunuh?”

William mengangguk lagi.

“Tidak mungkin,” Mikha hanya menggeleng-gelengkan kepalanya,“aku yakin walau aku tidak pernah mengenalnya secara pribadi, tapi aku tahu profesor bukan jenis orang yang mempunyai musuh. Jadi tidak akan ada yang mempunyai dendam dengannya.”

“Aku tidak mengatakan ada yang dendam padanya.”

“Lalu?”

“Aku curiga ini soal penelitian yang dilakukannya.”

“Penelitian?”

William terdiam lagi. Ia sedang berpikir dan mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan.

“Iya.” kata William memulai lagi, “apa kamu ingat saat semester-semester awalmu pak Jay pernah mengajakmu untuk melakukan suatu penelitian? Dia pernah mendekatimu untuk melakukan itu?”

Mikha mencoba mengingat-ingat maksud William itu.

“Aku sepertinya ingat kejadian itu, hanya lupa detailnya.”

“Pokoknya, saat itu kamu tidak bisa menemaninya dalam penelitian itu tapi aku tidak ingat kejadian apa yang membuat kamu tidak bisa ikut. Nah, waktu itu aku menjadi asisten dosen. Dan sejak saat itu aku sering mengantikannya mengajar karena dia mulai melakukan penelitian itu sampai keluar negeri.”

“Kamu tahu penelitan apa itu?”

William menggeleng.

“Aku tidak tahu sama sekali penelitian apa yang beliau lakukan. Tapi beliau pernah memberi tahu aku, bahwa penelitian itu bisa membawa perubahan besar bagi dunia. Dia sangat berapi-api saat mengatakan akan memulai penelitian itu.”

“Dan penelitian itu juga sangat berbahaya?”

“Seperti itu lah yang dia katakan. Dan satu hal yang harus kamu tahu, dia hanya mengatakan soal penelitian itu kepada dua orang. Kamu dan seorang mahasiswa lain. Aku hanya tahu salah satunya kamu dan aku tidak tahu siapa mahasiswa yang lain itu?”

“Jadi maksud dari pembicaraanmu ini?”

William memperhatikan Mikha makin lekat.

“Aku hanya memperingatkanmu untuk berhati-hati. Kamu harus berhati-hati, supaya nasibmu tidak seperti profesor Jeremia.”

Ada empati yang begitu besar yang Mikha rasakan dari William. Tapi harus diakuinya Mikha mulai tersugesti dengan perkataan William.

“Mengapa aku harus berhati-hati? Aku tidak akan melakukan penelitian itu bukan?”

“Aku tahu kamu tidak akan melakukan itu, tapi aku hanya takut mereka pikir kamu melakukannya atau setidaknya mengetahui tentang penelitian itu.”

Mata Mikha makin menatap tajam William, ia benar-benar penasaran dengan maksud ucapan William itu.

“Siapa maksudmu dengan mereka?”

“Aku juga tidak tahu.”

William tiba-tiba membisu. Mikha mulai merasakan sesuatu disembunyikan William darinya dengan melihat perubahan mimik wajah William yang tiba-tiba saja menjadi sangat tegang. Mikha pun terpaksa harus mendesak William mengatakannya.

“Aku tahu, kamu tahu sesuatu?”

William sekali lagi menggelengkan kepalanya.

“Kalau kamu tidak mengatakannya, percuma saja bertemu denganku bukan?”

Sekali lagi, timbul wajah ketakutan dari William. Dia mencoba untuk berpikir keras tentang semua yang mengganggunya. Namun akhirnya, ia memutuskan untuk bicara.

“Oke. Aku mungkin tahu sesuatu.”

William menghentikan perkataannya dan dalam beberapa detik kemudian dia meneruskan pembicaraannya.

“Tiga hari yang lalu aku kebetulan pergi ke daerah rumah profesor Jeremia. Dan secara tidak sengaja aku melewati rumah profesor. Saat itu ada dua orang pria berdiri di depan rumah profesor. Seorang memakai pakaian serba ungu dan yang satu lagi berpakaian seperti perempuan. Aku awalnya tidak menaruh curiga sedikit pun pada mereka, karena ku pikir mereka mungkin tamu atau tetangga profesor. Dan karena aku melajukan mobilku perlahan aku mendengar sesuatu yang mereka bicarakan, baru aku sadari ada yang tidak beres. ”

“Pembicaraan apa maksudmu?”

“Samar-samar. Tapi ada satu kalimat yang jelas, walau awalnya aku tidak tahu apa maksudnya?”

“Kalimat apa itu?”

“Bunyinya kira-kira seperti ini,” William menimbang-nimbang. “‘data itu harus kita dapatkan, setelah itu kita habisi dia.’. Dan aku baru sadar maksud perkataan itu saat keesokan harinya profesor meninggal dunia.” William menggelengkan kepalanya. “Aku menyesal. Seharusnya aku melaporkan hal ini ke polisi. Dan mungkin profesor masih hidup.”

William terlihat terpukul sekali dengan kenyataan itu. Ia memukul-mukul stang mobil dengan kedua telapak tangannya. Mikha pun memcoba mengambil alih situasi itu.

“Sudahlah. Semua sudah berlalu dan tidak ada yang harus disesali lagi.”

“Memang. Tapi aku menyesal sekali. Aku...”

William tertunduk sedih. Ia tidak tahu apa yang bisa dia katakan lagi.

“Mengapa kamu tidak melaporkan hal ini ke polisi?”

“Aku takut. Aku takut sekali. Aku takut nyawaku terancam karena ini.”

“Terancam oleh.”

“Oleh mereka itu.”

“Sebenarnya aku tidak mengerti tentang siapa mereka itu?”

“Mereka itu....Ah, aku tidak tahu.”

“Kamu terlalu memikirkannya.”

William menggelengkan kepala, sebantar lalu menatap Mikha dengan penuh harap dan permohonan.

“Kamu tidak akan melaporkan ini ke polisi kan?” William mulai ragu-ragu, “tentang semua kecurigaanku ini bukan? Aku takut aku jadi terlibat karena ini.”

“Aku rasa aku tidak akan berbuat itu.”

“Lalu apa yang akan kamu lakukan saat tahu hal ini?”

Mikha menggelengkan kepalanya lagi.

“Jujur saja, aku tidak tahu.”

***

Hujan dengan intensitas kecil membuka pagi ini. Tanah-tanah yang sudah haus dan kering terpuaskan, setelah satu bulan sudah tidak ada air yang turun dari langit. Bulan ini memang musim kemarau panjang sekali dan hujan ini juga mengobati rindu para tanaman yang telah lama menanti datangnya hari ini.

Mikha terbangun oleh suara alarm handphone yang memang ia atur akan berbunyi jam delapan pagi. Matanya masih terkatup rapat seakan ia tidak ingin membukanya. Tapi, ia tahu bahwa ia harus segera bangun, mandi dan pergi ke kampus untuk mencari data-data untuk menyelesaikan tugas akhirnya.

Mikha memaksa matanya untuk terbuka. Ia mengulingkan badannya ke kanan dan ke kiri, lalu segera terjaga. Ia bangun kemudian berjalan perlahan mengambil handuk yang tergantung di dekat kursi malasnya. Melilitkan handuk tersebut ke lehernya, lalu segera masuk ke kamar mandi.

Sepuluh menit kemudian ia keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Kemeja biru dengan sedikit motif grafiti terasa seimbang dengan celana jeans biru yang ia kenakan sekarang. Ia menghampiri cermin bulat kecil yang tergantung sederhana pada salah satu sisi temboknya. Menyisir rambutnya menghapus sedikit keringat yang ada di keningnya.

Ia sudah siap. Ia langsung saja turun menuju ruangan di mana ia menaruh motor kesayangannya. Lalu setelah memanaskan motornya selama beberapa menit, ia langsung berangkat meninggalkan rumah kontakkannya itu.

Tidak lama, Mikha sudah tiba di kampusnya.

Saat memarkirkan motor, ia cukup terkejut saat menyadari bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Ia lebih terkejut saat melihat orang itu melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan.

Mikha sepertinya tahu siapa orang yang memanggil namanya beberapa kali itu. Bahkan Mikha sangat mengenal orang sudah sejak lama. Apalagi saat Mikha mulai menghampirinya dan gadis itu tersenyum padanya.

“Nami?”

“Hai Mikha!”

Nami adalah gadis yang dikenalnya dari SMP. Gadis yang cukup manis ini mempunyai rambut dengan panjang sebahu dan terlihat lurus sekali. Di kedua pipinya ada lubang kecil yang menambah nilai sempurna pada wajahnya yang selalu terawat.

Matanya yang agak kecil sangat membuktikan bahwa gadis ini memang oriental. Tapi pasti saja tiap orang salah mengenalnya dengan mengira dia keturunan China. Ia memang keturunan suku Asia Timur, tapi lebih tepatnya bangsa Jepang.

“Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” Mikha menjabat tangan Nami. “Apa kabar kamu Mi?”

“Iya. Aku kangen sekali padamu Mik.”

Mikha tersipu malu saat Nami mengatakan itu. Apalagi ia sudah lama tidak mendengar gaya manja gadis di hadapannya itu.

“Aku baik-baik saja kok Mik. Bagaimana kabarmu sendiri?”

“Aku, aku baik.”

“Syukurlah.”

Mikha memperhatikan Nami dari ujung kaki sampai ujung kepala, tidak ada yang berubah dari dirinya, kecuali warna rambut Nami yang sudah menjadi coklat.

“Oh ya. Tidak biasanya kamu ke sini?”

“Aku memang ingin bertemu kamu Mik.”

“Oh ya? Ada apa?”

“Mmm....” Nami mengaruk-garukan kepalanya. “Bagaimana kalau kita bicara di tempat lain?”

Mikha termenung sejenak.

“Boleh.”

Continue Reading

You'll Also Like

225K 23K 43
Alpha High School adalah sekolah bergengsi yang terletak di Jakarta pusat. Di sekolah ini bukan orang yang punya uang yang berkuasa, melainkan yang j...
INDESTRUCTIBLE By anzazerr

Mystery / Thriller

36.8K 3.4K 25
"Kalian itu sebenarnya apa?" "Kami? Kami geng motor." "Huh? Lu kira gua percaya?" Tokyo Noir Familia, hanyalah sebuah geng motor biasa yang bisa dibi...
8.9K 153 11
๐—ฌ๐—ฎ๐—ป๐—ฑ๐—ฒ๐—ฟ๐—ฒ, ๐—•๐——๐—ฆ๐— , ๐—ง๐—ต๐—ฟ๐—ถ๐—น๐—น๐—ฒ๐—ฟ, ๐—ฉ๐—ถ๐—ผ๐—น๐—ฒ๐—ป๐—ฐ๐—ฒ, ๐—ฅ๐—ฎ๐—ฝ๐—ฒ, ๐—š๐—ฎ๐—ป๐—ด๐—ฏ๐—ฎ๐—ป๐—ด, ๐—ฏ๐˜…๐—ฏ ๐—ฎ๐—ฑ๐—ฎ ๐—ฑ๐—ถ ๐—ฏ๐—ผ๐—ผ๐—ธ ๐—ถ๐—ป๐—ถ... ๐—๐—ฎ๐—ฑ๐—ถ ๐—ท๐—ถ๐—ธ๐—ฎ ๐—ธ...
25.7K 2.7K 55
[COMPLETE] *** [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, ADA BEBERAPA PART YG DIPRIVATE] *** ๐‘ฉ๐’Š๐’Ž๐’‚๐’๐’•๐’‚๐’“๐’‚ ๐‘บ๐’†๐’„๐’“๐’†๐’• ๐‘จ๐’ˆ๐’†๐’๐’• (๐‘ฉ๐‘บ๐‘จ) merupakan organi...