Brought It To An End

27retro tarafından

157K 14.7K 715

Bukan karena kita menginginkan sesuatu, maka kita harus melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Cukup den... Daha Fazla

[ Trailer ]
[ Begin ]
[1] Thaya
[2] Tama
[3]
[4] Thaya
[5] Tama
[6]
[7] Thaya
[8] Tama
[9]
[10] Thaya
[11] Tama
[12]
[13] Thaya
[14] Tama
[15]
[16] Thaya
[17] Tama
[ End ]
Bonus Chapter [1]
Bonus Chapter [2]

[18]

4.7K 574 59
27retro tarafından


"Udah, lo cepet ke sekolah. Kita bantuin manjet deh, Ya."

"Dijamin kenakalan lo hari ini, termaafkan oleh kepala sekolah."

"Sekolah, atau bandara?!"

Thaya mendengus sebal seraya mengingat ucapan teman-temannya sekitar setengah jam yang lalu.

Namun, pada akhirnya ia memutuskan untuk mandi dan memakai seragam sekolahnya. Mungkin, ia akan lupa dengan ... dengan, entah lah Tama dan semuanya. Walaupun sementara.

Ayahnya sudah pergi hampir satu jam yang lalu untuk datang ke bandara. Alhasil, Thaya akan berangkat sendiri hari ini.

Tangannya beralih membuka pintu. Ia menatap jam tangannya. Sudah pukul sebelas siang. Apa rasanya sekolah hanya empat jam?

Entah lah. jawabnya, dalam hati. Thaya beralih mengunci pintu rumahnya. Setelahnya, ia pun melangkah menuju pagar rumahnya.

Namun sayangnya ... hal yang ia hindari, justru ia temukan saat ini.

Ia memakai pakaian kasual seperti biasanya. Dengan jaketnya yang ada pada genggaman tangannya. Bahunya naik turun, seolah-olah ia baru saja lari bermil-mil. Hembusan angin kecil, membuat rambutnya berterbangan sedikit.

Dia, Tama.

Orang yang seharusnya tengah duduk menunggu untuk masuk pesawat, malah ada dihadapannya saat ini.

"Tam–"

"Sekolah apaan jam segini?" Potongnya langsung dan menggerakkan matanya ke arah Thaya dari atas sampai bawah.

Thaya tidak tahu harus bersikap apa. Apa ia harus bertingkah seolah semuanya bercanda, dan biasa saja? atau ... sebaliknya?

"Nggak liat ada notif baru ya?" Tanya Tama lagi.

"Emang ada?" Yang ditanya malah balik bertanya. Tepatnya, ia berbohong.

Tama berdecak dalam hati. Ia tahu, pasti Thaya berbohong. Karena, perempuan itu menggenggam ponselnya pada tangannya. Tapi, Tama menyingkirkan hal itu untuk saat ini.

Ia tersenyum tipis ke arah Thaya. "Mau gue anter ke sekolah?"

"Lo kan nggak bawa mobil atau motor. Mau naik apa?" Thaya menautkan alisnya.

"Nggak usah sekolah kalau gitu." Jawabnya ringan. "Kita makan." Lanjutnya sembari menarik tangan Thaya untuk mulai berjalan.

Kalau saja Tama tidak mengenggam tangannya, dan menuntunnya jalan, mungkin Thaya sudah terlihat membeku sendiri. Karena, sejujurnya itulah yang dirasakan Thaya.

Tama bahkan, tidak tahu kemana ia akan membawa Thaya. Makan? Ini  kedua kalinya ia mengunjungi rumah Thaya, dan ia tidak tahu apakah ada tempat makan di sekitar rumah Thaya.

Setelah beberapa saat ia mengontrol dirinya, Thaya menghembuskan nafasnya pelan dan membalas genggaman tangan Tama. Ia menyenderkan kepalanya pada lengan Tama.

"Jangan ketiduran ya." Ujar Tama.

Thaya tertawa hambar, namun sebisa mungkin ia sembunyikan. "Ya nggak mungkin lah." Jawabnya.

Keduanya kembali hening. Kakinya sama-sama melangkah, tapi entah kemana. Mungkin, untuk saat ini keduanya memiliki tujuan yang sama.

"Tam," Thaya memecahkan keheningan.

Tama melirik Thaya dari ekor matanya, tanpa menjawab.

"Naskah gue ... udah selesai lho." Jawabnya sembari menarik kepalanya dan kembali tegak.

Tama hendak bersuara, namun Thaya menganggkat tangannya memperingati Tama untuk diam.

"Gue nggak nerima bantahan dari lo. Bilang aja, 'Yey akhirnya selesai. Semoga bagus ya nanti.'" Tukasnya.

Tama tersenyum mendengar ucapan Thaya. "Paste."

Mendengar balasan dari Tama, Thaya mendengus geli. Kata-kata itu dulu, sering diucapkan oleh Tama. Namun, sudah lama juga tidak mendengar kata-kata aneh keluar dari mulut Tama. Selain, omelannya.

Bohong kalau Tama tidak penasaran akan cerita Thaya tersebut. Mungkin, ini waktu yang pas untuk mengeluarkan rasa penasarannya.

"Cerita dari bagian mana, Ya?" Tanya Tama.

Thaya menatap Tama sedikit terkejut. Lelaki itu rupanya ingin tahu juga. Namun, sembari menahan senyumnya, Thaya menjawab. "Dari ... lo yang ngajak gue keluar pas acara makan malem. Inget kan?"

Tama menahan senyumnya. Ia tidak mungkin lupa. "Ya, sedikit."

"Bohong!"

"Lanjut, abis itu apa lagi?" Tanya Tama langsung.

Thaya mencibir sesaat, kemudian ia memikirkan kembali apa saja yang ia ceritakan. "Pas pernikahan, pas pindah rumah, pas sarapan pertama! Inget nggak?" Serunya sembari menatap Tama semangat.

"Pas lo masak telor pagi-pagi, tapi ternyata gue alergi telor?" Balas Tama.

"Pinter deh, Tamiun." Jawab Thaya.

Tama tertawa pelan mendengar panggilannya itu. "Terus apa lagi?"

"Pas lo ngasih kado gue kucing! Tapi, mati ... akhirnya, lo ngasih kucing lo buat gue." Lanjutnya.

Yama memang kucing milik Tama dulu. Dan tentunya, Ia tidak menamai kucingnya itu dengan nama Yama sebelumnya. Yama adalah nama kucing Thaya yang sudah mati.

"Terus ... pas lo ngasih bunga ke gue diem-diem. Dan pas Mama sama Papa nanya, lo bilang itu dari Nara! Nyebelin."

Tama ingat kejadian itu.

"Pas lo nembak gue jam tiga pagi! Lo bilangnya, nggak bisa tidur. Ah, lucu banget." Tanpa ia sadari, pipinya bersemu. Tepatnya, tiap kali ia mengingat hal itu, ia memang tetap akan bersemu merah seperti saat ini.

"Yah, Ya. Masa masih merah aja?" Tama tertawa sembari menunjuk wajah Thaya.

"Bodo. Abis itu ... Pas lo ngajak gue nemenin lo latihan band, dan ngenalin gue ke Reno! dan ternyata, Reno punya adek dan adeknya itu mantannya sepupu gue!" Serunya. "Inget kan? Pas ulang tahunnya Reno?"

Dan satu hal yang Tama ingat, Thaya memperkenalkan dirinya sebagai pacar di depan sepupunya, ketimbang kakak tiri.

"Terus ... pas kita mau ngebantuin Nara nembak Kalisa! Tapi, nggak jadi. Akhirnya, kita yang dinner."

Dinner pertama tepatnya. Tanpa embel-embel, acara keluarga. "Inget."

"Gue nggak nanya lo inget atau nggak sih." Bantah Thaya. "Abis itu ... kita suka bikin video nggak jelas di kamar gue! Itu yang paling seru."

"Emang," Timpal Tama.

"Terus ... pas gue nangis semaleman karena Ibu kandung gue meninggal, lo nemenin gue ngeteh semaleman."

"Ah, muka lo terlalu menyedihkan, Ya. Waktu itu." Ucap Tama.

"Terus, pas Mama sama Papa mulai renggang ... gue, lo, sama Audi kabur malem-malem!" Thaya menghela nafasnya sesaat. "Gue pengen kayak gitu lagi, Tam."

Tama berhenti melangkah. Membuat, Thaya juga ikut berhenti. "Tunggu,"

"Apa?"

"Lo ... lo ceritain sebanyak itu?" Tanya Tama sembari menatap Thaya lurus.

"Ngg–" Gumam Thaya tanpa menoleh ke arah Tama.

"Ya?" Panggil Tama.

Thaya tersenyum tipis dan menatap Tama. "Enggak."

"Enggak?" ulang Tama.

"Gue nggak mungkin ceritain semuanya dalam satu cerita pendek, Tama." Jelas Thaya.

"Terus? Tadi–"

Thaya menghembuskan nafasnya panjang. "Gue ... gue cuma, pengen inget-inget aja apa yang pernah kita lakuin."

Tama diam.

"Banyak banget ternyata, Tam." Jawab Thaya sembari menarik rambutnya yang terkena hembusan angin. "Bahkan, gue rasa cerita pendek itu cuma seperlima dari cerita yang asli. Atau lebih sedikit lagi."

"Ya–"

"Dan ... gue pun bahkan, bohong di ending. Gue tulis, kita bareng terus. Disini. Lo ada disini, dan tetap. Nggak pergi, seperti apa yang ada sekarang."

"Aya–"

"Gue nggak ngerti sebenernya, apa maksud lo nemuin gue sekarang, megang tangan gue," Thaya mengangkat genggaman tangan keduanya. "Seakan-akan lo nggak mau ngelepas, tapi kenyataannya lo yang pergi. Bukan, gue yang berusaha kabur."

"Aya. Gue nggak bisa pergi aja, tanpa pamit. Dan sekarang, coba kalau gue nggak dateng. Lo nggak bakal muncul disana kan?" Tama menatap Thaya dalam.

"Tapi–" Thaya berusaha untuk mengelak namun ia berhenti. Satu kata saja ia lanjutkan, ia pasti sudah mendapat predikat perempuan tercengeng.

"Aya ...," Tama beralih menghadap Thaya lurus.

Namun, mau tidak mau ia harus angkat suara. "Lo nggak ngerti, Tam. Gimana rasanya ditinggal. Bukan yang meninggalkan. Gue ... gue mikir. Gimana kalau kita nggak ketemu? padahal, biasanya kita ketemu hampir setiap hari."

"Kita masih bisa telfon, video call, Aya." Jawab Tama.

"Gue takut, semuanya cuman sementara. Di awal doang. Selebihnya, kita sibuk sama dunia kita sendiri."

"Nggak bakal, Ya." Tama menghembuskan nafasnya pendek. "Lo nggak bisa jarak jauh?"

Thaya merasakan lidahnya kelu detik itu juga. Ucapan Tama terdengar seperti fakta. Sangat fakta.

"Ya–"

"Pergi, Tam." Potong Thaya.

Tama menatap Thaya tidak percaya. "Pergi?" Ulangnya.

Thaya mengangguk pasti. "Iya. Pergi. Lo delay nggak lama kan?"

"Aya–"

Thaya menggenggam tangan Tama erat. "Mama sama Audi kasian. Lo pasti nggak bilang kan, lo mau kemana?"

"Kita belum makan."

"Kita liat aja, gimana ke depannya. Anggep aja, rencana makan kita itu puncaknya." Jeda. "Kalau yang lo bilang 'nggak bakal' itu terbukti, kita bakal makan bareng nantinya, entah kapan."

"Aya, lo serius?" Tanya Tama yakin-tidak yakin.

Thaya mengangguk yakin. Namun, disaat yang bersamaan, air matanya tetap jatuh. Entah mana yang sejujurnya menggambarkan isi hatinya.

Tama diam sesaat dan menatap Thaya dalam. "Oke. Janji."

"Janji."

Tama menghela nafasnya setengah lega. Ia menatap jalan raya di sampingnya. Tepat saat itu, ia melihat sebuah taksi. Ia pun segera memberhentikan taksi tersebut.

Ia membuka pintu belakang. "Masuk, Ya."

Berbeda dengan dugaan Tama, Thaya justru menggeleng pelan seraya melepas genggaman tangannya dengan Tama. "Lo aja."

Alis Tama bertaut. "Hah?"

"Lo aja, Tam. Gue enggak." jawab Thaya lengkap.

Tama beralih mengetuk kaca pengemudi. "Bentar, Pak." Ucapnya dan mendapat anggukan kecil dari sang pengemudi taksi.

Setelahnya, ia kembali menoleh ke arah Thaya. "Kenapa?"

Thaya kembali menggeleng. "Kalau ngeliat lo sekarang aja gue pengen nangis, apa lagi ngeliat lo masuk pesawat nanti?"

Tama diam.

"Lo nggak cuma liburan yang seminggu balik Tam. Gue ... gue nggak bisa." Jawab Thaya.

"Aya, gue dateng kesini. Setidaknya lo mau ikut."

"Terus gue harus apa?" Tanya Thaya. "Ngejar-ngejar lo ke bandara tapi ujung-ujungnya, nggak bakal ada yang berubah, Tam.

"Kalau lo mau gue jujur, gue nggak mau lo pergi. Tapi, lo bakal tetap pergi kan?" Lanjut Thaya.

Tama mengusap wajahnya perlahan.

"Gue serasa lagi adegan Cinta ngejar-ngejar Rangga, di bandara. Untungnya, gue nggak bawa temen-temen gue ikut buat gantiin peran si Mamet dan yang lain." Thaya mencoba mencairkan suasana namun tetap menangis.

Tama hanya menatap Thaya diam.

"Tapi, cewek kayak Cinta aja tetep ditinggal, apa lagi gue?" Jeda. "Cukup gue lari dari kenyataan sekarang, dan gue nggak peduli seberapa nyeselnya gue besok atau seterusnya."

"Dan lo terima semuanya?" Tanya Tama.

Thaya mengangguk ragu.

Tama menghela nafasnya panjang. Mungkin, keputusan Thaya memang sudah final.

Keduanya hening sesaat. Sampai akhirnya, Tama angkat bicara.

"Jadi ... disini?" Jeda nafasnya pun terasa berat.

Lagi-lagi Thaya mengangguk. Meski anggukannya terasa seperti kebohongan.

"Gue pamit, Ya."

Kali ini, rasanya Thaya tidak dapat menahan air matanya. Karena, ia yakin ia sudah menangis.

Tama tersenyum tipis. Tangannya bergerak untuk mengusap air mata perempuan di hadapannya itu.

"Makasih, dua tahun barengannya." ucap Tama.

Air mata Thaya kembali jatuh tanpa dapat ia tahan.

Tama menghapus air mata Thaya lagi. "Jangan nangis." Pintanya. "Jelek."

"Serius?" Tanya Thaya.

"Dua rius." Balas Tama sembari mencoba tertawa. "Jangan lupa janji yang tadi."

"Pasti." Jawab Thaya.

Tama tersenyum lagi. Kalau ia perempuan, mungkin ia juga akan menangis seperti Thaya. Namun, ia hanya dapat menyembunyikan semuanya.

Sesaat kemudian, Tama menarik Thaya ke dalam pelukannya. Memeluknya erat.

Thaya yang awalnya sempat membeku, kini mulai membalas pelukan Tama. Ini kedua kalinya, Thaya merasakan sesuatu hilang, padahal ia dalam pelukan Tama.

"Nama Yama jangan diganti." Ucap Tama sembari mengelus pelan rambut Thaya. "Gue tau, itu Aya-Tama."

Thaya tudak dapat menjawab lagi. Ia menutup mulutnya, menyembunyikan tangisannya yang pecah.

Jujur, Tama sendiri tidak ingin melepas pelukannya dengan Thaya. Tapi, waktu terus berjalan. Dan membuatnya, harus melepaskan Thaya.

Dilihatnya, pipi Thaya yang sudah basah akan air mata. Lagi-lagi Tama mengusap air mata itu.

"Kabar–rin. Kalau ud–dah sampe." Ucap Thaya disela tangisannya.

Tama tersenyum tipis dan mengangguk. "Dah?"

Tanpa memberikan aba-aba lagi, Thaya memeluk Tama lagi.

Tama sempat tersentak, namun ia tetap membalas pelukan Thaya yang singkat.

"Bye, Tam." Ucap Thaya seraya melepas pelukannya.

Tama mengangguk dan beralih membuka pintu taksi. "... Bye, Ya."

Thaya pun menyaksikan detailnya sampai Tama masuk ke dalam taksi. Dilihatnya, Tama memberikannya seulas senyum, sebelum pada akhirnya, taksi pun bergerak melaju.

Saat itu pun, Thaya merasakan lututnya lemas seketika. Ia menutup mulutnya dan menangis lebih keras. Hingga membuat bahunya naik-turun.

Tama sudah pergi. Dan melupakan satu hal.

Thaya masih dalam isakan tangisnya, dan mengucapkan sesuatu pelan, dan mungkin untuk terakhir kalinya.

"Selamat tanggal empat belas, Tam."

#

a.n
Well... ini chap terakhir sebelum epilog.

Dan lucunya soal epilog.. aku punya 3 epilog.. dan yang pastinya bakal aku pilih salah satu aja *emoji nangis*

Oke, stop bahas epilog... mending kita bahas chap yang sinetron abis ini... dan harapan ku sih semoga bapernya aku pas nulis tersampaikan.. kalau nggak.. yah udin gagal aing

So.. epilog akan aku post dalam waktu dekat. Thaya-Tama maafkan hubungan kalian terlalu nyebelin.

Jangan lupa tinggalkan jejak!

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

11K 1.3K 35
Kisah yang menceritakan dua insan yang saling mencintai dan saling menjaga satu sama lain. Dua insan yang di pertemukan secara tidak sengaja oleh sce...
113K 2.1K 17
[One Shoot] [Two Shoot] 1821+ area❗ Adegan berbahaya ‼️ tidak pantas untuk di tiru Cast : Taehyung (Top) Jungkook (bot) # 1 oneshoot (23/05/2024) #...
172K 740 8
📌 AREA DEWASA📌
777K 41.7K 20
#1 in Teenfiction 8/18/18 #2 in Remaja 8/18/18 [Book one of Amazing Boys Series] //sudah terbit\\ Quinsha menghancurkan apa yang tidak dia kehendaki...