The Fact. - On Going

By _Petrichorain

96.7K 6.4K 580

The Fact (Aku Lebih Kuat dari yang Kau Pikir) Reandra Emeralda (25) telah begitu sabar menghadapi cobaan hidu... More

▪2▪
▪3▪
▪4▪
▪5▪
▪6▪
▪7▪
▪8▪
▪9▪
▪ 10 ▪

▪1▪

21.6K 746 24
By _Petrichorain

1.

==========
Kau hanyalah sebuah bayang masa lalu,
Yang menawari sebuah rindu menjadi candu,
Dan aku membenci itu.
==========

          Andra menyeruput green tea latte pesanannya yang belum tersentuh sejam lalu. Siapa sangka ia akan bertemu lagi dengan pria yang tak begitu asing dikehidupannya. Apalagi pria itu tengah duduk santai di depan Andra, menyilangkan kaki dan membenarkan letak kacamata minus-nya yang melorot.

Andra menggeram frustasi jika mengingat semua tentang pria ini. Pria yang selalu menang atas apapun dalam hidupnya. Membuatnya terlihat seperti perempuan lemah tak berdaya di hadapannya. Tanpa cela. Pria itu selalu benar. Selalu saja seperti itu.

“Lama tak berjumpa, Tuan Yuhana...,” sapa Andra. Demi apapun di dunia ini. Andra tahu kebiasaannya yang tak kunjung berubah. Pria dihadapannya itu tak mau membuka percakapan terlebih dahulu. Bukan dengannya seorang. Dengan orang lain pun dia juga seperti itu. “Bagaimana kabarmu?”

“Baik.”

Andra mengangguk mendengar jawaban singkat dari pria yang dipanggil Tuan Yuhana itu. Lalu melirik sebentar arloji dipergelangan kirinya. Memastikan waktu istrahat karyawan sudah habis supaya ia mempunyai alasan untuk pergi dari sini. Starbucks. Kedai kopi yang terletak di seberang gedung perkantorannya. Andra bersumpah untuk tidak lagi mengunjungi tempat ini. Ingatkan sewaktu ia akan membeli kopi.

“Kenapa? Kau sedang terburu-buru?” tanya Rangga yang berhasil membuat Andra mendongak menatapnya. Kalau boleh jujur, Andra merindukan segalanya dari pria ini. Ketahuilah, bahwa bibir yang berujar itu dulu milik Andra. Dahi putih bersih pria itu yang tak tertutupi sehelai rambut pun sering dikecupnya.

“Aku harus kembali ke kantor,” jawab Andra singkat. Ia berdiri, tidak lupa membawa dompet dan juga ponsel pintarnya yang tergeletak di atas meja. Lalu menunduk sedikit kepada pria berkacamata itu.

Tepat sebelum Andra melangkahkan kakinya, pria itu kembali bersuara, “Tidakkah kau berpikir bahwa dia tersakiti oleh kelakuanmu?” sembari melempar tatapan tajam dari balik kacamatanya.

“Kau berbicara tentang rasa sakit? Hah.. kau pikir lebih sakit mana, dirinya yang ditemani olehmu atau aku yang tak memiliki siapapun,” tukas Andra pada akhirnya. Ia meraih paper cup bekas green tea latte-nya. Membuangnya ke tempat sampah yang berada di sisi pintu masuk. Sebelum Andra benar-benar melangkahkan kakinya keluar dari pintu itu, ia kembali membungkuk pada Rangga yang masih duduk.

==========

Hujan tak kunjung mereda, cuaca akhir-akhir ini sering berubah seperti gadis remaja labil yang mendapatkan masa haid-nya. Andra berjongkok untuk menikmati sensasi rintik hujan yang jatuh ke tangannya. Bau khas dari hujan menciptakan perasaan damai di hati dan pikiran.

Andra kembali melamun untuk kesekian kali pada hari ini. Memikirkan segalanya yang masih terasa klise menurutnya. Seperti baru kemarin Andra berpacaran, lalu sorenya ia putus dengan kekasihnya itu karena si pria ketahuan sedang selingkuh dengan sahabatnya.

“An! Kenapa masih disitu? Ayo naik! Aku akan mengantarmu pulang.” Andra mendongak untuk mencari asal suara itu. Tia berteriak sambil membunyikan klakson mobilnya. Tia -teman kantor Andra- memberi isyarat untuk mendekat. Andra melempar senyum, dengan menggunakan tas selempangnya untuk melindungi kepalanya dari rintikan hujan, perempuan itu berlari menuju mobil Avanza putih yang dikendarai Tia.

“Tumben kau pulang jam segini,” kata Andra, sambil membersihkan rintik hujan yang mengenai tasnya. Tia melajukan mobil, mengarahkannya pada Jalan Raya Ibukota.

Ia meringis, “Aku bangun kesiangan, pagi tadi tante kecentilan itu terus mengomeliku. Uhh.. today’s bad day,” jawabnya dengan ekspresi menggebu-gebu saat menyebut atasannya –Madam Rita- Tante centil. Andra tertawa sambil menggelengkan kepala.

“Ngomong-ngomong, seharian tadi aku tidak bertemu dengan Endro. Kemana orang itu?”

“Oh iya, kita tak membahas masalah ini di grup chat. Endro bilang ia sedang sakit perut.”

“Orang itu mau aku bunuh? Kenapa tidak bilang sih?” pekik Andra. Dengan cepat ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Mengirimi pria itu sms bernada makian. Memangnya Andra dianggap apa oleh lelaki itu sebenarnya. Teman dari kecil? Andra rasa tidak.

“Kau SMS dia? Telat. Endro sudah pamit tidur sewaktu aku masih di kantor.”

“Kau sudah menyuruhnya minum obat ‘kan?” Andra menatap wajah Tia dari samping. Meminta jawaban.

“Sudah. Aku juga sudah mampir ke apartemen-nya. Sudah membuatkannya bubur. Sudah membersihkan piring-piring kotor, sudah menyapu lantai. Apa yang ingin kau katakan sudah aku kerjakan, bos.”

“Syukurlah kalau begitu. Aku lega Endro punya pacar yang baik dan pengertian sepertimu. Kau tahu, aku kelewat panik mengetahui dirinya sedang sakit. Pria itu ‘kan, sewaktu kecil sering sakit-sakitan.”

Demi apapun yang ada di sini, Andra bersyukur Endro mempunyai Tia. Setidaknya pria itu tidak melakukan semua hal sendiri. Meski mereka teman sejak kecil, tetap saja kewajiban Tia untuk mengurus Endro. Dan ia tidak mau membuat semuanya salah paham terhadap hubungannya dengan Endro. Andra tidak mau di jatuhi pertanyaan oleh orang-orang, “Pacarnya yang mana sih sebenarnya?”

Mobil yang ditumpangi Andra telah sampai pelataran rumahnya. Bangunan mewah yang berdiri di atas tanah kompleks orang-orang elit. Peninggalan orang tua Andra sebelum kecelakaan besar terjadi. Ayah dan Ibunya meninggal di perjalanan sewaktu ingin menjemput putrinya pulang sekolah. Andra tak begitu mengingatnya. Itu sekitar dua puluh tahun yang lalu. Ia sudah terbiasa tinggal sendirian.

“Terima kasih atas tumpangannya Tia. Selamat malam, hati-hati di jalan.”

“Kau juga cepat masuk. Kau tadi sempat kehujanan,” teriak Tia dari dalam mobil. Kemudian gadis itu melambai pada Andra, bermaksud pamitan. Perlahan mobil itu melaju, Andra terus mengamatinya dari jauh sampai mobil Avanza itu hilang dari pandangan.

“Hari yang melelahkan.”

==========

Andra menghembuskan napas kasar. Dua botol minuman isotonik di kedua tangannya telah tandas dalam sekali tenggak. Pasalnya hari ini ia sibuk wara-wiri mengambil selebaran pamflet untuk acara penggalangan amal di kantornya, dan sebuah banner besar untuk menyambut Wakil Pimpinan Redaksi yang baru.

Andra menaruh kepalanya di atas meja foodcourt kantor yang berada di lantai bawah. Membiarkan wajahnya di terpa terik matahari yang melintasi kaca gedung. Kepalanya serasa berputar saat mengingat bau mesin kendaraan yang berlalu-lalang. Andra bersumpah, sebentar lagi ia pasti akan muntah.

Bunyi kursi yang bergeser membuat Andra terlonjak kaget. Ia menoleh sedikit pada manusia yang sudah duduk rapi berhadapan dengannya. Endro tanpa banyak bicara melahap makanan pada baki yang dibawa. Tanpa mengindahkan keberadaan pria itu, Andra menaruh kepalanya lagi.

“Kau kenapa?” tanya Endro disela-sela kegiatan makan siangnya.

“Hanya sedikit lelah dan you know what I do, today,” balas Andra singkat, “Sakit perutmu sudah sembuh?”

“Tentu..,” tukas Endro. Seakan baru tersadar, pria itu meletakkan sendok pada meja dengan keras. Tangan kanannya dengan cepat mengambil ponsel pintar yang berada di saku celana kain yang sedang ia kenakan, “Kemarin teman SMA-ku mengirimiku video.”

“Aku tidak tertarik. Biarkan aku istirahat sebentar saja.”

“Kukirim ke ponselmu saja kalau begitu.”

“Memang video apa sih? Sampai kau repot segala mengirimkannya padaku.”

“Kalau ingin tahu, lihat saja sendiri.”

Andra menegakkan punggungnya. Masih dengan ogah-ogahan, perempuan itu menyodorkan tangan kanannya lemas kepada Endro, “Video apa sih? Pasti video porno.”

“Betul sekali, dan lihat siapa bintang wanitanya.”

Endro menyerahkan ponselnya. Tanpa melihat reaksi gadis yang ada di depannya ini, ia tahu Andra akan bereaksi bagaimana. Endro melanjutkan makannya dengan santai. Seakan tidak mengacuhkan Andra yang mulai serius menatap layar datar itu.

Matanya melirik sekilas saat tangan Andra meraih jus orange-nya. Endro membiarkannya. Toh, ia bisa beli lagi ini.

“Bukan Jepang toh? Seperti rekaman dari ponsel. Oh ya ampun, aku tahu club ini. Bukannya kita dulu pernah nongkrong di sini? Kau bilang ini dari temanmu ‘kan? Taruhan! Pasti temanmu yang jadi bintang pria-nya.”

“Jangan fokus kemana-mana dan lihatlah baik-baik siapa si wanita!” omel Endro. Andra hanya mengangguk bodoh.

‘Ahh..Ahh..Ahh..’

“Astaga! Kau tidak mengecilkan volume-nya? Kau sudah menonton ini ‘kan berkali-kali. Tidak kusangka kau hobi memutar ini berulang-ulang. Dasar cabul!” Andra dengan gesit menekan tombol volume dan dirubahnya sampai titik nol. Ia tidak butuh suara. Baginya desahan seperti itu menjijikkan untuk di dengar. Lantas kenapa pria menyukai desahan itu? Andra dibuat menggeleng saat memikirkannya.

“Jangan bicara yang sembarangan.”

“Yayaya, oh ini si wanita. Sebentar, sepertinya aku kenal...,” Andra menggantungkan kalimatnya demi melihat lamat-lamat wanita dalam video tersebut, “Kau kenal ‘kan? Siapa wanita di video ini Endro!” pekik Andra.

“Sebentar lagi kau akan menemukan jawabannya.”

Endro berkata santai. Andra ketar-ketir. Ia meraih gelas jus yang isinya tinggal setengah. Mencoba menurunkan kadar kepanikan yang melanda dirinya. Jangan bilang padanya bahwa wanita di dalam video itu adalah seseorang yang dulu sangat dekat dengannya. Jangan bilang. Andra memohon dalam hati. Namun permohonannya seperti ditolak oleh Tuhan. Wanita itu adalah...

“Dia Bella.”

Pfffffft

“Hah?”

Andra sepenuhnya sadar bahwa ia baru saja menyemburkan minumannya pada Endro. Wajah pria itu basah karena ulahnya yang sembrono.

==========

Andra menatap jalan raya yang telah sepi kendaraan. Bus TransJakarta sudah beberapa kali lewat namun ia hanya mengabaikan. Kemudian segerombol orang-orang yang baru saja pulang dari kantor melewatinya dengan tatapan aneh. Mungkin mereka sedang membicarakannya. Membahas betapa gila dirinya yang hanya diam berdiri memandang aspal jalan. Tapi Andra tidak peduli.
Baru saja perempuan itu ingin melangkah, namun di rasa, ia tengah menabrak sesuatu diikuti bunyi ‘tring’ yang bersuara sedih.

“Kau tidak apa-apa, Nona? Maafkan saya, saya sedang terburu-buru,” Suara berat khas pria mengalun indah di telinga Andra. Ia hanya melihat penabrak itu sekilas lalu cepat-cepat bangkit sambil membersihkan celana jeans-nya dari debu jalan. Pria itu nampak was-was bersamaan dengan matanya yang menatap keadaan tubuh Andra. Takut ada kulit yang tergores aspal.

“Saya baik-baik saja, Pak. Ini bukan kesalahan anda. Saya juga tidak hati-hati saat menyeberang.”

“Kau yakin? Kakimu tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa.”

“Syukurlah kalau begitu, saya sedang buru-buru. Sampai jumpa lagi, Nona,” tukasnya. Andra tersenyum dan memandang punggung pria itu yang berlari semakin jauh. Ia memukul kepalanya begitu ingat bahwa Andra tidak mengatakan hati-hati pada pria barusan. Ya sudahlah, Andra tidak mau kerepotan memikirkannya.

Andra kembali melangkahkan kaki, namun sepertinya ia menginjak sesuatu. Benda keras yang bergesekan dengan aspal jalan dan juga sole platform-nya. Andra merunduk –memungut benda itu- lalu berdiri lagi.

“Jadi ini, benda yang berbunyi tadi?” gumamnya, benda yang ternyata adalah pulpen. Dan Andra yakin ini adalah milik pria tadi. Berwarna silver lengkap dengan garis melingkar di bagian atasnya yang dilapisi perak. Terlihat mahal. Di badan pulpen tersebut terdapat tulisan latin berwarna emas.

“Mahendra R?”

==========

Andra duduk di meja rias dengan handuk yang masih membungkus rambut. Tidak dipungkiri, mandi membuatnya menjadi lebih rileks. Tangannya bergerak meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Ada banyak panggilan masuk beserta chat yang di lihatnya dari pop up. Beberapa panggilan dari Tia, Endro, dan atasannya, Pak Bimo. Andra lihat juga SMS dari mereka. Namun fokusnya terhenti ketika dilihatnya pesan dari nomor yang tak bernama. Nomor telepon yang Andra ingat di luar kepala. Nomor telepon pria itu. Tapi orang tersebut hanya mengirim pesan kosong yang tidak ada arti. Tak ada makna. Membuat jengkel saja.

Andra bersiap melempar alat komunikasi itu sebelum lagu Sleeping Child yang dibawakan oleh Michael Learns to Rock berteriak dari ponselnya. Pria itu menelpon!

Brengsek!

Apa yang harus Andra lakukan?

“A-a-b-b-c-c.” Andra mengatur vokal. Takut suaranya terdengar parau atau lebih buruknya lagi terlalu senang karena pria itu menelpon Andra. Ia harus bersikap biasa dan tenang.

Tarik napas, hembuskan. Andra segera menggeser icon gagang telepon itu ke kanan.

“Ya, hallo..., ah, benar saya sendiri..., baik saya akan ke sana..., dimana alamatnya?..., sebisa mungkin tolong cegah dia untuk minum lagi, saya segera ke sana.”

Setelah mematikan sambungan telepon, Andra melempar ponsel itu ke atas kasur. Merapikan rambutnya dan menyisirnya asal. Ia meraih jaket yang berada dalam lemari. Namun pergerakannya berhenti tiba-tiba saat mengingat sesuatu.

‘Jangan muncul di hadapanku lagi.’

Suara sialan yang memekakkan. Suara sialan yang menyebabkan Andra tak bisa apa-apa. Kata-kata yang pernah terucap dari bibir pria itu.

Andra membanting tubuhnya di atas kasur. Apa-apaan tadi barusan? Apa yang sedang ia kerjakan? Apa yang ia harapkan? Menyebalkan dan terasa menyesakkan. Kenapa ia masih peduli?

“Bodoh! Bodoh! Bodoh!”

Andra bergerak gusar di atas kasur. Jika angin berwujud, mungkin ia sudah kelelahan menerima tendangan dari perempuan itu. Betapa anarkis kedua kakinya yang menendang-nendang. Andra berteriak kesal.

“Haruskah aku menghubunginya?”

Andra mencari ponsel yang tadi sempat ia lempar. Jemarinya bergerak cepat mengirimi pesan kepada seseorang. Seorang wanita yang berhak atas Rangga karena statusnya. Melempar lagi ponsel itu ke sisi tubuhnya, Andra meringkuk seperti bayi.

Angin malam dengan kencangnya lewat. Membuat daun jendela kamar Andra yang belum dikunci terbuka tertutup begitu saja. Tirai gordennya tersibak angin. Hawa dingin perlahan memasuki kamarnya. Ia menangis.

Ia terlalu berharap pada semua hal yang tak lagi sama. Segalanya terlihat remang-remang. Bahkan saat membuka mata pun, keremangan tidak kunjung meninggalkan Andra. Berkunang-kunang.

●●●●

Jadi enak yg mana bacanya? Sekarang apa yg dulu?
Aku rombak seluruhnya.

Continue Reading

You'll Also Like

1M 51.7K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
510K 39K 51
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
93.1K 18.6K 24
Swipe right. Dua kata yang tidak asing untuk pengguna dating apps. Bermula saat Liora merasa iri dengan teman-temannya yang sudah punya pacar, akhirn...
2.1M 229K 52
Almaratu Sesilia Pramesti tidak pernah membenci seseorang sebesar dia membenci Arjuna Nakala Anugerah. Laki-laki tampan yang selalu dielu-elukan oleh...