▪4▪

6.9K 605 18
                                    

4.

==========
Pada awan yang mengantarkan rintik hujan,
Kenapa kamu turun?
Padahal aku tidak membawa payung.
==========

Andra melangkahkan kakinya memasuki lobi Perusahaan Yuhana Corp. dengan malas. Kalau tahu tempat wawancaranya sejak awal di kantor pria itu Andra pasti akan menolak mentah-mentah. Ia seperti memasuki kandang singa. Lihat saja, satu dua bahkan puluhan karyawan di sini memandang Andra penuh tanda tanya. Mungkin di dahiku ada stempel ‘Mantan Rangga’ makanya orang pada lihatin, batinnya.

Ia memasuki lift setelah berbicara pada resepsionis sembari menutup setengah wajahnya menggunakan scarf yang tergantung di leher. Andra benci kucing-kucingan seperti ini. Ia bagai pencuri yang tidak ingin ketahuan mencuri. Melangkah dengan mengendap-endap sampai Andra tak ingin semut pun mendengarnya datang.

Sesampainya di lantai tempat ruangan direktur utama berada, Andra mengambil ponselnya dulu untuk mengabari Sila kalau ia sudah sampai ditempat. Sesuai jam dan tepat waktu. Sebenarnya ini alasan saja supaya Andra mengulur waktu. Ia ragu untuk melangkah lebih jauh.

“Apa sih yang aku takutin sebenarnya, hah? Hah? Hah?”

Andra menghentak-hentakkan kakinya kuat. Tinggal tujuh langkah lagi ia akan sampai di depan ruangan Rangga. Namun kakinya sulit sekali diajak maju. Hatinya tidak siap. Tidak. Ia panik setengah mampus. Lupakan tentang ekspektasinya tadi yang bisa menghadapi Rangga dengan tenang dan melawan semua argumen pria itu. Kenyataannya Andra masih diam di depan lift tanpa sedikitpun mau beranjak. Kenyataan tak seindah ekspektasi. Siapa yang mencetuskan kalimat itu? Andra harus meminta pertanggung jawabannya. Sadar tidak sadar, kalimat itulah yang membuat beberapa orang tidak mau bermimpi tinggi. Sama seperti nasibnya ini. Andra tidak berani mendekat ke ruangan itu.

“Andra?” Andra mendongak mendapati Max berdiri di depannya. Ia buru-buru merapikan pakaian yang dipakainya dan melempar senyum walau terlihat aneh bagi Max. Pria itu tertawa kecil, “Kau baru sampai?”

“Ya aku baru saja sampai.”

“Kalau begitu silahkan masuk. Rangga sudah menunggumu.” Max mengantar Andra sampai depan pintu masuk, “Aku ingin membeli kopi dulu. Kau green tea latte ‘kan?”

“Terserah Max.”

Max menggeleng, tidak setuju dengan jawaban Andra yang terdengar pasrah, “Tidak ada kata terserah untukku, Nona. Bisa-bisa aku dihajar oleh mantanmu.”

“Memang kenapa? Aku sih yang penting bisa diminum.”

Max tetap tak setuju dengan pernyataan Andra, “Tidak bisa, Nona. Aku harus menuruti permintaannya untuk membelikanmu green tea latte.

Andra memutar bola mata, ia tahu Max ingin sedikit mengurangi rasa paniknya, tapi dengan obrolan tidak berguna ini sama saja membuang waktunya. Andra menghembuskan napas, “Max, kalau begitu sejak tadi kau tak usah menanyai pendapatku jika pada akhirnya juga kau lebih menurut perintah bos mu.”

“Hahaha, jangan marah. Aku sedang mempratikkan guyonan yang semalam kubaca di buku komedi. Ternyata itu tak mempan untukmu,” Max tampak berpikir, “Aku bingung selera humor orang-orang saat ini. Komedi receh seperti itu bisa membuatnya tertawa. Apa yang mereka tertawakan sebenarnya?”

“Dengar Max, satu individu itu mempunyai watak dan sifat yang berbeda dari individu yang lain. Kau tidak bisa memaksakan apa yang kau mau terhadap orang lain. Dan orang lain juga tidak bisa memaksakan apa yang dia mau padamu. Karena apa?” Andra menggantungkan kalimatnya. Menatap Max yang masih setia mendengarkan. Perempuan itu melempar senyum sembari memegang handle pintu, “Karena seseorang punya seleranya masing-masing. Aku masuk dulu ya.”

The Fact. - On GoingWhere stories live. Discover now