KUPU KUPU JANTAN

Autorstwa azmarko22

106K 2K 141

Kisah ini menceritakan pemuda 27 tahun Sofiyan Prawira. Anak lelaki satu satunya dari tiga bersaudara. Kedua... Więcej

Az Marko Present's
Part 1
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Coming Soon
Coming Soon
Coming Soon

Part 2

10.6K 245 10
Autorstwa azmarko22

Pukul tiga sore tapatnya beberapa saat sebelum waktu ashar tiba. Anak anak didiku yang terdaftar sebagai anggota Pondok Menulis Sofiyan, sudah berkumpul. Mereka terdiri dari mulai usia sembilan tahun sampai lima belas tahun. Dari anak sekolah dasar sampai anak yang bekerja dipasar berbondong bondong ikut menulis. Setiap anggota yang terdaftar dalam Pondok menulisku aku wajibkan mengikuti enam belas pertemuan berarti totalnya mereka hanya dua bulan belajar denganku dan setelahnya aku nyatakan mereka lolos, sebagai tanda hormatnya aku buatakan mereka sertifikat. Hari sabtu dan minggu adalah hari yang sangat aku nantikan karena hari itu bukan saja aku hanya mengajari mereka bagaimana cara untuk menulis yang baik tapi aku juga bisa melihat senyum mereka, melihat mereka saling berbagi cerita dan aku ajari teori teori bagaimana mereka bisa jadi pemipin. Ya aku ingin mereka tidak hanya pintar menulis tetapai aku ingin mereka bisa menjadi pemimpin, pemimpin untuk keluarganya, untuk masyarakat, untuk agama dan untuk negeri indonesia tercinta.

Setiap minggu pasti ada saja murid baru yang akan daftar menjadi anggota Pondok Menulis. Mungkin totalnya sudah ratusan yang pernah aku didik dan sudah lulus dari Pondok menulisku. Aku memang tak memberikan tarif dalam mengajari mereka, bagiku mereka mau belajar denganku saja itu sudah menjadi suatu kebanggan buatku, tapi ada saja beberapa anak yang dengan sengaja dititipkan uang oleh orang tuanya agar diberikan untuku, aku sudah sering menolak tapi salah satu anak bernama Dawi pernah sampai menangis memaksaku agar mau menerima pemberian uang dari orangtuanya, katanya dia takut ibunya mengira jika dia tak memberikanya padaku, sehingga dawi nantinya akan kena marah. Sejak saat itulah aku memutuskan membuat suatu kotak, mungkin persis seperti kotak amal. Setiap selesai belajar kotak itu pasti mengelilingi mereka satu persatu, yang nantinya isi dari kotak itu akan digunakan untuk membeli beberapa buku agar melengkapi rak buku yang ada di pondok menulisku atau digunakan sebagai uang kas, jika suatu ketika ada sesuatu yang tidak di inginkan menimpa salah satu anggota, uang itu bisa digunakan. Dan mereka sepertinya sangat antusias mengisi kotak berwarna silver itu. Sebelum mulai mengajar aku mengajak mereka untuk sholat ashar berjamaah di pondoku, dan beberapa yang beragama non muslim dengan senang hati akan membaca buku sambil menunggu kami yang sedang khusyu bersujud pada Illahi Rabbi.

Anak anak didiku sudah pulang satu persatu, di depan pondok hanya ada beberapa anak yang masih asyik berbagi cerita atau saling tukar hasil karya cerita mereka. Mulai dari puisi, pantun dan cerpen. Jika melihat tawa mereka sepertinya sangat menyenangkan menikmati masa masa seperti mereka, tanpa beban masalah yang berat dan suatu pertanggung jawaban yang berat pula.

“Mas... Eh maksudnya Pak Fiyan”

Seorang gadis berjilbab berusia tiga belas tahun menyadarkan lamunanku. Entah sejak kapan ia duduk disebelahku. Saat ini aku memang tengah duduk diteras pondok menulisku sambil menikmati udara sore.

“Sudah saya bilang, kamu dan anak anak yang lain tetap memanggil saya Mas. Walaupun saya sudah menikah sekarang. Tapi panggilan tidak berubah”

“Maaf mas..”

“Ada apa el?”

“Anu ini..”

Elma menyerahkan beberapa lembar kertas hvs yang berisi coretannya yang sudah dijilid rapih. Judulnya “KETIKA AWAN DIATAS FAJAR”. Dengan senyum aku langsung melihat sinopsis cerpen karya-nya.

“Saya disini tinggal dua pertemuan lagi mas. Karena itu saya memberanikan diri menyerahkan lebih awal adikarya saya. Saya mohon mas mau mengoreksinya”

“Sepertinya tidak perlu saya koreksi, karena dari awal kamu masuk Pondok ini saya sudah terhipnotis oleh cerpen cerpen buatanmu. Kamu ada bakat menjadi penulis hebat elma. Saya yakin suatu hari kamu juga bisa seperti saya menebitkan buku atau bahkan mungkin menggantikan posisi saya..”

“Mas Fiyan terlalu berlebihan memuji saya. Mas, kalo elma sudah lulus elma masih boleh kan main ke pondok?”

“Tentu bolehlah, kapanpun kamu mau ke pondok kamu datang saja. Mereka yang sudah lulus dari pondok sebenarnya bukan berarti mereka berhenti belajar menulis atau terputus ikatanya dengan pondok ini, bukan sama sekali. Mereka yang sudah lulus artinya mereka memulai tahap baru, belajar baru dengan lingkungan baru diluaran sana”

“Makasih mas, kalau begitu elma pamit ya mas. Assalamulaikum”

“Walaikumsalam.. hati hati”

**

Beberapa waktu sebelum magrib aku sudah pulang kerumah istriku, setelah terlebih dahulu membersihkan badanku dirumah sambil melihat kondisi bapak dan ibu. Syukurlah mereka baik baik saja, seperti biasa ibu selalu menitipkan pisang ambon untuk Ustadzh ainun karena ibu tahu betul Ustadzah ainun sangat menyukai pisang ambon.

“Sudah pulang yan?” Tiba tiba Kyai Fatwana keluar dari arah dapur, ia sudah rapih mengenakan baju koko, sarung, kopeah dan sorbanya untuk bersiap siap pergi kemasjid.

“Ia pak baru aja. Maaf tadi fiyan udah ketuk pintu rumah dan ngucapin salam,  karena gak ada jawaban, fiyan pakai kunci yang diberikan fatma”

“Ia bapak tadi dibelakang yan.. masalah kunci kamu tak perlu minta maaf. Rumah ini adalah rumahmu juga yan”

“Ia pak, kok sepi pak? Ibu sama Fatma kemana ya pak? Biasanya Fatma yang bukakan pintu dan menyambut saya datang”

“Memangnya Fatma tak bilang padamu yan?”

“Bilang apa ya pak?”

“Tadi siang fatma sama ibu pergi kesolo. Narti sudah melahirkan katanya”

“Narti?”

“Ituloh isrinya si Zul, menantunya Kyai Nawawi”

“Ohh ia pak ingat, Fatma tadi sms saya kok pak. Saya Cuma lupa membalasnya”

“Alhamdulillah. Bapak kira fatma tak izin sama kamu yan. Kalo gitu kamu siap siap kita berjamaah di masjid”

“Bapak duluan saja, nanti fiyan nyusul”

“Ya Sudah kalo gitu bapak duluan ya yan. Assalamualaikum”

“Walaikumsalam..”

Aku langsung masuk kedalam kamar, keadaan kamar juga tak di kunci. Kunci kamar dibiarkan saja tertanam dibagian dalam tak dilepas sama sekali. Ada apa dengan fatma? Kemana sebenarnya fatma dengan ustadzah Ainun. Aku sengaja berbohong pada Pak Kyai jika fatma sudah meminta izin lewat sms padaku. Sebenarnya fatma sama sekali tak menghubungiku sekalipun lewat sms. Aku tak mau Pak Kyai marah pada fatma, karena aku tau ini sudah masuk salah satu etika kurang baik bagi seorang istri. Biar bagaimanpun istri sudah seharusnya meminta izin pada sang suami, tapi mungkin saja fatma dan ibunya buru buru sehingga ia lupa menghubungiku, aku jadi teringat perdebatan tadi pagi dengan fatma. Mungkinkah fatma pergi untuk menenangkan diri, apa fatma juga sudah mengatakan aib perkawinan kami. Setega itukah fatma mengumbar aib suaminya walaupun itu pada orang tuanya.

**

Malam harinya setelah isya, hatiku semakin cemas karena fatma tak kunjung pulang. Panggilan dan pesan yang aku kirimkan untuknya sama sekali tak ada jawaban. Aku yakin selain mengunjungi narti yang sedang melahirkan pasti ada hal lain yang membuat fatma dan ibunya belum kunjung juga pulang. Waktu terus berlalu.. tak terasa waktu sudah menunjukan pukul dua pagi, tapi mata ini belum juga terpejam. Fikiranku masih tentang fatma dan fatma, kemana sebenarnya istriku itu. Sambil terus menunggu kupasang headset dikedua telingaku lalu alunan lagu lagu instrumental dari smartphone ku mulai terdengar. Pelan dan terus mengalun nada itu seperti menyatu dengan hatiku. Tak lama kemudian keadaan menjadi gelap. Sayup sayup terdengar suara orang menangis tapi aku tak bisa melihat keselilingku karena gelapnya, tiba-tiba ada sebuah cahaya yang menuntunku kearah suara tangis itu. Betapa terkejutnya aku begitu tahu jika fatma sedang menangis sendu. Aku mencoba mendekatinya tapi ia malah menjauh dan terus menjauh. Aku memanggilnya, fatma membalikan wajahnya dia tersenyum lalu kembali menangis dan pergi meninggalkanku. Aku terus memanggilnya sampai aku sadar ternyata aku baru saja bermimpi. Kulihat kearah jam dinding, sudah waktu subuh.

“Yan,,, sofiyan” terdengar suara pak kyai dibalik pintu sana sambil terus menggedor gedor pintu. Aku segera bangkit dan membuka pintu, pak kyai sudah berdiri dan sudah siap untuk subuh berjamaah.

“Astagfirullah.. kenapa? Istighfar yan. Bapak dari tadi dengar kamu teriak teriak dikamar”

“Astagfirullahaladzim. Ia pak. Saya mimpi buruk. Terima kasih sudah bangunin fiyan pak”

“Kamu sekarang mandi biar seger lalu subuh berjamaah kemasjid. Bapak duluan. Assalamualaikum”

“Walaikumsalam..”

**

Sekitar pukul sepuluh pagi fatma dan ibunya pulang, wajah fatma terlihat berbinar binar. Entah kenapa walau baru satu hari ia lenyap dari pandanganku tapi aku sangat merindukan senyumanya. Didalam kamar fatma meminta maaf padaku karena tak sempat menghubungiku, panggilan dan pesan dariku memang ia tak balas karena disana sinyal simcard yang digunakan fatma sangat lemah. Fatma memberikanku sebuah botol yang jika aku lihat lihat seperti sebuah minuman khas jawa.

“Ini apa sayang?”

“Itu jamu buatan budek nani..”

“Untuk apa?”

“Untuk mas minumlah. Biar mah makin gagah dan makin sayang sama fatma”

Aku tersenyum...

“Tanpa minum jamu inipun mas sayang kamu sayang”

“Tapi mungkin dengan jamu itu mas akan benar benar menjadi suami yang sesungguhnya”

“Kamu cerita aib-ku?”

“Mas.. Aib suami adalah aib istri. Itulah kegunaaan suami istri. Salin menjaga, saling melengkapi dan saling menutupi kekurangan satu sama lain. Mas tenang saja aku gak bilang apa apa sama ibu. Soal jamu itu aku Cuma bilang sama budek nani agar dia membuatkan ramuan yang bisa menambah stamina, jujur aku malu sebenarnya. Aku malah sempat diledek. Tapi soal aibmu itu. Mas tenang saja aku tak menceritakanya sama siapapun. Dan aku rasa itu bukan sebuah aib mas. Itu hanya soal kesiapan dari hati. Mungkin mas terlalu cepat menikah dan belum siap. Maaf jika perjodohan keluarga kita ini menyiksamu. Yang perlu mas sofiyan tau. Aku sangat mencintai mas. Dan pernikahan sesungguhnya adalah pelengkap dalam ibadah kita sebagai hamba Allah yang Taqwa. Namun bila pernikahan itu malah sebaliknya membuat satu diatanra kita tersiksa. Sungguh bukan menjadi ibadah lagi nilainya”

Air mata fatma mengalir begitu saja ketika dia menyampaikan isi hatinya. Aku mengarahakan kepalanya dengan lembut kedadaku. Ku usap kepalanya. Air matakupun juga ikut menetes. Ampuni hamba Ya Allah karena telah membuat istri sesoleha seperti nurfatma menitikan air matanya hanya karena orang sepertiku.

Fatma mengangkat pandanganya kearahku. Ia menyadari jika aku pun menitikan air mata. Dengan halus ia mengusap lelehan air mata itu dengan jari jarinya.

“Fatma.. Istriku sayang. Maaf jika pernikahan ini malah melukai hatimu. Sesungguhnya kata katamu itu sebenarnya sangat pantas untuku. Kamu tidak salah sayang, mungkin hanya aku saja yang lemah dan tak mampu menjadi seorang imam yang baik. Sekarang semuanya aku serahkan padamu. Jika kau minta talak....”

“... Mas. Istighfar. Bukan itu jalan keluar yang aku inginkan. Bahkan itu adalah solusi yang sangat Allah benci. Perceraian itu aib bagi keluargaku”

“Tapi aku tak mau menyiksamu.. Itu sama saja aku mendzolimi mu”

“Aku tak merasa di dzolimi jika kau jujur. Ada apa denganmu mas? Kenapa sampai sekarang kamu belum bisa juga menunaikan kewajiban yang seharusnya suami lakukan pada istrinya”

“Aku juga tidak tau fatma....”

“Aku yakin kau tau.. setidaknya hatimu pasti tau sebabnya. Selama ini aku sering bercermin pada diriku sendiri, apa salahku apakah ada sesuatu dariku yang membuatmu tak menyukaiku”

“Aku sudah bilang kau tak ada salah apapun sayang. Aku sama sekali tidak mempermasalahkan kecantikan, Aku mencintaimu”

Aku mendekap fatma dengan sangat erat. Tangis kami pecah. Tangis dari sebuah luka yang hanya kami berdua tau sebabnya apa. Malamnya kami tahajud bersama. Aku duduk diatas sajadah dan fatma menyandarkan kepalanya dipangkuanku sambil terus mengucap kalimat dzikir. Matanya terpejam tapi bibir merah merekah itu terus bergetar walau tanpa suara. Kubisikan Shalawat shalawat nabi yang biasa Rasulullah Saw senandungkan pada Aisyah R.a dulu. Fatma tersenyum.. Bibir itu semakin merekah. Entah karena bibir itu yang merekah atau karena dinginya udara di sepertiga malam ini, dengan pelan aku mendaratkan bibirku di bibirnya yang tengah merekah itu. Dengan lembut serta terus di iringi kalimat dzikir dan shalawat cinta.

Entah berapa lama bibir kami saling bersentuhan dan entah gelora apa yang merasukiku. Dengan pelan aku menuntun fatma keranjang. Bibir kami pun kembali saling bersentuhan bukan hanya itu di sepertiga malam inipun kami beribadah dalam selimut cinta seperti yang para suami istri lakukan pada umumnya. Ibadah cinta yang selama ini fatma sangat nantikan dan saat ini kami begitu khusyu melakukanya di iringi dzikir sampai tak terasa sebentar lagi waktu subuh akan tiba.

**

Pagi harinya pagi pagi sekali fatma sudah menyiapkan sarapan untuku, wajahnya terlihat sangat bahagia. Semua pekerjaan rumah ia lakukan di-iringi dengan senyuman indahnya. Pak Kyai dan Ustadzah Ainun sampai terheran heran melihat sikap anaknya pagi ini. Hanya aku dan fatma yang tahu kenapa ia pagi ini terlihat bahagia. Mungkin sekarang fatma benar benar merasa sudah menjadi seorang istri sesungguhnya, sama halnya denganku. Jujur akupun merasa sekarang aku sudah benar benar menjadi suami bagi fatma. Karena aku bukan hanya sudah memberi nafkah lahir untuknya tapi aku sudah menunaikan kewajibanku sebagai suami, memberikanya nafkah batin.

Satu bulan berlalu dengan sangat cepat. Semakin hari aku semakin mencintai istriku Nurfatma. Hampir setiap malam jika tak merasa lelah kami beribadah dalam selimut cinta selepas tahajud. Hari demi hari di isi dengan kebahagian dan senyuman. Alangkah indahnya pernikahan. Sungguh maha pemurah Allah yang menjadikan pernikahan sebagai ibadah, padahal jelas jelas pernikahan membawa kebahagiaan bagi yang menjalaninya. Andaipun kesedihan aku yakin itu adalah angin yang menerpa bangunanya yang tak lain supaya terlihat sejauh mana kokohnya bangunan sebuah ikatan pernikahan.

“Loh kok bawa koper mas? Bawa baju ganti pula. Bukanya acara bedah bukunya di Pelamunan?” tanya istriku ketika melihatku baru saja mengeluarkan tas koper yang biasanya aku gunakan jika dalam perjalanan keluar kota.

“Bukan dipelamunan. Tapi lokasinya dipindahkan ke cikarang, tepatnya di Majlis Al Attaqwa cikarang”

“Loh Cikarang? Berarti mas nginap dong. Acaranya kan satu hari satu malam”

“Ia kemungkinan begitu, gak mungkin mas pulang pergi cikarang pandeglang”

“Tapi kenapa lokasinya di pindah mas? Padahal dalam proposal jelas jelas di tulis di pelamunan”

“Mas juga kurang tahu kalau masalah itu, Mas baru dikabari tadi pagi setelah sholat subuh”

“Kok aku jadi gak enak hati gini mas..”

“Serahkan semuanya sama Allah. Minta perlindungan padanya. Lagi pula mas kesana bukan hanya sekedar membedah buku mas yang baru terbit, tapi sekalian menyampaikan dakwah”

“Maaf ya mas aku gak bisa dampingi kamu”

Aku mendekat kearah fatma yang duduk disudut ranjang sambil melipat beberapa pakaian dan keperluan yang akan aku bawa. Wajahnya menunduk setelah mengucapkan kata kata nya yang terakhir.

“Gak papa sayang. Lagi pula kamu kan lagi gak enak badan. Biasanya juga kalau dekat kamu selalu dampingin mas. Lebih baik kamu istirahat yah..”

“Ia mas makasih ya..”

Aku tersenyum mendengar kata katanya, kusentuh wajahnya yang lembut. Wajah bidadari halalku.

**

Sekitar jam sebelas siang aku sudah masuk di Aula majlis Al Attaqwa cikarang. Majlis yang menurutku sangat mewah bangunanya, majlis ini sangat terkenal dicikarang dan sering digunakan untuk acara peringatan hari besar islam mapun pertemuan beberapa organisasi masyarakat. Aku disambut dengan sangat hangat oleh tim penyelenggara. Tadi di gerbang masuk saja sebuah poster yang bertuliskan selamat datang dengan menempatkan fotoku disampingnya terpampang sangat elegant diatas gerbang. Acara bedah buku dimulai pukul 13:00 sebelumnya diawalai dengan sholat dzuhur berjamaah dan makan siang bersama. Buku yang akan aku bedah hari ini adalah sebuah novel yang baru saja aku terbitkan. Bisa dibilang novel ini sangat unik, ya dari judul dan cover bukunya saja orang-orang sudah bisa menilai buku ini bergenre misteri. Seorang manusia memakai jubah dengan penutup kepala yang sedang menyembah api terpampang jelas di cover nya. Lalu di atasnya tercantum judul buku tersebut “RITUAL” dan namaku menghiasi dibagian bawahnya.

Sebelum membedah buku aku menyapaikan beberapa kiat dalam menulis, Ya.. aku tak mau membahas buku terlebih dahulu yang aku ingin sampaikan dihadapan kurang lebih 800 orang yang berada di aula ini yaitu bagaiamana caranya bisa menulis dan bagaimana seorang Sofiyan Prawira bisa menulis, mungkin kalau aku tak bisa menulis aku tak akan bisa menulis novel berjudul Ritual ini dan tentu saja aku tak akan bisa berdiri dihadapan mereka saat ini.

Moderator sudah memberikan waktu untuku berbicara, beberapa wartawan sudah menyiapkan kamera maupun alat record lainya. Beberapa hadirin maupun tim penyelengara terlihat sudah tak sabar mendengarku bicara, entah kenapa aku merasa jadi gugup. Bukan pertama kalinya aku berdiri dihadapan orang banyak. Menurutku mereka yang hadir saat ini bisa dibilang masih sedikit kurang lebih hanya delapan ratus orang. Aku pernah menghadapi ribuan orang yang jumlahnya lebih banyak daripada saat ini. Tapi entah kenapa bibirku seakan terkunci. Sang moderator nampak melihat kearahku begitupun juga dengan beberapa para hadirin. Segera kupaksakan mulutku terbuka untuk mengucap dzikir dan beberapa ayat andalanku. Setelah itu segera aku mengucapkan salam dan segera berbicara dihadapan mereka. Kurang lebih satu jam aku berbcicara dan menguraikan beberapa isi dari novel terbaruku ini setelah itu sang moderator mengizinkan aku untuk istirahat terlebih dahulu dan sebelum masuk kesesi pertanyaan kami disuguhkan dengan grup marawis yang menghibur kami dengan membawakan lagu “Salamim ba’id” dan “obat hati”.

Sejurus kemudian setelah grup marawis menyenandungkan syair syair dakwahnya aku langsung dihujani beberapa pertanyaan dari arah hadirin bedah buku setelah sang moderator membuka sesi pertanyaan. Aku bersyukur setiap pertanyaan yang menghujaniku mampu aku jawab dengan singkat dan padat, semoga mereka puas dengan jawabanku. Namun setelah aku baru saja menjawab pertanyaan terakhir, kedua bola mataku ini dengan jelas menangkap sosok bayangan seorang pria yang masih sangat jelas kukenali. Bayangan itu semakin jelas dan seorang pria yang tak asing lagi bagiku tengah duduk ditengah hadirin lainya. Kedua bola mata kami bertemu dan saling bertatapan beberapa detik, aku langsung mengalihkan pandanganku darinya. Sejak kapan dia ada disitu? Apakah dari awal aku bicara dia sudah duduk ditempat itu dan menyaksiakan aku berbicara. Tapi bagaimana mungkin dia bisa disini.?

 Setelah selesai acara bedah buku beberapa wartawan kembali menyerangku dengan pertanyaan dan membuntuti langkahku sampai aku masuk kedalam sedan hitamku. Didalam mobil aku teringat kembali pada sosok lelaki itu, tatapanya masih sama seperti dulu. Ya Allah kenapa dia hadir kembali disaat aku sudah benar benar melupakanya. Aku sangat yakin dan masih bisa mengenalinya walau enam tahun sudah berlalu. Ya tak salah lagi dia Anwar Alfattah...

**

Mas Salim dan Pak Dewo salah satu tim penyelenggara sangat berterima kasih padaku karena sudah sudi mau hadir jauh jauh datang kecikarang, mereka juga menyampaikan permintaan maaf mereka sebab lokasi yang semula di pelamunan serang, dialihkan ke cikarang. Ya nanti malam akan dilaksankan diskusi dengan thema “Langkanya buku misteri di masa kini” kebetulan sekali buku yang aku terbitkan berthemakan misteri. Nanti malam juga akan dihadiri oleh ketua Pecinta sastra indonesia, kebetulan nanti malam setelah acara diskusi beliau masih harus menghadiri beberapa acara yang masih diselenggarakan di daerah cikarang, karena itu tak mungkin beliau yang harus jauh jauh datang ke pelamunan serang. Dan karena tim penyelenggara sangat mengharapkan kehadiran seorang ketua pecinta sastra indonesia, karena itu dengan sangat mendesak mereka langsung mengalihkan tempat acaranya. Aku bisa memakluminya, karena suatu kebangaan juga bagiku bisa terlibat satu diskusi dengan seorang ketua pecinta sastra indonesia.

Mas salim mengantarku  ke Naoun Elye Hotel yang tak jauh jaraknya dari Majlis Al Attaqwa. Tim penyelanggara memang sangat matang menyiapkan semuanya walaupun tempatnya harus di alihkan tapi nyatanya mereka sudah sangat menyiapkanya dengan baik. Setelah masuk kamar, Mas salim meninggalkanku, kulihat arlojiku tepat pukul 16:40 segera aku membasuh badanku dan sholat ashar terlebih dahulu sebelum waktunya habis.

Setelah ashar aku memutuskan untuk merebahkan badanku dikasur sambil menunggu waktu magrib tiba. Diskusi malam ini akan dimulai pada pukul 20:00 ya tepatnya setelah Isya. Dan entah kenapa selepas magrib Mas salim menghubungiku dan mengatakan jika ketua Pecinta sastra indonesia ingin berbincang bincang denganku disebuah resto disamping Naoun Elye Hotel. Aku sudah bilang kenapa nanti saja di forum diskusi tapi katanya beliau nampaknya sangat ingin bertemu denganku sebelum diskusi dimulai. Dengan memakai kemeja berwarna silver dan celana hitam panjang aku langsung turun kebawah dan segera mengunjungi Naon Resto yang masih satu management dengan Naon Elye hotel. Aku cukup kesulitan menemui pak ketua PESI, karena jujur aku belum pernah bertemu denganya, jangankan tau sosoknya lewat selembar foto atau namanya saja aku tak hafal. Ahh bodoh betul aku ini, kenapa aku tadi tak menyakanya pada Mas Salim.

Beberapa pasang mata sudah melirik kearahku yang masih beridiri dekat pintu masuk, baru saja aku akan meraih ponselku untuk menghubungi mas salim. Tiba tiba pandanganku kembali menemukan sosok pria tadi sore. Dia tengah duduk seorang diri disana dengan kemeja lengan pendek dan celana berwarna cokelat. Ya dia tengah menatapku dan sekarang malah tersenyum padaku. Apa apaan ini, kenapa dia ada disini. Kami bertemu kembali dalam satu tatapan. Aku tak mau terlalu lama melihat wajahnya apalagi menatapnya.

“Maaf apa anda Sofiyan Prawira penulis novel Ritual itu?”

“Ia.. saya sofiyan prawira” Kataku pada seorang pelayan resto yang tiba tiba menghampiriku.

“Apa anda ada janji dengan ketua PESI? Beliau sudah menunggu anda, itu dimeja nomor dua belas?” kata pelayan pria sambil menunjuk meja yang ternyata ditempati oleh anwar. Aku mengangguk lalu si pelayan pergi meninggalkanku tapi aku masih berdiri mematung seakan ragu untuk melangkah. Jadi Ketua Pecinta sastra Indonesia itu adalah Anwar? Jadi yang mengajak bertemu disini ternyata dia? Dan lokasi dialihkan ke cikarang juga, itupun karena dia. Aku tak habis fikir, bagaimana tadinya dia bisa menjadi ketua forum yang sangat terkenal di dunia kesusatraan di indonesia. Apa maksudnya dia kembali hadir di hidupku disaat aku sudah benar benar melupaknya dan telah membina kehidupan yang jauh lebih bahagia...



Czytaj Dalej

To Też Polubisz

4.1K 325 38
Cerita dunia pelangi Pemain penjerat mimpi! ★★★★★ 1. Bening ria Saputra 3. Kharisma Setiaji Ibunya kharisma: Sarinah Mukti Ayahnya: Ganjar Teman- tem...
1.2M 55.7K 67
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
6.6K 175 15
Kalian tahu? Malaikat tak bersayap akan selalu ada dalam dunia, seperti halnya Shohib remaja tampan nan macho yang mempunyai jiwa lembut seperti mal...
1.5K 283 5
{Brothership, Family, Sicklit, Angst} Gyura Genandra namanya. Bungsu dari lima bersaudara keluarga Genandra yang tak begitu mengenal dirinya sendiri...