THE SHADES OF RAINBOW

By Abiyasha

55.2K 2K 493

THE SHADES OF RAINBOW adalah sebuah kumpulan cerita pendek atau antologi bertema gay. Work ini adalah untuk... More

A TAME DOVE
BLACK NIGHT
POSTCARD
REUNION
LIFE'S GAME
LOVEABLE
SETENGAH JIWA
SATU MALAM DI KLOROFIL
SOERAT OENTOEK SOERJADI
CLOSURE
URTICA FEROX
PENGAKUAN

PAVO'S SANCTUARY

2.1K 168 30
By Abiyasha


"Welcome to my sanctuary!"

Aku bisa mendengar nada puas dalam suara Pavo ketika menyambutku di rumah pohon yang disebutnya sebagai sanctuary itu. Napasku masih tersengal-sengal akibat tangga tali yang harus aku panjat untuk berada di sini. Dalam gelapnya malam, aku tanpa henti menanyakan diri sendiri alasan menyetujui permintaan Pavo saat dia mengajakku ke sini. Aku berusaha menjaga tubuhku tetap seimbang ketika dalam setiap gerakan, tangga tali ini seolah ingin mengempaskan tubuhku ke bawah.

"Apakah ini bagian dari rencana kamu, Pavo?" tanyaku dengan napas terengah ketika akhirnya aku meletakkan kedua lenganku di lantai kayu, tepat di pintu masuk. Sekeliling kami masih diliputi kegelapan.

"Come on in, what are you doing there?"

Memasuki rumah pohon itu perlu usaha lebih, hingga begitu aku berhasil melewati pintu masuk, yang pertama aku lakukan adalah merebahkan tubuh tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari Pavo.

"Kenapa harus sekarang, Pavo? Can't we wait until tomorrow?" protesku di antara usaha mengatur napas.

"Tomorrow will be different," jawabnya.

Dalam waktu singkat, aku melihat wajah Pavo diterangi cahaya dari ponselnya. Dia sedang mengeluarkan sesuatu dari laci kecil yang berada tidak jauh dari tempatnya bersimpuh.

Rumah pohon ini memang tidak besar, tapi sangat ... homey. Sekalipun minim cahaya, aku bisa membayangkan nyamannya tempat ini di malam-malam biasa. Aku melihat satu air bed berukuran single yang mengambil banyak tempat di rumah pohon ini. Ada satu rak kecil yang terdiri dari tiga laci berwarna biru langit, yang sangat kontras dengan warna kayu yang memenuhi rumah pohon ini. Dua lukisan kecil tergantung di sisi kanan dan kiriku. Dua lukisan abstrak yang dibingkai, serta dua buah lampu dinding kecil, yang pasti dihidupkan jika saja ini bukan Nyepi.

Aku memutuskan untuk mengunjungi Bali dua hari sebelum hari raya Nyepi. Hari di mana sebagian besar orang yang bermukim di Bali memilih untuk meninggalkan Bali daripada terkurung di dalam rumah/hotel tanpa bisa melakukan aktivitas di luar rumah, belum lagi terkurung dalam kegelapan.

Beruntung aku tidak harus menghabiskan Nyepi sendirian. Rick, sahabatku di Perth, tidak mau mendengar kata tidak dariku ketika dia menawarkan rumah keluarganya di Ubud untuk aku tinggali selama di Bali. Orang tua Rick yang sudah pensiun beserta adik semata wayangnya, Pavo, memang tinggal di Ubud. Kami sudah saling mengenal selama sepuluh tahun, sejak aku dan Rick jadi roommate ketika kami sama-sama kuliah di Sydney. Dan mereka sama sekali tidak keberatan jika aku mengisis salah satu kamar di rumah mereka.

"It's better," ucap Pavo ketika cahaya lilin menerangi ruang kecil ini.

Aku menatapnya bingung, berusaha untuk tidak menunjukkan bahwa aku juga takut dan khawatir. "Bagaimana nanti kalau ada Pecalang yang melihat ini, Pavo? Are you sure it's okay?"

Kali ini, aku bisa melihat senyum lebar Pavo. "Rumah pohon ini terlindung dari luar, Atlas. Paling tidak, terlindung dari jalan. Belakang rumah ini sungai, seberangnya penuh dengan pohon-pohon tinggi dan lebat, jadi kita tidak akan ketahuan kalaupun menyalakan lampu di sini. Come here, lazy man."

"Hey, I'm not lazy! I'm trying to catch my breath."

"How old are you?" tanya Pavo, kembali dengan seringai lebarnya untuk mengejekku.

Aku merangkak mendekati Pavo yang masih belum beranjak dari posisinya sejak dia masuk ke sini. Duduk di sebelahnya, kami saling berpandangan tanpa tahu harus mengatakan apa, diselingi beberapa senyum dari Pavo.

"Apa bedanya kalau kita ke sini besok, Pavo? Bukankah jauh lebih nyaman kalau kita di sini dalam keadaan terang? Paling tidak, kita tidak harus sembunyi-sembunyi seperti ini. I'm not as young as you anymore," ucapku berusaha memecah kesunyian yang memang sudah sunyi.

"I told you. Tomorrow will be different."

Sepuluh tahun mengenal Rick, aku hanya beberapa kali bertemu Pavo. Terakhir kali adalah dua tahun lalu ketika mereka pindah ke Bali dan Rick memintaku datang. Pavo sering tidak di rumah ketika aku mengunjungi rumah keluarga mereka di Perth. Aku bahkan tidak menyembunyikan keterkejutanku melihat betapa berubahnya Pavo selama dua tahun, ketika dia menjemputku di bandara dua hari lalu. Dua tahun cukup untuk membuat fisik Pavo berubah menjadi pria 18 tahun yang sangat menarik, jauh lebih menarik daripada Rick. Dengan mata biru, rambut pirangnya yang sengaja dibiarkan tumbuh panjang menutupi kedua telinganya serta kulitnya yang sudah tidak terlihat sepucat ketika dia baru saja pindah ke Bali, membuatku tertegun untuk beberapa saat. Jika dia tidak memegang kertas bertuliskan namaku, aku yakin tidak akan mengenalinya.

"You're with a teenager now, so, you should be a teenager too."

Kali ini, aku hanya menggeleng mendengarnya. Anak muda jahil!

"Kita sudah di sini, terus kita mau ngapain? Kamu tidak bermaksud mengajakku ke sini cuma untuk duduk bersebelahan sama kamu cuma diterangi cahaya lilin kan?"

"I never knew that you could be so impatient like this, old man."

Jika saja aku tidak melihat senyum itu lagi dari Pavo, kalimat itu pasti akan membuatku dongkol. Aku memang tidak semuda dia tapi menyebutku old man? Keterlaluan!

"Well?"

Pavo kemudian beranjak dari sebelahku dan merebahkan kepalanya di tepi air bed, sementara tubuhnya berada di atas karpet. Dengan santai, dia menepuk tempat kosong di sebelahnya.

"Come over here."

"There?" tanyaku sambil menunjuk tempat yang tadi ditepuk Pavo.

"Kenapa?"

Aku masih berada di tempatku semula sementara mataku masih tidak lepas dari Pavo. Apa maksud dia memintaku untuk rebahan disampingnya?

"Just lie down here, okay? Setelah itu, aku yakin kamu tidak akan bilang apa-apa lagi."

Lagi, aku menghela napas, tidak tahu apa yang direncanakan Pavo. Akhirnya aku menuruti perintahnya untuk berbaring di sampingnya. Napasku terhenti begitu aku merebahkan diri.

"See? I know you're gonna be amazed."

Aku mengabaikan ucapan Pavo ketika mataku menangkap bintang-bintang yang terlihat begitu terang, seolah kami berada di sebuah tempat terpencil. Bagaimana mungkin aku tidak melihat ini ketika aku masuk tadi? Dari tempat kami berbaring, aku bisa melihat sinar bintang-bintang dengan jelas karena tidak ada cahaya lain yang menghalanginya. Aku benar-benar terpesona.

"I'm still here."

Aku mengalihkan pandangan dari taburan bintang di atas kami ke arah Pavo yang sepertinya, setiap kali aku memerhatikannya, selalu ada senyum di wajahnya. Jarak diantara kami begitu dekat hingga samar-samar, aku bisa mencium aroma cedar dari tubuhnya. Entah cologne atau shower gel apa yang dia pakai, tetapi aku menyukai bau ini.

"Bagaimana bisa kamu tidak menunjukkan tempat ini kepadaku, Pavo?"

"Because I keep it for you tonight."

Aku mengerutkan kening. "You simply picked the perfect time to show me," jawabku sambil tersenyum sebelum kembali memanjakan mataku dengan taburan bintang diatas. "Apa rumah pohon ini memang tidak beratap?"

"Ada atap yang bisa ditutup. Aku selalu membiarkannya terbuka jika cuaca sedang cerah seperti ini."

"It's incredible, Pavo."

Hanya diam yang menyelimuti kami selama beberapa saat sebelum aku kembali mendengar suara Pavo.

"Aku percaya ini sebuah kebetulan."

"Apa yang kebetulan?"

"Our names."

Kali ini, Pavo berhasil membuatku mengalihkan pandanganku, hingga mata kami kembali bertemu. "Memangnya apa yang kebetulan dari nama kita?"

"Kamu tidak tahu kalau nama Atlas juga berarti salah satu bintang dari rasi Taurus?"

Aku berusaha untuk terlihat biasa saja, tetapi sepertinya aku tidak berhasil untuk tidak menunjukkan rasa terkejutku di hadapan Pavo. "Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Well, kamu pasti berpikir kalau nama kamu itu berasal dari kumpulan peta or as we call it Atlas. Itu tidak salah, tapi aku lebih suka mengartikan nama kamu sebagai salah satu bintang dari rasi Taurus. And in fact, you were born under Taurus sign. Am I right?"

"Jangan bilang kalau kamu tanya Rick tentang tanggal lahirku."

Belum pernah ada seorang pun yang menganalisa namaku seperti yang sedang dilakukan Pavo saat ini. Apalagi, menghubungkan namaku dengan rasi bintang. This young guy really knows how to amaze me.

"I didn't. Aku hanya tanya apakah zodiak kamu Taurus and he said yes, jadi, aku mengambil kesimpulan bahwa nama Atlas, mungkin saja ada hubungannya dengan apa yang aku bilang tadi. Apakah kamu tidak pernah tanya orang tua kamu tentang hal ini?"

Aku menggelengkan kepalaku. "Aku hanya tahu kalau nama Atlas itu diambil dari salah satu mitologi Yunani selain berarti kumpulan peta. Cuma itu. Aku bahkan tidak tahu ada bintang bernama itu."

"Sudah kuduga."

"Maksud kamu?"

"Orang seperti kamu pasti tidak pernah peduli tentang hal-hal seperti itu, jadi, sangat bisa dimengerti kalau kamu terkejut tentang Atlas."

"When you're at my age, there are more important things to be cared about rather than what you just told me."

"So, when is your birthday?"

"Do you really want to know?"

Pavo mengangguk.

"April 30th"

"Noted."

"Kamu mau kasih hadiah kalau aku ulang tahun?"

"I will. Don't you worry," ucapnya sambil tersenyum. "Atlas, boleh aku tanya sesuatu?"

"Boleh."

"How does it feel being a man?"

Kali ini aku tersenyum mendengar pertanyaan Pavo. "Aku akan jawab setelah kamu jelasin kebetulan yang kamu bilang tentang nama kita. You told me about Atlas but you haven't said a word about Pavo."

Aku mendengar Pavo tertawa pelan sebelum mengalihkan perhatiannya pada bintang-bintang diatas kami.

"Pavo is also a constellation. Salah satu rasi bintang di langit selatan. Dalam bahasa Latin, Pavo berarti burung merak."

"That's new for me."

"Do you believe in myth?"

"Try me."

Aku menangkap senyuman tipis Pavo dari ekor mataku. "Menurut mitos, burung merak adalah binatang kesayangan Hera, istri Zeus. She even had peacock to carry her carriage! One day, she asked Argus, a giant with hundred eyes, untuk mengawasi Io, simpanan Zeus yang dirubah menjadi sapi agar Hera tidak mengetahuinya. Argus mengikat Io di sebuah pohon hingga kemudian Zeus meminta Hermes untuk melepaskan Io. Hermes spent a day with Argus and telling him stories until he fell asleep. Hermes kemudian membunuh Argus dan melepaskan Io. Hera, merasa Argus sudah melakukan tugasnya, so, she took his eyes and placed them on the peacock's tail as a way to honor him. The brightest star in Pavo constellation is Alpha Pavonis in Latin or Peacocok in English."

Selama Pavo bercerita tentang mitologi Yunani itu, aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya, mengabaikan bintang-bintang yang tadi sempat membiusku. Bagaimana bisa pria semuda Pavo bisa tahu hal-hal seperti itu? Terlebih lagi, dia adik Rick, pria yang bahkan lupa hari ulang tahunnya sendiri. Bagaimana mungkin dia punya adik seperti ini?

"Our names are taken from stars. I call it a coincidence."

Mataku tetap terpaku pada Pavo, yang sepertinya tenggelam dalam kalimatnya sendiri serta kedua matanya yang sedari tadi tidak lepas dari bintang-bintang diatas kami. Aku tersenyum melihatnya. Apapun yang sedang melintas di pikiranku saat ini, aku tidak ingin mengekangnya. I let them be.

"Now, answer my question."

Kali ini, kedua mata biru itu tepat menatapku. Jarak kami yang tidak terlalu jauh, membuat aku tahu bahwa tidak ada hal lain yang bisa dilihat selain wajah kami berdua.

"Kenapa kamu ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang pria, Pavo? Being a man is full of responsibility. People take your words seriously. You can't mess up with your own words. You have to work hard, earn money, buy things you don't really need, live in an apartment, fall in love, broken heart, failed, success, other men will hate you if you're being too successful, women chase you, they want your money, they want to be in your bed ..." Tatapan kami masih saling terkunci satu sama lain. "my advice is, just don't trust woman. They'll fool you. They're the most dangerous human being."

Senyum tipis kembali terpasang di wajahnya. "Rick seems enjoying his life."

Aku tertawa kecil. "He always does."

Pavo meraih ponselnya dan beberapa saat kemudian, aku mendengar sebuah suara mengalun dari ponselnya. Aku tidak tahu siapa atau lagu apa yang sedang diputar Pavo. Mata kami kembali bertemu.

"Aku selalu memutar lagu ini setiap kali ada di sini. On a night like this. Her voice always calms me."

"Siapa ini Pavo?"

"Billie Holiday, You Go To My Head."

Ketika mengucapkan kalimat itu, Pavo memandangku lekat. Jantungku rasanya mulai berdebar tidak menentu.

Entah siapa yang memulai, jarak kami menjadi semakin dekat dan dalam hitungan detik, aku sudah mendaratkan tanganku di pipi Pavo dan merasakan hembusan napasnya. Ada begitu banyak yang melintas di pikiran dan hatiku saat ini, tetapi aku mengabaikannya.

You go to my head with a smile
That makes my temperature rise
Like a summer with a thousand Julys
You intoxicate my soul with your eyes

Aku membiarkan tanganku meraih bagian belakang leher Pavo dan ketika akhirnya tidak ada jarak yang memisahkan bibir kami, ada sesuatu yang luar biasa memenuhi hatiku. Ketika sadar bahwa aku yang memulai ciuman ini, aku membiarkan udara menyelinap diantara bibir kami. Mata kami saling berpandangan,

"Kiss me again, Atlas," aku mendengar Pavo lirih mengucapkan kalimat itu.

"Are you sure?" bisikku pelan.

Aku masih tidak yakin dengan apa yang baru saja terjadi diantara kami hingga aku tidak menyiapkan diriku untuk mendengar Pavo mengucapkan kalimat itu.

Jawaban yang diberikan Pavo adalah sebuah anggukan yang begitu pelan hingga membuatku akhirnya mengunci bibirnya lagi. Kali ini, Pavo membalas ciumanku dan ketika akhirnya ciuman kami berakhir, aku menatap Pavo.

"I shouldn't have done that. I ... I'm sorry."

Pavo menggeleng. "I've been waiting for this, Atlas. My first kiss. You. Darkness. Billie Holiday. And stars above us. I've been dreaming about this since the moment you stayed with us for four days after the graduation ... please, don't apologize."

Setelah acara kelulusan, aku memang menghabiskan empat hari di rumah Rick. Berarti Pavo masih 12 tahun saat itu ....

"Apa Rick tahu?"

"He knew long ago about me but he just found out about you few months ago. Rick sempat kaget tapi kemudian, dia memelukku dan mengatakan bahwa aku harus hati-hati."

"Apa dia bilang aku pria berbahaya?" tanyaku dibalik senyum tipis.

Pavo kembali menggeleng. "Sebaliknya. Dia bilang, kamu mungkin tidak akan mau memulai hubungan denganku karena dia atau karena Mama dan Papa sudah kenal kamu cukup lama."

Aku menelan ludah. Apakah ini alasan Rick memaksaku untuk tinggal di rumahnya karena dia tahu bahwa adik semata wayangnya menyimpan perasaan terhadapku? Rick memang tahu aku seorang gay dan dia tidak pernah mempermasalahkan sejak kami jadi sahabat. Namun, kenapa dia tidak memberitahuku tentang ini? Maksudku, seorang Kakak biasanya akan sangat protektif terhadap adiknya kan?

"Why me?"

Pavo tersenyum dan aku merasakan sentuhan tangannya di pipiku. Meraba rambut-rambut halus yang mulai tumbuh karena aku belum bercukur sejak kemarin pagi.

"Apakah aku bisa memilih dengan siapa aku jatuh cinta, Atlas?"

Mendengar Pavo mengungkapkan perasaannya kepadaku, membuatku sedikit takut dengan apa yang mungkin dan bisa terjadi diantara kami.

"Aku teman baik Rick, ada dua belas tahun jarak diantara kita, I know your parents too well, apa yang akan mereka ...."

Pavo menggelengkan kepalanya sembari meletakkan jarinya di bibirku. "Bisakah kita tidak membawa mereka malam ini, Atlas? I want this moment to be ours."

Pavo pasti melihat kekhawatiranku, karena detik berikutnya, dia kembali mendekatkan bibirnya kepadaku. Kali ini, dia hanya mendaratkan ciuman singkat sebelum kembali menatapku.

"I want to spend the whole night with you, Atlas."

Aku mengerutkan dahiku, awalnya tidak begitu memahami apa maksud kalimatnya. Namun kemudian, aku mendapati dirikku menggelengkan kepala ketika sadar maksud dibalik permintaan Pavo.

"Not now, Pavo. You're going to regret it."

"How?"

Aku seperti menangkap kekecewaan dalam tatapan Pavo dengan apa yang didengarnya. Namun, jika memang ini akan menjadi sebuah hubungan yang sama-sama kami inginkan, aku harus melakukannya dengan cara yang seharusnya dilakukan pria seusiaku. Terlebih lagi Pavo adalah adik sahabat baikku. Aku tidak ingin melakukan sesuatu hanya karena aku atau Pavo menginginkannya.

"Kamu masih ingat dengan apa yang aku bilang tentang menjadi seorang pria?" Pavo masih terdiam. "Kalau kamu ingin kita memulai sebuah hubungan, I want to do it the right way, Pavo. I have to ask your brother and your parents. I need their blessings. Once I get that, then we can do things what lover can do. But not now. Not tonight."

Kami saling bertatapan dalam diam sebelum senyum tipis terpasang di wajahnya. Aku mengangguk pelan dan membiarkan jemariku menelusuri wajahnya.

"I can't wait."

Aku tersenyum. "I promise you that I won't ever disappoint you or Rick will come to me and point out a gun in front of me."

"Can I put my head on your chest?"

Aku mengangguk dan tanpa menunggu lama, Pavo langsung merebahkan kepalanya di dadaku. Aku tidak tahu perasaan mana yang harus aku rasakan. Hingga akhirnya, aku hanya mendaratkan kecupan lembut di rambut Pavo sebelum pandangan kami berdua kembali menatap langit. Jemariku membelai rambut Pavo sementar tangan Pavo menunjuk bintang-bintang diatas kami.

"Can you see that? Itu rasi bintang Hydrus yang bentuknya segitiga dan itu rasi bintang Crux! Those 4 stars which shaped cross? Do you see that? Oh, and that one which surrounds Crux is Centaurus, one of the largest constellation ...."

Sementara telingaku mendengarkan ocehan Pavo tentang rasi bintang diatas kami, aku hanya mampu diam. Berusaha untuk melupakan semua ketakutan serta kekhawatiran yang memenuhiku. Mungkin Pavo benar, bahwa Rick serta kedua orang tua mereka, akan senang mengetahui bahwa aku pria yang dipilih hati Pavo untuk dicintai. But, a man at my age just can't ignore some logic facts that could come between me and Pavo. Things that would make us both suffer in the future. Aku lebih punya banyak pengalaman dalam hal ini daripada Pavo. Yang pasti, aku akan berusaha untuk tidak melukai hatinya.

Tapi saat ini, it's just us. And darkness. And Billie Holiday singing another song. And the stars above us and whatever constellation that I can't recognize. And a flickering light from the candle. And us. Just us.


***

Continue Reading

You'll Also Like

153K 687 8
📌 AREA DEWASA📌
868K 24.4K 63
WARNINGâš âš  AREA FUTA DAN SHANI DOM YANG NGGAK SUKA SKIP 21+ HANYA FIKSI JANGAN DI BAWA KE REAL LIFE MOHON KERJASAMANYA. INI ONESHOOT ATAU TWOSHOOT YA...
248K 15.6K 57
Tiada yang rela mengurus Pasha setelah bapak meninggal. Gadis itu terpaksa ikut dengan Winda ke ibu kota. Putus sekolah, mencari pekerjaan dan harus...