The Crazy Wedding

By unniga

796K 33.1K 663

Menikah diumur 25 tahun siapa yang tidak mau? Apalagi seorang wanita, umur 25 tahun adalah umur yang matang d... More

Bagian Pertama : Pernikahan Gila
Bagian Dua : Sebelumnya
Bagian Tiga : Hari Pertama Kembali
Bagian Empat : Sisi Gelap Adam
Bagian Lima : Quality Time
Bagian Enam : Si Brengsek dan ... Leo?
Bagian Tujuh : Leo Kau Membuatku Gila! Dasar Si Busuk yang Tengik!!
Bagian Delapan : AKU MERINDUKANMU, LEO 'SI BUSUK YANG TENGIK'!
Bagian Sembilan : She is COMEBACK!!!
Bagian Sepuluh : UGH!!
Bagian Sebelas : Leo oh Leo...
Bagian Duabelas : Apa?
Bagian Tigabelas : Inikah?
Bagian Limabelas : Berakhir ?
Bagian Enambelas : Benar-benar Berakhir !
Sekuel

Bagian Empatbelas : Perih

37.8K 2K 72
By unniga

Ristaya mengerjapkan matanya beberapa kali, dia seakan tidak percaya dengan pemandangan yang tersedia di hadapan matanya. Benarkah itu Leo? Kenapa pria itu bersama dengan Helena? Kenapa pria itu mengabikan pesannya? Bukankah pria itu berkata jika dia sibuk? Ristaya terasa sangat ditipu dengan keadaanya yang sekarang karena terlalu berharap pada pria itu.

Logikanya kembali ketika lampu sudah menyala hijau dan salah satu mobil menghadiahinya klakson karena menutupi jalannya. Dengan wajah yang ia tutupi dengan tangannya, Ristaya berjalan melewati mobil Leo dan tanpa pria itu sadari.

Ristaya berlari dalam hujan yang semakin lebat, pemikiran tentang berteduhpun leyap seketika. Tubuhnya sangat basah dan Ristaya tidak memperdulikkannya, kakinya terus berlari dan entah akan membawanya kemana.

Akhirnya, kaki kecil Ristaya berhenti, tepat di depan gedung apartermen milik seseorang yang tidak akan pernah meninggalkannya –untuk saat ini-. Tubuhnya sudah basah kuyup hingga sampai ke dalam pakaiannya, perutnya yang sejak siang belum terisi makananpun sudah meronta serta sekarang kepalanya terasa berat karena memang tubuh Ristaya sangat takut dengan air hujan.

Kini, dia sudah dihadapan pintu apartermen milik seseorang itu. Tangannya yang gemetar memencet bell dengan sekuat tenaga.

Tidak menunggu lama, pintu itu terbuka sosok dari pemilik apartermen itu terkejut mendapati Ristaya dengan keadaan basah kuyup berdiri di depannya dan tersenyum bodoh.

"Ristaya..." gumamnya.

Ristaya hanya tersenyum tipis hingga akhirnya dia tidak kuat dan pingsan dalam dekapan Adam. Untung saja Adam sigap hingga bisa menangkat badan Ristaya yang kini terasa sangat panas.

**

Sebuah teh jahe yang hangat dan juga sop ayam yang menggugah selera adalah makan malam Ristaya untuk kali ini. Dia bangun setelah dua jam pingsan dan berkata pada Adam dia lapar dan ingin makan. Adam yang hanya mempunyai sop kaleng membuatkan seadaanya dan Ristaya tetap melahapnya dengan nikmat.

"Makan pelan-pelan nanti tersedak." Ujar Adam ketika melihat nafsu makan Ristaya yang meningkat.

Adam duduk di hadapan Ristaya dengan mata yang memandang keluar jendela kaca. Hujan sudah mereda dan minggalkan butiran-butiran air yang menempel.

"Jadi, apa masalahmu kali ini?" tanya Adam.

Ristaya sibuk menguyah makanannya walau terasa pahit dilidah. Dia mencoba untuk tidak perduli pada pertanyaan yang baru saja Adam tanyakan padanya.

"Ristaya." geram Adam ketika pria itu tahu jika dia sedang diabaikan oleh Ristaya. Bagi Adam memanggil nama depan Ristaya jarang sekali dia lakukan ketika dalam mode normal, tetapi pada mode serius atau bahkan marah biasanya pria itu memanggil Ristaya dengan namanya.

"Apa?" Ristaya mengankat sebelah alisnya dan seolah-olah tidak mendengar pertanyaan Adam. "Aku sedang makan, tidak bisakah kau tidak mengganggu makanku?" Nyatanya sop itu kini hampir habis di telah oleh Ristaya.

Adam berdecak kesal. "Apa kau benar-benar tidak ingin bercerita denganku?"

Lagi. Ristaya tidak menjawab, wanita itu sibuk dengan kuah sop yang akan habis, dia mengangkat mangkuknya dan menyeruput langsung kuah sop itu hingga habis.

Setelah menyelesaikan makannya hingga tetes terakhir kuah sopnya, Ristaya melirik ke jam dinding yang berada di hadapannya. Ini sudah lewat dari tengah malam! Bagaimana jika Leo... Ah—tidak. Pria itu tidak akan pernah mencariku, pikir Ristaya.

Ristaya beranjak dari tempat duduknya tanpa membalas pertanyaan Adam dan pria itu hanya bisa mengela nafas kasar. Mungkin tidak untuk hari ini.

"Adam, bisa kau antar aku pulang?" tanyanya sambil menekan ponselnya yang ternyata mati.

Adam mendesah pasrah, "Baiklah. Kau masih hutang satu cerita padaku." Dan kemudian pria itu mengambil kunci mobil serta berjalan mendahului Ristaya.

**

"Sudah sampai. Turunlah." Adam membuka seat belt yang melilit pada tubuh Ristaya.

Ristaya tersenyum membalas ucapan Adam. "Terima kasih, kau memang temanku yang terbaik." Dan Adam hanya mencibir Ristaya. "Ah—aku akan turun sendiri, kau tidak usah mengantarku sampai dalam. Aku tidak ingin terjadi seperti dulu." Ingatkan Ristaya pada Adam tentang perkelahiannya dengan Leo.

"Siapa yang ingin mengantarmu sampai dalam? Percaya diri sekali." Kilah Adam walau sejujurnya dia ingin menemani Ristaya karena wanita itu terlihat sangat lemah.

Tetapi berbeda dengan Ristaya, wanita itu tertawa seolah-olah Adam sedang bercanda. "Baiklah, baiklah. Sampai jumpa besok Bapak Kepala Editor." Ucapnya dan kemudian keluar dari mobil Adam.

Langkah Ristaya terasa sangat berat. Keringat dingin mengalir dari tubuhnya, kepalanya juga terasa sangat berat. Ini adalah hal biasa jika dia terkena air hujan, sejak kecil tubuhnya memang menolak hujan. Ketika teman-temannya asik bermain diluar dengan hujan-hujanan maka Ristaya hanya bisa memandang iri di balik jendela rumahnya.

Akhirnya dia sampai pada pintu dimana Leo tinggal. Pandangannya ragu untuk masuk kedalam, apakah Leo mencarinya? Atau pria itu sedang bersama dengan Helena? Entahlah, yang jelas Ristaya enggan ingin masuk tetapi waktu menunjukan bahwa dia harus masuk.

Jari-jari lentiknya menekan-nekat security password, lalu terbuka. Ah—sial, kenapa aku harus terjebak dalam masalah ini? Pikir Ristaya dengan kesal.

Ketika pintu itu terbuka dan Ristaya masuk kedalamnya. Disana, tepatnya di depan kaca jendela, menampilkan siluet seorang pria yang tengah berdiri tegap. Matanya yang tajam mengintimidasi Ristaya tetapi wanita itu tidak sadar karena lampu disini tidak dinyalakan.

"Darimana saja kau?" pertanyaan itu terasa sangat dingin di telinga Ristaya.

Ristaya tidak memperdulikannya dan berjalan dengan penerangan seadaanya dari luar kaca jendela untuk menuju ke dalam kamarnya.

Belum sempat Ristaya masuk kedalam kamarnya, tangan kekar itu mencekal lengan Ristaya dan membuat Ristaya sedikit mundur hingga berdekatan dengan Leo.

"Aku sedang bertanya denganmu, Ristaya!" Nada tinggi Leo terdengar sangat menyakitkan. "Dari mana saja kau, hah!"

Ristaya membalas dengan pandangan yang juga tajam pada Leo, "Bukan urusanmu." Dia menghempaskan tangan Leo dari lengannya tetapi cengkraman pria itu lebih kuat darinya. "Bisa kau lepaskan? Aku ingin istirahat Leo." pintanya.

Leo tetap pada pendiriannya. Dia tidak melepaskan cengkramannya dari lengan Ristaya tetapi menambah erat lagi.

"Bisa kau jawab pertanyaanku, Ristaya Gunawan." Desisnya.

"Bisa kau melepaskanku?"

"Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku. Darimana kau semalam? Kenapa kau tidak memberiku kabar? Dan kenapa ponselmu mati?"

Ristaya terlalu lelah hanya untuk menjawab pertanyaan Leo yang seakan membuatnya menjadi yang bersalah disini.

"Aku berada di tempat yang aman jika kau mau tau. Dan ponselku habis jadi itu alasannya."

Ristaya melepaskan pegangan tangan Leo dari lengannya dengan menggunakan sebelah tangannya. Dan berhasil, wanita itu lolos dari cengkraman tangan Leo dan berlalu memasuki kamarnya lalu mengunci pintu kamarnya.

Leo hanya berdiri di depan pintu kamar Ristaya dengan pandangan yang nanar, apa yang sudah dia lakukan hingga Ristaya berubah menjadi acuh terhadap dirinya?

**

Pagi ini tidak seperti biasanya. Ristaya, wanita itu bergelung dengan selimut karena menurutnya suhu disini sangat dingin walau sudah jelas pendingin ruangan dia matikan sejak pagi-pagi buta tadi. Suhu tubuhnya juga meningkat, semua tubuhnya terasa sangat sakit terlebih kepalanya terasa sangat berat sekali.

Tiba-tiba suara ketukan pintu yang berasal dari depan pintu kamarnya mengangetkan Ristaya, dia ingin membukanya tetapi tidak bisa.

"Sugar, apa kau belum bangun?" Itu suara Leo. Ristaya ingin menjawab tetapi dia terlalu lemah, "Apa kau masih marah denganku?"

Leo tidak mendengar apa-apa dari dalam kamar Ristaya, pria itu sampai menempelkan telinganya di depan pintu kamar Ristaya.

"Keluarlah, Sugar. Jika kau marah, marahlah padaku dan jangan mengurung diri seperti ini." Suara Leo terdengar sangat cemas.

Leo mencoba membuka pintu kamar Ristaya tetapi pintu itu terkunci. "Sugar, kumohon—"

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Firasat Leo mengatakan ada yang tidak beres. Segera dia berlari menuju tempat dimana biasa dia menyimpan kunci kedua. Setelah mendapatkan kunci kedua kamar Ristaya, Leo langsung berlari dan kembali ke kamar Ristaya.

Dia memasukan kunci itu kedalam lubang kunci di pintu Ristaya dan berdoa semoga saja Ristaya mencabut kuncinya jadi memudahkan dia untuk membuka pintu sialan ini.

Dan benar saja, pintu kamar Ristaya terbuka dengan mudah karena wanita itu langsung mencabut kuncinya setelah dia menguncinya dari dalam.

Pemandangan pertama yang Leo lihat ketika berhasil membuka pintu kamar Ristaya adalah, gelap. Gorden yang tidak terbuka, pendingin ruangan yang tidak menyala hingga membuat sedikit pengap, serta sosok tubuh yang bergelung dengan selimut di atas tempat tidur.

"Ya Tuhan, Ristaya!" Pekik Leo setelah menyadari bahwa Ristaya dalam keadaan yang tidak sehat.

Wajahnya terlihat pucat dan keringat dingin yang bercucuran, "Badanmu panas sekali." Ujar Leo sambil menyerka keringat yang keluar dari kening Ristaya.

"Ayo kerumah sakit." Ristaya menggeleng, "Kumohon, badanmu sangat panas, Sugar. Kumohon—" Raut wajah Leo menandakan dia benar-benar cemas dan khawatir dengan keadaan isterinya sekarang.

"Ini sudah siang," ucap Ristaya dengan terbata-bata. "Kau—berangkat kerja saja. Aku—tidak apa-apa."

Leo mengerang, berani-benarinya Ristaya berkata dia baik-baik saja dengan wajah yang pucat, suhu tubuh di atas normal dan keringan dingin yang terus bercucuran.

"Persetan dengan pekerjaanku!" dengan cepat Leo merengkuh tubuh Ristaya yang berada di dalam selimut dan menggendongnya ala bridal styel. "Jangan pikirkan pekerjaanku, kau adalah kewajibanku yang utama."

**

Leo duduk di depan tempat tidur Ristaya di UGD. Dia menggenggam tangan mungil Ristaya ketika wanita itu sedang tidur. "Maafkan aku...maaf." Kata-kata itu selalu diucapkan oleh Leo. Dia merasa gagal telah menjaga Ristaya.

Dia terlalu menyalahkan dirinya karena tidak mengetahui jika Ristaya sedang sakit, dia teringat ketika Ristaya memohon untuk melepaskkannya tetapi dengan ego yang dia punya, dia malah menahan Ristaya yang jelas-jelas saat itu sedang tidak dalam keadaan sehat. Harusnya dia tau.

Perlahan demi perlahan, mata Ristaya terbuka. Setelah hampir dua jam dia tertidur karena pengaruh obat, akhirnya Ristaya membuka matanya. Pemandangan yang pertama kali Ristaya lihat adalah ketika Leo menggenggam tangannya dengan kepala yang bertumpu pada tangan kecil miliknya.

Sangat terlihat Leo begitu khawatir.

"Leo..." panggilnya dengan nada yang lemah.

Leo yang mendengar suara Ristaya langsung terbangun dan melihat Ristaya yang menatap dirinya. Wajah wanita itu kini tidak sepucat tadi, bahkan semburat merah dipipinya kini telah nampak.

"Kau sudah bangun? Kau lapar? Mau makan apa?" Ristaya hanya tersenyum, Leo begitu memperhatikannya.

Tetapi, tiba-tiba pemandangan yang ia saksikan semalam terlintas di pikirannya. Ketika Ristaya harus menunggu Leo dengan tanpa kabar dari pria itu dan akhirnya malah memperlihatkan Leo yang sedang dengan kekasihnya di dalam mobil.

Hati Ristaya terasa nyeri. Dia ingin memukul Leo, ingin berteriak pada Leo tetapi tidak bisa. Akhinrya Ristaya hanya memendamnya.

"Kenapa? Ada yang sakit lagi?" tanya Leo.

Ristaya menggeleng. "Tidak ada. Apa aku sudah lama tertidur?"

Sekarang ganti Leo yang menggeleng pelan dan kemudian tersenyum, "Tidak, Sugar. Kau boleh tidur lagi jika kau mau."

Ristaya hanya tersenyum kecil membalas ucapan Leo. Kemudian keheningan menyelimuti mereka. Leo hanya mampu menatap mata Ristaya untuk beberapa detik dan kemudian berkata, "Maafkan aku."

"Untuk apa?"

"Untuk semalam karena telah—"

"Tidak apa-apa." Sela Ristaya, dia hanya tidak ingin membuat lukanya semakin membesar. "Leo—"

"Hmm—"

"Boleh aku meminta sesuatu padamu?"

"Apapun selama itu membuatmu senang."

"Ayo kita selesaikan pernikahan ini."

TBC...

Geje? Typo?
Ini mendekati bab akhir guys ^^
vote and comment ya ^^

love from,

unni-ga

Continue Reading

You'll Also Like

13.2K 1.5K 44
Aku tidak akan menghilang hanya agar kau menyadari keberadaan ku.. Jangan khawatir sebanyak apapun kamu mengabaikan ku aku akan tetap di sini untuk m...
1.9M 89.2K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
14.3K 1.7K 26
Dijodohkan dengan gadis yang pertama kali ditemuinya ketika dia berumur tiga belas tahun. Itulah takdir Revan. Sejak pertama kali Revan melihat bayi...
175K 11.8K 60
Hamil? Punya anak? Mana bisa? Dipegang saja tidak pernah! Maharani Aqila Dewi. 22 tahun, IQ dibawah rata-rata, bucinnya Saka. Raysaka Wahyu Mahendra...