Hold Me Closer

By belizzles

2.4M 126K 2K

Aku cuma perempuan biasa yang gak begitu terburu-buru dengan masalah cinta. Sampai akhirnya atau lebih tepat... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
27
28
29
PENGUMUMAN
30
31 [END]
Extra Part

26

57.4K 3.4K 121
By belizzles

               Ini aku update cepat ya. Aku gak pernah janji untuk selalu cepat update dan berhubung aku juga punya kegiatan di real life otomatis aku harap kalian paham. Baru beberapa hari update udah disuruh update lagi, gimana sih? Jadi apa serunya ini cerita kalo jedanya cepat bgt.

Oh ya aku juga bingung mau digimanain ini cerita. Apa dibuat sad ending aja? Lol

Btw enjoy di part ini ya

 
***
 
 
 

Aku masih berbaring malas di tempat tidur meskipun sekarang sudah pukul 9. Terkadang ada enaknya juga jadi pengangguran, bisa tidur sampai jam segini tiap hari tanpa ada gangguan. Tapi kemungkinan bulan depan aku sudah bisa mengajukan lamaran di beberapa tempat sekaligus melanjutkan studi S2 disini. Jadi untuk sekarang, aku harus menikmati sisa-sisa quality time-ku selagi gak ada kerjaan.

Gak terasa sudah 3 bulan aku di rumah orangtuaku. Kondisi hatiku pun lebih membaik daripada saat kedatangan awalku kesini. Aku sengaja menyibukkan diri dengan mengerjakan pekerjaan rumah dan ikut serta dalam acara sosial atau arisan Mama. Berkali-kali aku dikenalkan dengan anak teman-teman Mama yang aku bisa bilang lumayan sih, tapi tetap aja aku gak punya rasa tertarik sama sekali. Tia pun meledekku, katanya aku terlalu pemilih dan aku menanggapinya seperti angin lalu. Yang benar aja aku bisa move on segampang itu terlebih lagi hubunganku sama Devan belum resmi ada kata putus.

Aku juga mengganti nomorku yang baru. Sedangkan nomor yang lama aku musnahkan dengan cara mematahkannya tanpa aku cek terlebih dahulu. Aku juga menghapus semua aplikasi sosial media, semua history dan foto-foto Devan. Setelah sekian lama akhirnya aku menghidupkan kembali handphoneku dan menghubungi beberapa teman. Reaksi mereka pun bermacam-macam, ada yang marah ada yang sedih dan ada yang cuma sekedar bersimpati.

Sejenak sempat terlintas untuk menghubungi Nanda. Tapi aku takut, aku belum siap untuk dengar semua perkembangan kantor selama aku gak ada disana. Terlebih lagi pasti dia bakal membahas tentang Devan. Aduh, belum sanggup aku.

"Jadi kapan balik kesini?" Tanya Firny diujung sana.

"Sekitar minggu depan. Tapi please, jangan bilang siapa-siapa ya."

Sejenak kami sama-sama diam.

"Terlalu banyak yang mau gue bicarain, Mit. Gue harap lo paham." Ujarnya kemudian.

Aku menutup mataku. Aku harap semoga dia gak halangin aku untuk pergi. Karena gak mungkin aku hidup tenang disana lagi. Cuma disinilah aku tenang.

"Ya, semoga kita saling paham."

Kami sama-sama menutup sambungan teleponnya. Hubunganku dan Firny gak akan berakhir, kan. Cukup rasanya aku kehilangan Dion dan Katya. Jangan ada yang lain lagi.

Aku merasa hatiku balik galau. Aku pun beranjak keluar rumah dan menyiram tanaman-tanaman peliharaan Mama. Beginilah kegiatanku setiap aku sedih, merawat bunga-bunga berharap mereka bisa mengerti perasaanku. Arrgghh, kayak di dongeng-dongeng aja.

"Mita.."

Aku mendengar suara pria yang sedikit familiar di telingaku. Aku membalikkan badanku dan berteriak riang. Aku pun berlari dan loncat memeluknya.

"Udah berapa lama di Semarang? Kok gak ada kasih kabar."

Aku tertawa begitu dia berekspresi pura-pura marah di depanku. Dia Gery, temanku waktu SMP. Aku memang selalu ngasih kabar ke dia setiap pulang kesini. Tapi ya gimana mau ngabarin, kan handphone aku matiin.

"Maaf, aku memang mendadak kesini. Udah 3 bulan juga sih." Ujarku.

"3 bulan itu lumayan lama, Mita. Teganya kamu. Aku bahkan tau kabar kamu disini dari Tia."

Aku cuma nyengir sambil bolak balik bilang maaf. Belakangan ini otakku memang terlalu dipenuhi sama masalah, jadi gak terpikir untuk reunian sama teman-temanku.

"Padahal baru setahun kita gak ketemu, tapi aku kok merasa ada yang beda di kamu ya." Ujar Gery begitu kami duduk di teras rumahku.

"Iya beda, makin gendut kan?"

Gery menggeleng. "Kamu lagi ada masalah ya?"

Aku tertawa renyah. "Aku gak ada masalah apa-apa kok. Ngawur kamu."

"Mata perempuan gak bisa bohong, Mita."

Aku terdiam. Aku baru tau kalau Gery punya kemampuan membaca bahasa tubuh yang teramat luar biasa. Tapi jangan panggil Mita kalau gak bisa mengatasinya.

"Iya, ada masalah kecil." Jawabku tenang. "Rencananya aku mau pindah kesini. Tapi disisi lain aku agak berat ninggalin kehidupan disana. Kamu sendiri tau kan gimana asiknya hidup disana. Teman-temanku, kerjaanku, yeah kind of things. Jadi semacam bimbang gitu."

"Ooh begitu." Gery mengangguk. Syukurlah dia melunak. "Terus pacar gimana, Mit?"

"Tenang aja, aku lagi dijodohin sama anak teman mamaku. Kamu tunggu aja undangannya tahun depan." Godaku.

Dia tertawa geli. "Ya ampun Mita, akhirnya laku juga."

Aku mencubit lengannya. Meskipun nyebelin, tapi aku bersyukur masih ada yang memberiku perhatian.

Kami mengobrol sekitar 2 jam. Setelah itu Gery pamit pulang, katanya dia ada urusan. Aku maklum, disaat-saat kayak gini kan cuma aku yang gak punya kegiatan apapun. Cuma bisa nunggu dan berharap ada laki-laki yang bersedia nikahin aku. Itupun kalau ada.

 
***
 

"Tia boleh ikut ke Jakarta, kak? Tia males masuk sekolah. Jadi kalau ikut kesana otomatis Tia punya alasan untuk izin."

Aku menjewer telinganya. "Gaya mau kuliah diluar negeri tapi sekolah aja males. Lagipula gue kesana bentar aja kok, cuma ngurus barang-barang sama apartemen doang. Jadi palingan nanti Mama aja yang nyusul pas hari ketiga."

Tia memonyongkan bibirnya. "Tapi, Tia lagi males banget ke sekolah kak. Mantan Tia masih terus-terusan nguntit Tia buat ngajak balikan."

Aku terdiam. Dalam hati aku sedikit iri, mantannya masih rela nguntit dia cuma sekedar memohon untuk balikan. Sedangkan Devan, astaga, aku sangat merindukan dia. Apa dia masih mikirin aku? Sialan, membayangkannya aja mataku terasa panas.

"Jangan jadikan pacaran alasan lo buat males sekolah." Nasihatku yang malah dibalasnya cuek.

Beberapa saat kemudian Mama masuk ke kamarku. "Jadi jam berapa kamu berangkat?" Tanya Mama sambil membantu membereskan baju-bajuku yang berserakan di lantai.

"Sekitar jam 6 pagi, Ma."

Aku mengambil laptopku ketika Mama dan Tia keluar dari kamar. Walaupun sedikit ada rasa takut, tapi aku memberanikan diri membuat surat resign. Kuakui aku ini bukan pekerja profesional. Aku juga gak heran kalau posisiku sekarang sudah diganti orang lain. Tapi untuk menebus semua itu aku akan berusaha bersikap yang semestinya.

Setelah selesai, aku mengambil selimutku dan beranjak tidur. Lagi-lagi air mataku keluar lagi. Sejujurnya belum pernah aku merasa setakut ini. Rencanaku yang mau balik ke Jakarta dari 2 bulan yang lalu terpaksa aku tunda karena rasa takutku ini. Aku menyesal dengan kepulanganku yang mendadak. Seharusnya lebih baik aku selesaikan semua urusanku waktu itu, jadi aku gak perlu repot untuk balik kesana lagi. Aku mengeluh, mulai besok sampai tujuh hari ke depan akan jadi hari yang berat. Aku berjanji akan bersembunyi dengan semaksimal mungkin.

Pukul 4 pagi aku sudah bersiap-siap. Papa yang mengantarku ke bandara sedangkan Mama akan menyusul beberapa hari kemudian. Sepanjang di perjalanan jantungku gak ada santainya sama sekali. Aku gugup setengah mati dan kurasa Papa menyadarinya. Tapi reaksi Papa berusaha tenang kemudian mengelus kepalaku.

Saat di dalam pesawat pun perasaanku masih gak tenang. Saking gugupnya, gak terhitung lagi berapa kali aku bolak balik ke toilet. Aku pun berprasangka mungkin pesawat yang kunaiki sekarang akan jatuh. Tapi bukan itu, yang paling kutakuti sekarang adalah kenyataan bahwa dalam hitungan menit aku akan menginjakkan Jakarta lagi.

Aku pusing, mual, dan muntah. Sampai seorang ibu muda di sebelahku mengira aku mabuk perjalanan. Tapi aku langsung mengelak dengan halus. Aku bukan termasuk tipe yang suka mabuk dan bahkan selalu menikmati perjalananku kemana aja. Terkecuali kali ini.

Kakiku melemas begitu menginjakkan Jakarta. Tubuhku pun ikut bergetar. Secepat mungkin aku memakai kacamata hitam dan dengan terburu-buru langsung naik ke salah satu taksi. Kemudian sampai di taksi aku bercermin, wajahku pucat. Ya Tuhan, sensasi apa yang sebenarnya aku rasakan ini.

Aku bisa sedikit bernafas lega begitu masuk apartemenku, apartemen yang sudah kutinggal selama 3 bulan lamanya. Kemudian aku menelpon Firny meminta bantuan untuk membereskan barang-barangku. Sekitar setengah jam akhirnya dia datang.

"Jadi keputusan lo udah bulat?" Ujar Firny setelah berulang kali membujukku. Matanya juga berkaca-kaca menatapku.

"Ya." Aku memeluknya. "Sorry, tapi bukan berarti kita gak bisa temenan lagi kan. Lagipula kita masih punya rencana liburan nanti."

Firny melepas pelukan kami dan menatapku berang. "Lo tau Mit, gue pengen banget jambak si Katya itu karena udah buat lo pergi."

Aku tertawa. "Bukan karena dia juga kok. Masih banyak alasan lain. Ya udah deh, bantuin gue lagi."

Kami memasukkan barang-barang ke dalam kotak kardus dengan berbagai macam ukuran. Sampai jam 10 siang, tiba-tiba aku baru teringat sesuatu.

"Fir, gue keluar bentar boleh? Kalau lo mau berhenti beresin juga gak apa-apa kok."

"Urusan apa, Mit? Gak ah, gue disini aja bantuin lo."

Aku menggigit bibirku. "Gue mau ke kantor. Mau ngajukan resign sekaligus ambil barang-barang gue disana."

Firny seperti bisa membaca ketakutanku, tapi dia lebih memilih diam. "Hati-hati, ya." Cuma itu yang dia bilang.

Aku menatap kandang macan alias gedung di depanku seperti deja vu. Ini persis seperti ketika aku mau mengajukan lamaran dulu. Kemudian memori dimana aku di interview langsung oleh Devan. Aku terkekeh, itu interview paling gila yang pernah ada. Tapi sekarang berbeda, kali ini yang akan kuajukan adalah surat pengunduran diri. Dan ketakutanku pun berlipat-lipat lebih besar.

Aku memakai jaket hoodie dan masker hitam. Aku sengaja berpenampilan ala teroris supaya antisipasi apabila aku bertemu orang-orang yang gak pengen aku temui.

"Hei, hei, kamu!" Seru pak satpam yang memanggilku. Sial. "Tolong dibuka jaket dan maskernya." Katanya lagi. Aduh, buat repot aja ini pak satpam. Aku pun mengisyaratkan pak satpam untuk meminggir ke area yang lebih aman.

Aku membuka maskerku. "Tenang, Pak. Ini saya, mantan manager keuangan. Masih ingat kan?" Kataku bisik-bisik.

"Ooh, Ibu Paramitha! Udah lama juga gak liat Ibu, kemana aja? Emangnya benar Ibu gak kerja disini lagi." Seru si pak satpam antusias. Syukurlah dia masih ingat.

"Sstt! Jangan kuat-kuat ngomongnya, Pak. Iya, saya udah gak kerja disini lagi. Ini saya cuma mau ngambil barang-barang saya doang."

"Oooh."

"Ya udah deh Pak, saya permisi dulu. Dan jangan bilang siapa-siapa kalau saya disini."

Aku pun ngibrit lari meninggalkan pak satpam dan menuju lift. Jantungku pun berdetak gak karuan. Begitu lift terbuka, aku langsung masuk dan syukurlah, lift dalam keadaan kosong. Tapi begitu lift mau menutup, seseorang masuk dan langsung menandaiku. Sialan, itu suaminya Kak Windy. Dan brengsek, masker yang aku pakai tadi hilang entah kemana. Ini pasti gara-gara pak satpam tadi.

"Mita." Katanya seperti gak percaya. Mata kami pun saling melotot satu sama lain.

"Bang Radit..." Antara kaget dan takut aku ikut menyapanya. Aku pun mengeluarkan senyum tipisku.

"Kamu kemana aja?" Tanya dia yang menatapku heran.

"Err, aku kemarin pulang ke Semarang. Ada urusan mendadak disana." Aku mengusap-usap leherku gak nyaman. "Gimana kabar abang dan Kak Windy?" Tanyaku hati-hati.

"Baik-baik aja kok. Windy juga udah jauh lebih membaik setelah melahirkan sebulan yang lalu."

Astaga, banyak banget yang udah aku lewatin beberapa bulan ini termasuk lahirnya anak Kak Windy. Aku merasa bersalah. Jangankan untuk menjenguk, memberi selamat pun tak ada. Tapi disisi lain mana mungkin juga aku datang menemui mereka dengan kondisi sekarang.

"Maaf ya, aku gak bisa datang waktu itu." Kataku tulus. "Ngomong-ngomong, laki-laki atau perempuan?"

"Perempuan." Jawab Bang Radit sambil tersenyum. Aku yakin dia udah maafin kesalahanku. Tapi entahlah untuk Kak Windy.

"Aku duluan ya, Mit. Ada rapat penting dengan presdir sekitar 15 menit lagi." Ujar Bang Radit begitu pintu lift terbuka. Aku mengangguk dan tersenyum.

Sampai di lantai ruanganku dulu, aku langsung mendatangi Nanda. Dia terkejut dan menangis. Astaga, apa jangan-jangan dia punya perasaan terpendam ya sampai pakai acara nangis segala.

"Jangan nangis dong, Nan. Kayak kehilangan pacar aja." Kataku sambil menepuk pelan kepalanya. "Gimana posisi saya? Udah diganti sama yang baru kan?"

"Justru itu saya sedih. Posisi Bu Mita udah digantikan sama yang lain. Orangnya cerewet banget, gak kayak Bu Mita."

Aku tersenyum getir. Aku sudah yakin kalau posisiku pasti digantikan. Mana mungkin kursi manager kosong begitu aja.

"Saya harus pindah ke tempat lain." Jawabku tenang.

"Harus? Terus, hubungan Ibu sama Pak Devan... apa karena dia udah jadi presdir Ibu pindah?"

Oh, dia sudah resmi menjadi presdir.

"Bukan, saya pindah ke Semarang. Dan saya cuma bisa bilang kalau kami udah gak berhubungan lagi."

Nanda terkejut. Tapi setelah itu dia gak bertanya-tanya lagi soal kepindahanku dan hubunganku dengan Devan. Mungkin dia paham kalau aku lagi gak mau membahas soal itu.

Aku menuju ruangan general manager dan memberikan surat pengunduran diri. Dia kaget dan sempat marah dengan sikap ketidak profesionalanku yang menghilang tiba-tiba. Aku pun cuma bisa menanggapi semua omelannya seperti angin lalu. Lagipula aku sudah siap dengan ocehannya itu.

Semua barang-barangku sudah dibereskan dalam 2 kotak kardus yang lumayan besar dan diletakkan di ruang office boy. Begitu aku disana para pekerja pun bertanya-tanya kemana aku selama ini. Lagi-lagi aku memberikan jawaban yang singkat, padat, dan jelas. Dan karena kotaknya ada 2, aku meminta bantuan pada salah satu office boy untuk membawakannya ke bawah.

Aku membawa kotak sampai turun ke bawah. Lift sudah mulai ramai gak kayak tadi. Beberapa karyawan yang kurasa menandaiku menatapku dengan tatapan terkejut. Beberapa dari mereka pun berbisik-bisik. Terserahlah apa yang ada di pikiran mereka. Toh aku juga gak akan ketemu mereka lagi.

Lift terbuka dan aku berjalan menuju lobby. Sontak kotak yang ada di tanganku hampir jatuh ke lantai ketika melihat sekelompok orang yang lewat dihadapanku. Mereka kelihatan seperti orang-orang penting dan kelasnya terasa beda dari yang lain. Tapi aku gak peduli siapapun mereka karena saat ini pandanganku cuma terfokus pada satu orang yang paling berpusat dimataku, orang yang paling aku kenal, dan orang yang paling aku rindukan.

Hatiku menyuruhku untuk memanggilnya tapi lidahku mendadak kelu. Aku yakin itu benar-benar Devan, Ya Tuhan... aku ingin menyentuhnya. Bisakah waktu berhenti sejenak agar aku bisa memeluknya.

Dia terlihat sibuk berbicara dengan beberapa orang disebelahnya. Aku cuma bisa memperhatikan dia dari atas sampai bawah, dan aku benci mengakuinya kalau dia masih tampan. Hanya saja dia kelihatan lebih kurus dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Apa dia diet?

Aku ingin bersembunyi tapi kakiku mendadak gak bisa bergerak dan dia berjalan makin dekat ke arahku. Ketika dia semakin dekat, aku bisa merasakan kilat dingin matanya saat melihatku. Ya, dia melihatku! Dingin dan datar. Dan dalam sekejap juga dia langsung mengalihkan pandangannya ke depan. Kemudian berjalan melewatiku tanpa menoleh ke belakang lagi. Seperti ada sesuatu yang luar biasa keras dan sakit menghantam dasar hatiku. Devan sudah kembali menjadi orang asing yang dingin dan angkuh.

Aku memang sempat berpikir jika aku bertemu dengan dia lagi, dia pasti akan menunjukkan kemarahannya. Tapi ternyata dugaanku salah, bahkan ini jauh lebih buruk. Dia menganggapku orang asing seolah apa yang terjadi selama ini hanya kamuflase. Dia benar-benar sudah menghapusku. Aku tau akulah yang salah. Tapi haruskah dia membalasku seperti ini. Bahkan aku lebih suka dia memakiku habis-habisan daripada bersikap sekejam ini.

Aku tahan air mataku dan berlari keluar dari gedung. Beruntunglah office boy tadi langsung berinisiatif memesan taksi jadi aku langsung pulang. Tragedi menangis di taksi pun terjadi lagi. Aku malu tapi aku juga gak bisa menahan rasa sedihku lagi. Sampai di gedung apartemen pun tangisanku belum juga reda. Aku gak mau Firny melihat parahnya keadaanku jadi aku memilih duduk di fasilitas taman. Aku menutup wajahku dan meluapkan kesedihanku disana. Mungkin memang benar, inilah akhir dari segala omong kosong yang kujalani disini. Kata goodbye memang satu-satunya keputusan yang tepat untukku. Aku memang harus kembali. Semua harapanku disini sudah sirna.

-----

To be continued  :p
Makasih juga ya buat vote nya.

Continue Reading

You'll Also Like

2.8K 282 38
Di antara crew yang lain, kamu terpilih di allied crew karena disitulah crew yang paling normal dan tidak mempunyai sisi gelap n bersih walafiat tapi...
6.6M 299K 69
[COMPLETE] "No great love ever come without great struggle" Kendra Damaris (23), anak tunggal dari sebuah keluarga miliarder, seorang artis papan at...
1K 98 33
Khika dipaksa Vino untuk menjadi pacar bohongannya, untuk membuat pacar Vino yang asli bersedia putus dengannya. Meski mereka sering bertengkar, nyat...
Epiphany By Xylinare

General Fiction

3.3M 229K 49
VERSI LENGKAP DALAM BENTUK PDF Sekelumit cerita tentang Andrea dan Arjuna, sepasang kekasih yang berbeda usia. "Tapi Pak, saya...." "Jangan mancing e...