SAVARA: YOU BELONG WITH ME

ikavihara

910K 60.7K 5K

Dari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage: Darwin Dewanata ingin menikah dengan Savara, ya... Еще

UNREQUITED LOVE
JUST GO HOME AND JERK OFF
THE IMPORTANT DECISION
I FOUND YOU SO HOT AND I WANT TO ASK YOU OUT
WHOM SHOULD ONE CHOOSE
LOVE WHEN YOU ARE READY
RELATIONSHIPS SHOULD BE BASED ON LOVE
DON'T CLOSE YOUR EYES
CHANGE YOUR MIRROR!
WE ALL START AS FRIENDS
I COULD MAKE YOUR DREAM CAN TRUE
Mr. LIFEHACKER
FIRST DATE
SOMEONE FROM THE PAST
SOMEDAY I'D WAKE UP NEXT TO YOU
WHAT'S THERE TO THINK ABOUT
FRIENDS DON'T KISS
SIGNED, SEALED, DELIVERED
THE BIG SURPRISE
A KISS IS NOT JUST A KISS
LOVE TAKES TIME, BUT HOW MUCH?
I DON'T NEED YOU
TERMURAH. SAVARA + BELLAMIA
I REALLY NEED YOUR HELP

LOSING BEST FRIEND TO MARRIAGE

31.7K 2.9K 210
ikavihara

Teman-teman harus baca DAISY dan BELLAMIA dulu sebelum membaca SAVARA ini. Supaya semakin kenal dengan karakter-karakter yang banyak muncul di sini. Kedua cerita tersebut tersedia e-book-nya di GOOGLE PLAYSTORE . Tidak tersedia di tempat lain. Kalau beli di tempat lain, berarti itu bajakan dan aku tidak akan mendapatkan apresiasi apa-apa. Atau kalau mau baca paperbook/buku yang dicetak bisa dibeli di toko buku, atau hubungi WhatsApp 0895603879876 untuk beli melalui aku atau untuk dapat link pembelian di aplikasi belanja online: Shopee dan Bukalapak.

####

Terbukti. Ada banyak hal yang tidak bisa lagi dilakukan bersama sahabat, Vara menghitung selama beberapa bulan terakhir. Bukan Vara tidak punya teman lain. Temannya banyak. Hanya saja tidak ada satu pun yang 'klik' seperti dirinya dengan Amia. Vara sudah mencoba untuk ikut bergabung dengan kelompok Arika dan Tania, teman-teman kerjanya di kantor. Tapi karena Tania merokok dan Vara tidak tahan harus duduk di smoking area setiap kali mereka makan di luar, maka hanya sesekali saja Vara menghabiskan waktu bersama mereka. Beberapa teman dari SMA dan kampus yang dulu akrab dengannya, sudah berkeluarga. Tidak ada waktu lagi untuk berkeliaran di luar rumah.

Hal menyebalkan pertama pasca-menikahnya-Amia adalah Amia tidak bisa lagi diajak pergi tanpa rencana. Sabtu siang, ketika Vara tidak ada kegiatan dan ingin ngobrol atau jalan-jalan, Amia tidak pernah bisa menemaninya tanpa janjian dulu jauh-jauh hari.

"Sorry, Var, aku nggak bisa, ini lagi keluar sama Gavin." Biasanya begini jawaban Amia.

"Aku tanya Gavin dulu, ya, Var." Segala sesuatu yang dilakukan Amia, kini izinnya ada di tangan Gavin.

Kalau Gavin sedang ingin Amia berada di bawah ketiaknya sepanjang hari, dengan gampang Amia akan mengatakan, "Gavin di rumah, Var, aku nggak bisa pergi."

Menghabiskan waktu bersama pasangan agaknya menjadi prioritas bagi seorang wanita yang baru saja menikah, kalaupun mereka punya waktu untuk mengobrol—melalui telepon paling tidak—bersama teman, maka obrolan tersebut sudah pasti berputar pada kehidupan barunya. Menyebalkan sekali. Ketika mereka seharusnya membicarakan tentang seri baru dari merek lipstik favorit mereka, Amia malah melantur membicarakan hal lain.

"Ya ampun, Var, tadi malam aku pengen banget makan es krim rasa kacang ijo. Jam dua malem. Gavin cuek aja. Coba kamu pikir, Var, mana ada suami yang bisa tidur nyenyak saat istrinya ngidam sampai nggak bisa tidur?"

Pembicaraan kembali pada masalah Gavin. Segalanya tentang Gavin.

Bagaimana kalau ada film baru di bioskop yang sedang populer? Dulu Vara menonton bersama Amia dan beberapa teman kerja mereka. Tapi sekarang, Amia tidak pernah ikut lagi.

"Aku mau nonton sama Gavin, Var. Kamu mau gabung?"

Hal menyebalkan yang kedua, menelepon Amia tidak lagi bisa dilakukan setiap saat. Seperti malam ini, setiap kali Vara ingin melakukan WhatsApp call, kepalanya berpikir logis, memberinya berbagai macam kemungkinan. Jam tujuh malam mungkin Amia dan Gavin sedang makan malam. Jam sembilan malam mungkin Amia dan Gavin sedang tidak bisa diganggu. Lebih malam lagi, mereka sudah tidur. Serba salah. Sambil menarik napas, Vara meletakkan ponselnya di meja di samping tempat tidur dan memilih untuk menghabiskan waktu dengan membaca buku.

***

Vara memutar gelas tinggi berisi butterscotch di depannya. Sejak lima belas menit yang lalu Vara duduk sendirian di sini, di meja bundar dekat dengan pintu masuk. Orang-orang lalu lalang keluar masuk kafe. Seorang laki-laki berkemeja biru yang sedang mendorong pintu kafe dari luar. Gavin, Vara mengenali dengan jelas sosoknya. Kalau jam segini, jam delapan malam, Gavin masih bisa berkeliaran di luar rumah, seharusnya Amia bisa mencuri waktu untuk duduk bersamanya di sini. Tapi saat Vara mengirim WhatsApp selepas kerja tadi, Amia bilang dia sedang menunggu Gavin yang sebentar lagi akan pulang.

"Hei, sori lama." Mahir muncul dan langsung duduk di depan Vara. Karena tidak ada kegiatan selepas pulang kerja dan belum ingin pulang ke rumah, Vara mengiyakan ajakan Mahir untuk bertemu di sini. "Bosku masih di kantor dan dia nggak mau nunggu besok buat baca pipeline."

"Kalau lembur terus begitu, gimana kamu bakal dapat pacar?" komentar Vara.

"Aku nggak mikirin itulah, Var. Umurku masih berapa. Aku masih punya waktu lima atau enam tahun lagi buat mikirin pacar dan menikah. Anak gadis seumur kamu itu yang sebentar lagi dilamar orang." Mahir menggulung lengan kemejanya sambil tertawa.

Kali ini Vara mengangkat kepala, tatapannya bertemu dengan pandangan Gavin, yang mengangguk sopan ke arahnya. Mahir mengikuti arah padangan Vara.

"Siapa, Var?"

"Suami Amia."

"Oh." Tanggapan Mahir.

Vara mengaduk-aduk minumannya sambil menimbang apakah ini saat yang tepat untuk menuruti rasa penasarannya. Oh, sudahlah, kalau tidak ditanyakan sekarang, kapan lagi dia akan punya kesempatan. "Kenapa ... kamu menyukai ... Amia?"

"Amia...." Mahir berhenti sebentar dan tersenyum pahit.

Dugaan Vara, Mahir akan menjawab karena Amia cantik. Semua laki-laki yang masih waras juga akan berpikir demikian.

"Waktu kita pertama masuk SMA dulu, Var, aku lupa nggak bawa tugas dari senior, bawa air teh berapa mili. Karena aku pucat, Amia memberikan air tehnya kepadaku dan dia bilang aku nggak perlu khawatir karena senior laki-laki sudah pasti akan memaafkannya."

Vara tersenyum mengingat hari itu. Hukuman untuk Amia hanya disuruh kenalan dengan anggota-anggota OSIS yang sudah menaruh hati padanya sejak pendaftaran. "Cuma karena itu?"

Mahir mengangguk. "Mungkin bagi orang lain 'cuma' itu. Tapi bagiku, setelah kejadian itu, aku punya cita-cita aku akan menjadi laki-laki yang ... tangguh ... yang berani menghadapi apa pun. Menerima konseskuensi atas segala tindakannya. Aku nggak mendekati Amia karena orangtuaku melarang untuk pacaran, mereka ingin aku belajar dulu.

"Sebelum ujian masuk universitas, ayahku meninggal. Waktu itu yang terpikir di kepalaku, aku nggak akan bisa masuk kedokteran. Pendapatan ibuku nggak akan banyak menolong meski aku lulus ujian jalur rakyat miskin. Aku menangis hari itu, bukan hanya karena harus menguburkan ayah, tapi harus menguburkan cita-citaku.

"Setelah teman-teman pulang, Amia menunggu dijemput kakaknya. Aku menemaninya duduk di depan rumahku. Amia mengatakan padaku bahwa ... aku berhak bersedih hari ini karena kehilangan ayahku. Tapi besok, kata Amia, aku tidak boleh menyesali kepergiannya, aku harus merayakan hidupnya. Menghidupkan hari-hariku dengan semangat ayahku. Kalau ingat senyumnya hari itu, Var, aku yakin dia adalah malaikat yang dikirim ayahku dari surga." Mahir tertawa pelan. "Cheesy ya?"

"Gimana dengan saat kuliah?" Setahu Vara, Mahir gagal masuk kedokteran, bukan karena Mahir tidak mampu, tapi karena setengah hati ikut tes setelah ayahnya pergi. Mahir kuliah satu jurusan dengan Amia dan Vara.

"Aku nggak punya apa-apa untuk ditawarkan pada Amia, Var. Uang sakuku saja hanya cukup untuk ongkos, gimana aku mau ngajak dia jalan? Lagi pula aku harus kuliah sambil kerja. Aku ingin menunggu sampai hidupku layak untuk mencoba mendekatinya ... tapi semua sudah terlambat. Dia sudah bersama Riyad. Lalu kita semua lulus dan memilih jalan berbeda."

"Kamu bisa berteman dengannya, seperti kita, paling nggak."

"Berteman? Aku menyelesaikan satu kalimat di depannya saja nggak bisa. Gagap sendiri karena gugup. Dia itu ... sempurna. Sempurna sekali. Aku nggak bicara masalah penampilannya. Itu nggak perlu diragukan. Amia punya sesuatu pada dirinya ... yang bisa membuat orang lain ingin menjadi orang yang lebih baik. Kamu ngerti yang kumaksud, kan?"

Jadi Mahir bisa bicara panjang lebar dengan Vara karena tidak menyukai Vara seperti dia menyukai Amia. Amia yang sempurna, sempurna sekali. Vara mendengus dalam hati.

"Jadi, Amia apa kabar, Var?" Karena Vara tidak juga bersuara, Mahir bertanya lagi.

Pertanyaan ini selalu keluar setiap kali dia dan Mahir bertemu. "Bahagia. Dia hamil."

"Kapan kamu nyusul?"

Dengan kesal Vara memutar bola mata. "Ya nanti, kalau laki-laki yang kusukai sadar bahwa aku hidup di dunia ini."

####

Продолжить чтение

Вам также понравится

The Perfect Match Ika Vihara

Любовные романы

73.9K 10.1K 29
Dari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage: Edvind Raishard Rashid merasa telah memiliki segalanya. Sukses berkarier sebagai dokter...
1.8M 164K 27
Tersedia di Google Playbook/Playstore
Miss Ara Utie

Любовные романы

665K 111K 45
Cerita tentang Darren Pramudya dan Aurora si tukang kue. another rempongers project. (sinopsis menyusul kalau udah ada ide)
1.9K 188 11
Dara, lawyer junior ini punya impian yang sederhana. Hanya mau hidup tenang tanpa ada orang yang nyinyir tentang kenapa dia belum nikah. Harfandi ju...