Jodoh Gak Kemana [Re-publish]

By kyurara

2.5M 77.8K 4.2K

Dilamar oleh lelaki yang ingin kau nikahi itu biasa. Apalagi jika sudah mengenal sejak lama dengan perasaan y... More

Sinopsis
Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3a
Bab 3b
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Special Edition --- (Rayuan Gombal)
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12-1
Bab 12-2
Bab 13
Bab 14
Bab 15 a
Bab 15 b
Cek Mulmed ya ^^
Akun sosmed Ata
Diskusi Versi Cetak
Bab 16 A

Bab 15 c

28.4K 2.8K 332
By kyurara

Pemanasan biar bisa rajin nulis lagi, saya re-publish dulu bab ini ya.

Versi revisi nanti akan saya update di KaryaKarsa, cari aja akun Kyurara di sana ya. Tadi ada yang saranin publish lengkap di sana. Saya udah pikirin ini juga dari kemarin-kemarin, cuma belum sempat ngerjainnya. Hari ini mumpung weekend jadi diusahakan buat bikin akun dan publish bab di sana.

Happy reading ^^

-------------------------------------------------------------------------------------

"Sonia, tolong ambilkan Tante jahe."

Setelah membongkar belanjaanku dan Ata beberapa menit yang lalu, tante Ratna kini memulai kelas memasaknya bersama Sonia. Berkutat dengan segala macam bumbu-bumbu untuk membuat menu yang dicetuskan oleh Kanjeng Tante kemarin. Ayam gulai hijau, cah kangkung saus tiram, dan tempe mendoan.

Tapi dengan lugunya Sonia malah menyerahkan sepotong lengkuas pada Tante Ratna.

"Duh, Sonia, itu lengkuas bukan jahe." Tante Ratna menggelengkan kepalanya, membuat Sonia menarik kembali tangannya.

Aku tertawa di dalam hati. Yang benar saja, masa dia tidak bisa membedakan jahe dan lengkuas.

"Ups, maaf salah ambil, Tan." Lalu dengan sok kerennya dia kembali menyerahkan sepotong serai pada tante Ratna.

Muka Kanjeng Tante langsung merah padam.

"Ini serai, Sonia. Jahe yang itu," tunjuk tante Ratna pada barisan bumbu-bumbu di atas meja.

"Yang ini, Tan?" tanya Sonia mengangkat potongan kunyit dengan muka polos.

Sekilas kulihat tante Ratna menggeram. Nah, kesal juga Kanjeng Tante akhirnya.

"Yang ini, Son." Aku meninggalkan kegiatanku dan maju untuk membantu, lalu menyerahkan jahe pada Sonia yang langsung buru-buru menyerahkannya pada tante Ratna.

"Maaf ya, Tante. Saya suka kebalik-balik sama jahe, lengkuas, dan kunyit," kata Sonia dengan muka sok malaikat. Tapi tentu saja berhasil. Tante Ratna memaafkannya begitu saja.

"Nggak apa-apa, namanya juga belajar," kata tante Ratna dengan wajah penuh kasih.

Aku menghela nafas lelah melihat adegan yang tengah berlangsung, lalu kembali fokus untuk menuang jus stoberi yang dipesan Ata tadi ke dalam gelas. Suamiku itu telah menunggu jus pesanannya sambil bercakap-cakap dengan mas Risyad di teras belakang.

"Cepet diantar, Fa. Habis itu kamu bikin bumbu untuk cah kangkung dan tempe mendoannya." Tante Ratna menoleh padaku sambil memberi titah.

"Iya, Tan," sahutku lalu meletakkan dua gelas berisi jus tadi ke atas nampan. Untuk Ata dan juga mas Risyad.

"Biar aku saja." Tiba-tiba Sonia langsung menyambar nampan dari tanganku saat aku hendak membawanya keluar dapur. "Kamu kerjain aja apa yang disuruh Tante tadi. Biar aku yang antar," kata Sonia yang sebelum aku sempat menjawab langsung membawa kabur nampan tersebut.

Untung saja tidak tumpah. Ck...

Mencoba bersabar, akhirnya kubiarkan saja si tiang jemuran itu yang mengantarkan jus tersebut lalu mulai menyiapkan bahan sesuai yang diperintahkan tante Ratna tadi. Membuat bumbu untuk tumisan kangkung dan tempe mendoan tidaklah sulit karena sejak dulu aku memang sering membantu ibu memasak.

Tak lama kemudian Sonia kembali lagi ke dapur. Kupikir tadi dia akan berlama-lama di sana, tapi rupanya tidak. Syukurlah jika dia memang ingin serius belajar memasak.

Tante Ratna kembali membagi tugas. Karena aku yang membuat bumbu, Sonia ditugaskan untuk menyiangi kangkung. Rupanya pembagian tugas dari tante Ratna ini cukup adil juga. Aku tidak selalu menjadi bawang putih yang ditindas oleh bawang merah dan ibu tirinya di sini.

"Akarnya dipotong ya, Tante?" tanya Sonia membuka percakapan.

Tante Ratna yang sibuk dengan bumbu racikannya menoleh. "Kamu mau memakannya tidak?"

Sonia menatap jijik sayuran yang berada di tangannya itu. "Nggak, Tante."

"Kalau begitu ya dibuang," jawab tante Ratna lalu kembali fokus pada bumbu-bumbu racikannya.

Yang benar saja, apa dia pikir akar kangkung itu adalah tanaman herbal yang meskipun keras kau wajib memakannya?

Aku hanya mendesah di dalam hati. Parah sekali pengalaman Sonia mengenai dapur.

Suasana kembali tenang. Perihal akar tadi bukanlah masalah besar. Kami bertiga tetap sibuk dengan tugas masing-masing, hingga pada akhirnya saat aku sedang mengaduk tepung untuk tempe mendoan, suara tinggi tante Ratna kembali membuatku menghentikan pekerjaan.

"Haduh, ini kok batang yang keras-keras juga kamu masukin? Ini juga, daun dan batangnya ini motongnya bukan kayak menebang pohon, Sonia." Tante Ratna mengomentari kangkung karya Sonia yang seperti hutan habis digunduli. "Coba ingat-ingat, kalau makan cah kangkung potongannya gimana?"

"Saya lupa, Tante."

Tante Ratna tampak ingin menampar kepala Sonia dengan potongan ayam di tangannya. "Kalau makan itu juga dilihat-lihat, jangan langsung masuk ke mulut saja. Sini Tante ajarkan."

Sonia meringis tapi tidak berani prortes.

Melihat hal itu aku pun juga langsung panik dan melirik sendiri pekerjaanku. Takut ada yang salah dan kebagian kena semprot Kanjeng Tante.

"Kamu ngiris tempenya gimana, Fa?" tanya tante Ratna yang berjalan mendekat ke arahku setelah mengajari Sonia cara menyiangi kangkung dengan benar.

"Eee... begini, Tan," tunjukku pada tempe-tempe yang telah kuiris.

Tante Ratna mengamatinya sementara aku komat-kamit berdoa di dalam hati. "Ya, bagus," ujarnya kemudian berlalu.

Fiuhhh... lap keringat. Aku selamat.

Setelah kangkung selesai dari tangan Sonia dan tempe mendoan yang kukerjakan siap untuk digoreng, Kanjeng Tante kembali membagi tugas. "Kamu panaskan wajan, Son. Biar Fifa saja yang mencuci kangkungnya."

Kami mengikuti perintah Kanjeng Tante tanpa protes. Sonia menyiapkan wajan sementara aku membawa kangkung ke bak cuci.

Saat sedang mencuci, tiba-tiba Ata muncul di dapur dengan membawa dua buah gelas kosong yang tadinya terisi penuh dengan jus stroberi ke bak cuci.

"Mau lagi?" tanyaku saat ia berdiri di sebelahku sambil memerhatikan apa yang sedang kukerjakan.

Kepalanya menggeleng dua kali.

"Eh, Althaf, gimana tadi jusnya enak? Mau dibikinin lagi?" Sonia yang berada di belakang kami menoleh dari wajan yang tengah ia panaskan. Membuatku seketika memiliki hasrat ingin sekali mendorong kepalanya ke dalam wajan tersebut.

Ata tersenyum pada Sonia lalu menggeleng. "Aku mau stroberinya saja."

Sonia tampak ingin meninggalkan pekerjaannya dan berlari untuk mencari stroberi yang disebut itu, tapi mata Kanjeng Tante membatasi pergerakannya. Seketika wanita itu terdiam di tempat ia berdiri.

Aku tersenyum penuh kemenangan di dalam hati. Ata kini kembali menatapku. "Itu, stroberinya ada di kulk-" sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, Kanjeng Tante telah menatapku tajam.

O...o... aku tahu aku salah. Mampus.

"Sebentar ya, Mas. Dinda ambilkan." Aku melap tanganku yang basah lalu beranjak menuju kulkas sementara Ata mengikuti di belakang.

"Mau dibawa semuanya?" tanyaku sambil meraih wadah stroberi dari dalam kulkas.

"Nggak, aku mau bawa makanan lain aja. Mas Risyad nggak terlalu suka stroberi," kata Ata lalu beranjak untuk meraih beberapa bungkus makanan ringan dari lemari kabinet bagian atas.

"Loh tapi tadi katanya mau stroberi," kataku mengikutinya.

"Aku mau makan di sini saja sambil jemput ini." Ia memeluk beberapa bungkus makanan ringan lalu kembali berbalik menghadapku.

Aku mengulurkan wadah stroberi yang masih kupegang pada Ata. "Oh, ya sudah nih stroberinya."

"Tangannya penuh, Fifa. Kamu suapin kenapa?" Tante Ratna yang sejak tadi mondar-mandir dengan kesibukannya berkomentar. "Tidak usah malu-malu."

Sonia menoleh ke arah kami dan menatapku tidak suka. Aku tersenyum tipis sambil mengabaikannya lalu meraih satu buah stroberi dan menyuapkannya ke mulut Ata.

"Aaaa," kataku agar Ata membuka mulutnya.

Rasain tuh, Nenek lampir. Mupeng... mupeng deh lo.

Ata sedikit menunduk dan membuka mulutnya untuk menggigit stroberi dari tanganku.

"Soniaaa, astaga!" Tante Ratna menjerit dan mendorong Sonia dari depan kompor. "Ini bukan memanaskan namanya. Lihat minyaknya gosong semua."

Sonia yang tadi melihatku dengan muka penuh dendam seketika berpaling. "Ee... i-itu tadi kan Tante yang minta untuk dipanaskan," ucapnya dengan muka merajuk.

Aku dan Ata yang sedang membuat adegan romantis beberapa meter dari mereka hanya menoleh dalam diam.

"Haduh, panaskan minyak itu ya sampai panas saja, bukan sampai gosong begini." Sambil mengomel, tante Ratna meraih wajan lain dan mengisinya kembali dengan minyak untuk dipanaskan. "Ini dijagain, jangan sampai gosong lagi. Kita harus cepat masaknya, lihat itu si Althaf sudah kelaparan sampai mencari-cari makanan di dapur karena kita masaknya lama."

"I-itu kan karena mereka belanjanya tadi juga lama, Tante." Sonia tidak terima disalahkan seorang diri. "Makanya kita jadi telat masaknya."

"Iya, ini juga karena kalian berdua belanjanya kelamaan." Tante Ratna menoleh padaku dan Ata. "Kamu cepetan makannya, Thaf. Tante perlu istri kamu untuk masak."

Aku kembali menyuapkan stroberi ke mulut Ata, hingga setelah tiga buah berikutnya Ata merasa sudah cukup.

"Sana balik, nanti Tante marah," ujar Ata lalu berlalu dari dapur.

Kan tadi kamu yang gangguin, Ataaaaa. Ucapku dalam hati sambil mengikuti punggungnya yang menjauh dengan kepala menggeleng.

"Ini tempe yang mau digoreng?" tanya Sonia saat aku membawa kangkung yang telah ditiriskan.

"Iya, dicelupin ke tepung dulu baru digoreng," jelasku.

"Kamu tidak suka tempe, Sonia?" tanya Tante Ratna yang menyingkirkan wajan berisi minyak goreng gosong tadi.

"Suka kok, Tan," jawab Sonia tersenyum. "Minyaknya sudah panas belum?" tanya Sonia padaku dengan senyum yang telah hilang di wajahnya.

Aku mendekat untuk melihat wajan yang ia panaskan lalu mengangguk. "Sudah, tempenya sudah bisa digoreng kok itu."

Tanpa aba-aba Sonia langsung melempar tempe itu ke dalam genangan minyak panas. Catat! Dia melemparnya, sehingga punggung tanganku yang berada di dekat wajan terkena cipratan minyak panas.

"Awww, hati-hati dong!" Seruku sambil menarik tangan dan mengusap bagian yang terkena cipratan minyak.

"Ups, maaf. Aku belum terbiasa," ucap Sonia dengan senyum jahat.

"Kenapa?" Tante Ratna mendekati kami.

"Ini, Tan, Fifa nggak sengaja terkena cipratan minyak," jawab Sonia kalem.

Ingin sekali aku menjerit dan bilang pada tante Ratna jika perempuan ini melakukannya dengan sengaja.

"Sana obati dulu tanganmu, makanya jangan deket-deket," kata tante Ratna.

Malas memperpanjang masalah, aku segera beranjak menuju kotak P3K dengan hati mendongkol. Si bambu runcing yang gatel ini semakin menjadi-jadi saja jahatnya. Kalau begini aku tidak akan mengalah lagi.

***

"Enak nggak ayam gulai hijaunya?" tanya Sonia pada Ata saat kami makan siang. Tante Ratna menoleh padanya yang membuat Sonia buru-buru juga menanyakan hal yang sama pada mas Risyad. "Itu aku dan Tante loh yang masak."

Oh ya? Masak sama Tante atau cuma jadi penonton?

"Enak kok," jawab mas Risyad dan Ata bersamaan.

"Tempenya juga enak," kata Ata lagi.

"Ya, walaupun warna-warni sih," sambung mas Risyad sambil nyengir.

Saat menggoreng tempe tadi, tante Ratna memintaku untuk menggantikan Sonia. Si bambu gatel itu menghanguskan semua yang dia goreng. Jadi wajar saja jika di hadapan kami kini ada tempe yang kehitam-hitaman di antara tempe yang tampak normal-normal saja. Tante bilang meskipun agak gosong, kami harus menghabiskan semuanya. Karena tidak baik menyia-nyiakan makanan. Di luar sana banyak yang kelaparan tapi tidak bisa makan. Kami harus pandai-pandai bersyukur.

"Dibalik-balik dulu tempenya. Terus kalau sudah berubah warna langsung angkat saja, jangan sampai terlalu kekuningan begitu. Jadinya gosong kan." Setelah mengomel demikian, tante Ratna meminta Sonia segera menyingkir dari urusan goreng menggoreng itu dan memanggilku untuk menggantikannya.

Dan karena khawatir si kangkung akan bernasib sama sementara ia sendiri sibuk dengan ayam gulai hijaunya, tante Ratna juga menyerahkan tumis kangkung itu kepadaku.

Jadilah Sonia akhirnya hanya menjadi penonton setia dengan muka penuh dendam kepadaku. Ia hanya berdiri di sebelah tante Ratna sambil sok memperhatikan pelajaran yang diberikan Kanjeng Tante sementara kepalanya, aku yakin sekali, tengah menyusun renca-rencana jahat lainnya.

"Kalau aku sih suka kangkungnya. Enak banget," kata mas Risyad seraya menyendok lagi sayuran yang ada di hadapannya itu. "Pasti ini Fifa yang masak ya?" Ia menatapku sambil tersenyum.

"Kok tahu?" tanya tante Ratna.

"Soalnya kalau buatan Mama rasanya nggak seperti ini."

"Jadi maksud kamu buatan Mama tidak enak, begitu?" Tante Ratna menatap anaknya tajam.

Mas Risyad tampak merasa bersalah. "Masakan Mama juga enak kok, cuma tentu saja ada cita rasa khas masing-masing. Kalau nggak enak mana mungkin bertahun-tahun sejak dulu aku mau makan masakan Mama, kan?"

Tante Ratna hanya mendengus dan kembali menyantap makanannya.

"Masakan Tante enak kok," sambung Ata. "Saya suka."

"Lebih enak daripada makanan di Inggris sana ya, Thaf." Mas Risyad menimpali.

Tante Ratna kembali menatap kami satu per satu. "Ya, kalian itu harus sering-sering makan masakan nusantara, jangan makanan sok kebarat-baratan saja yang terus-terusan dimakan. Lihat beberapa makanan kita yang dicuri oleh negara lain dan diakui sebagai makanan khas mereka. Itu karena masyarakat Indonesia sendiri yang kurang menghargai masakan negerinya dan membangga-banggakan masakan negara lain. Tempe dan Tahu saja contohnya, sudah dipatenkan oleh Jepang kan, padahal sejak dulu juga jelas itu makanan khas negara kita, dan untuk olahan masakan tahu dan tempe itu saja orang Indonesia jauh lebih jago. Tapi karena kita lalai, kecolongan jadinya. Terus kemarin itu negara tetangga yang memang suka mencuri kebudayaan kita itu juga mau mengaku-akui rendang sebagai makanan khas mereka. Belum lagi yang lain-lainnya. Entah kapan Inul Daratista dan Ayu Ting Ting juga mereka akui sebagai artis asal negara mereka." Tante Ratna tampak berapi-api.

Aku tersenyum sementara yang lainnya tertawa mendengar ocehan panjang lebar tante Ratna.

"Setuju, Ma. Seharusnya kita itu menghargai apa yang kita punya kan, bukannya melirik-lirik milik orang lain," kata mas Risyad yang saat aku menatapnya malah memberikanku seulas senyuman. Entah kenapa aku merasa ucapannya itu memiliki makna lain selain sebagai tanggapan dari kata-kata mamanya. "Eh, itu tato baru, Fa?" tunjuknya ke punggung tangan kananku. Ada tiga buah bekas cipratan minyak panas yang sedikit menghitam.

"Oh, ini tadi kecipratan minyak panas, Mas," jawabku yang membuat mas Risyad mengangguk.

Ya Tuhan, bahkan orang lain lebih dulu menyadarinya daripada suami yang sejak tadi duduk di sebelahku.

Setelah mendengar pertanyaan mas Risyad, Ata langsung melirik tanganku.

"Sudah diobati?" tanya mas Risyad lagi sementara Ata hanya diam menunggu jawabanku.

"Sudah, tadi."

"Pasti sakit," kata mas Risyad menatapku prihatin. "Mas dulu juga pernah kecipratan minyak. Perih banget."

"Nggak kok, cuma sakit sebentar, Mas. Nanti juga sembuh," kataku lalu kembali melanjutkan makan.

"Salep luka bakar di kotak P3K masih ada?" tanya Ata.

"Masih ada kok. Kan aku jarang terbakar jadi stoknya masih banyak," jawabku tersenyum.

Bukannya bertanya "lukanya masih sakit?" atau "nanti kita obati lagi biar cepat sembuh ya", suami ajaibku ini malah menanyakan stok obat.

"Oh, nanti kalau habis bilang ya. Biar aku beli lagi," kata Ata yang kemudian melanjutkan makannya.

Aku hanya membalasnya dengan anggukan lesu.

Yah pemirsa, inilah dia bapak Rafka Althafandra. Suamiku.

***

Bab 16 A dan lanjutannya bisa dibaca di KaryaKarsa Kyurara ya :)

Continue Reading

You'll Also Like

225K 8.5K 24
Hanya dengan hatiku aku mampu bertahan melawan semua rasa sepi dan sakit yang menghujamku secara bersamaan, karena disana tersimpan satu keyakinan ba...
5.5M 272K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...
Hostium (END) By Keila

General Fiction

1.2M 58.1K 47
Reanka adalah gadis pendiam dengan sejuta rahasia, yang hidup di keluarga broken home. Di sekolahnya ia sering ditindas oleh Darion Xaverius. Reanka...
200K 8.4K 36
Thalita Naurah Rayyani, perempuan single berusia 26 tahun. Baginya, single adalah pilihan terbaik. Berbagai perjodohan yang dilakukan oleh orang-oran...