Hold Me Closer

By belizzles

2.4M 126K 2K

Aku cuma perempuan biasa yang gak begitu terburu-buru dengan masalah cinta. Sampai akhirnya atau lebih tepat... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
22
23
24
25
26
27
28
29
PENGUMUMAN
30
31 [END]
Extra Part

21

74.2K 3.6K 64
By belizzles

Seriusan deh aku males ngedit. Jadi kalo ada typo atau hal menjanggal lainnya yang harap maklum aja dah. Part ini POVnya Devan yaa.

Kiss kiss.
 
 
 
***
 
 
 
Aku memakirkan mobilku di garasi rumah. Kebetulan atau lebih tepat sialnya hari ini Gavin maunya tidur bareng kakek neneknya. Jadi mau gak mau aku juga harus menginap disini malam ini dan siap-siap kena marah layaknya anak remaja labil.

"Kamu ini kebiasaan suka kabur tiba-tiba. Kamu sendiri tau kan kemarin itu acara 7 bulanan adik kamu sendiri." Bunda tiba-tiba mencubit lenganku. Meskipun umur makin bertambah tapi cubitannya gak pernah melemah sedikitpun.

"Ya udah, aku minta maaf." Jawabku cuek.

"Nggak semudah itu minta maaf, Dev. Kamu terlalu tua buat bertingkah laku seperti anak-anak." Bunda mencubitku lagi. "Waktu pas acara nikahan kamu kabur. Terus kemarin pun kamu kabur. Nah, sekarang apa lagi rencana kabur kamu?"

Aku mendesah. "Kenapa Bunda yang ribut sih? Windy aja gak marah."

"Windy memang sudah maklum sama kamu. Tapi Bunda gak bisa terus biarin sikap kamu ini."

Aku memegang kedua bahu Bunda. Menatapnya lembut. "Bunda, i'm so tired right now. Jadi pembahasan ini kita tunda dulu ya." Tanpa permisi aku langsung pergi naik ke atas. Mengacuhkan Bunda yang berulang kali teriak memanggil namaku.

Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Sebenarnya lelah yang kumaksud tadi bukan untuk kondisi badan. Tapi pikiran. Sejak di perjalanan tadi aku terus memikirkan ucapan Mita. Dia, dan si pria yang 'gak penting' itu.

Berulang kali aku coba membuang semua apapun yang berhubungan dengan pria yang bernama Dion itu. Bagiku yang terpenting adalah mendapatkan hati Mita. Itu aja. Tapi ternyata aku salah. Percuma aja kalau aku bisa membuat Mita jatuh cinta denganku tapi masih ada pria itu disampingnya. Aku benci mengakuinya, tapi dia memang punya kuasa kuat di hidup Mita. Mungkin kalau ini perkara fisik, harta, atau pun jabatan, aku pasti lebih unggul. Tapi soal siapa yang ada di hati Mita, posisi pria itu masih ada di atasku.

Aku bergegas turun saat salah satu pembantu memintaku untuk makan malam. Di meja makan cuma ada Ayah, Bunda, dan Gavin. Sedangkan Katya entah ada dimana dia sekarang. Mungkin nyangkut di got tetangga.

Suasana meja makan berlangsung seperti biasa. Obrolan ringan diselingi candaan buat Gavin tentunya. Saat Gavin mulai pergi ke kamar, barulah pembicaraan tentang kehidupan pribadiku dibahas.

"Kamu udah mulai kurangi ngerokok kan?" Tanya Bunda.

"Hmm." Jawabku sambil mengangguk malas.

"Siapa calon istri kamu sekarang, Dev?" Tanya Ayah. Ha! Another annoying question.

"Gak usahkan calon istri. Pacar juga belum jelas." Jawabku.

"Jangan bilang kamu masih suka gonta ganti pacar?" Sekarang Bunda ikut nyambung. Itulah sebabnya aku benci makan malam bareng orang tua. Pertanyaan mereka terlalu basi.

Aku tersenyum lebar meskipun terpaksa. "Tenang aja Bundaku sayang. Aku jomblo sekarang."

Bunda mendengus. "Jomblo sih jomblo. Tapi ada aja perempuan yang bolak balik masuk apartemen."

"Ooh, jadi kamu masih suka main perempuan?" Ayah balik bersuara. Astaga, kenapa aku hobi banget disudutkan hah?

"Jawab, Devan!"

"Enggak, Ayah. Astaghfirullah... bisa gila gue lama-lama." Aku mengacak-acak rambutku sendiri. Apa rumah ini bener-bener gak paham aku lagi banyak pikiran?

"Terus kenapa Valerie masih sering datang ke apartemen kamu? Oke deh kalau siang hari, dia punya alasan buat jenguk Gavin. Tapi kalau datangnya tengah malam buat apa?" Ujar Bunda.

"Dia cuma numpang tidur." Kataku yang dibalas dengan tatapan membunuh oleh Bunda. "Bukan begitu. Tapi maksudnya ya tidur dalam arti 'tidur' yang sebenar-benarnya. Dan itupun beda kamar."

"Kamu pasti bohong! Kamu masih berhubungan kan sama dia? Ngaku!" Teriak Bunda.

"Gak pernah lagi. Oke oke... let me be honest, we never have sex again since... last year."

"Astaga, Devan!!! Last year  kamu bilang? Sedangkan kalian aja udah cerai 4 tahun yang lalu!" Pekik Bunda. Ayah pun ikut tersedak. Demi apapun aku jadi nyesal coba jujur ke mereka. Susah memang punya orang tua yang suka berprasangka buruk.

"Jangan marahi aku dong. I just try to be honest. Lagipula semenjak disini aku udah gak pernah begitu lagi. Aku udah berubah."

Bunda dan ayah saling bertatapan. Entah apa maksud mereka sebenarnya pun aku gak tau. "Pokoknya Bunda gak mau lagi denger soal tingkahmu yang aneh-aneh. Ingat, bentar lagi Gavin makin besar. Mau sampai kapan kamu gini terus."

"Iya iya, bawel."

Begitulah seterusnya, menikmati omelan wajib yang selalu ada di saat aku datang ke rumah ini. Tapi paling tidak sifat Ayah sekarang jauh lebih baik daripada dulu. Kalau dulu tiap kali aku buat onar dia pasti menamparku. Mungkin sekarang dia sudah mulai pasrah dengan segala macam tingkahku ini.

Waktu sudah jam 11 malam tapi aku masih belum bisa tidur. Padahal kalau diliat dari aktifitasku seharian ini sudah bisa dipastikan aku tidur nyenyak di ranjang sekarang. Tapi entah kenapa rasa kantuk sedikitpun gak ada. Alhasil aku duduk di ruang tamu menatap kosong ke arah dinding, berharap semoga rasa kantuk segera masuk ke mataku.

"Kak, belum tidur?"

Aku menoleh ke arah setan kecil yang memanggilku. "Dari mana aja kamu baru pulang jam segini?"

"Dari apartemennya Mita."

Mendengar nama Mita jantungku kayak ada serangan mendadak. "Ngapain?" Tanyaku penasaran.

"Kepo banget sih. Biasalah urusan cewek. Kakak gak perlu tau!"

Aku menarik nafas dalam. Susah memang kalau berurusan sama adikku yang satu ini. Dia jauh lebih sensitif kalau aku tanya soal Mita. Tapi biar aku coba sekali ini.

"Ngomong-ngomong Mita udah punya pacar ya?"

"Kan udah aku bilang, jangan kepo!" Jawab Katya ketus, buat aku geram.

"Aku cuma nanya, Katya!" Sebisa mungkin aku mengontrol nada suaraku tapi gagal.

"Terus apa urusannya sama Kakak? Naksir kan sama dia? Hohoho hell no! Dia itu terlalu baik buat Kakak."

"Jadi kamu bilang kakakmu ini buruk gitu?"

"Memang iya."

Aku memejamkan mataku. Aku bukan emosi, tapi kesal. Aku dan Katya memang gak pernah bertengkar hebat. Tapi cuma dialah satu-satunya yang mampu mematahkan omonganku.

"Kamu kenapa sih segitu posesifnya sama Mita?"

"Karena aku sayang sama dia. Jadi kakak harus hati-hati. Karena jangankan buat mainin dia, buat nyentuh dia aja aku gak akan pernah biarin."

Aku menyunggingkan senyumku. Pikiran dia terlalu buruk. Aku sama sekali gak ada niat untuk mainin Mita, apapun bentuknya, baik tubuh maupun perasaan. Dan jangankan soal nyentuh, menciumnya pun aku udah berhasil. Ck, dasar Katya lugu.

"Oh iya, aku juga tadi nyuruh Mita buat pindah ke kantor cabang yang lain." Lanjutnya lagi tiba-tiba.

"Apa?" Otakku mendadak memanas mendengar apa yang dibilangnya barusan. "Gak bisa. Memangnya siapa kamu bisa seenaknya nyuruh orang pindah kerja?!"

"Bisa dong. Ayah aja setuju kok."

"Nggak! Yang megang perusahaan itu aku, dan Mita itu karyawan aku. Jadi yang cuma bisa nentuin masuk atau keluarnya orang-orang di kantor itu cuma aku!" Bentakku. "Kamu itu gak perlu ikut campur dalam urusan bisnis keluarga kita. Urus aja itu rumah sakit beserta pasien-pasien yang sebentar lagi juga bakal gila karena punya dokter kayak kamu."

"Eh t-tapi..."

"Gak ada tapi tapi. Sekali lagi kamu bantah, aku patahin semua sepatu high heels kamu."

Katya melototkan matanya seolah gak percaya. Kemudian dia berteriak aku kejam, jelek, sok ganteng, dan hinaan lain sebagainya. Tapi gak kuhiraukan sama sekali. Bagiku dia udah terlalu ikut campur dalam urusan Mita. Aku tau mereka sahabat dekat. Tapi aku gak suka caranya yang menghalangi jalanku.

"Sekarang jawab serius pertanyaan Kakak. Sejauh apa hubungan Mita sama Dion?" Tanyaku serius.

"Kakak tau hubungan Dion sama Mita darimana?" Tanyanya polos.

"Cukup jawab aja! Jangan tanya balik!" Bentakku yang sudah gak sabar lagi.

"Tapi cukup satu pertanyaan ini ya. Jangan tanya yang lain lagi."

Aku menggeram kesal. "Iya."

"Well, Dion itu cinta pertamanya Mita. Mereka kenal dan pacaran waktu SMA. Dia itu sejenis pria brengsek, tapi kalau sama Mita berubah jadi luar biasa baiknya. Gak peduli mau putus ataupun udah saling punya pacar masing-masing pun, dia tetap selalu ada buat Mita. Dan setau aku sih, dulu dia pernah buat janji kalau suatu saat dia akan melamar Mita."

Perasaanku memanas. Sebenarnya kata janji seorang pria itu memang kebanyakan omong kosong. Tapi bukan berarti menutup kemungkinan kalau janji itu benar-benar ditepati kan.

Tanpa membalas apapun, aku meninggalkan Katya sendirian dan kembali ke kamarku. Perasaanku yang tadinya kacau malah sekarang makin memburuk. Beruntunglah para wanita yang bisa curhat sambil menangis di depan teman-temannya. Sedangkan pria gak akan pernah bisa melakukan semua itu. Ada gengsi dan logika yang terlalu kuat untuk dilawan. Itulah kenapa kalau soal galau pria jauh lebih menderita dibanding wanita.

***

Aku meminum kopi yang sebenarnya masih terlalu panas buat diminum. Gak peduli lidahku jadi lecet, yang penting mataku harus segar untuk menghadapi rapat hari ini. Rapat yang akan dihadiri oleh Ayah dan rekan-rekannya. Today is a nightmare.

Aku mulai memasuki ruang rapat. Untuk pertama kalinya aku gak ada persiapan apapun untuk rapat. Semuanya hanya kuserahkan pada sekretarisku dan bahkan berkasnya pun tidak ada kubaca sama sekali.

Aku kaget sewaktu melihat Mita juga ikut dalam rapat ini. Dia melihatku, tapi gak ada sedikitpun sisi ramahnya padaku. Dia terlihat jauh lebih cuek dari biasanya. Bahkan ketika mata kami bertemu dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Padahal baru semalam kami bertemu dan semuanya baik-baik aja. Memang luar biasa wanita ini.

Konsentrasiku sudah berantakan. Satu kalimat dari rapat pun gak ada yang masuk ke otakku. Dan sialnya, mataku ini gak bisa beralih darinya. Setiap kali aku mau fokus, secara gak sadar aku kembali memandanginya. Sedangkan dia serius memperhatikan ke depan tanpa sedikit pun melihatku.

Selesai rapat pun dia tetap melakukan hal yang sama. Ini asli membuatku kesal setengah mati. Aku gak minta dia buat mendatangiku kemudian memelukku atau menciumku. Aku cuma ingin dia melihatku dan tersenyum, itu aja. Tapi yang dia lakukan malah sebaliknya. Mengabaikanku dan langsung keluar dari ruangan. Sikapnya kali ini sudah keterlaluan.

Belum sampai rumah pakaianku sudah berantakan. Jas hitamku aku lempar sembarangan di jok belakang. Aku menempelkan dahiku di setir, berpikir mungkin minum sebentar bisa meringankan sedikit bebanku ini. Aku mulai menghidupkan mesin mobilku. Baru aja meninggalkan area parkir, tiba-tiba aku bertemu pemandangan yang membuatku harus mendadak menginjak rem mobilku. Melihat Mita bergandengan sambil tertawa dengan pria lain itu menyakitkan. Aku menggenggam erat setir mobilku. Akal sehatku sudah entah dimana lagi. Persetan dengan semua gengsi yang kujaga selama ini.

Aku keluar dari mobilku dan berjalan mendekati mereka. Entah ekspresi apa yang ada di wajah Mita sewaktu tau aku sudah berdiri di depannya. Ini adalah suasana paling canggung selama hidupku.

"Eh, Devan?" Ujar pria itu memecahkan keheningan di antara kami. Aku menatapnya.

"Oh Dion, kenalin ini Devan, sepupuku. Tapi kayaknya kalian udah saling kenal ya." Mita menatapku dengan tatapan yang kurang aku mengerti. Dasar!

"Mita.." Aku menggeram. "Kita buk-..." Belum selesai aku bicara tapi Mita sudah menutup mulutku. Aku tau dia pasti akan marah dengan sikapku ini. Jadi yang bisa kulakukan sekarang cuma menarik nafas berusaha menetralkan emosiku ini.

"Maaf kalau aku mengganggu acara kalian. Tapi saat ini aku ada urusan pribadi dengan Mita." Ujarku. Mita melototkan matanya padaku. Tanpa aba-aba lagi, aku langsung menarik tangannya menuju mobilku. Sampai di mobil aku pikir dia akan menamparku atau memakiku. Tapi ternyata semuanya diluar dugaanku. Meskipun tetap kelihatan emosi tapi dia berusaha tenang.

"Aku rasa aku terlalu capek untuk marah sekarang. Jadi aku cuma minta tolong kamu jelasin apa maksud dari semua ini." Ujarnya.

"Aku jelasin nanti."

"Nanti kapan? Ini udah yang kesekian kalinya kamu berbuat sesuka hati. Kamu gak bisa terus-terusan giniin aku! Kamu pikir aku boneka."

Jalanan yang macet membuat rasa gak sabaranku makin menjadi-jadi. Memang benar apa yang dia bilang, aku selalu berbuat sesuka hati. Dan bukan cuma padanya aja, tapi juga pada semua orang.

"Maaf..." Aku menatap matanya. "Aku janji bakal jelasin semuanya. Tapi jangan sekarang. Jalanan lagi macet banget. Oke?" Kataku lembut. Syukurlah dia melunak. Meskipun gak menjawab, tapi setidaknya dia gak mengeluarkan perlawanan lagi.

Sampai di gedung apartemenku, aku menggandengnya dan langsung membawanya ke atas. Hari ini memang sikapnya betul-betul aneh. Mita yang biasanya keras kepala, pemberani, dan pemberontak itu berubah pendiam. Gak ada perlawanan sedikitpun darinya. Bahkan wajahnya kelihatan pucat.

"Sekarang jelasin, Dev. Jangan buang waktu lagi." Baru aja kututup pintu dia sudah menagih penjelasan.

"Sejujurnya aku gak tau harus mulai darimana." Aku menarik nafas panjang. Jantungku pun berdebar kencang. "Jangan pernah pergi sama pria lain lagi."

"Apa hakmu?" Tanyanya dingin.

"Aku tau aku memang gak punya hak apapun. Tapi aku mohon..." Aku beranikan diri menyentuh pipinya meskipun aku bisa bersumpah betapa gugupnya aku sekarang ini. "I wanna kiss you, may i? "

Aku masih ingat sewaktu dia bilang dia kurang suka dicium tanpa izin. Maka itu kali ini aku memintanya izin. Tapi sayangnya dia gak menjawab apapun. Mungkin itu pertanda dia gak memberikan izin. Tapi saat ini juga dia masih terus menatap mataku. Tatapan yang sama sekali gak aku ngerti. Kenapa wanita selalu rumit? Apa susahnya jawab ya atau tidak. Kalau begini ceritanya jangan salahkan aku yang gak sabaran. Tapi salahkan dia yang gak kasih jawaban.

Aku menempelkan bibirku di bibirnya. Reaksinya masih masa seperti ciuman pertama kami, dia sedikit kaget. Aku sengaja membiarkannya sebentar supaya tau apa perlawanannya. Tapi ternyata dia gak melawan sama sekali, which means it's a green light man.

Aku tarik pinggangnya kemudian melingkarkan tangannya di leherku. Aku melumat lembut setiap inci bibirnya. Her lips like a divine ecstasy, warm and sweet. Apalagi sewaktu dia membalas ciumanku, membuatku menuntut ingin melahapnya lebih ganas lagi. Aku pun memagut bibirnya semakin intens sampai akhirnya desahan pelan lolos dari bibirnya. This is a warning alarm dude.

Dengan berat hati aku melepaskan ciuman kami. Aku menempelkan dahiku di dahinya. Dia masih berusaha bernafas dan dandanannya pun sudah berantakan.

Aku kembali menatap lekat matanya. "I love you." Kalimat yang selama ini begitu berat pun akhirnya berhasil lolos dari mulutku. Hampir rasanya aku terkena serangan jantung cuma karena kalimat itu. Tapi reaksinya masih sama, diam dan datar. "Jawab aku, Mita."

"Aku gak percaya." Jawabnya singkat.

Aku mengacak-acak rambutku. "Apa kamu pikir gampang bagi aku buat ngucapin tiga kata itu ke perempuan? Aku telan semua gengsiku selama ini cuma buat ngungkapin perasaanku, dan sekarang kamu malah gak percaya? Itu namanya kejam."

"Gimana bisa aku percaya kalau sikap kamu itu gak bisa mewakili ucapan kamu. Kamu egois! Kamu tarik ulur perasaan aku, kamu buat aku jadi serba salah, dan yang paling parah kamu atur kehidupan aku, padahal kamu sendiri membatasi aku buat lebih tau tentang kamu. Jadi siapa yang lebih kejam sekarang?" Teriaknya.

Aku belum pernah melihat dia semarah ini. Aku ingin mencoba memeluknya. Tapi dia menepis tanganku. "Aku gak bermaksud begitu."

"Sampai detik ini pun kamu tetap orang asing bagi aku, Dev. Aku gak tau siapa kamu. Kamu datang tiba-tiba dari sekian lama aku berhubungan sama keluargamu. Aku pikir seiring dengan waktu kita bisa lebih kenal satu sama lain. Tapi ternyata enggak. Malah kenyataannya aku harus tau kebenaran tentang kamu dari mulut orang lain."

"Maaf, ak—"

"Aku belum selesai bicara, Devan!" Teriaknya lagi. Aku terpaksa menaikkan kedua tanganku tanda bahwa aku menyerah.

"Dan jangan pikir aku gak tau semua tingkah bejat kamu. Bahkan sampai sekarang pun kamu masih berhubungan sama perempuan lain kan. Jadi kalau kalau cuma mau mainin aku, lebih bagus izinin aku pindah dari kantor kamu. Biarin aku hidup tenang."

Aku menggelengkan kepalaku. "Aku gak akan pernah izinin. Gak akan pernah." Jawabku tegas. "Dan untuk masalah perempuan, asal kamu tau Mita, aku udah lama gak pernah berhubungan apapun sama perempuan lain selain kamu. Aku berani sumpah."

Dia terdiam. Apa perasaannya sudah membaik?

"Ini udah mulai malam. Lebih baik aku pulang." Ujarnya sambil melangkah pergi. Aku memanggilnya, tapi dia tetap terus berjalan keluar. Aku pun berjalan cepat mengejarnya dan memeluknya dari belakang.

"Mau apa lagi, Dev?"

"Menginaplah malam ini. I'm begging you." Ujarku lirih.

"Nginap? Terus aku mau tidur dimana?"

"Di apartemen ini ada 3 kamar, kamu tinggal pilih." Kataku yang masih diposisi memeluknya. Aku senang kali ini dia gak menolak. "Kalaupun mau satu kamar sama aku pun boleh." Lanjutku lagi yang disambung dengan cubitan keras di tanganku. Aku tertawa melihat tingkahnya. My Mita is back.

"Terus aku pake baju apa? Gak mungkin aku tidur pake setelan kantor begini."

"Pake baju aku."

"Jangan gila deh! Ukuran badan kita beda jauh." Dilepaskannya tanganku kemudian berbalik badan dan menatapku. "Aku mau pulang."

"Oke oke, aku suruh bawahan aku beliin baju buat kamu. Jadi please, jangan pergi." Aku berdoa dalam hati semoga dia menerima tawaranku ini.

"Aku tidur di kamar tamu."

Aku bernafas lega akhirnya dia bersedia menginap di apartemenku. Mimpi apa aku semalam? Haha

Tanpa pikir panjang aku segera menelpon bawahanku buat membeli baju sesuai yang kujanjikan tadi. Tapi setelah satu jam bawahanku belum juga datang sedangkan dia sudah mengomel habis-habisan. Aku pun mati-matian membujuknya memakai pakaianku. Dan setelah melewati pertengkaran panjang, akhirnya dia mau memakai bajuku yang sebenarnya terlalu kebesaran di badannya.

"Sorry, bawahanku memang terlalu lambat. Aku janji bakal kasih mereka pelajaran."

"Yang perlu dikasih pelajaran itu kamu! Lagipula dalam rangka apa sih aku harus nginap disini. Jadi tukang masak?" Ujarnya sambil memotong beberapa bawang di dapurku.

"Dalam rangka peresmian jadian kita, sayang." Jawabku yang disambut tatapan tajamnya.

"Kayaknya aku belum ada jawab apapun tuh. Jadi belum ada yang namanya peresmian." Sekarang dia menodongkan pisau ke arahku. Tapi aku gak peduli seberapa bahayanya pisau itu, karena sekarang aku cuma terfokus pada bajuku yang entah sejak kapan berubah jadi seseksi ini. Baju tangan panjang dan lumayan tebal yang aku biasanya aku pakai waktu musim dingin di Sydney. Kayaknya baju yang sudah lumayan lama gak kupakai itu harus diabadikan.

"Kamu cuma gengsi, Mit. Padahal kan kamu juga cinta sama aku."

"Pede banget, Pak."

Aku mendekatinya, meletakkan pisau yang daritadi dipegangnya ke atas meja. Aku balikkan tubuhnya secara paksa lalu menatap tajam matanya. "Tatap mataku dan buktikan kalau kamu memang gak cinta sama aku."

Dia gugup. Tapi masih keras menatap mataku. Kalau begitu mari kita lihat apa dia masih keras kepala atau nggak setelah ini.

"Aku bakal cium kamu. Dan kalau kamu balas ciuman aku itu tandanya kamu memang cinta sama aku."

Dia melototkan matanya. Gak pakai basa basi lagi aku cium bibirnya sedalam yang kubisa. Kelihatan dari gerakannya dia berusaha supaya gak membalas ciumanku. Tapi jangan panggil Devan kalau gak bisa membuat perempuan sepolos dia melemah. Dia mulai menggerakkan lidahnya saat lidah kami bersentuhan dan bahkan mulai melumat bibirku. Terbukti kan, dia memang mencintaiku.

Di apartemen. Ada kamar, ada ranjang, dan tidak ada siapa pun. What are you waiting for? Let's consume all of her.

Aku mengerang mendengar ucapan setan yang ada di dalam diriku sendiri. Akal sehatku menolak. Bagaimana pun aku harus menghargai prinsipnya. Dia perempuan yang kucintai. Bukan perempuan jalang yang biasa naik turun ranjang pria.

Aku merasakan ada sesuatu yang bangun. Dan demi kebaikan bersama, aku terpaksa melepaskan ciuman kami. Saat ini di dapur cuma terdengar suara nafas kami yang saling bersahutan. Merasa membaik, aku langsung meninggalkannya di dapur sendirian. Sebenarnya aku masih mau membahas masalah perasaannya tadi. Tapi sialnya ada suatu hal normal terjadi di dalam hormon priaku ini yang mengharuskanku menjauh darinya sementara.

***
 
 
Segini aja ye. Jangan lupa vomentnya :*

Continue Reading

You'll Also Like

4.8M 178K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
2M 60.2K 57
(FOLLOW DULU KALAU MAU BACA, SEBAGIAN PART ADA YANG DIACAK) Rasanya memang saat ini takdir belum berpihak pada Athena, diusianya yang masih 18 tahun...
1.1M 96.5K 49
[TAMAT - CERITA MASIH LENGKAP] Julian, atau yang akrab disapa Ian, sudah menyandang gelar sebagai playboy sejak berada di bangku SMA. Kebiasaannya ya...
1.1M 15.8K 36
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...