Bad Romance

بواسطة Fallslikesnow

11M 394K 27.6K

[PART MASIH LENGKAP] [TELAH TERSEDIA DI TOKO BUKU] Nathaniel Adriano wirasetya adalah seorang cowok yang hobi... المزيد

WAJIB DIBACA
Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
13
14
15
16
17
18
19
20
21. Epilog
22. PENJELASAN KENAPA PART 23-EPILOG ENGGAK ADA.
[Bad romance next generation]
Pengumuman
ANNOUNCEMENT.
Announcement
C o v e r.
Apa coba tebak:)
-Info-
Bandung, ayo ketemu!
GIVEAWAY ALBUM EXO
GIVE AWAY NOVEL BAD ROMANCE
Pemenang give away!💖
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part kosong]
Udah di republish ya geng
😱‼️Baca Wattpad Dibayar 100.000‼️😱

12

249K 10.4K 1.2K
بواسطة Fallslikesnow

"He was drowning, but nobody saw his struggles." -anonymous.

---

Dalam kesunyian malam yang mencekam, Nathan berlari di antara bangsal-bangsal rumah sakit, menuju satu-satunya orang yang dianggapnya berharga. Menuju orang yang benar-benar menghargai keberadaannya.

"Kakek jatuh di kamar mandi, Nath."

"Sekarang udah dibawa ke rumah sakit, kamu ke sini secepatnya."

Kelebatan memori beberapa menit lalu membuat dada Nathan semakin sesak rasanya. Dia sudah tidak peduli berlari kesetanan di rumah sakit dan tanpa sengaja menabrak beberapa orang yang berpapasan dengannya.

Nathan hanya terus berlari, ingin secepat mungkin sampai. Nathan tidak ingin kakeknya pergi. Nathan tidak ingin merasa sendirian lagi.

Kakinya akhirnya berhenti melangkah, tepat di depan ruangan ICU. Beberapa sanak saudaranya sudah berdiri di sana, menunggu, sama cemasnya dengan Nathan sendiri.

"Nath -"

"Gue mau masuk," ujar Nathan, memotong omongan Dio bahkan sebelum dia sempat berkata-kata.

"Sabar dulu, dokter masih meriksa Kakek. Kalau udah diizinin, gue janji lo bakal jadi orang pertama yang masuk ke ruangan ini," ujar Dio. Tangannya menepuk-nepuk bahu Nathan, berniat menabahkan hati adik sepupunya itu. Dio tahu, Nathan benar-benar sayang kepada kakeknya. Dio tahu, kakeknya adalah satu-satunya orang yang berharga di mata Nathan.

Pemuda itu diam, memandang lurus melewati jendela kecil di pintu, yang nyatanya tidak banyak memberikan informasi banyak.

"Nathan ... Mam-tante harus ngomong sama kamu," ujar Meisya.

Nathan berdecih. Tapi tak urung, dia mendekat kepada ibu tirinya itu, meski dengan wajah masam.

"Nathan, kamu harus mengerti. Kakek jatuh di kamar mandi. Dokter bilang, ada pendarahan di dalam dan kemungkinan sembuhnya sedikit. Kalaupun sembuh, Kakek-"

"Terus lo mau apa?" sahut Nathan sengit. "Apa? Lo mau Kakek gue mati?"

Meisya hanya bisa terdiam. "Nathan, bukan begitu maksud Mama. Tante cuma -"

"Oh, jelas itu maksud lo," sergah Nathan. "Mau lo ngomong apa pun, gue enggak peduli."

Nyatanya, nyaris separuh dirinya memercayai ucapan Meisya.

Ketakutan mulai menjalarinya, dan entah kenapa, kali ini malah membuatnya duduk diam seribu bahasa. Dio hanya melempar pandangan kasihan. Dia tahu, Nathan butuh Katya. Kalaupun tidak bisa menjaga Nathan dari berbuat hal yang tak diinginkan, setidaknya Katya pasti bisa meredam emosinya.

Jari-jari panjang Dio mulai mengetuk layar handphone, mencari-cari nama Katya di antara deretan nomor handphone yang disimpannya.

Ketemu.

Nada sambung terdengar, tapi sama sekali tidak ada jawaban dari Katya. Dio bahkan mengulangi usahanya sampai sepuluh kali berturut-turut, tetapi tidak menghasilkan apa pun. Katya sama sekali tidak menjawab panggilannya.

Tiba-tiba, dokter yang menangani kakeknya keluar dari ruangan, dan Nathan serta merta menemuinya. "Anda keluarganya?"

"Saya cucunya," jawab Nathan. Dokter itu menurunkan maskernya sampai batas dagu, lalu mendesah pelan.

"Maaf, Dik. Kami sudah berusaha, tapi kemungkinannya tipis sekali. Kita hanya bisa menunggu keajaiban sekarang," ujarnya.

Apa yang ditakutkan Nathan akhirnya terjadi.

Sejak dulu, Nathan selalu takut ditinggalkan. Kakeknya adalah salah satu orang yang berjanji untuk tidak meninggalkannya, tetapi nyatanya, dia akan meninggalkannya juga.

Bukan Nathan menyumpahi atau apa, tapi jika dokter sudah angkat tangan, kita tidak bisa melakukan apa pun selain berdoa.

Nathan tak lagi berkata-kata, hanya berjalan melewati sang dokter dan memasuki ruang ICU. Dilihatnya sosok kakeknya yang lemah tak berdaya di atas dipan putih rumah sakit. Selang-selang dan kabel-kabel terhubung langsung ke tubuhnya.

Nathan meringis. Dia pernah berada di posisi ini sebelumnya.

Nathan kemudian duduk di kursi yang disediakan, lalu menggenggam tangan laki-laki tua itu. Meski Nathan tidak begitu hafal dan pintar dalam pelajaran agama, batinnya terus merapalkan doa, meminta keajaiban pada Yang Mahakuasa.

Nathan ingat betul bagaimana kakeknya dengan sabar menungguinya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit selama berminggu-minggu. Bagaimana dia menjadi satu-satunya orang yang menjaganya saat yang lain seakan acuh tak acuh kepadanya.

Dan kini, giliran Nathan.

Nathan tidak berkata apa-apa. Dadanya terlalu sesak untuk sekadar berbicara. Matanya panas, dan tangisannya mati-matian dia tahan. Dia tidak bisa menjadi lemah pada saat seperti ini. Nathan harus kuat, Nathan harus selalu kuat.

Kakeknya yang mengajarkannya begitu.

Dunia ini jahat, katanya. Ia tidak akan pernah berhenti memberikan cobaan selama kita hidup, karena hidup adalah cobaan itu sendiri. Kakeknya selalu berkata; hidup itu tidak mudah. Tapi dia tak pernah mengatakan bahwa semuanya akan jadi sesulit ini.

Kehilangan sosok mama pada usia yang masih sangat muda, diacuhkan oleh ayahnya sendiri, jatuh ke pergaulan yang salah, apa lagi? Nathan sudah hancur. Musnah.

Ditambah lagi, dengan keadaan kakeknya seperti ini. Nathan tenggelam.

Sebenarnya sudah lama dia tenggelam dalam kubangan trauma masa lalu, kesedihan, penyesalan, dan berbagai macam rasa sakit lainnya. Hanya saja, Nathan masih sanggup menahan napasnya. Masih sanggup hidup meski dengan oksigen yang semakin menipis.

Namun kali ini, oksigennya sudah habis. Nathan mati.

Terkadang, Nathan heran mengapa dia masih waras sampai, dengan semua cobaan yang menghampirinya. Namun takdir adalah sesuatu yang tak bisa kita duga, bukan?

Nathan menatap nanar kepada kakeknya. Wajahnya damai, bahkan seulas senyum terukir di bibirnya.

"Adrian -" Ujar Nathan. Suaranya tercekat di tenggorokan.

"Maafin Adrian, Kek," lanjutnya. "Adrian belum bisa jadi apa yang Kakek mau. Adrian masih belum berhasil jadi kayak Dio.

Nathan ingat, saat dia kalah dalam salah satu pertandingan taekwondonya. Kakeknya pernah berkata, "Kakek cuma ingin kamu bisa seperti Dio, Nathan. Mungkin enggak dalam prestasi akademis, tapi prestasi lainnya. Seperti ini."

Mungkin Nathan memang sudah memenangkan banyak pertandingan, tapi baginya, itu saja tidak cukup. Dia tidak cukup membanggakan kakeknya, tidak cukup membuat ayahnya berhenti menuntutnya lebih.

Tiiittt ....

Bunyi panjang yang memekakkan telinga terdengar memenuhi ruangan. Nathan melihat ke arah mesin EKG dengan panik, lalu jantungnya seakan membeku.

Nathan telah gagal.

****

Katya berlari keluar dari lift dengan rusuh sampai Agatha tidak mampu mengejarnya. Dalam pikirannya hanya satu: dia harus bertemu Nathan.

Sesaat setelah Dio menelepon, Katya kalang kabut, menggedor-gedor pintu kamar mandi Agatha sampai tangannya mau patah. Setelah itu, bahkan tanpa berpikir untuk berganti baju, Agatha dan Katya ngebut ke sini menggunakan motor Pak Tono.

Katya berlari menikung ke arah ruang ICU. Suara sandal jepitnya berdecit dengan lantai memenuhi sepanjang lorong rumah sakit. "Dio!" pekik Katya saat dilihatnya sosok laki-laki jangkung tengah berdiri di hadapan sebuah ruangan. Dio tampak linglung, mungkin masih shock atas apa yang terjadi.

"Katya?" Pemuda itu pasrah saat Katya memeluknya, memberikan pelukan hangat yang singkat.

"I'm really sorry for your lost," katanya. "Nathan mana?"

"Di dalam."

Katya tersenyum simpul, lalu bergerak masuk. Tangannya menyentuh gagang pintu yang dingin, dan mendorongnya pelan.

Jantungnya beradu, memompa darahnya dengan sangat cepat. Ranjang di hadapannya kosong. Hanya selembar selimut yang kusut terbentang di atasnya. Alat-alat yang ada sudah dimatikan, hanya pendingin ruangan yang derunya terdengar. Dia menoleh ke kanan, mendapati seorang wanita paruh baya berdiri di hadapan Nathan. Matanya berkaca-kaca, mungkin, jika Katya menyentuhnya, kaca itu akan langsung pecah meluruh ke pipi wanita itu.

Wanita itu bukan mama tiri Nathan, bukan seseorang yang dia kenal. Tapi entah bagaimana, bentuk wajahnya terlihat mirip seseorang. Lebih tepatnya, wanita itu terlihat mirip dengan Dio sehingga Katya berasumsi bahwa wanita itu adalah mamanya.

"Nathan ...," bisik Katya. Hatinya seakan tertusuk ribuan jarum saat dia melihat Nathan. Matanya kosong, bibirnya pucat. Nathan tampak sangat rapuh seperti boneka porselen dari abad kesekian. Nathan benar-benar tidak tampak seperti Nathan.

Gadis 17 tahun itu mendekat, melangkahkan kakinya yang mendadak terasa berat. Wanita itu tampak terkejut saat melihat Katya, tapi di antara derai airmatanya yang akhirnya meluruh, dia tersenyum.

"Kamu pasti Katya ...," katanya.

Katya tersenyum. "Iya, Tante."

"Katya, Tante titip Nathan sebentar ya, Tante harus menghubungi saudara." Wanita itu meraih selembar tisu dan berjalan ke luar ruangan. Katya mengangguk.

Mendadak, mata Katya terasa sangat panas. Pelupuk matanya mulai dibanjiri sungai-sungai kecil yang sebentar lagi berubah menjadi air terjun.

Sakit rasanya melihat seseorang yang lo sayang tersakiti. Tahu kenapa? Karena cinta adalah dua tubuh, tapi satu jiwa. Maka, saat yang satu tersakiti, keduanya akan merasakan hal yang sama.

Nathan masih menatap entah ke mana. Matanya nyalang, dan Katya bisa dengan jelas melihat kehancuran terbias pada mata kecokelatan Nathan. Sampai Katya berdiri 20 senti di hadapannya, Nathan masih tidak sadar akan kehadirannya di sana.

Katya berlutut di hadapan Nathan, menatap lekat ke matanya yang entah memandang apa. "Nathan ...," panggilnya. "Nath ...."

Nathan mengerjap matanya beberapa kali. Untuk sesaat, dia seakan tidak mengenali Katya. Pemuda itu menatap Katya yang berlutut di hadapannya untuk beberapa saat sampai sadar bahwa yang di hadapannya adalah Katya.

"Nath ...," bisik Katya. Sungai di pelupuk matanya bertambah deras, bersama dengan suaranya yang tercekat di tenggorokan. Pemuda di hadapannya menatap kosong kepada Katya, seolah meyakinkan diri bahwa gadis yang berada di hadapannya bukan sekadar halusinasi.

"Katya." Suara Nathan terdengar bergetar.

"Ya?"

"Kakek ...."

Dan Katya langsung menghambur, memeluk Nathan. Kedua tangannya bertaut di belakang punggung pemuda itu, seakan menyalurkan kekuatan yang dimilikinya. Membagi duka pemuda itu dengannya, ikut merasakan sakit yang sama memilukannya dengan Nathan.

Awalnya, Nathan terasa begitu tenang. Tubuhnya diam, hanya memeluk Katya erat. Namun, semakin lama, Katya bisa merasakan kaus yang dipakainya tertetesi sesuatu.

Nathan menangis.

Dan seiring tetesan itu mengalir, isakan mulai mengisi keheningan di antara mereka berdua. Isakan pilu yang menyayat hati memenuhi ruangan, isakan yang tak akan pernah Katya bayangkan berasal dari seorang Nathan Wirasetya.

Pelukan Nathan mengerat, sampai rasanya Katya sulit bernapas. Tapi gadis itu diam, hanya memejamkan mata dan mengusap punggung Nathan pelan. Meski matanya terpejam rapat, sungai kecilnya berhasil mencari celah untuk turun.

Pipi tembamnya mulai basah.

Katya tak sanggup membayangkan rasanya jadi Nathan. Tak cukup banyakkah cobaan yang dunia ini berikan kepada Nathan? Mengapa dunia senang sekali bermain-main dengannya?

Untuk saat itu, Katya berani mengatakan bahwa takdir itu jahat. Sangat jahat. Nathan sudah hancur, kenapa harus dihancurkan lagi?

Kalau bisa, Katya ingin bertukar posisi dengan Nathan. Paling tidak, Nathan tak perlu merasakan beban seberat ini. Paling tidak, bahu mungilnya bisa berguna untuk Nathan meski hanya sesaat.

"It's alright, Nath. Everything will be alright ...," bisik Katya. Suaranya serak, menahan isakannya sendiri agar tak Nathan dengar.

Nathan tidak merespons, tapi isakannya berhenti. Dan setelahnya, Katya tidak mengatakan sepatah kata pun lagi. Dia hanya tetap memeluk Nathan, menjadi tumpuan pemuda itu untuk tetap berdiri melawan arus kehidupan yang menerjangnya bertubi-tubi.

****

Pagi itu, cuaca seperti merasakan apa yang Nathan dan keluarganya rasakan. Awan seakan ikut menangis, meneteskan gerimis di atas langit pemakaman. Orang-orang berpakaian gelap berdiri di depan seonggok tanah basah berlapis bunga, sebagiannya menangis, sebagian lagi hanya menatap sendu pada nisan kayu yang baru saja ditancapkan di sana.

Dan di situ, Katya berdiri. Tubuhnya dibalut pakaian gelap. Dia memayungi Nathan. Semilir angin yang membawa hujan menampar wajahnya yang pucat karena tidak tidur semalaman.

Semalam itu, Katya duduk di sofa panjang ruang keluarga Nathan, dengan kepala pemuda itu di atas pangkuannya. Tangan mungilnya mengelus pipi Nathan semalaman, karena ternyata, hanya dengan cara itu Nathan bisa tertidur.

Katya berasumsi, dulu mama Nathan sering melakukan hal itu sebelum Nathan tidur.

Malam itu, Nathan mengigau parah, menangis, berteriak,membuat Katya dan Dio panik sendiri. Dan dari apa yang Nathan katakan, memori kelamnya sedikit demi sedikit terbuka. Perlahan-lahan, Katya mengetahui apa yang telah terjadi. Apa yang mengubah anak laki-laki berhati besar itu menjadi pemuda yang sedemikian dingin dan tidak peduli pada sekitarnya.

Katya menunduk, menatap Nathan yang tengah berjongkok menaburkan bunga di atas makam kakeknya. Nathan tak lagi menangis. Nathan tampak lebih kuat. Tapi justru itu yang membuat Katya lebih khawatir.

Tidak secepat itu seseorang beradaptasi saat kehilangan orang yang disayanginya.

Katya memperhatikan orang-orang satu per satu pergi. Di antaranya, orang tua Nathan. Ayahnya bahkan tidak pusing-pusing mengajak Nathan pulang. How strange? Nathan sedang mengalami mental breakdown separah ini dan orangtuanya biasa-biasa saja?

Tak heran Nathan tumbuh seperti ini.

Katya ingin mengejar ayahnya, memaksanya agar menganggap Nathan ada. Tapi dia tak mungkin meninggalkan Nathan di sini.

Jadi Katya hanya menelan rasa kesalnya bulat-bulat dan ikut berjongkok di samping Nathan. Dia tersenyum lembut kepada Nathan, mengajaknya pulang. Sudah hampir dua jam mereka berada di sini.

"Nath, pulang yuk? Nanti lo sakit, ujan-ujanan begini."

Nathan menatap nisan kakeknya, lalu menyanggupi.

Mereka berjalan menjauh. Nathan dan Katya memasuki mobil yang sama, yang dikemudikan oleh sopir Nathan.

Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang tercipta. Nathan seolah menciptakan tameng di antara dirinya -yang Katya anggap sangat wajar mengingat betapa hancurnya pemuda itu saat ini. Katya tahu, Nathan perlu waktu untuk menata perasaannya. Nathan perlu waktu sendiri, karena meski Katya mampu menyembuhkan Nathan, Nathan tetap butuh waktu untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Karena tidak ada yang mampu mengobati lukanya sebaik dirinya sendiri.

Tak butuh waktu lama, mereka sampai. Pemakaman kakeknya memang tidak begitu jauh, karena Nathan tidak ingin jauh dari kakeknya, juga karena neneknya dimakamkan di tempat yang sama.

Katya turun dari mobil setelah Nathan, dan menyusul pemuda itu. Dibawanya beberapa paperbag berisi makanan untuk Nathan makan, meski Katya sendiri tak yakin Nathan akan memakan, atau paling tidak menyentuh paperbag berisi makanan itu.

"Nathan, makan dulu," ucap Katya.

"Enggak, gue kenyang."

Gadis itu menghela napas. Sejak malam tadi, Nathan belum makan apa-apa. Katya mengerti, Nathan sedang dalam keadaan terpuruk. Tapi pemuda itu tetap harus mempertahankan kondisi fisiknya.

Katya berjalan ke dapur, mencari nampan dan juga alat makan dibantu oleh pembantunya. Dengan telaten, dia menempatkan makanan ke atasnya dan membawanya ke lantai dua menuju kamar Nathan.

Tangannya sudah bersiap mengetuk saat didengarnya isakan samar dari dalam. Perutnya menclos. Nathan menangis lagi.

Perlahan, dia memutar kenop pintu yang ternyata tidak terkunci. Katya berjingkat-jingkat untuk meminimalisir bunyi yang dia buat.

Namun, sesedikit apa pun bunyi yang dia buat, Nathan tetap menyadari kehadirannya.

Pemuda yang semulanya membelakangi Katya itu segera berbalik. Bulu matanya basah, tapi pipinya tidak. Air matanya sudah kering.

"Gue kan udah bilang gue enggak mau makan," kata Nathan. Suaranya serak, khas orang habis menangis. Katya bergerak mendekat, lalu meletakkan nampan yang dibawanya di atas nakas.

"Tapi lo harus makan, Nath. Sedikit aja."

Jujur, sebenarnya ini pertama kalinya Katya berurusan dengan orang yang baru ditinggal mati. Jadi dia masih belum terlalu mengerti bagaimana cara bertingkah di sekitar Nathan.

"Gue kenyang," alasannya.

"Lo belum makan apa-apa dari malam. Gue enggak mau lo drop."

Nathan tertawa, terdengar begitu sumbang dan terpaksa. "Stop, Kat. Berenti pura pura care sama gue. Lo enggak bisa apa-apa. Lo enggak ngebantu apa pun," ujar Nathan. Sebilah belati seakan ditancapkan lurus ke relung hati Katya. Begitu sakit, sampai rasanya menangis pun dia tak mampu.

"Tapi Nath, gue cuma mau bantu lo. Sebisa gue. Lagian kakek lo juga enggak bakal senang kalau lo sampai sakit," tuturnya.

Nathan mendengus. "Kalau lo emang mau bantu gue, mending lo pergi. Tinggalin gue sendiri."

Katya ingin tidak memercayai apa yang baru saja didengarnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup Katya, setetes air matanya jatuh hanya karena sebuah kalimat yang diucapkan oleh Nathan.

Gadis itu menatap Nathan dengan pandangan terluka. Sangat dalam sampai Nathan mendadak menyesali apa yang dikatakannya. Nathan bangkit, mencoba menggapai Katya.

"Kat, gue enggak maksud -"

"Enggak apa-apa, Nath. Lo butuh waktu untuk sendiri dulu. I get it," ujarnya.

"Katya -"

"Gue balik dulu, ya." Katya menghapus airmatanya yang sempat menetes. Dia lalu berjalan cepat ke arah pintu.

Katya meninggalkan Nathan. Sendirian, menatap daun pintu yang tertutup rapat. Pemuda itu merosot, duduk bersandar pada tepian ranjangnya.

****

KATYA

Gue menghapus ai rmata gue dengan kasar. Bego, kenapa malah jadi mellow gini ah sebel. Ngapain coba, gue pakai nangis segala? Lebay.

Kesel. Kenapa gue emosional banget? Padahal Nathan cuma ngomong gitu doang. Ternyata emang benar, ya. Setiap kalimat bakal beda kalau itu keluar dari mulut orang yang lo sayang.

Gue ngerti kok. Nathan shock. Capek. He's falling apart. Dan wajar banget kalau emosinya enggak stabil lalu jadi marah-marah sama gue kayak begini. Tapi kenapa sih, kok rasanya sakit banget ya?

Gue enggak mempedulikan pembantu Nathan yang menatap gue heran karena setengah lari sambil nangis ke luar rumahnya. Gue cuma bisa nunduk, ngumpetin hidung gue yang merah kayak badut dan mata gue yang enggak kalah merahnya.

Dan, entah gue yang terlalu fokus ngebegoin diri sendiri, gue nabrak Dio yang tampaknya baru pulang. Goddammit.

Kenapa gue harus nabrak Dio sih? Makin ribet aja urusannya.

"Kat? Lo kenapa?" Dio memegang kedua bahu gue, menahan gue biar enggak mangkir dari pertanyaan yang dia kasih.

"Enggak. Enggak apa-apa. Misi, Di. Gue mau balik, ditungguin Agatha," ucap gue bohong.

Meski gue enggak ngeliat lurus ke mata Dio karena takut ketahuan nangis, gue bisa ngerasain tatapannya ke gue seolah menembus kepala gue.

Tapi Dio diam aja. Enggak ngomong apa pun. Tapi enggak ngelepasin gue juga. Dio melirik ke luar. "Gue anterin lo," katanya.

"Enggak usah, gue balik pakai taksi aja," kata gue, berjalan ke pinggir buat menjauh dari Dio, tapi percuma. Secara tinggi badan aja, gue ketinggalan jauh sama Dio. Apalagi soal tenaga?

"Enggak, gue anterin lo. Ada yang harus gue omongin sama lo, Kat," ujarnya serius.

Gue enggak punya pilihan lain. Kalau gue balik sendirian sekarang juga naik apa? Belum tentu ada taksi lewat. Emangnya sinetron, yang kalau pemerannya lagi mellow dan kabur pasti langsung ada taksi.

"Ya udah ...," jawab gue. Dio melepaskan pegangannya dari bahu gue, terus jalan ke mobilnya disusul gue di belakangnya.

Ekspresi Dio enggak kebaca. Dan gue gugup karena pertama, he's older than me. Kedua, dia baru aja ngomong kata keramat yaitu 'ada yang harus gue omongin sama lo.'

Lebay sih, gue tau. Tapi siapa sih yang enggak deg-deg an begitu ada orang yang ngomong kata keramat itu?

Nyaris sepanjang perjalanan hening, cuma kedengeran deru mesin mobil Dio aja. Gue enggak ngerti deh. Katanya Dio mau ngomong, kok dari tadi diam aja?

"Tadi Nathan bilang apa sama lo?" tanya Dio pada akhirnya.

"Enggak bilang apa-apa." Gue bohong lagi. Ngapain juga gue beberin? Ini masalah gue sama Nathan, dan meskipun gue yakin niat Dio baik, gue rasa Dio enggak perlu ikut campur urusan ini.

Dio menghela napas, mungkin lelah karena dia pasti sadar dari tadi gue bohong mulu sama dia. "Look, Kat, gue bukan kepoan atau apa. Gue cuma mau bilang, apa pun yang Nathan bilang sama lo, jangan nyerah sama Nathan, Kat."

Gue cuma bisa menatap Dio cengo. Gue enggak tau harus kasih respons apa.

Nathan pacar pertama gue. Meski gue udah sering ngecengin orang, baru kali ini gue sayang sampai seserius ini. Wajar enggak sih, kalau gue enggak tau harus respons apa?

"Nathan nyuruh lo pergi, am i right?" tanya Dio lagi.

Gue mengangguk pelan.

"Jangan, Kat. Jangan pergi. He didn't mean it."

Dio memblokkan setirnya ke kanan sebelum melanjutkan ucapannya lagi. "Nathan cuma lagi emosional. Mentalnya lagi terguncang. Gue harap lo paham dengan kondisi Nathan saat ini."

"Lo pikir gue bakal pergi cuma masalah ginian doang, Di?" tanya gue. Dio cuma melirik gue sekilas, terus balik fokus lagi ke jalan.

"Gue cuma lagi capek. Itu doang. Gue butuh istirahat biar pikiran gue jernih lagi. Begitu juga Nathan," lanjut gue.

Dio menatap gue dengan jenis tatapan yang benar-benar sulit gue artikan. Gue jadi berasa punya kakak lagi. Gue jadi ngerasa, Dio adalah Agatha versi lain.

"Thanks, Kat," ujar Dio dengan senyum. Gue gak ngerti. Kenapa hati gue masih sakit aja?

Sesampainya di rumah, gue langsung pamit sama Dio.

All i wanna do is sleep.

Gue beranjak masuk ke dalem rumah, yang langsung disambut Bi Imas. Gue cuma senyum sekilas dan naik ke lantai atas. Dengan asal, gue melempar baju gue dan menggantinya dengan baju ganti untuk langsung tidur. Bodo amat ini siang bolong, gue cuma pengin tidur. Pengin ngelupain segalanya untuk sesaat.

Pengen menata perasaan dan pikiran gue, supaya gue masih bisa mikir rasional besok. Atau mungkin, gue cuma pengin melarikan diri dari rasa sakit yang Nathan buat.

Aelah lebay.

****

Nathan mencekal pergelangan tangan Dio yang baru saja masuk rumah. "Katya -"

"She's fine," ujar Dio, berhasil menebak isi kepala Nathan. "You're lucky to have a girl like her. Dia enggak segampang itu nyerah sama keadaan. Dan gue minta sama lo, Nath, keep her. Don't you ever dare to let her go."

Mendadak, Nathan merasa begitu bersyukur ada Katya dalam hidupnya. Katya bagaikan sebuah lentera. Kecil, tetapi mampu menerangi relung gelap tempat Nathan meringkuk. Katya bagaikan mata air di tengah-tengah gurun pasir, yang bisa menjaga Nathan tetap hidup.

Dan Nathan sudah bersumpah. Mulai saat ini, Katya adalah jantungnya. Katya adalah satu-satunya alasan Nathan tidak akan bunuh diri. Katya adalah alasan Nathan tidak akan mloncat dari jembatan layang saat ini juga.

Katya adalah satu-satunya alasan Nathan merasa hidup. Katya adalah satu-satunya hal yang membuat Nathan merasa diinginkan.

Nathan meraih handphone-nya yang diletakkan di atas meja, lalu menatap lockscreen-nya. Fotonya bersama sang mama sudah diganti dengan wajah gadis berumur 17 tahun yang sedang tersenyum lebar.

Bahkan pemandangan gunung di belakang gadis itu tidak mampu mengalahkan keindahan si gadis. Gadis itu seolah mampu meredupkan bintang dalam sekejap karena kecantikannya. Well, setidaknya bagi Nathan.

Nathan mengetik passcode dan segera menelepon Katya. Namun, setelah berkali-kali menelepon, Katya tidak menjawab juga.

Pemuda itu mendadak kehilangan rasa percaya dirinya. Rasa takut mulai menjalari. Rasa takut akan kehilangan, rasa takut akan ditinggalkan, juga rasa takut akan menyakiti dan disakiti.

Goblok, batinnya. Masa lalu sialan. Sampai kapan Nathan harus terbayang-bayangi semuanya?

Nathan ingin merasa baik-baik saja bahkan meski memori kelam itu terputar lagi dalam kepalanya. Nathan ingin berhenti bermimpi buruk. Nathan ingin hidup normal.

Nathan tidak bisa menahan dirinya untuk tidak overthinking. Toh, selama ini overthinking adalah teman sehari-harinya. Overthinking adalah satu hal yang menemaninya sebelum tidur, yang selalu menghadiri mimpi-mimpinya meski tidak pernah dia inginkan.

Nathan mengacak rambutnya kesal. Dia lalu membuka aplikasi LINE dalam handphone-nya.

Nathan: Katya

Nathan: Gue minta maaf soal yang tadi. Gue benar benar gak maksud. Maafin gue, gue lost control tadi. Maaf.

Nathan: besok gue jemput lo ya? Gue traktir makan sepuasnya deh.

****

Katya terbangun pukul 3 pagi dan dia bergidik. Orang bilang, kalau sedang tidur lalu tiba-tiba terbangun, artinya ada yang sedang memperhatikan. Entah itu kasat maupun tidak kasat mata.

Bulu kuduknya meremang. Secepat kilat, dia bangkit, mengambil handphone-nya dari nakas,menyeret Chowdie, dan berlari ke kamar sebelah yang merupakan kamar Agatha.

"Agatha!" ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur. "Agathaaa!"

Suara sesuatu yang diseret terdengar, lalu suara kunci dan pintu pun terbuka. Tampak Agatha hanya mengenakan celana pendek, dengan rambut acak-acakan serta mata yang hanya setengah terbuka.

"Gue mau bobo di sini ya?" pinta Katya.

"Emang kasur lo kenapa?"

"Gue takut, Ga. Gue kan habis dari kuburan, kalau ada yang ngikut sama gue gimana?"

Agatha menghela napas. Terkadang, Katya bisa jadi paranoid berlebihan.

Pemuda 21 tahun itu lalu membukakan pintu lebih lebar, mengizinkan Katya masuk. Adik perempuan satu-satunya itu tersenyum, lalu berjalan ke kasurnya sambil memeluk Chowdie, dan berbaring di sana.

Agatha ikut berbaring, memunggungi Katya. "Nathan gimana?" tanya Agatha.

"He's falling apart," ucap Katya.

Agatha menarik selimutnya ke batas bahu. "Itu wajar, kok ...," katanya. Suaranya berat dan melambat, mendadakan kesadarannya mulai menghilang.

Lalu, di sisa-sisa kesadaran Aga, dia mendengar Katya berujar dengan nada lirih.

"So do i ...."

Katya tak bisa tidur lagi. Meski perasaannya sudah membaik, rasa sakit itu masih belum meninggalkan relung dadanya. Masih ada sesuatu yang berdenyut di dalam sana.

Gadis itu menghela napas. Rasa itu harus hilang. Harus. Dia tidak boleh childish, lebay, alay, pokoknya enggak boleh. Katya meraih handphone-nya, mencari hiburan. Mungkin dengan fangirling-an sebentar bisa membuat mood-nya kembali.

Baru saja dia memencet home button handphone-nya, matanya membelalak.

Nathan ..., nge-LINE?

Katya membuka pesan dari kekasihnya itu, lalu tersenyum. Setidaknya, Nathan meminta maaf. Setidaknya, Nathan mengakui bahwa dia tidak bermaksud melakukan itu. Setidaknya, Katya tidak perlu menahan dirinya untuk tidak bertemu dengan Nathan.

Katya lalu membalas pesan itu. Singkat, padat, tetapi jelas.

Katya: gak usah, gue aja yang kesana.

****

"Lo mau ke mana?" tanya Agatha. Matanya masih terfokus pada siaran televisi, tapi dia bisa menangkap bayangan Katya yang bergerak menuju pintu.

"Mau ke rumah Nathan sebentar," jawabnya.

"Naik apa?" tanya Agatha, dia memutar tubuhnya menghadap Katya. Adiknya itu tampak cantik meski hanya memakai pakaian seadanya, berupa celana jeans biru pucat dan kaus putih bertuliskan 'school sucks'.

"Diantar Pak Tono," ucap Katya. Abangnya itu tersenyum saat Katya berjalan mendekat untuk memberikan kecupan singkat di pipi.

"Ooh, ya udah, hati-hati," kata Agatha.

Katya berjalan ke luar rumah dan memasuki mobilnya.

Jalanan agak macet, jadi mereka baru sampai 45 menit kemudian. Kondisi rumah Nathan sepi seperti biasanya, membuat batin Katya bertanya-tanya. Ke mana kedua orangtua Nathan? Kenapa mereka tidak berada di sisi Nathan saat pemuda itu sangat membutuhkannya?

Katya melangkah melalui pagar yang terbuka.

Dia lalu bergerak masuk, tanpa sengaja menyenggol sebuah flatshoes yang diletakkan secara sembarangan di dekat pintu. Flatshoes? Kenapa Nathan memiliki flatshoes di rumahnya? Atau mungkin pacar Dio datang?

Pacar? Well, agak tidak mungkin rasanya kalau cowok seganteng Dio enggak punya pacar. Keterlaluan banget.

"Nath?" panggil Katya. Tidak ada jawaban. Karena tidak ada yang menyahutnya, Katya memutuskan untuk naik ke lantai atas dan langsung menuju kamar Nathan.

Pintunya terbuka sedikit, dan Katya mendengar suara dari dalam.

Didorongnya pintu kayu itu, menampakkan dua manusia berlawanan jenis saling berpelukan. Keduanya seolah melepaskan rasa sakit masing-masing, saling berbagi penderitaan hingga akhirnya kuat bersama.

Tak dapat dipungkiri, terpancar rasa sayang di antara keduanya. Untuk kedua kalinya, Nathan menyakiti Katya. Untuk kedua kalinya, hati Katya terpecah menjadi ribuan kepingan kecil.

Rasa sakit yang bagai ditusuk ribuan pedang panas menjalari Katya. Mulai dari dadanya, lalu naik sampai ke pelupuk matanya.

"Nathan?" Sebuah bisikan yang lebih menyerupai isakan lirih berhasil lolos dari bibir mungil Katya. Keduanya menoleh. Terkaget-kaget.

"Ma ... maaf gue ganggu." Katya mengelap ujung mata, lalu berlari menuruni tangga secepat mungkin.

"KATYA!" pekik Nathan. Namun, pekikannya tak dihiraukan Katya. Gadis itu terlalu sibuk merutuki dirinya yang mendadak jadi cengeng belakangan ini.

"Kat!"

Mendadak, salah satu pintu kamar terbuka, menampakkan Dio yang menatap mereka kaget sekaligus bingung. Di hadapannya, Nathan, Katya dengan mata berair, dan di belakang Nathan ....

Aura.

Dio menatap Nathan. Adik sepupunya ini terkadang bisa jadi sedemikian bodohnya. Sejenak terdiam, Katya segera melanjutkan jalannya. Untung saja Pak Tono menungguinya di depan.

"Katya tunggu! Gue -"

Dio menghentikan Nathan. "Dia enggak akan mau dengerin lo sekarang."

"Bullshit!" Nathan menyingkirkan tangan Dio dari hadapannya, lalu kembali berlari menyusul Katya, sedangkan Aura hanya bisa berdiri dengan bingung.

"Ngapain lo di sini?" tanya Dio ketus.

"Gue denger Kakek meninggal, Di. Gue cuma -"

"Nathan enggak butuh lo lagi," ketusnya. Dio ikut menyusul Nathan ke depan. Namun, pemuda itu membawa kunci mobil bersamanya. "Katya, tunggu!" Nathan berhasil mencekal pergelangan tangan gadis itu, lalu menyentaknya sampai gadis itu berputar menghadapnya.

"Apa?!" bentak Katya.

"Ini enggak kaya apa yang lo lihat."

"Oh, gitu? Emang gue lihat apa? Gue enggak lihat apa-apa kok, Nath. Gue enggak ada di sana. Gue bukan pacar lo. I don't even exist."

"Kat -"

Katya berbalik pergi. Bahkan tanpa berusaha mendengarkan penjelasan Nathan. Tanpa berusaha mengucapkan selamat tinggal. Gadis itu hanya berjalan menjauh.

Nathan terdiam di tempat. Katya sudah sering menolaknya sejak awal mereka taruhan. Tapi kenapa kali ini terasa begitu sakit?

****

Sepanjang perjalanan, Katya hanya terdiam dan tenggelam dalam genangan air matanya sendiri. Pak Tono, tak berani angkat bicara melihat kondisi anak majikannya yang kacau balau.

Katya menunduk, menutup mulutnya dengan tangan agar isakannya terhenti. Dia hanya merasa bodoh. Sudah sejak awal dia tahu bahwa Nathan seorang playboy. Sudah sejak awal dia memerintahkan dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan siap kalau tiba-tiba Nathan berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan padanya.

Jauh, bahkan jauh sebelum Katya menyadari bahwa dia telah terpikat pada Nathan, dia sudah mempersiapkan diri untuk itu. Namun, saat waktunya tiba, hatinya tetap saja hancur. Hati yang semula membaik, Nathan hancurkan lagi. Lebih sakit, lebih hancur, sampai Katya merasa jadi bubuk.

Kalau waktu itu Katya belum menjadi pacarnya, mungkin dia akan baik-baik saja. Kalau ini masih sebuah taruhan bodoh, Katya pasti akan baik-baik saja.

Hanya saja, ini sudah bukan lagi taruhan dan Katya tidak baik-baik saja. Nathan adalah pacarnya, dan dia berpelukan di hadapan Katya dengan gadis lain seolah dia tidak berdiri di sana. Seolah Katya tidak pernah menjadi bagian apa-apa dari hidupnya. Seolah Katya hanyalah sepotong kecil memori dalam benak Nathan yang jika terlupakan pun tak apa.

Untuk pertama kalinya, Katya merasa kecil. Katya merasa tidak berguna. Katya merasa marah, kecewa, dan berbagai emosi lain yang sama tidak enaknya. Sebegitu tidak berartinyakah Katya sampai Nathan perlu memanggil orang lain agar bisa meneduhkan hatinya?

Sebegitu tidak berartinyakah Katya sampai Nathan tega bermain-main dengan perasaannya seperti ini? Salah apa Katya sampai Nathan merasa perlu menghancurkannya seperti ini?

Ah, lebay. Lo lebay, Kat, alay, batinnya

Sebagian dirinya ingin memercayai itu. Ingin memercayai bahwa semua ini hanyalah salah paham dan Nathan akan menjelaskan semuanya nanti saat semuanya sudah lebih baik. Katya ingin memercayai bahwa yang dia lihat hanyalah halusinasi belaka, tapi tidak. Itu nyata, dan menyakitkan.

"Neng ...?" panggil Pak Tono. "Neng Katya ...?"

Katya mengusap matanya yang lembab, lalu menyahut, "Iya?"

"Udah nyampe, Neng."

Katya tertawa sumbang. Begitu terhanyutnya dia sampai tidak menyadari bahwa mereka telah sampai. Katya bergerak turun dari mobilnya, lalu berjalan cepat menuju pintu utama. Mendadak, langkahnya terhenti saat didengarnya seseorang memanggil namanya dengan lantang.

"Katya!"

Gadis itu terdiam sesaat, menarik napas, lalu berbalik. Sosok Dio yang jangkung menyambut indra pengelihatannya. "Dio?"

"Kat," panggilnya. "Gue ke sini mau -"

"Di, gue enggak mood ngomongin apa pun itu sekarang. Gue cuma pengin masuk, mandi, terus tidur. Gue capek," jelas Katya.

Dio berjalan mendekat, lantas mencoba meyakinkan gadis yang berumur empat tahun lebih muda darinya itu. "But you have to."

Katya mendengus meremehkan. "Nope, and you can't force me to." Gadis itu lalu berjalan cepat, ingin segera melarikan diri dari suasana menyebalkan ini.

Lagi-lagi, langkahnya terhenti karena Dio mencekal lengannya.

"Dio, lepas!" bentak Katya, tak tahan lagi. Mood-nya hancur dan Dio hanya memperparahnya dengan memaksanya mendengarkan ini. "Gue enggak mau denger apa pun, dan gue harap lo ngerti kenapa."

"Tapi -"

"UGH! Mau lo tuh apa sih, Di?! Ngapain lo nyusul gue segala?! Ngapain lo maksa gue dengerin apa yang mau lo omongin?! Dan yang paling penting, ngapain lo ikut campur banget sama gue dan Nathan?!" bentak Katya kesal. Dadanya naik-turun dengan cepat. Napasnya terengah-engah karena adrenalin yang meningkat.

Dio hanya diam di tempat, tak menyangka respons Katya bisa sekesal ini. "Sorry," ujarnya. "Gue cuma enggak mau gagal jadi kakak lagi, Kat."

Katya mengangkat kepalanya, lalu menatap Dio. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, dengan ekspresi yang tak terbaca.

"Yeah, whatever."

Lalu, Katya pergi begitu saja, masuk ke teras, meninggalkan Dio dengan wajah masam dan Pak Tono yang hanya bisa cengo di pos satpam. Lama berdiri di halaman rumah Katya, akhirnya Dio pergi juga. Pemuda itu merasa sangat bodoh. Kalau Katya saja tidak mau mendengarkan Nathan, bagaimana Katya mau mendengarkannya yang notabene bukan siapa-siapa?

Katya berjalan melintasi ruang keluarga yang sepi. Televisi mati, rumah juga hening. Mungkin Agatha sudah pergi kuliah.

Katya lalu melangkahkan kakinya ke tangga, menapaki anak tangga satu per satu sampai mencapai lantai dua. Dia langsung menuju kamarnya yang terletak berseberangan dari kamar Agatha. Kamar abangnya itu sunyi tanpa suara.

Padahal, Katya butuh Agatha saat ini. Katya butuh Agatha untuk memeluknya sambil mengusap-usap puncak kepalanya. Katya akan menghirup aroma lemongrass yang entah bagaimana selalu menguar dari tubuh Agatha.

Katya jadi ingat, dulu, kalau Katya sedang sedih, Agatha akan memeluknya dan menungguinya sampai Katya merasa lebih baik. Mengingat itu, Katya jadi semakin ingin menangis. Dia rindu saat-saat di mana semua hal masih mudah. Dia rindu saat dia tidak perlu repot-repot memikirkan tentang patah hati, atau laki-laki, atau diselingkuhi, atau apa pun itu.

Katya membuka dan menutup pintu kamarnya dengan kasar, lalu menghempaskan tubuhnya di ranjang begitu saja. Wajahnya dia benamkan di bantal, lalu dia mulai terisak. Awalnya hanya isakan tanpa suara, sampai lama kelamaan isakan kecilnya berubah jadi tangisan meraung-raung yang sebetulnya lebih mirip kucing yang sedang terserang flu. Hidungnya tidak lagi bisa dia gunakan untuk bernapas karena tersumbat, dan warnanya merah sekali.

Dia hanya terus menangis, menangis, dan menangis, karena hanya itu yang bisa melegakan hatinya. Tangisannya sempat terhenti saat didengarnya pintu kamar berderak terbuka. Agatha muncul dengan senyum simpul, menatapnya dengan tatapan sayang.

Katya hanya diam, tak tahu harus merespons apa. Baru kali ini dia menangis karena cowok, dipergoki Agatha, dan rasanya malu sekali. Katya bukan cewek lemah. Dia bahkan sudah jarang sekali menangis sejak mengenyam bangku SD. Tapi sekarang, lihat dirinya. Meringkuk memeluk bantal dengan wajah menyedihkan hanya karena cowok playboy receh semacam Nathan.

Agatha mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. "Sejak kapan lo jadi cengeng?" tanyanya.

Katya hanya merengut, separuh tertawa karena dia juga merasa bahwa ini konyol.

"Lo sih, suka jahat sama cewek. Gue yang kena batunya," ucap Katya. Suaranya serak. Enggak serak juga, sih. Kayak iklan apa tuh, yang anak kecil ngomong 'Mamah, suaraku serak seperti kodok.' Pokoknya gitu deh. lo bayangin aja anak perawan lagi mewek patah hati gimana deh.

Agatha tidak merespons, tetapi rahangnya mengeras. Katya tahu, Katya salah menceritakan hal ini. Mana tahu Agatha tiba-tiba datang ke rumah Nathan dan menghajarnya?

Tapi mereka terbiasa hidup tanpa rahasia. Mau bagaimana lagi?

Katya beringsut mendekat, lalu merentangkan tangannya meminta Agatha memeluknya. Lagi, tanpa suara Agatha mendekat dan memeluk Katya. Meski Katya sudah tak lagi menangis, dia tetap butuh pelukan Agatha.

Katya tahu. Dengan Agatha berada di sini, tidak menyelesaikan apa pun. Dia tidak akan bisa meminta saran karena Agatha benar-benar sama bodohnya dengan Katya.

"Gue pikir lo pergi," ucap Katya pada akhirnya.

"Enggak, enggak ada kuliah. Gue cuma ke minimarket tadi." Agatha melepaskan pelukannya, lalu mulai mengelap wajahnya yang basah. "Nangis sih nangis, tapi enggak usah meper gitu juga!" protesnya saat Katya menyusutkan ingusnya di kaus biru navynya.

"Ssst ..., lo pengen gue nangis lagi?!"

"Cengeng."

"Agatha lo bawel banget ya."

"Makanya jangan cengeng."

Katya memberengut kesal. "Salahin cowok yang bikin nangisnya lah. Masa salahin gue? Enggak ada asap kalau enggak ada api, Ga. Dan gue enggak akan nangis tiba-tiba, lah."

Agatha memasang ekspresi sangar sebelum akhirnya mematahkan buku-buku jarinya, menimbulkan bunyi berderak nyaring.

"Mm, okay," katanya. "Whose ass I need to kick, Sist?"

"Sok sangar lo."

"Lo enggak percaya gue sangar?"

"Enggak."

Berterimakasihlah pada suara bel yang mendadak terdengar, karena kalau enggak, mungkin perdebatan ini bakalan lanjut sampai bab 1234567. Untuk sesaat, Katya dan Agatha cuma berpandangan.

"Biar gue yang buka. Lo tunggu di sini," ucap Agatha seraya berjalan menuju pintu, sedangkan Katya hanya duduk diam di atas ranjangnya. Kupingnya siaga, mencoba mendengar apa pun yang terjadi di bawah sana. Tapi hasilnya nihil, tidak ada yang terdengar.

Merasa bosan, Katya meraih handphone-nya dan terkejut melihat begitu banyak notifikasi yang masuk. Ada 88 missed call, 135 pesan LINE, 65 SMS, dan semuanya dari Nathan.

Katya menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk membuka aplikasi LINEa. Terlalu banyak notifikasi dari Nathan sampai Katya malas membacanya satu per satu. Namun, ada satu pesan yang menarik perhatiannya.

Nathan: Gue ke rumah lo sekarang, bukain pintu. Jangan ngehindar dari gue, Kat.

Katya berdecih. Siapa lo bisa ngatur-ngatur gue, Nath? batinnya.

Mendadak, dia tersadar. Nathan mau ke sini. Itu tandanya -Katya bergerak cepat menuju pintu, lalu berlari turun ke lantai bawah. Debaran jantungnya nyaris terhenti saat dilihatnya Agatha mencengkram kerah kaus yang dipakai Nathan, dan memojokkan pemuda yang empat tahun lebih muda darinya itu di tembok teras.

"AGATHA, STOP!" teriak Katya. Kakinya berlari menghampiri keduanya yang masih bergulat dan tidak memedulikan Katya. Gadis itu mencengkeram tangan Agatha kuat-kuat, mencoba menariknya menjauh dari Nathan.

Katya cari mati? Ya. Banget. Lo bayangin aja ya, misahin dua cowok yang satunya setinggi 173 cm, satu lagi 178 cm, dan masing masing punya reputasi baik di olahraga beladiri Taekwondo dan Karate, dengan kondisi emosi meletup-letup macam prakarya gunung berapi anak SD kebanyakan baking powder.

Sedangkan Katya cuma segede unyil, berat badannya aja cuma separo berat badan Aga. Gimana bisa dia melerai ini banteng berdua.

Namun ternyata bisa, Sodara-Sodara. Soalnya Katya sambil teriak-teriak.

"LEPAS WOY! JANGAN RIBUT DI SINI! MALU AMA TETANGGA!!" jeritnya sambil berusaha melepaskan cengkeraman Agatha. "LEPAS ENGGAK?! ENTAR KALAU LO BERDUA KETAHUAN HANSIP BERABE!"

Katya mendorong Agatha sejauh mungkin, seperti memeluk Agatha. "Lo mending pulang, Nath," ucap Katya dingin. Dia lalu menoleh kepada Agatha yang wajahnya tampak sangat kesal.

"Ga, gue tahu lo emosi tapi lo enggak bisa main pukul anak orang gitu aja. Lo enggak ingat kejadian waktu kita kecil itu?" bisik Katya agar Nathan tidak mendengar.

Suara Nathan menginterupsinya. "Tapi Kat, gue harus ngejelasin dulu sama lo."

"Gue minta lo pulang," ucap Katya lagi.

Matanya masih menatap Agatha yang kini duduk di kursi teras, bermaksud memunggungi dan menghindari melihat Nathan. Karena bagaimana pun, rasa sakitnya masih terbayang.

Ditambah lagi, dia mendadak ingat foto Kiara dengan Nathan. Ah, udah lah. Pacaran sama cowok kaya Nathan emang harus kuat batin.

"Kat dengerin gue dulu," Nathan menarik tangan Katya, agak mengentaknya, memaksa Katya berbalik.

"Nath apaan sih lepasin gue!"

Melihat perbuatan Nathan, emosi Agatha kembali tersulut. "Dengerin gue bentar aja Kat plis, cewek yang lo lihat itu -"

"Enggak gue enggak mau dengerin lo, dan gue minta lo lepasin gue terus pulang!" Katya menunduk, menghindari melihat manik mata Nathan.

"Gue rasa lo bisa denger apa kata adek gue," sela Agatha mengintervensi.

"Lo enggak usah ikut campur," balas Nathan penuh penekanan. "Jelas gue perlu ikut campur. Lo baru aja bikin nangis adek gue."

"Wey udah-"

"Makanya gue mau ngejelasin. Gue mau minta maaf."

"Anj -"

"Enggak perlu. Ujung-ujungnya juga lo lakuin lagi. Orang kayak lo tuh enggak pantes dapet Katya." Agatha berujar dengan marah. Tangannya sudah gatal hendak membuat cap di wajah Nathan.

"Woy, stop-"

"Apa lo bilang?!" Dan sebuah pukulan melayang, nyaris mengenai Katya, tapi Agatha keburu mendorong gadis itu menjauh sehingga tangan Nathan yang terkepal hanya memukul udara bebas. Sialnya, Agatha mendorong Katya terlalu jauh sampai gadis itu tersungkur di lantai dan melukai pelipisnya.

"AH SAKIT!" Pekiknya. Darah mengalir keluar dari pelipisnya. "UDAH YA, KALIAN KALAU MAU BERANTEM LANJUTIN AJA. PERLU PISAU SEKALIAN ENGGAK?!" teriaknya seraya masuk dan mengunci pintu, membiarkan Nathan dan Agatha yang masih cengo.

****

KATYA

Kepala gue!! Sialan emang itu makhluk berdua. Kenapa sih, enggak selesai-selesai berantemnya?!

Lagian Agatha juga ngapain manas-manasin segala, sih? Padahal gue udah ngomong baik-baik ya sama Nathan, nyuruh pulang. Gue emang enggak mau dengerin penjelasan Nathan sekarang, tapi bukan berarti gue juga enggak mau dengerin penjelasan dia nanti kan?

Gue butuh sendiri dulu. Butuh menata perasaan gue dulu. Gue enggak mau nyelesain semuanya pakai emosi, apalagi Nathan juga emosinya lagi enggak stabil. Gue enggak mau jadi ribut terus lalu ngambil keputusan yang sama-sama kami sesali nantinya. Jadi mendingan gue nunggu sampai kepala gue sama-sama dingin. Sama-sama udah bisa mikir rasional.

Omong-omong kepala dingin, kepala gue panas banget nih. Perih. Dasar gila. Sebel gue. Sialan. Ah. Enggak ngerti apa lagi moody nih malah dibikin makin bete.

"BIBIII!" rengek gue. Hiks. Pengen nangis. Perih banget.

Bi Imas berjalan tergopoh-gopoh beberapa saat kemudian, dan langsung shock ngeliat jidat gue."Iya Neng? Astagfirullah itu jidat kenapa???"

"Tau ah Agatha," ucap gue malas. Pokoknya kalau jidat gue bopeng dan cowok-cowok jadi enggak suka sama gue, itu salah Agatha.

"Ya udah, bentar ya, Bibi ambilin obat merah dulu."

Gue cuma mengangguk. Pokoknya malam ini Agatha bobo di luar. Enggak mau tahu gue. Ini ultimatum. Enggak ada yang boleh bukain pintu rumah buat Agatha sampai besok.

Enggak lama, Bi Imas balik lagi dengan kotak obat. Dan doi ngobatin luka gue tanpa suara. Iyalah, semua orang juga tahu kalau gue lagi bete tuh mending didiemin aja sampai baik sendiri, eh ini si Nathan malah memperburuk keadaan. Pengen gue gorok rasanya.

Kenapasih gue harus sayang sama cowok enggak tahu malu kayak Nathan? Pakai pelet apa sih Nathan sampai gue bisa bertekuk lutut, nunduk, apa pun itu namanya? Huft.

Tapi enggak selamanya juga kali gue nunduk. Ada saatnya gue bakal berhenti nurut sama Nathan. Ada saatnya gue bakal berdiri tegak, dengan ataupun tanpa Nathan. Entar dulu deh, kenapa gue kedengeran kayak bakal ninggalin Nathan gini sih?

Oke lah, gue sakit hati. Nathan juga goblok, tapi gue selalu percaya sama kesempatan kedua. Why not? Siapa tahu ini semua tuh cuma salah paham. Siapa tau cewek tadi itu cuma lagi ada di waktu dan tempat yang salah. Atau mungkin, gue yang ada di waktu dan tempat yang salah?

Handphone gue yang ada di meja mendadak bergetar. Hm. Pasti Agatha.

"Paan?!" tanya gue jutek.

"Kat, bukain pintu!" Suara Agatha dari seberang sana terdengar memelas, tapi gue berusaha untuk enggak peduli.

"Kagak."

"Lo masa tega sih ngebiarin gue tidur di luar? Banyak nyamuk, nih. Mana bentar lagi ujan pula."

"Bodo."

"Yah Kat ...."

"Lo aja tega bikin jidat gue luka. Gue bisa kok ngelakuin yang lebih dari itu."

Agatha menghela napas frustrasi. "Kat aelah sori deh, sori." Agatha mengetuk pintu depan. Gue melirik dan menemukan siluet Agatha berdiri di depan pintu.

"Tiada maaf bagimu. Dah. Bhay."

Dan gue nutup telepon gitu aja. Biarin aja. Biar tahu rasa. Biar tobat enggak lagi-lagi bikin gue kesel. Setelah itu, karena enggak ada kerjaan, gue pun melangkahkan kaki ke kamar, berbaring di tempat tidur dengan posisi se-PW mungkin.

Gue masih belum tahu sih, sampai kapan gue mau perang dingin gini sama Nathan. Enggak tahu juga sampai kapan mau marahan sama Agatha. Yang jelas kami enggak akan baikan sekarang-sekarang deh. Gue masih kesel banget.

Gue tuh, apa ya, lebih suka diam kalau ada masalah. Lebih suka menjauh dan pergi, sampai pikiran gue jernih lagi. Kecuali, kalau masalahnya tuh benar-benar mendesak dan mengharuskan gue ngomong sama yang punya masalah.

Di luar, suara rintik-rintik hujan mulai terdengar menabrak atap genteng rumah gue. Suhu dingin mulai merembet masuk dari sela-sela ventilasi udara di atas jendela. Gue menaikkan selimut sampai batas leher, menikmati alunan musik dari tetesan air hujan. Dan, guepun terbuai dalam bunga tidur.

Entah berapa lama gue tidur. Mungkin 2-4 jam, karena gue medadak terbangun oleh suara guntur yang menggelegar. Dan, suara ketukan-sebenarnya lebih terdengar seperti kerikil yang dilempar ke kamar gue di lantai dua. Pasti Agatha.

Kalau dipikir-pikir, kasian juga Agatha di luar pas hujan kayak gini. Entar kalau doi sakit, Mami ngamuk sama gue deh.

Dengan malas, gue bergerak turun dari ranjang dan membiarkan suhu dingin dari lantai menyengat kaki gue yang enggak beralaskan apa pun. Gue memakai sandal kamar dan mulai turun ke lantai bawah.

Kok ..., ada yang tidur di sofa ...?

Itu orang bukan ya? Kok, serem sih? Gue melirik ke jam di dinding. Baru jam setengah dua belas malam. Semoga itu orang benaran. Gue memberanikan diri mengintip dari sela pegangan tangga. Itu ....

Agatha.

Lha, tunggu. Kalau itu Agatha, yang ngetok-ngetok jendela gue siapa dong?! Dengan rusuh, gue balik lagi ke kamar dan membuka daun jendela. Sesosok tubuh jangkung, dengan kaus hitam dan hoodie maroon berdiri di bawah derasnya hujan sambil menatap ke arah gue.

Goddammit. Nathan ini goblok apa gimana? Udah kemarin dia enggak mau makan apa-apa, sekarang ujan-ujanan di cuaca sedingin ini?! Dia mau gue dituntut papanya apa ya?!

Nathan memposisikan kedua tangannya di depan mulut, membentuk corong. "KATYA!"

"Lo ngapain di situ sih, Nath?!" bentak gue. Enggak, kali ini gue enggak ngebentak dia karena kesel dia pelukan sama cewek lain. Tapi gue kesel karena dia ngelakuin hal seklise ini cuma buat gue. Kenapa enggak pulang aja dan nyamperin gue besok sih?

"Please Kat, dengerin gue dulu -"

"Mending lo pulang deh sumpah ini udah jam berapa?!" Gue menyela. Angin membawa tetesan air menampar wajah gue, memaksa mata gue untuk menyipit.

"Enggak, gue enggak akan pulang sampai lo mau dengerin gue."

Sumpah, kebanyakan baca novel teenlit deh ini anak. Gue memutar bola mata dengan malas. "Heh, ini bukan FTV! Pulang lo sana!"

"Enggak akan."

Dan tepat saat itu, bunyi guntur menggelegar, lalu kilat menyambar, bikin gue kaget sampai-sampai tersaruk mundur. Astaga, enggak mungkin juga kan gue biarin Nathan di situ semalaman? Kalau dia kesambar gimana?

Segera, gue menutup jendela dan balik lagi turun ke lantai bawah buat ngebukain pintu, setelah sebelumnya ngambil tiga lembar handuk, ditambah baju kering dan bersih dari lemari Agatha.

Gue membuka pintu depan, membiarkan udara dingin masuk. Nathan masih terpaku sama jendela kamar gue sampai dia enggak sadar bahwa gue udah ngebukain pintu dari tadi. Gue menyenderkan diri di pintu, lalu menyilangkan tangan di depan dada.

"Jadi lo mau diam di situ semalaman?" tanya gue dengan nada yang sok dimales-malesin. Padahal mah gue udah panik setengah mampus. Kalau Nathan sampai sakit kan gue yang dipenggal.

Nathan tersenyum lebar, kemudian lari nyamperin gue dengan kondisi basah. "Gue tahu lo enggak akan tega lihat gue ujan-ujanan gitu." Giginya bergemeletuk menahan dingin.

"Ck, enggak usah kepedean. Masuk lo!" ucap gue jutek. Gue khawatir bukan berarti rasa kesel gue ilang gitu aja, kan?

Nathan masuk, dan gue langsung ngelemparin handuk dan baju kering ke hadapannya. "Ganti baju lo. Gue bikinin lo minum dulu."

Gue emang enggak bisa lihat dia, tapi gue bisa mastiin bahwa saat ini Nathan lagi senyum sebelah, sambil berdecak pelan. Seketika, bayangan Nathan yang lagi tersenyum muncul dalam benak gue, bikin gue mau enggak mau ikutan tersenyum.

Astaga, kenapa gue jadi gila?

Gue balik lagi beberapa menit kemudian, dengan dua mug berisi teh panas. Gue menemukan Nathan yang lagi berdiri memunggungi gue sambil ngelihatin foto-foto masa kecil gue. Gue berdeham, membuat dia berbalik dengan cepat.

"Minum. Entar lo masuk angin," kata gue singkat.

"Keluarga lo," ucap Nathan tertahan. "Keliatan kayak keluarga."

Gue tahu betul apa maksudnya. Gue cuma menanggapi Nathan dengan gumaman karena enggak tau lagi harus bilang apa.

"Kat, gue -"

"Udah selesai? Kalau udah, lo bisa tidur di sini. Udah kemalaman kalau mau pulang. Kamar tamunya yang itu, lo masuk aja." Gue menunjuk salah satu kamar.

Entah kenapa gue enggak sanggup ngedengerin penjelasan Nathan. Enggak sanggup menyadari dia berbohong. Gue menatap Nathan yang tersenyum kecut.

Maaf, Nath. Tapi mungkin baru besok atau lusa gue bisa biasa lagi sama lo. "Yah, oke. Makasih."

Gue tersenyum sekilas, lalu memandang punggungnya yang berjalan menuju kamar.

"Goodnight, Kat."

Gue tersenyum sedikit, sebelum bangkit untuk menuju kamar gue sendiri. "Night, Nath."

Entah gue kemasukan apa, tiba-tiba suara kecil dari hati gue yang terdalam kedengeran.

Saat aku melihat tubuhnya terguyur hujan di tengah dinginnya malam, saat dia rela berdiri di tengah derasnya hujan dengan bibir bergemeletuk menahan dingin, sesuatu di dalam sini rasanya hangat. Membuncah dengan kebahagiaan. Karena saat itu, aku tahu. Dia memang bertahan untukku.

Karena saat itu, aku tahu. Aku memiliki tempat di hatinya. Karena saat itu aku tahu, bahwa aku berarti untuknya.

Meskipun itu tidak berarti bahwa hanya aku yang berarti untuknya.

****

Hujan masih mengguyur permukaan bumi tempat Katya berpijak saat gadis itu bangun dari buaian mimpi. Matanya mengerjap untuk beberapa saat, menyesuaikan diri dengan kondisi cahaya remang-remang.

Matahari belum terlalu banyak menelusup masuk ke dalam kamarnya, menyebabkan suasana gelap dan dingin berpadu, membuat Katya ingin kembali tidur.

Namun satu hal menyadarkannya sebelum sempat kembali terlelap. Nathan ada di bawah.

Gadis itu bangkit, menyisir rambutnya dengan jari dan mengikatnya asal. Ditatapnya wajah baru bangun tidur yang balas menatapnya dari cermin. Peduli setan, Katya tidak lagi menghiraukan penampilannya pagi ini. Dia hanya bergerak turun, hanya untuk mendapati suasana hening di ruang keluarga.

Agatha masih meringkuk di sofa. Dengkuran halusnya dapat Katya dengar bahkan dari jarak dua meter. Pintu kamar tidur Nathan masih tertutup rapat, menandakan pemuda itu juga masih belum bangun.

Katya melirik jam bermodel minimalis yang digantung di tembok. Pukul 7.

Katya lalu bergerak mendekati Agatha, dan menyentuh bahunya lembut. "Bangun, Ga!"

Agatha hanya menggumamkan beberapa kata dengan tidak jelas.

"Udah jam tujuh," bisik Katya.

"Mmm ... lima menit lagi," balas Agatha dengan nada lambat.

"Ya udah, kalau lo telat bukan salah gue ya. Pokoknya gue udah bangunin."

Katya berlalu ke dapur, mulai mengambil beberapa bumbu untuk membuat nasi goreng.

Tak lama, Bi Imas menghampiri dan membantunya memasak. Katya sedang sibuk mencincang sosis untuk dicampurkan pada nasi goreng saat suara Agatha mengagetkannya.

"Kat?" panggilnya.

Katya menoleh, dan Agatha meringis saat dilihatnya dahi Katya bagian kanan ditutup plester kecil.

"We need to talk."

Katya menyanggupi. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Mereka lalu bergerak ke bagian belakang rumah, tempat Bi Imas biasa mencuci.

Agatha diam sesaat sambil menatap luka di dahi Katya. Pemuda itu menghela napas.

"Lo ingat, apa yang gue bilang soal cowok berengsek?"

Tuh kan. Ini yang Katya khawatirkan saat menangis di hadapan Agatha.

Kali ini, giliran Katya yang menghela napas. "Ingat," katanya.

"Apa yang gue bilang?"

"Enggak ada. Lo cuma bilang 'jangan cari cowok berengsek ya, Kat. Soalnya kalau lo di apa-apain gue yang ribet.' Udah gitu doang."

"Terus, kebukti kan?"

Katya hanya bisa menunduk. Dia tahu ucapan Agatha benar. Untuk sesaat, hanya dendangan kecil Bi Imas dari dapur yang terdengar. Mereka berdua terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing.

Agatha dengan usaha memberikan pengertian kepada Katya, dan Katya dengan usaha memahami perkataan Agatha.

Lama mereka terdiam, akhirnya Agatha kembali memulai. "Denger, gue tau ini hubungan lo. Lo udah gede, dan gue enggak bisa lagi maksa lo atau memilih sesuatu buat lo. Yang gue bisa cuma ngasih tau sesuatu sama lo, dan selebihnya, itu pilihan lo.

"Nathan bukan cowok baik-baik, Kat. Gue yakin lo tahu itu." Ucapannya dibiarkan menggantung di udara, membuat Katya menunggu dengan tidak sabar untuk kelanjutannya. "Gue enggak nyalahin lo karena sayang sama cowok kayak begitu. Gue juga nggak nyalahin lo karena nyuruh dia nginep di sini dan pakai baju gue."

Katya baru saja hendak protes saat Agatha mengangkat jari telunjuknya, menahan agar Katya tidak bicara.

"Tapi gue minta tolong sama lo, Kat. Jaga diri lo. Jangan biarin dia nyakitin lo, sedikit pun. You don't deserve it. You don't deserve this." Agatha berujar."Jadi, kalau seandainya dia ngelakuin sesuatu yang lebih parah dari ini, gue saranin lo tinggalin dia. Karena lo cewek baik, yang enggak berhak disakitin ataupun diperlakuin enggak pantas oleh cowok kayak dia.

"Dan gue janji, gue bakal ada di barisan paling depan buat ngehajar dia sampai babak belur kalau dia sampai berani bikin lo nangis lagi."

Mungkin Agatha memang terkadang menyebalkan, tapi Katya tahu, dia selalu bisa diandalkan. Dia selalu bisa jadi sosok kakak yang rela melindungi Katya sampai titik darah penghhabisan.

"Well, that was sweet," ucap Katya diiringi tawa yang agak dipaksakan karena sebenarnya dia ingin menangis. "Thanks for having my back, big bro."

Agatha hanya mengangkat bahunya santai. "Udahan mellow-mellow-nya, gue laper."

Keduanya kemudian makan sambil bersenda gurau, sebagian besarnya adalah Katya dan Agatha saling mengejek, tapi semuanya berakhir dengan keduanya tertawa. Katya bahkan hampir lupa bahwa Nathan masih berada satu atap dengannya kalau saja Agatha tidak mendadak pergi karena ada urusan dan mengingatkan Katya untuk membangunkan Nathan.

Namun, bukannya membangunkan Nathan, Katya malah duduk termenung di hadapan TV yang menyiarkan channel berita. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Benaknya seolah melayang-layang, ikut terbawa angin bersama tetesan tetesan air hujan yang seolah tak berhenti.

"Katya." Sebuah suara berat dan agak parau mengagetkannya, membawanya kembali ke bumi. Dia menoleh, hanya untuk mendapati Nathan dengan kaus putih polos dan celana jeans milik Agatha.

"Pas enggak, kalau sekarang gue ajak lo ngomong soal yang kemarin?" tanyanya.

Katya menatapnya sesaat, sebelum menyanggupi keinginan Nathan.

"Di depan aja ya, ngomongnya?" ajak Nathan. Diraihnya tangan Katya dan dibawanya gadis itu ke teras. Mereka duduk berhadapan satu sama lain, tetapi Nathan masih tidak juga mengucap sepatah kata pun.

Katya, yang kesabarannya berkurang satu tingkat, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada Nathan. "Jadi, lo jadi ngejelasin apa enggak?"

Nathan menatap Katya dalam, lalu menghela napas panjang. Katya dapat dengan jelas melihat bahwa Nathan benar-benar gugup.

"Katya," ujar Nathan. "Gue ... cewek yang kemarin itu, kami ..., kami enggak ada apa-apa Kat. Sumpah."

Katya mendengus.

Hanya itu? Hanya itu yang bisa Nathan katakan untuk meyakinkan Katya? Gadis itu tersenyum samar, jenis senyum yang enggak pengen lo lihat di wajah siapa pun.

"Gini ya, Nath. Coba kita tukar posisi deh. Sekarang, keadaannya, gue pelukan sama cowok lain. Cowok yang entah siapa, yang tiba-tiba muncul gitu aja. Terus, begitu disuruh ngejelasin, gue cuma bilang 'Sumpah, Nath, gue sama dia enggak ada apa-apa kok.' Gitu doang. Kalau lo jadi gue, lo emang bakal percaya?" tanya Katya panjang lebar.

"Gue bakal berusaha percaya, Kat. Sesulit apa pun," kata Nathan.

Katya mendengus. "I'm trying, Nath. Tapi lo tahu enggak? Menurut gue, suatu hubungan itu didasari oleh kepercayaan. Keterbukaan. Dan lo tuh ... lo bikin sesuatu dalam diri gue ngerasa kalau lo enggak percaya sama gue. Lo seakan nyembunyiin sesuatu dari gue-ralat, bukan gue aja, tapi lo nyembunyiin sesuatu dari dunia-yang bikin gue ... gue enggak sepenuhnya kenal lo,Nath. Lo enggak pernah cerita cewek kemarin itu siapa, sampai dia tiba-tiba muncul gitu aja. Berikutnya apa, Nath?"

Lama, pemuda itu diam. Dia tidak tahu harus merespons apa. "Gue ... gue minta maaf, Kat," kata Nathan pada akhirnya.

"Maaf, Nath?" tanya Katya. Nadanya datar, dingin dan menusuk. "Gue udah maafin lo. Jauh sebelum lo minta maaf. Tapi Nath, gue masih butuh penjelasan lo. Kenapa lo lakuin itu? Dia siapa, Nath? Jelasin. Biar gue enggak mikir yang aneh-aneh. Dia siapa, Nath? Kakak tiri lo? Adek lo? Sepupu lo? Keponakan lo? Tante lo? Sahabat lo? Mantan pacar lo? Atau ... dia pacar lo juga?"

"Kat apaan sih? Lo drama banget, sumpah! Dia tuh bukan siapa-siapa. Yang kemarin juga bukan apa-apa. Dia cuma ucapin bela sungkawa. Udah, itu aja." Nada bicara Nathan naik satu oktaf, membuat apa yang tadinya sudah sakit menjadi semakin sakit di rongga dada Katya.

Gadis itu berbisik. "Jadi, segitu enggak berartinya gue di mata lo sampai lo enggak mau nyebut namanya ya, Nath?"

"Katya!" bentak Nathan.

Katya tersentak. Ini pertama kalinya Nathan berbicara seperti ini kepada Katya, membuat gadis itu kembali merasakan nyeri di dadanya. Nathan bahkan lebih memilih menutupi identitas cewek itu dibanding mendengarkan keinginannya, membuat sebuah pertanyaan terus menghantui benak Katya.

Apa yang Nathan tutupi?

"Look, Kat, whatever you're thinking, it is not true. Dia bukan siapa-siapa, dia enggak berarti apa-apa buat gue. Dan dia ... dia enggak akan mampu bikin gue berpaling dari lo, Kat.

"Gue mungkin jarang bilang ini, tapi gue sayang sama lo, Kat. Sayang banget, sampai gue stuck dan enggak bisa ke mana-mana. You're my one and only."

Tepat saat itu, handphone Nathan berbunyi, menunjukkan sebuah notifikasi dari LINE. Ditatapnya layar handphone-nya dengan dahi berkerut, sebelum akhirnya dia memasukkan benda hitam itu kembali ke sakunya.

Katya menatap Nathan heran. Seberapa banyak yang dia sembunyikan? Seberapa banyak yang Katya tidak tahu?

Semua pertanyaan itu berputar-putar dalam kepala Katya, membuatnya pusing sendiri. Harusnya dia jadi orang yang paling mengenal Nathan.

Namun nyatanya,dia hanyalah orang luar di sini. Dia hanya seorang gadis yang berharap memasuki kehidupan seorang Nathan Wirasetya. Dia hanyalah gadis yang berdiri di depan tembok transparan yang Nathan bangun, seolah mengenalnya, padahal dia tidak tahu apa apa.

Nathan menatapnya dengan tatapan yang jauh lebih lembut dibandingkan sebelumnya. "Gue ... harus pergi. Ada urusan."

Katya hanya diam. Jutaan pertanyaan yang haus akan jawaban masih melayang dalam benaknya. "I'll see you soon, Kat. Bye."

****

ini juga anjir 8.850 kata geng yalord mikir apa gue separt 8rb anjeng wkwkwkwkwk

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

1.6M 38K 32
Pemesanan novel dapat melalui: Ig: @Perfectopublisher Ig: @nandaanisa124 Lo gak akan pernah tau kapan cinta itu datang dan kepada siapa lo akan jatuh...
2.8M 177K 34
Nathanial, ketua OSIS yang banyak disukai orang karena sikapnya yang baik. Namun sayangnya, Adisty yang dia cintai tidak menaruh hati padanya. Melain...
83.4K 2K 51
#2nd book of Alexandra James. Highest rank: #430 Highschool (10-11-2018) #901-friendzone (23-11-2018) #179 friendzone (13-12-2018) "Aku emang udah s...
KANAYA (REVISI) بواسطة liaa0415

قصص المراهقين

2.2M 128K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...