Bad Romance

Av Fallslikesnow

11M 394K 27.6K

[PART MASIH LENGKAP] [TELAH TERSEDIA DI TOKO BUKU] Nathaniel Adriano wirasetya adalah seorang cowok yang hobi... Mer

WAJIB DIBACA
Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21. Epilog
22. PENJELASAN KENAPA PART 23-EPILOG ENGGAK ADA.
[Bad romance next generation]
Pengumuman
ANNOUNCEMENT.
Announcement
C o v e r.
Apa coba tebak:)
-Info-
Bandung, ayo ketemu!
GIVEAWAY ALBUM EXO
GIVE AWAY NOVEL BAD ROMANCE
Pemenang give away!💖
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part Kosong]
[Part kosong]
Udah di republish ya geng
😱‼️Baca Wattpad Dibayar 100.000‼️😱

9

247K 10.4K 880
Av Fallslikesnow

KATYA

Senin. Kenapa gue benci banget ya masuk sekolah hari senin?

Ya tapi mau gimana lagi? Gue di sini buat sekolah. Gue ingat banget kata-kata Papi. Papi mengizinkan gue tinggal sama Agatha buat belajar, bukan buat malas-malasan apalagi pacaran.

"KATYA! KATYA!" panggil Eriska. Ya salam pagi-pagi gue udah dibikin budek ama si Eriska.

"Paan?" tanya gue seraya menjatuhkan tas di atas kursi dan duduk di meja.

"Hot news!" serunya.

Hm. Eriska emang biang gosip ya, gue enggak paham lagi. "Apa?"

"Lo mau yang bagus dulu apa yang jelek dulu?"

Gue berujar dengan malas, "Yang bagus dulu, deh."

"Oke, jadi, guru-guru enggak masuk. Jadi, mereka diganti sama guru PPL! Yeeeaaayyy!" Eriska berteriak kencang. Halah, apa bedanya? Tetap ada guru. "Lo jangan ingatin soal ulangan kimia hari ini, jangan juga soal PR matematika."

"Oke. Terus, bad news-nya?" tanya gue.

"Tapi lo jangan marah terus mencak-mencak ya, Kat ...," kata Eriska hati-hati.

Kenapa perasaan gue jadi nggak enak ya?

"Itu ...," ucapan Eriska menggantung.

"Itu apa?"

"Fans-fans-nya Nathan pada gosipin lo. Dari berbagai sumber, kebanyakan mereka bilang lo cabe lah, gampangan, murahan, dan banyak lagi. Kebanyakan sih dari Kiara sumbernya."

WHAT?!

ENGGAK SALAH? YANG ADA ITU MAH MEN-DESCRIBE GENGNYA SI KIARA ITU. BUKAN KATYA OEMJI HELLAW. PADA BUTA KALI YA ENGGAK BISA BEDAIN MANA KATYA MANA MAK LAMPIR.

" Gila kali ya nyebelin banget. Cabe kok teriak cabe," ujar gue.

"Heh! Ssst ..., kan lo udah bilang enggak akan mencak-mencak," sahut Eriska.

Yeh siapa yang enggak kesel sih digituin? Meskipun kata Mami enggak boleh suudzon, tapi emang siapa lagi yang hobi nyebarin gosip murahan kalau bukan Kiara dan gengnya itu.

"Selamat pagi Anak-Anak!" sapa seorang guru, perempuan, masih muda, mungkin umurnya sekitar 26-27-an.

Duh. Padahal pelajarannya matematika, tapi mood gue udah anjlok. Gimana ceritanya gue mau paham? Dikit lagi ujian, for goodness' sake.

Gue menatap ke depan, tempat si ibu memperkenalkan diri dengan gayanya yang kalem. Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu. Sontak seisi kelas menoleh.

Dan ..., muncullah makhluk ber-hoodie abu-abu di ambang pintu. Pemuda itu tersenyum sedikit. "Maaf Bu, saya telat."

....

Tahu itu siapa? Ya siapa lagi kalau bukan si Sethan. Mana gurunya guru PPL pula, mana tahu Nathan bukan anak kelas ini.

"Oh iya, silakan masuk!" jawab si ibu. Ah, help. Nathan pasti ada apa-apanya kalau sekelas sama gue. Nathan berjalan mendekat ke arah kursi gue, dan dia bahkan ngegusur Eriska dari bangku di samping gue, sehingga gue sekarang duduk sebangku sama Nathan.

Dear, Jantung. Yang kuat ya sayang.

****

"Lo ngapain di sini?" bisik Katya.

Nathan meliriknya santai. "Bosen, kelas gue belajar geografi. Enek gue."

"Tapi lo mana bisa di sini, kalau diabsen gimana?"

"Ck, udah tenang aja. Lo kayak enggak tahu gue."

Katya menghela napas. Emang susah sih ya debat sama Nathan. Kayaknya, gini nih aturan debat sama Nathan:

1. Nathan selalu menang.

2. Katya selalu kalah.

3. Kalau Nathan kalah, balik lagi ke nomor satu.

Da Katya mah apa atuh.

Katya menatap papan tulis dengan serius, mencoba menalari dan memahami dari mana angka-angka yang dijelaskan gurunya. Wajah seriusnya membuat Nathan gemas sendiri. Dia bukannya menatap ke depan malah menatap lurus ke arah Katya.

Kemudian, Nathan menguap lebar. Nathan kan boro-boro merhatiin si ibu.

"Nath mending lo cuci muka, deh. Pagi-pagi udah nguap aja," bisik Katya.

"Hmm ...." Nathan hanya menggumam.

Nathan terdiam beberapa saat, sebelum tiba-tiba dia bangun dan menyandarkan kepalanya di bahu Katya, bikin cewek itu kaget. "Na ... Nath ...?"

Nathan diam. Matanya terpejam. Katya dengan kaku mencoba menjauhkan diri dan menoleh ke arah Nathan yang hanya terlihat rambutnya saja.

"Nathan ...?" panggil Katya, tapi cowok itu masih tak bergeming. Dia tetap tidur sambil bersender ke tubuh Katya. Perbuatannya benar-benar sukses membuat jantung Katya kalang kabut.

"Nath ini di kelas ...," bisik Katya melirik kanan-kirinya. "Sshh ..., gue ngantuk!"

Katya tidak lagi mampu berkata apa-apa. Lidahnya terlalu kelu karena malu. Malu karena ulah Nathan, tapi juga malu karena seisi kelas memandangnya dengan jenis tatapan iri yang amat sangat.

[12.05]

"Iya, ih lo denger enggak sih, tadi kakak kelas yang itu cerita katanya Kak Katya sama Kak Nathan sender-senderan gitu di kelas norak banget!"

"Enggak nyangka ya ternyata Kak Katya JP juga."

"Ih, Kak Katya genit. Padahal tadinya baik tahu sama gue, cuma enggak tahu deh ya jadi ilfeel."

"Eh eh eh, ssst ...! Diam. Ada orangnya."

"Itu tuh yang namanya Kak Katya."

Dan sepanjang jalan, hanya gosip-gosip receh semacam itu yang Katya dengar. Gosip soal Nathan yang menungguinya tidur, juga Nathan yang menggendongnya sepanjang jalan sudah menyebar. Ya iyalah. Gimana enggak cepat nyebarnya, kayaknya cewek-cewek satu sekolahan ini tuh fans-nya Nathan semua deh.

Kesel ya, cewek-cewek di sekolah Katya nih biang gosip semua. Padahal belum tahu gosip yang disebarinnya fakta atau fiktif, udah asal judge aja. Semuanya berawal dari Nathan dan Katya yang dipanggil ke tenda guru karena Nathan enggak sengaja ketiduran di depan tenda Katya. Apaan coba, random banget. Padahal Nathan sama Katya tuh benar-benar terpisah oleh ritsleting tenda yang Katya tarik turun karena dingin.

Siang itu, Katya sedang jalan sendirian ke perpustakaan untuk mengembalikan buku biologi. Di pinggir lapangan, di bawah pohon mangga, sudah ada beberapa cewek yang menjadi haters Katya Elshadira. Mereka bikin organisasi segala. Namanya IHK, yang memiliki kepanjangan Ikatan Haters Katya. Klompok itu diketuai oleh Kiara. Siapa lagi?

Mereka sudah merencanakan satu hal yang menurut mereka bakal bikin Katya mikir dua kali sebelum ngedeketin Nathan lagi.

Katya berjalan sendirian sambil menenteng bukunya di tangan kiri sedangkan tangan kanannya memegang handphone. Dengan cuek, dia terus berjalan, bahkan tanpa peduli tatapan tajam gadis-gadis itu. Mendadak, sebuah tubuh besar memeluknya, melindunginya, dari suatu hal yang tidak dia ketahui kedatangannya.

Tiga butir telur busuk dengan sukses menghantam punggung, tengkuk, dan lengan pemuda yang memeluknya.

"Nath?" tanya Katya kaget.

"Diam di sini," ujarnya dingin. Pemuda itu lalu menghampiri para anggota IHK yang masih berdiri dengan cengo di hadapan mereka berdua.

"Maksud lo apa?" tanya Nathan, dingin.

"Kak ..., emm ..., maaf ...."

"Maksud lo apa?!" bentak Nathan emosi. Tangannya terkepal kuat, berusaha menahan diri agar tidak mencengkeram kerah baju salah satu dari mereka.

"Kita mau lo putus sama Katya, Nath," ucap seseorang di belakang gadis itu, Kiara.

Nathan terdiam sesaat. "Putus?" Dia mendengus meremehkan. "Lo pikir lo siapa?"

Kiara diam sesaat, lalu mengerang kesal. "Lo tuh bego, Nath! Bego! Dia tuh enggak ada apa-apanya dibandingkan gue!"

"Terus kenapa?"

"ARGH!!" Kiara mengerang kesal, lalu mengentak-entakkan kedua kakinya. "Lo tuh ya, cowok bego! Tolol! Idiot!! Berengsek!!" Tangan Kiara terangkat, siap menampar wajah Nathan.

"Gue tuh -"

Namun, sebelum embusan angin dari tangannya terayun mengenai permukaan kulit Nathan, Katya terlebih dahulu menahannya.

"Jangan!" sahut Katya dingin. "Jangan jatuhin harga diri lo sendiri dengan ngejar-ngejar Nathan, Ki."

Mata Kiara mlotot marah. Siapa juga yang mengejar-ngejar Nathan? Alasannya berusaha memisahkan mereka berdua jauh lebih bagus dari itu.

Sementara Katya membawa Nathan pergi, Kiara berdesis. Mungkin harga dirinya memang terinjak-injak. Namun satu hal yang selalu menjadi motto hidupnya.

Gue enggak akan pernah lepasin apa yang seharusnya jadi milik gue gitu aja, Katya. Enggak.

Dan satu satunya cara untuk mendapatkan miliknya adalah dengan menjaga Nathan tetap available sampai gadis itu kembali.

*****

"Baju lo bau amat, Nath! Buka, buka," perintah Katya. "Parah ya si Kiara barbar amat."

Katya mengacak-acak laci terbawah dari lemari obat yang ada di UKS.

"Lo nyari apa, sih?" tanya Nathan.

"Baju lo bau, enek gue nyiumnya."

"Enggak penting tahu enggak? Udahlah enggak usah."

Katya menghentikan gerakannya saat sepasang tangan menahannya dari belakang.

Sebuah seringai terbentuk di bibir Nathan saat dilihatnya gadis itu terdiam menatapnya. "Lepas sweter lo," katanya.

"Hah? Sweter?" Katya bertanya, gugup.

"Cepat sebelum gue masuk angin!"

"Lo yakin mau pakai sweter gue?"

"Gue juga tau itu sweter punya abang lo."

Well, Nathan benar. Sweter bertuliskan 'The 1975' itu milik Agatha. Katya membuka sweter berwarna biru navy itu dan menyodorkannya kepada Nathan. Cowok itu mengernyit saat menghirup aroma segar strawberry yang menguar. Namun, dia tetap memakainya.

Ya iyalah, lo gila? Seorang Nathan Wirasetya berkeliaran dalam kondisi topless di sekolah? Cewek-cewek pada pingsan entar.

Untungnya, sweter itu pas di tubuh Nathan. Dia lalu menatap Katya seolah jagad raya terbentang di hadapannya. Seolah satu-satunya hal yang menjadi alasannya tetap hidup ada di sana. Seolah Katya adalah hal yang membuatnya kokoh.

Untuk sesaat, keduanya hanya bertatap-tatapan sampai seorang siswa anggota PMR membuka pintu dan memergoki. Dia tidak jadi masuk, hanya membuka pintu lalu menutupnya lagi dengan cepat.

"Em ..., kita keluar aja, yuk!" usul Nathan. Dia berjalan mendahului Katya.

"Gimana kalau kita pulang aja?" usul Nathan tiba-tiba.

"Hah? Ta ... tapi kan gue masih ada pelajaran Fisika habis ini, Nath."

"Ck, gampang. Pokoknya lo balik sama gue sekarang."

*****

KATYA

"Katya."

Gue malu. Ngapain coba tatap-tatapan enggak jelas kayak tadi.

"Katya?" ulang Nathan.

Gue menoleh ke arah Nathan yang sedang menyetir. "Apa?"

Nathan kayak mau ngomong sesuatu, tapi ditelan lagi sama dia. "Enggak." Tuh kan, nyebelin banget.

Tapi gue malah diam. Kenapa sih gue enggak bisa bebas nunjukin emosi gue ke Nathan kayak apa yang gue lakuin ke Agatha? Kenapa gue kayak nurut-nurut aja sama semua kata Nathan tanpa ngelawan. Seriously, gue harus tahu gimana caranya Nathan melet gue.

"Lo sakit?" Tiba-tiba tangan Nathan nemplok di jidat gue. Ya kali. Sakit jiwa mah iya aja. "Tumben lo diam aja."Ujarnya.

Wait, jangan sampai Nathan bahas soal yang tadi.

"Oh, gue tahu," ujar Nathan tiba-tiba.

"Apa?" Please, jangan soal yang tadi. Please.

"Pasti lo kepikiran ya?"

Tuh kan. Apa gue bi-

"Pasti lo kepikiran fisika, ya? Ck, lo tuh ya. Sekali-sekali jangan kaku amat. Mabal sekali enggak apa-apa kok. Enggak asyik banget lo jadi anak SMA, enggak pernah mabal."

"Eh ..., ehehe ... iya." Gue tertawa terpaksa. Garing, kayak donat kelamaan ditaruh di kulkas.

"Udahlah, Kat, relax. Selama lo sama gue, aman deh," katanya, seolah Agatha enggak pernah ada di bumi. Mana bisa gue aman dari Agatha, hah? Mana bisa.

Nathan melirik gue sambil tersenyum, dan gue memperhatikan matanya. Mata itu, dalam. Mata itu mampu mengunci tatapan untuk terus menatapnya tanpa henti. Matanya, entah bagaimana, selalu memiliki pesona yang begitu kuat. Bikin gue terperangkap.

Tuh kan, gue udah mulai ngelantur.

Enggak lama, mobil Nathan berhenti. Dan, kami ada di rumahnya. Oh, great. Gue belum kenalan sama nyokapnya Nathan. Pokoknya hari ini gue harus kenalan.

"Tunggu," kata Nathan.

Eits jangan bilang gue mau dikunci di mobil. Hell no! Gue cepat-cepat membuka pintu sebelum Nathan kunci.

Begitu gue keluar, Nathan berdiri di depan gue dengan tatapan kesal. "Gue bilang tunggu. Enggak sabaran banget, sih? Gue kan mau muter buat bukain lo pintu."

"Ya habis, gue kira lo mau ngunciin gue di dalam biar gue enggak bisa ketemu nyokap lo," sungut gue.

Nathan terkekeh. "Dia lagi enggak ada. Udah yuk masuk!" Nathan lagi-lagi menggandeng tangan gue. Please deh, Nath. Gue udah gede. Enggak perlu lo pegangin juga gue enggak akan hilang kok.

"Lo tunggu di sini dulu. Gue mau ganti baju ke atas," katanya. Nathan menghilang di balik tikungan tangga, ninggalin gue di ruang tamu besar ini sendirian. Kayaknya orangtuanya emang lagi enggak di rumah-atau mungkin emang enggak tinggal di sini, soalnya sepi banget. Cuma ada suara-suara orang nyapu di taman belakang, mungkin pembantunya.

Gue menatap sekeliling. Banyak lukisan yang digantung di tembok. Mulai dari lukisan bunga, sampai lukisan cewek setengah telanjang. Dari penilaian gue, bokapnya Nathan pasti serius dan artistik. Gue berdiri, dan berjalan ke meja terdekat yang di atasnya banyak banget foto-foto. Banyak foto Nathan. Banyak banget. Delapan puluh persen foto yang ada di meja itu adalah foto Nathan, yang sebagian besar kayaknya diambil waktu dia masih SD.

Lucu. Serius deh. Nathan versi bocah tuh lucu banget, enggak kayak sekarang nyebelinnya bikin gue pengin nyelupin kepalanya ke sumur barengan sama Sadako.

Tiba tiba, ide iseng muncul di kepala gue. Foto ah. Terus, masukin deh ke Snapchat. Gue mengangkat salah satu figura yang berisi foto Nathan sedang memeluk seekor anjing, terus gue foto deh. Lucu deh, anjingnya.

Enggak deng, Nathannya juga lucu kok.

"Ekhem ...." Seseorang berdeham. Dan, gue tahu banget itu bukan suara Nathan. Jangan bilang itu bokapnya? Gue berbalik, nemuin cowok yang enggak kalah gantengnya sama Nathan dengan kaus oblong maroon dan celana pendek khaki.

Cowok itu ganteng banget, udah macam nikmat Tuhan mana lagi yang kaudustakan. Ya ampun, kenapa Nathan enggak pernah bilang kalau dia punya spesies seganteng ini di rumahnya?

"Eh, sorry .... Saya pikir enggak ada orang," ucap gue sambil menaruh figura itu ke tempatnya semula.

"You must be Katya, right?" tanyanya dengan aksen British yang kentara.

"Emm ..., yes," jawab gue, terdengar bingung. Dia tahu nama gue dari mana coba?

Cowok itu maju sambil tersenyum. Alamak, enggak kuat Hayati. Dia menyodorkan tangannya ke hadapan gue. "Gue Dio, sepupunya Nathan," katanya.

"Oh, gue ..., Katya .... Eh ..., tapi lo udah tau ya?"

Dio ketawa. Please berhenti senyum atau ketawa. Lo enggak mau kan gue mati diabetes di sini? "Santai aja kali, Kat. Gue enggak gigit kok," jelasnya. "Eh iya, lo mau minum apa?"

"Apa aja deh, terserah." Heran gue, Nathan kok blangsak banget padahal sepupunya gentleman gini.

"Oke." Dio berbalik menuju dapur.

Enggak lama, Dio balik lagi dengan dua kaleng soft drink di tangannya. Emang ya, cowok. Mana ada yang mau ribet. "Kalian baru balik sekolah?"

"Iya."

Terus hening. Baik dia maupun gue sama-sama enggak tau harus apa.

Gue memutuskan untuk membuka suara. "Emm ..., lo tinggal di sini? "

"Oh, iya. Gue kuliah di luar. Lagi libur, jadi gue pulang." Mampus, ternyata dia lebih tua dari gue.

"Oh ..., eh ..., sori, Kak. Gue pikir kita ... hehe, seumuran."

Dio ketawa lagi. "Santai aja, enggak usah pakai 'kak' segala."

Gue menatap ke sekeliling, dan mata gue berhenti di salah satu foto di mana Nathan dengan orang yang menurut gue adalah kakeknya.

"Itu Nathan sama kakeknya?" tanya gue.

Dio menoleh ke arah foto yang gue tatap. Entah kenapa, wajahnya berubah jadi agak sendu. "Iya. Itu kakeknya Nathan," kata Dio.

"Lucu ya, mereka keliatan dekat banget."

"Iya, mereka emang dekat. Banget. Kakek sayang banget sama Nathan. Sampai gue iri liatnya," ujar Dio dengan senyum kecut. "Dulu Nathan sering tinggal sama Kakek, soalnya mama papanya sibuk. Nathan selalu bareng Kakek, dan gue rasa itu yang bikin mereka deket banget. Apalagi, Nathan adalah cucu satu-satunya."

Gue manggut-manggut. Tunggu, cucu satu-satunya? Berarti Dio siapa?

"Nenek gue adalah adik kakeknya Nathan. Berarti, gue anak dari sepupu nyokapnya. Ya, gitu lah. Gue juga nggak ngerti," katanya langung menjelaskan. "Kakek akhirnya memutuskan untuk membiarkan Nathan tinggal di sini karena, em, dia punya masalah keluarga."

Gue mengangguk. "Iya, gue tahu."

Sesaat, Dio terlihat kaget. "Lo tahu?" tanyanya tak percaya. "Kok bi -"

"Jadi kalian udah kenalan ya?"

Gue cuma menatap Nathan dengan malas. Plis, Dio lagi cerita. Ganggu aja. Nathan mendekat dan ngasihin sweter gue -ups maksudnya sweter Agatha- dan duduk di samping gue. Rambutnya basah. Ternyata Nathan mandi, pantas aja lama.

Padahal lamain aja biar gue bisa denger cerita Dio lebih lama.

"Ya udah, gue anter lo balik ya. Sekalian makan dulu, lo pasti lapar," kata Nathan. Dia pengertian kayaknya, tau aja perut gue udah kurubuk-kurubuk dari tadi. Ya udah. Gue cuma manggut-manggut aja.

"Dio, gue pulang, ya ...," ucap gue sopan. Gimana pun, dia lebih tua.

"Yoi, hati-hati lo Nath bawa anak orang," kelakar Dio.

Nathan hanya menanggapinya dengan seulas senyum di bibir dan kedikan bahu. Nathan lalu menggiring gue menuju mobilnya. Kali ini, Nathan berhasil membukakan pintu buat gue. How sweet?

Mungkin enggak sih, Nathan berubah? Kalau Nathan mau jadi baik gitu gara-gara pacaran sama gue macam FTV-FTV?

"Kat ...," panggil Nathan.

Gue hanya menggumam. "Tadi lo sama Dio ngomongin apa aja?"

"Hah? Enggak ngomongin apa-apa, kok. Basa basi busuk aja."

Nathan menatap gue sangsi.

"Lo kok bisa sih, punya sepupu ganteng banget kayak gitu? Sumpah Nath, mukanya begitu meneduhkan," kata gue lebay. Tapi emang iya, tau. Mukanya tuh ya seolah membasuh jiwa gue yang haus akan bayang-bayang malaikat surga.

Astaga, sepertinya gue butuh pertolongan medis di rumah sakit jiwa terdekat.

"Ck, alay lo. Baru lihat yang kayak Dio doang udah mau pingsan," ujar Nathan sinis.

"Siapa bilang? Gue enggak mau pingsan kok! Gue cuma-"

"Apa?"

"Kejang-kejang," jawab gue.

Kemudian, Nathan ngakak. "Astaga Kat, Kat."

"Panggil-panggil nama gue mahal ya."

"Halah berapa, sih berapaaa?"

Gue terkekeh. "Jijik lo, sok kaya amat!" sembur gue.

"Emang kaya. Apa sih yang Nathan enggak punya," candanya.

"Halah," gue mendengus. "Pacar punya enggak?"

Nathan menoleh ke arah gue. "Bentar lagi gue punya, kok."

Apa coba? Enggak, enggak. Kat, lo enggak boleh ge-er dulu. Ingat, Nathan playboy-nya kayak apa? Belum tentu juga yang dimaksud itu lo.

"Oh, gitu, ya?" balas gue.

Nathan menaik-turunkan alisnya. "Iya. Tunggu aja. Lo pasti jadi orang pertama yang tau."

Mobil Nathan berhenti di depan salah satu restoran piza di Bandung. Well, sebenarnya ini tipe-tipe piza yang ada di mana-mana. Di Bandung, Jakarta, Kalimantan sampai ke Papua mungkin ada.

Kita masuk ke dalam, dan Nathan langsung memesan meja untuk dua orang. Kelebihan sih, gue kan dihitung setengah. Muehehehe ....

"Lo mau pesan apa?" tanya Nathan.

"Pengin cheese beef fusilli."

"Dessert?"

"Es krim."

"Es krimnya yang mana?"

"Banana split, deh. Minumnya Chocolate milkshake."

Nathan memanggil satu pelayan lalu menyebutkan semua pesanan kami. Setelah pelayannya pergi, Nathan menatap gue. Gue baru mau ngomong sesuatu, tapi handphone gue bergetar.

Incoming call from Agatha ....

Yaa si onta nelepon. "Spadaaa ...!" sapa gue.

"Kamu di mana?"

MAMPUS GUE MAMPUS!! Kalau Aga udah pakai 'kamu' artinya nyawa gue udah di ujung tanduk. Oke fix. Besok gue dikurban.

"Engg ..., ini ... lagi makan." Gue menggigit bibir, satu kebiasaan setiap gue panik.

"Di mana?"

"Di tempat makan atuh, ya kali di jamban."

"Ya udah, cepat pulang." Nadanya tegas dan tak terbantahkan. Doain gue masih bernyawa sampai besok.

Ah udahlah. Mau dikata apalagi gue pasti abis dimarahin sama Agatha.

"Kenapa? Abang lo ya?" tanya Nathan, setelah gue nyimpan lagi handphone. Gue mengangguk. "Perlu gue yang ngomong?"

Huh! Menantang maut banget ini anak. Yang ada dia digampar bolak-balik sama Agatha.

"Hah? Enggak usah, enggak usah ya ampun, enggak usah." Cari mati kalau gue iyain. Nathan mengangguk.

Enggak lama, makanan kami datang. Ulala, dari wanginya aja tuh ya udah bikin cinta. Dan, kami pun makan. Celebek-celebek aja enggak usah dipikirin, pokoknya perut kenyang, hati senang, dompet tenang.

Selesai makan, Nathan langsung nganterin gue ke rumah. Which is, kesalahan besar karena Agatha udah nungguin gue di depan pintu dengan muka seasem mangga muda. Nathan bahkan enggak turun dari mobil. Dia cuma buka kaca samping dan menatap gue yang masuk ke rumah disusul oleh Agatha.

Ya pokoknya kalau besok gue enggak ada kabar, gue udah dikurban sama Aga.

"Dari mana?" tanya Aga dengan tampang superserius.

"Tadi habis makan sama Nathan," jawab gue.

"Gue enggak nanya lo habis ngapain."

Ah, kalau udah gini nih ya kelihatan banget aslinya Agatha. Bawel, jutek, dan nyebelinnya subhanallah enggak ada tandingannya.

"Habis makan piza tadi di depan," kata gue. Agatha menatap gue datar.

"Duduk," titahnya. Gue duduk. Agatha masih berdiri.

"Katya ..., Katya ...," mulainya. "Kemarin tidur sama cowok. Sekarang mabur. Lo ini kenapa sih?"

"Tunggu .., lo tahu dari mana?" sela gue panik.

Agatha mendengus. "Kenapa? Kaget?"

"Enggak," jawab gue. "Gue kan udah jelasin, gue enggak tidur sama Nathan. Dia tidur di depan tenda gue dan gue di dalamnya."

"Perasaan dulu lo tuh enggak kayak gini."

Emang enggak kayak gini. Sebulan ini aja kayaknya gue makin blangsak. Salah sih. Harusnya gue yang bawa-bawa Nathan biar jadi lebih baik, bukan gue yang ikutan nakal. "Iya iya gue minta maaf ...."

"Maaf aja tuh enggak cukup, Katya. Gue butuh act lo." Agatha bangkit, lalu menatap gue dengan sorot kesal.

Gue jadi ngerasa bersalah. Kedengerannya lebay, gue tahu. Tapi ya gimana, Agatha tuh udah susah-susah maksa bokap-nyokap biar gue boleh tinggal sama dia, tapi guenya malah kayak begini. Kan kesannya gue kayak enggak tahu terima kasih.

"Jangan gitu lagi," kata Agatha sebelum akhirnya ninggalin gue ke lantai atas. Gue harus buktiin sama Agatha kalau gue enggak berubah. Gue harus pertahanin pikiran orang-orang bahwa Katya tuh baik dan masih tetap baik bahkan setelah pacaran sama orang kayak Nathan. Harus.

****

Nathan memarkirkan mobilnya di garasi, masuk ke dalam rumah, dan langsung menuju dapur untuk mengambil sekaleng soft drink. Begitu berbalik, Dio berada di belakangnya.

"Jadi yang tadi itu yang namanya Katya?" tanyanya. Namun Nathan hanya bungkam. "Cantik. Cocok buat lo. Dia enggak akan lo jadiin mainan kan,Nath?"

Nathan melirik ke arah Dio. Kini, tatapannya yang semula meremehkan berubah serius. "Katya bukan mainan gue," katanya. "Dia cewek gue."

Dio tersenyum. "Baguslah. Karena gue yakin, Nath. Cewek kayak Katya itu limited edition. Dia mungkin cuma ada satu di bumi ini. Dan lo beruntung buat dapetin dia. "

"Gue udah tau." Nathan berujar dengan cuek. Kaleng soft drink di tangannya dia goyang-goyangkan dengan tak acuh.

"Okay, then. Gue harap Katya bisa bawa perubahan ke hidup lo," ujar Dio seraya melenggang pergi.

Berubah? Terdengar seperti gagasan sia-sia buat Nathan. Namun sampai kapan Nathan mau jadi seperti ini? Sampai kapan Nathan mau dikenal sebagai Nathan yang badung, enggak benar, brengsek seperti ini?

Lagi pula, Katya pantas mendapat pemuda baik-baik sebagai pendampingnya. Dan Nathan percaya bahwa dia bisa. Bisa menjadi seperti apa yang Katya inginkan.

****

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

2.8M 177K 34
Nathanial, ketua OSIS yang banyak disukai orang karena sikapnya yang baik. Namun sayangnya, Adisty yang dia cintai tidak menaruh hati padanya. Melain...
14M 89.1K 11
#rank 1 kategori fiksi remaja ( 5sep2019) #rank 1 kategori remaja (7sep 2019) # rank 1 kategori school (26 Novr 19) Sani delva adhitama, lelaki yan...
3.7M 294K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
29.9K 949 38
Kisah ini bukan cerita tentang seorang badgirl bertemu badboy tetapi seorang cewek buta dan polos bertemu dengan seorang cowok yg tampan dingin dan c...