Another Pain [END] âś”

By goresanlaraf

213K 13.8K 960

[COMPLETED] Mereka pernah berkata, jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Mereka juga pernah berkat... More

I •Hati yang terbalut luka•
II •Yang tak pernah teranggap•
III •Berjuang untuk diri sendiri•
IV •Keluh dan rasa sakit•
V •Terlalu sulit berdamai dengan hati dan keadaan•
Vl •Sosok yang mengingatkannya pada masa lalu•
VII •Khawatir•
VIII •Hari terpenting dan hancur•
IX •Diary depresiku•
X •Kisah tentang duka•
XI •Pulang untuk kembali terluka•
XII •Aku bukan pembunuh•
XIII •Tak berujung•
XIV •Semangat hidup yang di patahkan•
XV •Sembunyi di balik tawa•
XVI •Berkorban•
XVII •Tuhan masih menyayanginya•
XVIII •Hati nurani yang telah hilang•
XIX •Terlalu letih•
XX •Berarti•
XXI •Pupusnya sebuah asa•
XXII •Tak lagi bersama•
XXIII •Tak lagi utuh•
XXIV •Menghindar•
XXV •Hadir untuk di acuhkan•
XXVI •Masa sulit•
XXVII •Rasa yang terpendam•
XXVIII •Ketulusan hati•
XXIX •Kebahagiaan itu semu•
XXX •Sakit yang mendalam dan keputusan•
XXXI •Bukanlah segalanya•
XXXII •Tak akan sendiri•
XXXIII •Selalu salah•
XXXIV •Permainan tanpa garis finis•
XXXV •Opera Tuhan•
XXXVI •Masih disini merakit luka•
XXXVII •Rapuh yang terbalut indah•
XXXVIII •Dalam belenggu•
XXXIX •Setiap sesak mengandung luka•
XL •Mimpi itu tak lagi tentang kebahagiaan•
XLI •Untaian kata yang tak sampai•
XLII •Paksaan untuk tetap bertahan•
XLIII •Bunga merekah yang tak akan pernah layu•
XLIV •Berselimut dengan kenangan•
XLV •Untuk diri yang tak ingin terluka lagi•
XLVI •Luka yang telah pergi dan tak akan kembali•
EXTRA CHAPTER •Timbal balik kehidupan•
AYO KENALAN SAMA DHEGA

EXTRA CHAPTER •MEMORABILIA•

1.2K 82 6
By goresanlaraf

• Playing song : Cakra Khan - Mencari cinta sejati

“Penyesalan terbesar dalam hidupku adalah, tidak pernah memberikan kasih yang utuh kepadanya. Bahkan hingga di ujung tarikan napasnya, air mataku seolah tak ada artinya.”

—Reyga Angkasa

••••

      “Kita harus secepatnya menemukan donor ginjal. Ginjalnya benar-benar sudah tidak berfungsi lagi.”

       Alan menatap sendu ruangan yang di penuhi peralatan medis di balik kaca yang menjadi pembatas antara dirinya dan lelaki di dalam sana. Satu tahun telah berlalu semenjak kepergian Regi, Alan belum mampu mengikhlaskan semua yang telah terjadi dalam hidupnya.

      Kepergian adiknya seolah menjadi rasa sakit tersendiri yang bahkan sama sekali tak ada obatnya. Setiap malam, setiap ia ingin memejamkan kedua matanya—bayang-bayang Regi selalu melintas di pikirannya. Juga satu tahun penuh pun Alan di diagnosa insomnia akut.

      Hingga kini ia berdiri di tempat ini, tempat yang seolah selalu mengingatkan Alan pada kejadian-kejadian pilu—kejadian dimana Regi berjuang dengan rasa sakitnya.

      Namun kini yang berada di dalam sana, yang berjuang dengan rasa sakitnya adalah Reyga. Ginjal Reyga sudah tidak dapat berfungsi dengan baik. Nyatanya Alan sama sekali tidak tahu jika Reyga, adiknya yang memilih melanjutkan sekolah di kota lain—disana menyiksa diri anak itu sendiri.

       Helaan napas terdengar sedikit berat keluar melalui celah mulut Alan yang terbuka, sembari memikirkan apa yang beberapa saat lalu dikatan oleh Dokter—perihal kondisi Reyga yang jauh dari kata baik-baik saja.

      Dimana Alan mampu menemukan donor ginjal untuk adiknya. Mengapa semuanya seolah-olah terasa begitu berat bagi Alan. Kehidupannya sama sekali jauh dari kata bahagia.

      Di tatapnya sekali lagi Reyga yang masih memejamkan mata di dalam sana, “Abang akan pastiin kamu dapet donor ginjal, Rey ... Abang gak mau kehilangan lagi.”

      Tangannya yang kosong tiba-tiba saja terangkat. Nyatanya air matanya menetes begitu saja.

      “Udah cukup Abang kehilangan Mama, Papa dan Regi,” Alan menggantungkan ucapannya, sebelum kembali berbicara dengan tatapan sendu, “Kamu dan Aubrey adalah satu-satunya harapan Abang.”

      Banyak kejadian menyakitkan yang telah Alan terima, kehilangan orang-orang yang ia sayang—mereka pergi begitu saja. Meninggalkan rasa rindu yang setiap detik menghimpit relung dada, menerima kenyataan bahwa rindu itu hanyalah sebatas rindu tanpa bisa kembali bertemu.

      Kaki Alan melangkah pergi dari rumah sakit. Sebelum matahari tenggelam, ia ingin mengunjungi makam ayahnya untuk pertama kali.

🎀

      Gadis itu membuka pintu sebuah ruangan bernuansa putih, pemandangan pertama yang ia temukan adalah seorang Dokter yang tampak begitu seksama memperhatikan berkas-berkas dihadapannya. Lantas mendongak saat pergerakannya tertangkap.

      Dokter itu melepas kacamata lalu menatapnya bingung. “Oh, silahkan duduk ... Apa ada yang bisa saya bantu?”

      Gadis itu tersenyum tipis, mengangguk sopan lalu lekas duduk di hadapan sang Dokter. Sedikit terdengar helaan napas yang panjang, begitu terlihat jelas jika gadis itu mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.

       “Apa ada kendala? Atau ingin berkonsultasi?” tanya sang Dokter sekali lagi.

       Gadis itu membasahi bibirnya sejenak, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sang Dokter. “Saya ingin menjadi pendonor ginjal untuk pasien bernama Reyga Angkasa, Dok.”

       Terdiam dalam beberapa saat, bahkan sang Dokter sendiri tidak percaya jika kini di hadapannya adalah seorang gadis cantik yang terlihat masih sangatlah muda.

      “Nak,” tukas Dokter itu yang memanggil gadis di hadapannya lamat-lamat. “pendonor ginjal tidak bisa di lakukan oleh sembarang orang, juga banyak persyaratan yang harus kami patuhi sebagai Dokter.”

      “Kamu belum berusia delapan tahun bukan?” tanya Dokter itu.

      Gadis itu menatap sang Dokter dengan mata yang berkaca-kaca, jari-jari tangannya yang meremat ujung baju tampak bergetar.

     “Saya mohon, Dokter ... Saya hanya ingin kakak saya hidup lebih lama dan tidak lagi merasakan sakit. Saya, saya sudah kehilangan kakak saya sebelumnya dan saya tidak mau kehilangan lagi.”

      Tatapannya begitu dalam, air matanya sudah terlanjur jatuh lalu di usapnya perlahan. Ruangan itu seketika sunyi, seperti tak ada celah untuk sekedar bernapas sejenak. Rasanya begitu menyesakkan.

      “Saya mohon, Dokter,” pinta gadis itu dengan bibir yang bergetar.

      “Nak.” sekali lagi Dokter itu memanggil gadis di hadapannya. “Saya janji akan membuat kakak kamu sembuh dan bisa berkumpul lagi dengan kalian,” ujarnya.

       “Tapi jika saya mengijinkan kamu sebagai pasien pendonor ginjal, saya bisa di tuntut dan akan menjadi Dokter jahat karena membiarkan anak di bawah umur mendonorkan organnya,” lanjutnya dengan intonasi lirih.

      Kepala gadis itu menunduk, bahunya bergetar hebat. Lalu setelahnya ia menangis sejadi-jadinya.

      Brak!

      Pintu ruangan itu seketika gaduh saat seorang perawat membukanya dengan kasar dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Napasnya yang sama sekali tidak beraturan—menatap sang Dokter ketakutan.

      Mereka pun saling beradu pandang. “Dokter Pasien kamar VIP kritis!”

      Deg. Jantung seakan berhenti berdetak, pernapasan seakan tersumbat. Gadis itu yang jelas mendengar apa yang di ucapkan sang perawat lekas berbalik dengan wajah yang masih basah—jejak air mata yang masih tertinggal.

      Tak urung, di dorongnya kursi yang ia duduki lalu berlari keluar ruangan sembari berteriak histeris memanggil nama sang kakak. Di belakang sana, Dokter dan beberapa perawat ikut berlari tergesa-gesa menuju ruangan yang di dalamnya ada seorang pasien yang sedang mempertaruhkan hidup dan mati.

🎀

     Setapak demi setapak Alan lewati, melewati beberapa makam yang pada kenyataannya akan menjadi persinggahan terakhir bagi umat manusia di seluruh muka bumi.

     Alan tidak membawa apa-apa, bahkan bunga pun tidak. Ia hanya membawa tubuhnya sendiri. Hingga sebuah gundukan tanah yang sudah mengering dan di tumbuhi beberapa tumbuhan liar, Alan berjongkok menatap makam itu dengan tatapan yang sulit di artikan.

      “Meski berat memaksakan kaki Alan untuk singgah di sini, meskit setiap mendengar nama Ayah Alan begitu membencinya ... Papa masih orang tua Alan.” beberapa patah kata Alan lontarkan, Alan tidak tahu harus bagaimana.

     Bahkan untuk sekedar menangis pun tidak bisa.

      “Sulit buat Alan menerima kenyataan bahwa Alan harus kehilangan adik Alan yang bahkan di setiap harinya ... Tanpa Alan ketahui ia berjuang memikul beban dan rasa sakitnya seorang diri,” lanjutnya dengan menatap nanar makam Ayahnya.

      Satu tangan Alan meremat tanah makam yang benar-benar sudah mengering, sorot matanya begitu tajam tertuju pada batu nisan sang Ayah.

      “Papa tahu saking besarnya rasa benci Alan, setahun penuh Alan habiskan untuk tidak sedikitpun menangisi ataupun menyebutkan nama Papa dalam setiap doa Alan.”

      “Apa Alan akan durhaka jika Alan memanggil Ayah sebagai ... Orang tua terburuk yang pernah Alan punya?”

      Katakan saja jika Alan adalah anak yang tidak tahu diri atau bahkan tidak memiliki sopan santun kepada orang tuanya yang kini hanya tinggal nama. Bagaimana tidak, kenangan menyakitkan yang Alam terima tak pernah mampu terlupakan begitu saja.

     Bahkan jika Alan mampu memilih atau Alan memang sejahat itu, Alan akan lebih memilih adiknya dari pada Ayahnya. Sungguh ironi kehidupan keluarganya. Keegoisan Ayahnya yang merusak semuanya hingga melayangkan nyawa anaknya sendiri.

      Drrt, ponsel Alan berbunyi dalam beberapa detik. Awalnya ia sama sekali tak mengindahkan hal itu. Tapi ketika ada panggilan masuk hampir tiga kali, baru Alan memilih untuk mengambil ponselnya dan membaca sebuah pesan.

     Kelopak mata Alan bergetar, napasnya tercekat sebatas tenggorokan. Hanya pesan biasa yang mampu menghancurkan hati Alan.

     📨Pesan baru
Mas Alan, cepat ke rumah sakit. Adik mas Alan kritis!

     Dunia Alan runtuh saat itu juga. Dengan perasaan yang tak karuan, Alan berlari meninggalkan pemakaman tanpa sekalipun berpamitan kepada Ayahnya. Di pikirannya saat ini hanyalah Reyga dan Reyga.

      “Abang mohon bertahan, Rey.”

🎀

      Di bukanya dengan kasar pintu ruangan itu yang mana di sana ada adiknya yang tak berdaya, dengan dada naik-turun—begitu sulit untuk bernapas. Alan berjalan dengan langkah yang tertatih, ia mendekati Reyga yang begitu kurus sekarang.

     Tangisan Aubrey yang bahkan masih lengkap dengan seragam sekolah serta napas Reyga yang setengah-setengah, semua tampak menakutkan.

      Meraih tangan yang masih terasa begitu hangat, lalu menggenggamnya erat. Alan menunduk, menatap wajah Reyga penuh kasih lalu mengusap pipi anak itu lembut.

      “Abang.” tak urung, Reyga memanggil Alam begitu lirih di sela mulut anak itu yang terus terbuka karena sulit bernapas. Tak hanya itu tangannya pun ikut membalas genggaman tangan Alan.

      Satu bulir air mata jatuh pada bahu Reyga, Alan menitihkan air matanya lagi dan lagi. Begitu sakit saat orang yang ia sayangi harus berjuang melawan kejamnya penyakit yang semakin lama semakin menggerogoti tubuhnya.

      “Reyga mau apa?” tanya Alan dengan nada bergetar. “Abang di sini sama kamu, seterusnya akan di sini sama Reyga.”

      “Yakin sama Abang, kamu akan secepatnya dapat pendonor,” lanjutnya sembari sesekali mencium tangan sang adik.

      Reyga tersenyum, lalu pandangan beralih kepada adiknya—menatap gadis itu dengan tatapan sebagaimana seorang kakak yang teramat menyayangi adiknya. Reyga menggenggam tangan Alan dan Aubrey secara bersamaan.

      Sebelum akhirnya kembali berbicara, menatap mereka secara bergantian, “Aku mau di peluk sama kalian, boleh?”

      Aubrey dan Alan terdiam sejenak, menahan tangisan mereka—secepatnya menundukkan badan dan berhambur ke tubuh Reyga, memeluk lelaki itu erat. Tarikan napas Reyga yang begitu dalam dan terdengar susah payah, Aubrey dan Alan menggigit bibir bawahnya ketakutan.

      “Rey seneng banget bisa punya saudara seperti kalian,” tukas Reyga lirih, lebih tepatnya bergumam.

       “Kalau Tuhan kasih kesempatan kedua, aku ingin hidup sebagai saudara kalian lagi ... Sama Regi.”

      Mendengar nama Regi, runtuh sudah pertahanan mereka. Air mata yang berkali-kali keluar menjadi saksi bahwasanya kini tak ada yang lebih menyakitkan dari sebuah keluarga yang hancur lebur.

      “Rey sayang kalian.”

      Alan pun mengangguk, “Abang juga sayang sama Reyga.”

     Alan tidak melanjutkan ucapannya saat dirinya merasa ada yang aneh. Juga tangisan keras Aubrey yang tertahan, membuat Alan bertanya-tanya. Perlahan-lahan Alan merenggangkan pelukan itu, apa yang kini ia lihat seolah hanyalah mimpi belaka.

    Tangan itu sudah tak lagi bergerak, dada itu sudah tak terlihat kembang-kempis, nafas itu sudah tak lagi terdengar dan monitor pendeteksi jantung yang memperlihatkan garis lurus hingga bunyi nyaring itu terdengar begitu jelas.

      Bibir Alan bergetar. Tak hanya itu, tubuhnya pun juga ikut bergetar hebat. Ia langsung menjatuhkan dirinya pada tubuh Reyga yang kini sama sekali tak ada pergerakan. Alan mencoba menggoyang-goyangkan tubuh itu tapi hasilnya sama saja, adiknya atak bergerak.

      Tangisan Aubrey dan masuknya seorang Dokter dan beberapa perawat yang menyuruh Alan mundur kebelakang. Raungan keras dari tangisan Alan yang menggema—kepala Dokter itu menggeleng lemah, hingga mulai mencabuti peralatan medis yang selama ini membuat adiknya bertahan hidup.

      Alan menggeleng kuat, ia menyuruh mereka untuk pergi. Ia mulai memeluk Reyga dengan derai air matanya. Menggunakan sesuatu dan menyuruh adiknya untuk lekas bangun.

      Kematian hari Minggu, pukul 17.30 WIB

      Kini hal yang paling Alan takutkan kembali terjadi, kehilangan seseorang untuk kesekian kali. Seolah Tuhan tak pernah mengijinkan untuk memiliki kesempatan kedua—hidup bahagia bersama adik-adiknya. Dan semua telah pergi, pergi meninggalkan luka yang teramat dalam bagi Alan.

     Bagaimanapun Alan meminta mereka untuk kembali, itu tak akan pernah terjadi. Kini hanya sebuah nama yang mampu Alan kenang. Tak akan pernah ada lagi sosok yang akan ia peluk jika rindu itu datang.

🎀

     3 TAHUN TELAH BERLALU —

     “Kamu baik-baik di sana. Selalu kasih kabar Abang apapun itu. Mulai makan, sekolah ataupun main sama temen.”

      “Kalau ada apa-apa langsung ngomong ke Abang. Kalau uang sakunya habis bilang langsung. Kamu ngerti ‘kan sama apa yang Abang bilang?”

      Aubrey terkekeh geli di balik pelukan Alan, lalu sedikit memukul punggung kakaknya. “Iya, iya. Abang cerewet, deh.” mendengar hal itu Alan langsung mencubit hidung Abrey, membuat adiknya merintih kesakitan.

     “Abang cuma gak mau terjadi apa-apa sama kamu.”

      Aubrey mengangguk paham, hingga ia berhambur memeluk Alan kembali. Memberikan pelukan erat pada kakaknya yang akan ia tinggal dalam beberapa tahun mendatang. Ya, Aubrey mendapatkan beasiswa di Sidney yang bahkan Alan pun tak tahu jika adiknya itu diam-diam mendaftarkan diri untuk melanjutkan sekolah di negara orang.

     Namun bagaimanapun juga, meski dengan berat hati Alan melepas adiknya—Alan juga ingin adiknya memilih jalan hidupnya sendiri, asal itu di jalan yang baik dan benar. Alan akan mendukungnya sepenuh hati.

      Saat pengumuman itu berkumandang, Aubrey lekas melepas pelukannya pada Alan. Ia memegang kopernya dan beberapa barangnya, lalu menatap Alan sekali lagi.

     “Aku berangkat, ya, bang,” tukas Aubrey.

     Alan tersenyum, sekali lagi menggenggam tangan adiknya. “Hati-hati di sana. Kalau Abang ada waktu Abang akan sering jengukin kamu.”

      Aubrey mengangguk sebelum akhirnya berjalan menjauhi Alan dan melambaikan tangan meninggalkan sang kakak. Saat adiknya mulai pergi menjauh hingga tak lagi terlihat, baru Alan menitihkan air mata. Rasanya begitu berat melepas adik satu-satunya.

     Alan mengusap jejak air matanya, ia tersenyum kembali dan akhirnya berbalik pergi sembari mendoakan adiknya yang semoga selamat sampai tujuan.

      Brak!

     “Eh, sorry sorry ... Are you okay?

      Alan memegang bahunya yang sedikit terasa ngilu saat ada seseorang yang secara tiba-tiba menabraknya. Ia mendongak demi melihat siapa yang kini telah menabraknya.

     Saat itu juga Alan terdiam seribu bahasa saat kedua matanya menangkap sosok lelaki yang menabraknya. Alan tak salah lihat atau bahkan berhalusinasi. Secara jelas dan nyata Alan melihat lelaki di hadapannya bagaikan Alan melihat mendiang adiknya...

      Regi.

     Alan tertegun, kedua matanya bergetar. Lantas ia bergerak maju dan memeluk lelaki itu. “Regi?”

     Bagaimana tidak terkejutnya lelaki itu saat Alan yang tiba-tiba saja memeluknya erat. Dengan cepat di dorongnya tubuh Alan keras, lalu di tatapnya Alan sengit.

      “Regi? Iya kamu Regi!”

      Lelaki itu terus mendorong Alan agar tidak semakin mendekat ke arahnya. Dan kali ini ia mendorong Alan terlampau keras hingga membuat lelaki itu tersungkur.

      “Gila, ya, lo! Salah orang lo, dih.”

      Lelaki muda itu buru-buru meninggalkan Alan seorang diri bersamaan dengan kopernya. Alan masih menatap kepergian lelaki yang menabraknya. Sungguh Alan tak salah lihat atau bahkan gila jika lelaki begitu mirip dengan Regi.




Dah, ya aku pamit haha
Babay
Book ini selesai di sini
Jangan lupa baca RUMAH TANPA PINTU
Nanti kalian ketemu Dhega

Continue Reading

You'll Also Like

190K 24.5K 28
Hari itu, ketika mentari membakar senja di singgasana. Meluruhkan jejak basah gerimis di sepanjang ranting yang kehilangan kokohnya. Dan ketika angin...
3.3K 564 12
Aku berasal dari keluarga sederhana yang tidak memiliki masa depan yang jelas Ini kisahku, seorang anak yang menginginkan kehidupan yang layak se...
1.2K 338 53
__________________________________ Cerita tentang sebuah geng yang harus kehilangan seseorang dalam hidupnya karena kesalahan orang tua mereka. Singk...
1K 189 9
" Satya pengen pinter biar di sayang mama sama papa " - 𝑻𝑹𝑰𝑺𝑨𝑻𝒀𝑨 𝑩𝑨𝒀𝑼𝑵𝑨𝑾𝑨𝑹𝑨 " kata papa Satya harus ganti uang yang udah Satya pake...