FLC Multiverse

By flc_writers

2K 220 1.5K

Event daftar ulang member FLC tahun ajaran ke-6 More

1. Selamat Tinggal di Toko Buku Nagare
2. Last Performance
3. Purple Scarf
4. Babysitting Gone Wrong
5. The Alumnus Trap
6. As The Walls Close In
7. Zeit
8. Kesalahan
9. The Killer and the Sinner
10. Mencuri Batara
11. CsCx (Amalgamasi)
13. Bye-bye
14. Sang Pahlawan
15. A Little Prank
16. Rwar
17. Terdampar
18. I Want To Be Alone
19. The Killer is Among Us
20. Apocalypse Revolution
21. Survive di Pulau Misterius
22. No More Way Out
23. Semanggi Empat Daun
24. Perfect Family
25. Galaxy
26. Message from the Future
27. Asrama dan Atmanya

12. Ice Cream

68 8 59
By flc_writers

Tema: Terlempar ke masa depan
Tokoh Utama: Lemon

Gadis itu, Lemon namanya. Ya, mirip sebuah nama buah yang asam dan tidak terlalu digemari oleh anak-anak, tapi apakah memang seperti itu? Lemon yang dijadikan sebagai Lemonade justru akan menyegarkan bukan? Seperti itulah dirinya. Gadis dengan senyum yang menyegarkan mata yang melihatnya, gerai rambut yang hitam mengkilap bak sebuah obsidian yang sangat langka.

Sembari membuka laptop yang penuh dengan stiker karakter anime di bagian penutupnya, jari-jarinya yang lentik mulai bergerak di atas keyboard. Melihat banyaknya buku yang ia baca, mempersiapkan sebuah presentasi yang akan dibawakannya besok di depan dosen pengujinya.

"Harus kuselesaikan malam ini. Aku harus!" Tegasnya pada dirinya sendiri, berusaha untuk memberikan dorongan pada mata yang sudah terkantuk-kantuk itu.

Waktu berlalu, jari-jemarinya yang mulanya cekatan perlahan mulai tersendat-sendat. Tubuhnya yang mulanya tegap, mulai perlahan membungkuk.

Bahkan alunan musik J-Pop yang menemaninya tidak dapat menghilangkan rasa sunyi di kepalanya. Mulutnya kadang menganga, menandakan tubuhnya yang mulai rileks tanpa dia kehendaki.

"Huaaam," dia menguap tanda kantuk mulai menjalar. Jam dinding yang jarumnya semulanya menunjukkan pukul 7 malam kini telah berpindah posisi di angka 1. Sayup-sayup, matanya tertutup, sayup-sayup, kamarnya bak ditiup angin sepoi-sepoi. Hangat, juga sejuk di waktu yang bersamaan.

Begitu matanya perlahan tertutup, sekelebat bayangan sebuah tempat terus-menerus melewatinya. Sebuah kota, kemudian semakin maju, semakin futuristik, hanya dengan sekali tutupan mata. Meskipun begitu dia tidak merasakan apapun, bahkan tidak menyadari apa yang baru saja ia lihat.

Kota yang selalu berkembang, bangunan tinggi terus menjulang ke langit, semulanya dari beton, kemudian berubah menjadi baja, berubah lagi menjadi material bak perak yang mengkilau di bawah sinar matahari memantulkan cahaya. Mobil-mobil bertebrangan, semua itu lewat dalam waktu sepersekian detik.

Hingga

'Jlebb'

Semuanya terhenti. Tidak ada pembangunan, tidak ada mobil terbang, hanya sebuah kota yang hancur. Api menjalar ke seluruh tempat, namun begitu Lemon tetap menutup matanya tanpa merasakan apapun.

Diikuti kilatan cahaya, semuanya kembali hijau. Kali ini, Lemon tidak bermimpi. Ya, dia merasakannya. Sentuhan lembut rumput di punggungnya, angin yang berhembus dari cakrawala.

"Aneh," pikirnya.

"Eum? Dimana ini?" Gadis itu terus bertanya-tanya.

Perlahan, dirinya membuka matanya yang tertutup itu, anehnya kini dia tidak merasakan kantuk sama sekali. Bahkan tubuhnya terasa segar seperti telah tidur sangat lama.

Bukan langit-langit rumah, bukan juga lampu kamar yang ia lihat. Melainkan langit biru dan sinar matahari yang kuningnya lebih hangat dari yang ia pernah rasakan.

"Hah? Hah? Lho, eh, dimana ini?"

"HUWAAA, lho eh, barang-barangku? Ini dimanaa!" Lemon berteriak namun sedikit tertahan sehingga suaranya tidak terdengar jauh.

Dirinya terus merogoh-rogoh kantung di baju tidurnya. Terbangun di sebuah ladang rumput yang luas dengan menggunakan piyama, siapa yang tidak panik ketika mengalaminya.

"Ah, ya, hp, bentar ih, hpku, hpku mana?" Dirinya meraba raba setiap kantung piyamanya hingga akhirnya menemukan sebuah tonjolan kotak di salah satunya.

"Aha!" Berharap menemukan sebuah handphone yang selama ini ia gunakan, yang dia dapatkan hanya sebuah buku catatan kecil yang memang awalnya ia masukkan ke dalam kantung piyamanya itu agar memudahkannya mencatat materi.

"Hah? Hah?" Dia menatap buku itu bingung, darahnya mendidih, namun seketika mesinnya overheat, Lemon langsung merangkul kedua kakinya, membuat tubuhnya nampak seperti sebuah bola yang besar, tapi juga kecil mengingat bentuk tubuhnya yang mungil.

"Oi, oi, oi."

Lemon merasakan ada sesuatu yang terus menusuk dirinya, tidak dalam, mungkin seperti sebuah ranting. Namun dia tidak memiliki energi lagi, rasanya seluruh kekuatannya sudah habis ditambah lagi dirinya yang saat itu tengah kebingungan.

'Pukk'

Sesuatu itu menyentuh pinggangnya, membuatnya tersentak kaget.

"Hei!" Seru Lemon yang tiba tiba berdiri karena geli. Di depannya dia melihat seorang anak kecil tengah memegang ranting dan sebuah... Es krim? Hidungnya nampak hampir ingusan karena es krim yang dia makan di tengah cuaca yang sejuk ini.

"Ngapain mbak?" Tanya anak lelaki itu dengan suara yang cempreng, juga sedikit terisak akibat ingus di hidungnya.

"Bocah nakal, apa yang kau lakuin di sini?"

"Lah, aku yang seharusnya nanya. Tuh, itu, di sana rumahku," ucap anak itu seraya menangkat tangannya dan menunjuk ke sebuah rumah yang tak jauh di bawah lahan hijau itu. Begitu ya, ternyata ini perbukitan, begitulah pikir Lemon.

"Kau ngapain mbak? Mabuk?" Tanpa rasa bersalah, hanya murni penasaran dia bertanya lagi.

Seketika rasa gundah di hati Lemon sirna. Dia mulai sedikit tenang, melihat bocah itu yang secara penampilan seperti tidak waras, atau mungkin hanya sekadar bocah ingusan saja.

Bajunya layaknya baju lama, ya, mungkin sekitar tahun 80an? Atau mungkin lebih jauh, seperti baju rakyat jelata di era abad pertengahan. Hanya seperti baju dan celana pendek yang cukup tipis.

'Hebat juga dirinya dapat menahan gempuran angin sejuk ini dengan pakaian seperti itu'

"Siapa namamu?" Tanya Lemon.

"Aku Haru, pemuda terpintar di desa ini dan akan menjadi artis, mbak mabuk?" Pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.

"K-kau mau aku pukul?" Geram Lemon sambil mengepalkan tangannya. Meski berkata demikian, tidak ada niatan sama sekali di hatinya untuk menyakiti bocah itu.

"Eh, otototo, ga ga, ya habisnya, mbak sendirian di atas bukit, terus meringkuk gitu," ucap Haru.

"Jomblo kah?" Lanjutnya.

"Hei! Ngga yaa, apa yang bocah kecil kayak kamu ngerti soal cinta?"

"Bisa dapet duit sih kak, kata mama."

Lemon terkikih, lagipula lawan bicaranya hanya seorang anak kecil, wajar saja jika pikirannya masih terpengaruh oleh orang sekitar.

"Kamu tahu ini dimana, Haru?" Kembali ke realita yang sedang ia jalani, Lemon mulai menanyakan tentang apanyang terjadi pada dirinya.

"Hoho, kamu penasaran ya. Kakak sekarang ada di desa Cikosaka!" Ucap Haru dengan rasa bangga sambil membentangkan tangannya, melihat ke arah desa yang ada di kaki bukit tempat mereka berpijak.

Hamparan lahan hijau, yang semakin luas di depan, rerumputan bergoyang mengikuti gerakan angin yang berhembus. Desa yang asri, desa yang damai. Desa yang mencerminkan sebuah pedesaan yang sangat tradisional, mirip desa di pegunungan pada umumnya di tempat asal Lemon, Indonesia.

Cikosaka, nama yang belum pernah ia dengar. Terdengar seperti sebuah nama di Jepang? Tapi kelihatannya tidak ada kebudayaan Jepang yang ditampilkan di desa itu. Atapnya, bentuk bangunan, dan pakaian warga desa. Bangunan rumah rumah warga lebih menyerupai bangunan yang ada di negara-negara benua Eropa, berbahan kayu dan juga ijuk, sangat sederhana dan tidak terlihat adanya kabel-kabel listrik di sekitar desa.

Pakaian mereka juga demikian, mirip seperti pakaian abad pertengahan di film sejarah yang pernah Lemon tonton. Yah, sebenarnya, yang tidak sengaja ia tonton karena dipaksa temannya.

Sekilas, dia merasa sedang berada di Eropa.

Lalu terlintas lagi di benaknya.

'Tunggu, kenapa Haru bicara bahasa Indonesia dengan lancar bukankah namanya terdengar seperti nama Jepang? Bahkan, sekilas, aksennya mirip aksen Sunda'

Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan,

"Mengapa Cikosaka?"

"Mengapa desa ini tidak ada akses listrik?"

"Artis? Mengapa Haru tahu tentang artis jika tidak ada listrik?"

Anxiety nya mulai muncul, rasanya sangat gugup, dan berat untuk terus melanjutkan, energi sosialnya sudah habis hanya untuk memikirkan hal-hal aneh yang terjadi pada dirinya dan mengobrol dengan Haru. Namun, jika dia tidak bertindak, tidak akan ada jalan pulang lagi.

Perlahan, dia duduk kembali di atas rerumputan. Haru yang mendengar suara saat dia duduk, hanya berbalik badan dan terus menjilati es krim yang ia pegang dan menepuk-nepuk pundaknya dengan ranting kayu di tangannya yang satunya.

"Mabuk kak?"

"Enggaaaa, hei," Ujar Lemon lirih. Lemon ingin mengacuhkannya, tetapi entah kenapa, tidak bisa, ada sebuah energi yang membuatnya harus terus menanggapi candaan bocah tengil yang menyebalkan itu.

"Kenapa kak?" Sambil terus menjilati es krim yang ia jilat, dia melihat ke arah Lemon yang nampak frustasi.

"Har? Haru? Ngapain kamu?" Sebelum Lemon sempat membalas, dari kejauhan terdengar suara wanita yang lembut, tapi juga tegas.

Perlahan, muncullah sumber suara tadi, gadis yang kiranya hampir seumur dengan Lemon jika dilihat dari penampilannya. Menggunakan kain panjang, mungkin sedikit terlihat seperti dress, atau mungkin daster yang sederhana.

Matanya menatap bingung gadis yang terduduk di rerumputan.

"Siapa ini Har?" Tanya nya.

"Oh, ini, eumm... Gatau, Kapuy, kakak siapa namanya?" Tanya Haru sambil melihat ke arah Lemon.

"Oh ya, ini Kapuy, kakak perempuanku, mwehehe, dia orang terpintar kedua setelahku," lanjutnya.

Kapuy adalah panggilan Haru untuk pemudi itu.

Digerayangi tatapan penuh tanda tanya. Lemon akhirnya mengatakan namanya.

"Namaku Lemon, Eumm... Salam kenal Kapuy."

Kapuy tetap menatapi Lemon. Lemon yang merasa bingung pun berusaha mencairkan suasana.

"Aah, ah itu, kau tahu, Lemon, seperti nama buah."

Kapuy tetap diam, dia menoleh ke arah Haru, melihat kakaknya menatap dirinya. Haru hanya tersenyum lebar.

"Hah.... Salam kenal Lemon, panggil saja aku Fuyu," ujarnya yang kini sudah sedikit lebih santai.

"Jadi, darimana kau datang Lemon? Dan buah apa yang kau maksud? Apa kau berasal dari buah?"

"Aha, hahaha, bukan, namaku Lemon, ibuku sangat suka buah Lemon, entah kenapa dia menamaiku begitu," balas Lemon sambil tertawa kecil.

"Aahh, begitu, ya."

"Aku datang dari negeri yang jauh, entah kenapa tiba-tiba aku sampai di sini. Apa kau tahu kita ada dimana Fuyu?"

"Ah, aku bukannya tidak tahu, tapi ini pertama kalinya aku tiba di sini, jadi, kau tahu, aku butuh informasi, atau mungkin peta?" Lemon melanjutkan.

"Ara, kau tersesat, ya? Ayo Haru, ajak Kak Lemon ke desa. Ayo Lemon, akan kuajak kau berkeliling sejenak," ujar Fuyu dengan suara yang lebih lembut.

Haru mengiyakan perintah kakaknya, segera menarik tangan Lemon dan menuntunnya untuk berjalan.

"Pshh, pshh, kak kak," Haru memanggil Lemon sambil berbisik. Tak lama Lemon membungkukkan badannya dan mendengarkan apa yang ingin pemuda itu sampaikan.

"Kakak jangan tanya tanya tentang umur Kapuy ya, meski kelihatannya gitu, dia udah 30 tahun, shhh. Dan jangan ngomongin tentang pernikahan."

Setelah berkata seperti itu, Haru kembali berjalan seperti biasa. Membuat Lemon ternganga tanpa informasi lebih lanjut lagi.

Tak lama, desa yang dari kejauhan tadi, sekarang sudah perlahan terlihat. Desa yang sederhana, yang tidak kumuh, juga tidaklah bersih sepenuhnya, jalannya masih berupa tanah, beberapanya berlumpur karena becek akibat hujan.

Mereka berkeliling desa, melihat pasar dan sebagainya.

"Ei, Fuyu, mampir atuh," begitu mereka melewati sebuah warung, seorang pria keluar mengundang kami untuk makan di sana.

"Ehe, iya Bang Galaxy, nanti nyak, Fuyu lagi ngajak sodara keliling," balasnya.

"Oalah, ini teh sodara nya Fuyu? Ih meni geulis nyak."

Lemon tentunya familiar dengan suara itu. Ya bahasa yang tidak asing di telinganya, bahasa Sunda.

"Eumm, iya mang, si mamang bisa aja," Fuyu menengahi, Lemon di belakang hanya bisa tersenyum malu, tersipu, namun juga sedikit ketakutan.

Melihat itu Fuyu langsung menarik Lemon dan Haru.

"Kami pergi dulu nyak mang, ntar kita ngobrol-ngobrol lagi," ujar Fuyu.

"Aman mah sama mamang, sok sok, silahkan."

Mereka lanjut lagi berjalan, melewati satu persatu rumah warga, pepohonan yang cukup rindang, asap asap dari dalam rumah menandakan adanya perapian.

Tak lama, mereka tiba di sebuah rumah. Satu satunya rumah yang cukup besar di desa ini, dan berada di ujung jalan.

"Ayok, masuk," ajak Fuyu.

"KA FUYUU!!" Begitu mereka memijak ke masuk ke pekarangan rumah tersebut. Dua gadis kecil berlari keluar. Mereka hampir serupa, kembar namun tidak identik. Yang satunya dengan rambut coklat berkilau, satunya dengan rambut hitam pekat.

Mereka berlari ke arah Fuyu, seraya langsung memeluknya.

"Ka Fuyu ayok main!" ajak salah satunya, gadis dengan rambut coklat. Matanya berbinar-binar menunggu jawaban Fuyu.

"Ayok, ayok kak!" gadis satunya mengikuti.

"Nanti, ya, Rara, Nina. Kakak ada urusan dulu sama kalian, nanti kita main, oke?" Bujuk Fuyu.

"Huuuu, apa sih, Rara Nina. Sok asik bener lari lari gitu ke Kapuy," ejek Haru.

Rara, gadis berambut coklat dengan muka chubby, Nina, gadis dengan rambut hitam yang memiliki perawakan sedikit tomboy, keduanya menatap Haru sinis.

Haru yang merasa terancam pun segera menarik tangan Lemon.

"Kak kak, gebuk," ucapnya santai seraya menunjuk ke arah mereka.

"EI, Heh, ngomong apaan, mana boleh!" Sanggah Lemon yang diikuti oleh tatapan tajam dari dua bocah di depannya yang masih memeluk Fuyu.

Lemon kemudian berjongkok di depan mereka, Fuyu yang melihat hal itu hanya tersenyum melihat dua gadis yang memeluknya erat tadi kini mencengkram pegangan mereka. Merasa takut, atau hanya aneh karena pertama kalinya mereka melihat seorang pendatang.

Rara dan Nina memang sebenarnya sudah menghafal dan kenal dengan seluruh warga desa di usia mereka yang muda. Mereka dapat akrab dengan orang, namun ada kalanya sifat alami anak kecil mereka lebih besar daripada keingintahuannya dan membuat mereka takut untuk menghadapi apa yang ada di depan mereka. Seperti saat ini, dua bocah itu tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, Lemon bukanlah warga desa, juga bukan tamu dari salah watu warga, hanya seorang pendatang asing.

Lemon memahami hal itu dan mencoba untuk tidak menakuti mereka lebih jauh. Dia merendahkan tubuhnya, membuatnya dapat berkontak mata dengan kedua gadis kecil itu.

"Ga apa Rara, Nina, kenalin, namaku Lemon," ucapnya lembut.

"Lemon? Seperti... Buah Lemon?" Rara bertanya kebingungan.

"Kamu Rara kan? Kamu tahu buah Lemon?" Pemudi itu sangat antusias mendengarnya, padahal itu hanya sebuah kata sederhana yang mungkin tidak berarti. Tapi bagi Lemon, mungkin ada sebuah petunjuk di dalamnya.

"Eum... Iya kak, Rara sempet baca buku tentang buah-buahan."

"Iyap, bener, aku sama Rara suka baca-baca buku kak," Nina menimpali.

"Ahhh, pinter kalian ya, masih TK udah pinter baca buku," Lemon sangat antusias mengikuti pembicaraan itu. Terlihat senyumnya sangat sumringah, dan bahkan dirinya secara cepat menyimpulkan kalau Rara dan Nina adalah anak TK.

"Lho, TK, kak?" Tanya Rara.

"Iya, TK, kalian ga tau? Di sini ga ada TL ya?"

Sebelum sempat Rara menjawab, Nina menutup mulut saudarinya.

"Masuk ke dalam dulu aja, kak."

Nina menarik tangan Fuyu. Dirinya pun memberi tanda Lemon untuk mengikuti bersama dengan Haru.

"Om Nathan, permisi, om," ucap Haru begitu dia memasuki rumah Rara dan Nina dan melihat orang tua mereka sedang menyeruput kopi.

Nathan hanya mengangguk memberi balasan kepada sapaan Haru.

Mereka masuk lebih dalam ke rumah besar itu, hingga akhirnya tiba di sebuah dinding. Nana segera menekan-nekan ubin di dinding, ubin tersebut masuk ke dalam, membentuk pola di bagian luarnya. Kemudian,

'Whush'

Sistem keamanan yang telah dipasang sudah terbuka. Begitu dinding itu bergerak, sebuah ruangan di baliknya mulai terlihat. Ruangan yang bermandikan cahaya neon biru seolah-olah ini adalah bagian dari sebuah kapal luar angkasa.

"Ayo masuk kak."

Tak sempat terkagum, mereka semua kembali mengikut Nina dan Rara yang terus menarik tangannya Fuyu.

Semakin dalam, terungkap sebuah perpustakaan besar yang canggih, yang sangat tertutup bagi pengunjung selain yang masuk lewat pintu dinding tadi.

"Kak, kak, sini kak," Rara segera bergegas melepaskan Fuyu, dan lari menuju sebuah rak. Dia melambai-lambaikan tangannya agar mudah dilihat.

Dari rak itu, dirinya mengeluarkan sebuah buku tebal. Buku besar dengan sampul kecoklatan yang sudah pudar dengan kertas yang terlihat menguning dari bagian sampingnya.

Rara kemudian meletakkan buku tersebut di sebuah meja.

"Buku apa ini Ra?" Tanya Lemon. Nyatanya semua orang di ruangan itu bertanya-tanya tentang isinya kecuali Nina. Tidak ada tulisan judul di sampil buku itu, bahkan tidak ada penjelasan sama sekali buku apa itu.

"Ini buku Rara temuin di kamarnya kakek Rara, kak. Dia dulunya sepuh di desa, jaadii punya banyak banget buku-buku tua," balas Rara sambil mengusap dan meniup debu yang ada di sampul buku itu kemudian membukanya perlahan.

Begitu bukunya terbuka, barulah terlihat penjelasan tentang isi buku itu.

'Journal of Human History'

"Jurnal Sejarah Manusia?" Lemon bertanya.

Rara dan Nina mengangguk.

Kemudian mereka langsung membuka halaman yang ingin mereka tuju, seperti sudah menghafal seluruh isi dan posisi bacaan di buku tersebut.

"Ini Kak," ujar Rara kepada Lemon, mengisyaratkannya untuk membacanya.

"Lemon, buah yang sudah hilang dari peradaban di tahun... 2070?"

Lemon terus membaca apa yang tertulis di buku itu, dengan sebuah gambar mirip buah Lemon di bagian atas sebelum penjelasannya.

"Perubahan iklim pada kurun waktu tersebut secara massif menghilangkan beberapa jenis tanaman, terutama Lemon yang juga kurang diminati sehingga budidaya dan penjagaan buah tersebut kandas...."

Dia terus membaca dan membaca. Penuh kebingungan. Apa 2070? Lalu jika itu sudah lama, tahun berapa ini? Pertanyaan seperti itu terlintas di benaknya Lemon.

"Maaf Rara, kakak ga ngerti, ini maksudnya gimana ya?" Tanya Lemon, enggan untuk membaca lebih lanjut sebelum tahu apa yang sedang terjadi.

"Nina cuma bisa ngasih teori, kakak bukan berasal dari zaman ini kak. Sebentar," Nina menimpali. Membalik halaman buku itu lagi sampai pada sebuah titik dimana gambar ilustrasi yang menunjukkan penembak roket dan tentara.

"Di tahun 3700-an manusia memulai perang dunia pertama melawan sebuah kerajaan yang terbentuk secara otoriter. Namanya Kekaisaran Hex. Yang mendorong semua negara mau besar atau kecil untuk mundur dan menganeksasi mereka, atau menyerah menjadi bagian dari Kekaisaran," ujar Nina.

"Iya kak, desa ini juga termasuk di wilayah kekaisaran," Rara menambahkan sambil menunjuk sebuah peta di buku.

Peta yang tidak Lemon kenali sama sekali.

Indonesia telah berkurang, menjadi sebagian kecil pulau Sumatera, Jawa Tengah, Kalimantan, beberapa wilayah Sulawesi dan sebagian Papua yang masih nampak di peta. Sisanya telah berubah menjadi lautan.

Namun ada hal lain lagi yang membuat Lemon ternganga. Sebuah nama yang jelas di sana, Kekaisaran Hex yang wilayahnya membentang dari Australia, hingga ke India. Beberapa negara bagian Amerika Utara, bagian bawah dari Amerika Selatan, sebagian dari Afrika, setengah Jepang, dan bagian selatan Tiongkok. Sebuah wilayah yang sangat massif.

"Apa ini?"

"Kekaisaran Hex, kak. Mereka terus menekan negara lain, mengambil buku-buku, dan menghapus sejarah negara lain. Kakek, adalah pionir yang menulis buku ini melanjutkannya dari buyut kami, ayahnya kakek, dan kami yang akan melanjutkan untuk terus mencatat apa yang sebenarnya terjadi."

"Ga ada yang tahu sejarah dunia selain dari buku ini, kak. Dan, hanya ada 5 di dunia, ke 5 nya ada di sini karena teman kakek yang lain tidak ada penerusnya," ujar Nina dan Rara bergantian.

"Sebentar, kalau Kekaisaran Hex ada di tahun 3400-an dan memulai perang, sekarang tahun berapa?"

"Eumm... Menurut catatan di buku ini kak, hal terakhir yang kakek catat, itu migrasi warga desa ini dari sebuah wilayah namanya Bandung. Warga Bandung mengarungi lautan dan tiba di wilayah Jepang saat itu. Kurang lebih desa ini sebenarnya mirip imigran gelap di Jepang. Mereka bangun pemukiman di bukit ini, dan tetap di sini ga tersentuh, sebelum akhirnya Kekaisaran Hex memulai invasi ke Jepang," jelas Rara.

"Iya kak, dan itu saat umur kakek masih muda sekitar 10 tahun. Kalau ga salah di tahun 3579," tambah Nina.

Seketika tubuh Lemon lemas.

"Hah? 3579?"

"Iya, kalau ditambah sama umur kakek sebelum dia meninggal, umurnya saat itu 80 tahun, sekarang kurang lebih, di tahun 3659."

"T-terus... Astaga, 2024... Ke 3659, apa ini? Kamu nge-prank kakak?" Tanya Lemon sedikit geram.

"Ngga kak, ini serius."

Lemon terduduk di lantai, Fuyu yang melihat itu langsung merangkul Lemon. Haru tetap menjilati es krimnya dengan santai.

"Maksudnya gimana ini, Ra?" Tanya Fuyu.

"Kak Lemon bukan berasal dari zaman ini kak. Dia dari tahun 2024, yang sangat lama dan jauh dari tahun ini. Bisa dibilang kak Lemon adalah Time Traveller"

"Lalu? Ada cara biar dia bisa balik lagi?"

"Ada sih kak."

"Kuncinya ada di Haru," sambung Rara."

"Haru? Kenapa Haru?" Tanya Lemon dengan suara lirih.

"Es krim yang Haru makan itu ada proses fermentasinya. Karena prosesnya lama, di zaman ini fermentasi menggunakan mesin waktu, dan ya partikel waktunya masih tertempel di sana," ujar Nina.

"Lho, eh?"

Haru ternganga, es krim di mulutnya sudah hilang, hanya menyisakan stik kayu di mulutnya.

"Ga apa, Har. Aku ada simpen di kulkas," kata Rara.

Dia membuka kulkasnya, dan mengambil sebuah plastik es krim dari sana. Hampir tidak berbentuk, dan sudah berada di wadah lain.

"Kami pakai ini untuk diteliti, dan ya, partikelnya masih ada. Udah lama sih, tapi sepertinya masih bagus."

"Hah?" Lemon mundur dari tempat duduknya.

"Nih kak."

Begitu plastiknya dibuka, aroma aneh mulai memenuhi ruangan itu.

Lemon keringat dingin, membayangkan benda itu masuk ke mulutnya.

"Eh eh, tunggu deh Ra, eh Rara," Lemon terus mundur dan Fuyu berusaha memeganginya.

"Nih kak, buka mulutnyaa, aaaa..." Kata Rara sambil mengambil sendok kayu dan menyekop es krimnya dari dalam.

"Aaaa, AAAAAAAAA!"

Lemon terus dipegangi dan hidungnya dipencet agar mulutnya terbuka.

Dan begitu es krimnya masuk ke mulutnya Lemon. Dirinya jatuh dan pingsan saat itu juga.

Gelap, tanpa penglihatan di dalam tidurnya itu. Lemon mencari-cari jalan di dalam mimpinya yang gelap itu.

"RARA!" Lemon terbangun, di tempat yang sepenuhnya berbeda.

"Hah? Hah? Ra? Rara? Nina? Fuyu? Haru?"

"Eh, ini. Kamarku?"

Seketika, air mata menetes dari mata Lemon. Membasahi pipinya. Entah karena ia senang ketika bangun melihat langit-langit kamarnya, atau sedih karena meninggalkan Rara, Nina, Fuyu dan Haru.

Beberapa tahun berganti, kehidupan Lemon berjalan seperti biasanya, dia lulus dari kampusnya dengan IPK yang memuaskan. Namun, bayangan tentang kejadian waktu itu terus terlintas di benaknya. Kini dia telah berkerja di sebuah perusahaan besar di Indonesia, dan hari itu adalah hari pertamanya.

"Kepada yang terhormat, Pak Hex Sutmijo, silahkan memberikan pembukaan kepada karyawan baru."

Penulis: Harusame_Haru

Continue Reading

You'll Also Like

1.8K 237 42
[COMPLETED] Aku takkan berhenti mengejarmu, sebelum pada akhirnya kau kembali seperti dulu. Aku akan selalu menyukaimu, Tachibana Ryuji. -Kazuhara Ai...
116K 2.1K 17
[One Shoot] [Two Shoot] 1821+ area❗ Adegan berbahaya ‼️ tidak pantas untuk di tiru Cast : Taehyung (Top) Jungkook (bot) # 1 oneshoot (23/05/2024) #...
1.6K 184 3
Walau yang dicintai mati, meski yang memiliki kekasih pun mati. Namun, cinta mereka akan tetap hidup. Disclaimer© Kishimoto Masashi Sensei. Ootsutsuk...
375K 10.3K 66
Cerita Pendek Tanggal update tidak menentu seperti cerita yang lainnya. Berbagai tema dan juga kategori cerita akan masuk menjadi satu di dalamnya.