FLC Multiverse

By flc_writers

2.1K 242 1.6K

Event daftar ulang member FLC tahun ajaran ke-6 More

1. Selamat Tinggal di Toko Buku Nagare
2. Last Performance
3. Purple Scarf
4. Babysitting Gone Wrong
5. The Alumnus Trap
6. As The Walls Close In
8. Kesalahan
9. The Killer and the Sinner
10. Mencuri Batara
11. CsCx (Amalgamasi)
12. Ice Cream
13. Bye-bye
14. Sang Pahlawan
15. A Little Prank
16. Rwar
17. Terdampar
18. I Want To Be Alone
19. The Killer is Among Us
20. Apocalypse Revolution
21. Survive di Pulau Misterius
22. No More Way Out
23. Semanggi Empat Daun
24. Perfect Family
25. Galaxy
26. Message from the Future
27. Asrama dan Atmanya

7. Zeit

83 11 42
By flc_writers

Tema: Asrama berhantu
Tokoh Utama: Sura

Matahari mulai lingsir mendekati garis cakrawala, melukis langit dengan warna kemerahan. Dari kejauhan aku melihat deretan manusia berjalan menuju asrama. Di antara tangan mereka terdapat senter tua yang dimiliki setiap ketua kamar.

Dalam perjalanan menuju asrama, kami semua tak boleh berbicara. Kami harus bisu melintasi area pemakaman. Benar, bukan sembarang area biasa, tetapi area yang dapat membuat bulu kuduk siapapun berdiri.

Tanah asrama yang berdiri di atas nisan hanya diketahui oleh orang tertentu. Aku mengetahui hal ini dari salah satu pengawas yang mengisyaratkan bahwa untuk tidak berperilaku macam-macam selama di sana.

Aku bersaksi, aku tidak melakukan hal yang melanggar ketentuan pihak sekolah. Kami hidup serba gratis, tercukupi, banyak yang kami inginkan mereka kabulkan, kecuali alasan berdirinya asrama dan misteri sekolah yang letaknya di hutan.

Pihak sekolah tidak memberi tanggapan bahkan menjawab dengan isyarat. Mereka menganggap kami tidak pernah ada bila pertanyaan itu terucap. Peraturan tetaplah peraturan, peraturan perjanjian di atas materai. Pertanyaan terlarang sesuai janji.

Siapa yang bertanya, mereka sudah siap mati. Kecuali murid yang sadar akan syarat itu sejak awal dan tidak tergiur mengenai tawaran yang diberikan.

Bagi orang tuaku, tawaran ini tidak boleh dilewatkan. Mereka menandatangani tanpa seizin diriku. Dengan iming-iming lulusan akan mendapat bagian kursi di pemerintahan, tetap saja, bagiku ada yang aneh dari ini semua.

Tidaklah mudah untuk menjadi orang penting. Banyak dana dan persiapan. Tentu pula lulusan itu tak pernah aku lihat kabar batang hidungnya. Apa mereka bohong? Aku tak tahu kecuali aku menemukan kebenarannya.

Sepasang burung gagak melintasi langit, berputar-putar diiringi suara cawing menembus pepohonan. Suasana malam menyambut. Dan, aku menyadari, aku tertinggal dari kerumunan.

Aku berusaha tidak panik. Aku percaya diri bahwa aku bisa melewati ini. Namun aku kebingungan akan satu hal. Di mana para penjaga makam? Bukannya mereka siap di setiap sudut area?

Kakiku melangkah mundur. Menyadari hanya aku sendiri di area ini. Angin tenggara bertiup. Kering. Gemericik rumpun bambu membuat mataku bermain. Mencari-cari apakah makhluk yang dibicarakan temanku adalah nyata.

Hening. Sangat sunyi. Dingin yang menusuk. Aku perlahan mencium aroma anyir dari dekat. Sesuatu dengan ketukan kaki yang berat menuju ke arahku.

Aku memastikan apa dugaanku benar. Sayangnya aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin ini pertanda aku harus berlari meninggalkan makam.

Nyamuk yang gemar merubung kakiku tak aku pedulikan. Gatal. Kugaruk rasa gatal sembari aku ketakutan. Aku tak pernah setakut ini karena mencari tangga menuju asrama.

Sekelilingku hanya nisan, bambu, pepohonan kering, dan pagar yang tertutup sejak awal aku masuk sekolah. Walau terbuka, aku yakin, aku tidak dapat melarikan diri dari sini.

Tiba-tiba terdengar suara anak perempuan memanggilku. Aku tak peduli. Aku berusaha sebisaku berlari semakin cepat sebelum dia dapat menggapaiku. Aku beberapa kali melihat sekilas bayangan dari genangan air setelah hujan. Ah...

Sial. Aku seharusnya lebih cepat...

Kepalaku pusing bukan main. Teriakkan anak laki-laki begitu keras ketika aku menghantam tanah. Ku menangis merasakan nyeri. Degup jantungku berhenti sesaat begitu melihat ketiga sosok bertopeng seram.

"Hei, dia tidak sadarkan diri."

"Tenang, itu bukan dirinya. Dia hanya memasuki ingatan yang dirasukinya."

"Ah, padahal, aku tak berniat jahat. Mungkin jahil?"

Jahil? Apakah jahil bisa membuatku terpisah dari ragaku sendiri?

----

Aku mengapung setelah mengalami kejadian itu. Bukan mengapung di air, tepatnya di udara. Aku dapat melihat tubuhku dibawa ketiga orang yang membuatku mati. Tunggu, kenapa aku setenang ini?

Mereka aneh. Tingkah laku mereka begitu bebas. Tidak seperti kebanyakan siswa di sini yang begitu kaku bagai patung. Suasana ketiganya begitu akur, aku yakin mereka telah kenal sejak lama.

"Teh Fuyu, mau gimana udah ini? Kasihan banget malah pingsan, padahal aku harap dia hanya berteriak ketakutan, bukan sampai mati," ucap lelaki dengan topeng kucing.

Lelaki bertopeng singa memeriksa nadiku berulang kali. "Zal, Kak, kita harus kubur dia, tidak boleh ada yang tahu kalau kita membuat salah satu siswi masih tertinggal di sini. Jujur saja, aku kaget karena di luar kendali kita."

Perempuan bertopeng harimau yang duduk di bawah pohon sedikit menangis. Aku kira dia akan bersikap tenang seperti kedua lelaki ini. Namun dari caranya yang cemas memainkan jemarinya itu membuatku merasa kasihan.

Si Harimau berjalan mendekati semak. Mengeluarkan lampu lentera seraya memantik api berwarna biru. Aku lumayan terkesima, aku kira lentera sudah tidak ditemukan di era ini. Jika masih hidup mungkin aku akan memintanya untuk aku simpan sebagai koleksi di kamar.

"Karvin, Rizal, kalian ada ide?"

Dua lelaki itu menoleh bersamaan. "Nggak."

"Sudah aku duga."

Cahaya yang dihasilkan dari lentera menerangi sekitar. Perempuan itu mengambil perlengkapan mereka. Dari cara mereka menatap bahkan cara mereka menggerakkan setiap anggota tubuh, aku yakin mereka bukan siswa dari sekolah ini. Mereka tampak normal bahkan begitu normal untuk disebut "kerasukan".

Mengapa aku mengatakan "kerasukan"? Sebenarnya, mereka masih dapat mengobrol normal denganku. Teman sekamarku bernama Yemi pun masih bisa diajak mengobrol. Kecuali saat hari di mana lonceng pertama di puncak asrama bergema ke seantero wilayah ini. Itu mengubah mereka bagai robot. Kaku, pandangan mereka kosong seperti ada yang mengatur.

Baiklah, mungkin aku harus berusaha tenang, sembari mengikuti ketiga orang ini. Aku yakin ada cara agar mereka dapat mengubah semua anak asrama.

Langkahku mengikuti mereka dari belakang. Rizal, Karvin, Fuyu, ketiga nama yang tampak mempunyai kamar yang berbeda. Mereka berpisah setelah patung asrama berpindah posisi menuju Timur. Mereka sontak berlari hingga patung kembali sempurna menghadap Barat.

Aku tersenyum. Ternyata patung itu dapat menghentikan pengawasan setiap penjaga lorong. Kira-kira berjalan lima menit. Hebatnya lagi, ketiga orang itu memilih tangga sebagai alternatif tercepat. Berarti mereka telah paham bahwa setiap listrik di asrama berhenti beriringan dengan berbaliknya patung.

"Seandainya kamarku ada di lantai dua, mungkin aku tak perlu keluar tenaga sebanyak ini. Untuk apa 100 anak tangga darurat di tiap lantai?! Ini sama saja mereka mau membunuh murid-murid mereka secara tak langsung," keluh si Singa.

"Hei, jangan berisik."

Si Kucing membungkam Singa. Netra kami sama-sama tertuju pada pria keriput. Walau banyak keriput, tapi tubuhnya tegap dan kuat. Kulitnya yang lebih putih dari kami, rambutnya cokelat gelap, mirip perawakan orang Lagutrop. Pakaiannya memakai jas hitam dan sepatu pantofel coklat, keberadaannya yang berada di depan jendela berhasil membuat kami merinding bukan main.

Cahaya bulan purnama menyorot pintu kamar, tempat kami membeku. Suara nyanyian yang asing dinyanyikan mengalun sumbang.

"Sepertinya, kelinci di tanah itu masih berusaha berlari dari sergapan elang," ucapnya datar. "Sudah aku duga. Ada yang tidak beres. Bagaimana bisa aku tidak menyadari ketiga kelinci yang kini membunuh kelinci lain? Aku pikir, aku terlalu membebaskan kalian."

Ia mengambil senapan laras panjang di atas laci. "Aku Nathan. Aku hanya akan membunuh kalian dengan dua tembakan. Um, tidak, tapi tiga tembakan. Keluarlah, aku akan menembakmu juga."

Matanya tajam. Aku tak mengerti apa yang Singa pikir, tapi Harimau tidak suka dengan idenya. Alih-alih kabur, lentera biru dilemparnya. Api membakar cepat satu ranjang dan menjalar ke ranjang lainnya.

Cara Singa itu berhasil membuatku sadar, Nathan yang di ruangan ini mengapa begitu tenang adalah tidak adanya keberadaan para penghuninya. Kebakaran yang telah melahap kamar menyembunyikan kedua anak yang sudah melarikan diri.

Suara teriakan bersahutan dari lantai satu. Mereka bergegas segera turun dan keluar secepatnya dari asrama. Nihil, pintu yang ada di depan mata mereka tertutup rapat dari luar. Jeritan parau si Harimau berhasil membuatku iba.

Patung utama berwujud wanita dengan sanggul di rambutnya seakan membuatku merinding. Sosoknya seakan mengawasi kami dari atas sana. Sialnya aku belum saja kembali memeluk ragaku.

"Jadi, kita harus bagaimana?" tanya Singa.

"Ini membuatku kesal. Kita terjebak di sini. Aku tidak tahu harus gimana Kak. Zal, turunin bonekanya, dia tidak bergerak lagi."

"Ah, tunggu, apakah kalian melihat gadis itu?"

Tunggu, kenapa mereka menatapku? Apa aku dapat mereka lihat?

"Kalian bisa lihat aku?"

Kucing tersenyum setelah melepas topengnya. Dia melambai ke arahku seraya menunjukkan ragaku di sampingnya yang tengah menyender pada pintu. Tampak manekin tak berwujud itu begitu mirip dengan wujudku. Namun, aku semakin sadar bahwa aku masih melayang.

"Zal, jangan bercanda, situasi kita gawat," keluh Singa.

"Teteh lihat dia? Sepertinya yang kita panggil di kuburan adalah arwah itu."

Harimau melangkah pelan meninggalkan kami. Ia berjalan dan disusul yang lainnya. Apa yang terjadi? Tampak dia melihatku barusan.

Aku penasaran lalu mendekatinya. Di dapur asrama hanya kami berdua. Kedua laki-laki berjaga di luar. Dentingan sendok yang beradu membuat suasana kami saling canggung.

"Kamu melihatku?"

"Iya," jawabnya.

"Lalu, apakah benar aku sudah mati?"

Dia terdiam dan menunduk. "Aku tidak yakin."

Aku berbalik ke arah cahaya biru yang mendekat. "Mengapa cahaya di sini berwarna biru? Apakah kalian juga arwah?"

Si Harimau melirik padaku. "Kami bukan arwah. Tapi manusia pendosa yang terjebak waktu."

Aku semakin bingung. "Maksudmu?"

"Kita sudah mengulang ini tiga puluh lima kali. Karena kesalahan ritual, dan kamu tahu? Itu semua karena keberadaanmu juga Yemi."

Ah, begitu. Aku melupakan sesuatu yang penting. Pantas saja jam dinding di sini tidak pernah bertambah setiap detiknya, orang-orang melakukan hal sama, juga akhir yang sama, itu semua karena kesalahan yang terulang. Hal-hal yang aku lakukan akan membuat pengulangan.

"Maaf, Sura. Kita tak bisa mengulang lagi. Kembalilah."

Benar, kita terlambat.

"Halo, kelinci manis."

-----

Gadis dengan tudung hitam memperhatikan setiap sampah berserakan di hadapannya. Suara serigala berseru lantang, menyuarakan kemenangan mereka yang dibenci takdir. Takdir yang harus diulang itu kembali lagi kesekian kalinya.

"Apa kamu akan menerima takdir?"

Siang panas yang terik. Air sungai yang melintasi hutan membasahi jari mungilnya. Seorang anak perempuan dengan gadis kecil itu mengajak saling memandang.

"Tidak bisa."

"Sura, ini sudah yang terakhir. Aku harus pergi."

"Aku tidak dapat merelakanmu. Kesadaranmu dan keberadaanmu berharga di dunia ini. Tolong, aku akan mengulang lagi Yemi."

Yemi mendelik sebal. "Aku yakin ini akan gagal."

Gerombolan ikan memperhatikan kedatangan ketiga manusia di belakang mereka berdua. Ketiganya menghela napas kasar.

"Benar, ini sudah gagal. Tolong, berhenti di sini."

Netra gadis itu melirik ke sumber suara. "Kak Fuyu, maafkan aku. Tapi Yemi..., dia membutuhkan aku."

Yemi mulai tak bisa menahan emosinya. "Jangan berbuat seolah kamu tahu perasaanku, itu hakku, bukan punyamu. Sura, kamu egois!"

Yemi pergi. Meninggalkan Sura yang masih memeluk lutut. Fuyu ikut duduk mengganti Yemi di sampingnya.

"Sura, aku mohon, tolong berhentilah. Terima takdirnya, kita sudah mengulang hingga tiga puluh lima kali, kamu tahu? Aku gila! Aku bisa gila Sura."

Lelaki berbadan tinggi memijat pelipisnya. Merasa lelah dengan keadaan. "Rizal, Kak Fuyu, dan aku ingin mati. Kami ingin mati, tapi semua itu terhalang karena kamu. Apa alasan dan tujuanmu hanya untuk Yemi seorang? Sura, pikirkanlah kami.

"Kamu yang diberi kekuatan tidak seharusnya membuat kami terjebak di sana. Asrama berhantu, tempat di mana kita harus membebaskan Yemi dari alam roh. Kamu hanya bersikap datar ketika kami mati dihantam amarah penjaga. Sura, kamu sakit."

Perkataan Karvin hanya bagaikan angin lewat. Hingga ia pergi meninggalkan Sura bersama Fuyu. Rizal menahan tangis dalam diamnya.

"Rizal..., mungkin aku memanglah egois, tapi aku ingin agar adikku hidup. Aku tak bisa tanpa Yemi, jadi apa kamu tak keberatan untuk mengulang yang terakhir kalinya...," tanya gadis itu ketika Rizal sudah merasa harapannya pupus. Bukannya mendapat jawaban, Rizal terus diam menatap dalam arus sungai.

"Rizal, aku membutuhkan jawabanmu," gadis itu berharap. "Aku tahu, aku harus bagaimana. Aku sudah menggagalkan ritual pelepasan Yemi ke sungai ini. Aku marah, membunuh semuanya, lalu membawa Yemi ke kamarnya dan menyeret kalian kembali pada masalahku."

Rizal mengelap air matanya. Dia mual mendengar ucapan yang sama. "Sura, Yemi sekarang masih hidup. Tujuh hari lagi ritualnya kembali diadakan, aku akan menghalangimu sekarang."

Sura tertawa kecil. "Apa kamu sekarang jadi prajurit takdir? Aku akan mencari cara."

Rizal menatap gadis itu dengan wajah murung. "Apa penyesalanmu hanya karena ini? Aku, Karvin, Teh Fuyu, melakukan apa yang kamu ingin, itu karena kami hanya mengikutimu. Sesuai keinginan kepala kuil, kami mengabdi, tapi kami juga manusia. Kami manusia seperti adikmu.

"Jangan perlakukan kami bagai hewan yang dibunuh hanya untuk kebutuhanmu," suara Rizal bergetar dan tiba-tiba kedua tangannya mencekal bahu gadis itu. "Gunakan kami selayaknya pengikutmu. Dunia ini luas, masih banyak perjalanan yang bisa kamu lakukan. Jadi, maukah kamu membantuku menunjukkannya?"

Bagai angin di musim semi, perasaan Sura sedikit damai. "Terima kasih. Aku akan pikirkan kembali."

----

Sura sekilas menyadari tanggung jawabnya selama ini. Kuil, ayahnya, adiknya, mereka berdua adalah orang yang tidak dapat dia relakan. Ketika kuil hanya ada dirinya, dia merasa tidak dapat melakukan apa-apa. Dia harus berbohong kembali. Berupaya melakukan kebajikan seolah dia tulus. Perasaannya lelah dengan pengabdiannya di kuil. Ia ingin pergi, melarikan diri dan memilih terbawa arus sungai hingga mati selayaknya seorang mayat.

Bintang dan bulan di Desa Kleebatt, saksi bisu hidupnya. Gadis itu melangkah menuju kamarnya. Beberapa pelayan memberi rasa hormat tapi karena sudah terlanjur muak, Sura berlari, melupakan bagaimana gadis kuil haruslah sopan di mana ia berada.

Suasana semakin mendesaknya untuk merasa asing dan sendiri. Tangisan di ujung malam tak pernah membuat orang-orang tahu. Yang dipikirkannya semakin dekat, hari Yemi meninggal di kuil telah terjadi. Hanya menunggu bagaimana dia memutuskan hari besok.

Hatinya berkecamuk. Pahamnya saling bertentangan. Darah sudah menjadi tidak asing sejak pengulangan tersebut berulang kali terjadi. Suara orang-orang serasa memekik pikirannya.

"Kamu menang," suara Rizal dari arah jendela. "Kamu akan memulai hal yang sama. Membawa kami dalam ide gila milikmu lagi. Silakan, lakukan saja."

Sura tidak terkejut pada kemunculan pria itu. "Aku tidak pernah menang. Kamu bisa menghentikan semuanya sekarang. Bunuh aku di sini."

Fuyu dan Karvin duduk di bawah jendela. Hanya mendengarkan bagaimana ini akan berakhir sama.

"Ikutlah dengan kami. Karena kami tidak dapat menghentikan orang-orang, itu akan membuat semuanya terulang; tapi kami pikir kami akan bisa merubahmu malam ini."

Sura melihat liontin berisi foto Yemi dan ayahnya. Perasaan di dadanya tak dapat menahannya. Sesak itu sangatlah perih, air mata yang tersimpan tidak dapat dibendung. Dia kehilangan Yemi sampai moralnya habis.

"Aku tidak dapat pergi."

Fuyu tersenyum. "Sudah aku bilang, ini akan terjadi, kenapa kalian berdua tetap memaksa?"

Karvin menggaruk tengkuknya. "Aku hanya ikut idenya," ia menunjuk Rizal. "Oi! Cepatlah, kita akan melarikan diri bukan? Aku ingin membeli makanan enak di kota. Walau waktu akan terulang lagi dan terpaksa menyusup alam roh, ingatlah makan enak adalah segalanya."

Sang gadis memandang Rizal tanpa berkedip.

"Kalau begitu, bawa aku sekarang."

Ketiga pelayan terhenyak.

"Tunggu, ulangi lagi, tadi aku merasa salah dengar. Kalian dengar kan?"

"Aku ingin pergi dari sini. Aku tidak dapat melihat pelepasan Yemi," katanya bertekad pada Karvin.

Karvin memeluk Rizal yang tertegun pada ucapan Sura. Fuyu yang bersikap tak acuh, menerobos masuk ke dalam kamar, memeluk Sura seraya menangis pilu. Hanya ada suara penuh kebahagiaan di sana dan sosok arwah Yemi yang tak dapat mereka lihat; ikut memeluk lembut Sura.

"Aku mohon bantuannya yah."

----

Jeritan parau dan suara tangis yang muncul silih berganti menaungi pelepasan Yemi. Kehadiran bangsawan juga petinggi negara membuat suasana berkabung itu tampak begitu terhormat. Kuil putih yang disucikan menjadi saksi gadis bergaun putih diiringi kepergiannya.

Air sungai Blatt membawa kenangan dan keputusan Sura dalam-dalam. Dari jarak sepuluh meter, keberadaan Yemi berubah menjadi bunga dandelion yang indah. Setiap helainya berterbangan di atas langit biru.

Di lain sisi para pengurus kuil mengalami tekanan hebat dan bersiap melakukan pewarisan selanjutnya. Dadang sebagai bawahan dan tangan kanan ayah Sura membawa gadis itu ke dalam salah satu ruangan doa.

Sura yang masih merelakan hanya dapat menutup matanya begitu lama. Mempertanyakan apakah yang dilakukannya benar, apakah para penjaga alam roh tidak akan menemuinya di alam mimpi lalu menertawakan keputusannya. Sura ketakutan.

"Sekarang kamu akan jadi gadis kuil selanjutnya."

"Bisa diam..., hentikan perilaku sopanmu itu."

Sejenak terasa senyap.

Fuyu yang merasa gemas bersiap membantu sahabatnya berdebat. Tapi Karvin dan Rizal tidak membiarkan kakak perempuannya mengganggu pembicaraan.

"Kamu adalah kepercayaan ayahmu, Yemi yang akan jadi pewaris selanjutnya telah tiada."

Sura ingat saat ia menjerit-jerit dan berteriak tak tentu arah di ruangan doa. Di hadapan orang-orang, semuanya memperhatikan gadis kuil itu menjadi tak waras. Kehilangan Yemi membuat Sura menghancurkan segalanya. Altar kuil hingga tongkat doa terbakar oleh amarah.

Kematian Yemi tidak dapat dihentikan. Sasaran kekuasaan selanjutnya adalah Sura. Dadang menjadi dalang dari semua rentetan takdir kelamnya. Yemi diracun namun ada penghalang gaib yang menghalangi Sura mencegah kejadian itu.

Pengulangan yang tak berarti. Batinnya.

"Sibuk sekali yah semalam."

Dadang tersenyum getir. "Maksudmu?"

Disinari lilin doa, sang gadis tak dapat menyembunyikan marah. "Sosok racun yang ayahku bawa menghancurkan segalanya."

"Racun? A-ada apa dengan racun?"

"Aku tahu kamu dibunuh. Dan pembunuhnya ada di sebelahku," Sura berbisik lirih namun masih tertangkap telinga yang berdiri di sampingnya.

Dadang terkekeh. "Jadi, kamu sudah tahu? Cih! Selama di sini semua keperluan kalian saya yang urus. Kalau mau mati jangan buat saya pusing dong. Tahu dirilah, kalian itu penumpang, ayahmu itu--"

Sura tertawa keras. Sangat keras hingga ketiga kawannya terkejut was-was. Mata Sura sekelebat menunjukkan marah.

"Hebat sekali orang botak sepertimu berbicara. Mau sampai berapa kali dirimu aku hilangkan? Bagiku tiga puluh lima kali sudah cukup membuatku mengerti. Orang bodoh ada batasnya."

Dadang terpancing. Beberapa pasukan berpakaian putih bersih memasuki ruangan doa, memenuhi setiap tempat duduk. Mereka memegang tombak tajam, bersiap menghunus Sura.

"Bagaimana bisa seorang gadis kuil berbicara selancang ini?"

"Aku tidak lancang. Tapi kamu terlalu bodoh, Dadang. Berhenti membuat lelucon dan akan aku urus setiap anak yang dilahirkan gadis kuil. Kamu sudah menodai kami, dirimu terlalu kotor."

"BERANINYA--"

"Jangan membuatku marah. Aku akan pergi. Jadi, hei pasukan, penggal dia."

Dadang tidak mendapat pembelaan. Pasukan putih melakukan apa yang Sura perintahkan sekaligus tugas terakhir sebelum kuil dihancurkan. Para bawahan Dadang telah dihabisi dari balik tirai oleh bantuan bangsawan daerah yang datang.

Tiga serangkai tersenyum kagum pada keputusan Sura dan berlari keluar kuil. Mengikuti gadis yang mengubur semua masa kelamnya hari ini. Kuil putih dihancurkan, puing bangunannya luluh lantak. Tidak ada yang tersisa kecuali banyaknya dosa di sana.

----

"Nona, apakah Nona benar-benar akan pergi?"

Anak-anak panti asuhan melirik kereta kuda yang sudah berdiri tidak jauh dari mereka.

"Iya, aku akan menjelajahi negeri. Aku ingin mengabulkan mimpi ayah dan adikku."

Beberapa gadis kuil memeluk Sura. Mendekap Sura yang menangis, berpisah dengan teman seperjuangannya. Fuyu yang berada dekat anak-anak panti memberi mereka roti buatannya semalam.

"Kak Fuyu mau pergi? Kak Rizal sama Kak Karvin juga?"

Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Karvin mengelus anak laki-laki yang memegang lengannya agar tak pergi.

"Kami akan menjadi petualang. Mencicipi makanan dan mencari harta Clover," jawab Karvin.

"Harta Clover? Harta yang terkenal itu?" tanya gadis kecil.

Sontak argumen yang dilontarkan Karvin menjadi hal hangat di desa. Masyarakat juga petualang teringat kembali pada harta yang telah lama disembunyikan pemerintahan. Mungkin, dengan harta itu dijadikan tujuan, perjalanan Sura akan lebih berwarna.

Kereta kuda perlahan melaju. Mimpi mereka melangkah jauh, melenggang dan terbang melintasi langit dan laut. Angin musim panas tiba, menghampiri seraya menyapa bunga dandelion yang tengah berdiri depan jendela asrama.

"Sampai bertemu lagi."

Penulis: Rizalraihan24

Continue Reading

You'll Also Like

11.5M 483K 50
"did you just draw a dick on my face?" Min Soojung was more than textbook perfect-- she's independant, crazy smart, and most of all: competitive. Tha...
64.5M 45.4K 2
"So what do we do?" "We can work something out. There's just one problem... We can't let your brother find out." ❁ Available now to order! Link in bi...
22.6M 694K 29
"Ethan." Aiden pauses. "I want you." He softly bites my ear. "I want to kiss you more than you will ever know." Trying to avoid the daily beatings of...
8.6M 244K 33
Highest Ranking: #1 WTF!!!OMG!!!Thank you so much 💕!!! "I've had enough!! I want a divorce!!" you furiously said, Jungkook rolled his eyes and...