FLC Multiverse

Por flc_writers

2K 220 1.5K

Event daftar ulang member FLC tahun ajaran ke-6 Más

1. Selamat Tinggal di Toko Buku Nagare
2. Last Performance
3. Purple Scarf
5. The Alumnus Trap
6. As The Walls Close In
7. Zeit
8. Kesalahan
9. The Killer and the Sinner
10. Mencuri Batara
11. CsCx (Amalgamasi)
12. Ice Cream
13. Bye-bye
14. Sang Pahlawan
15. A Little Prank
16. Rwar
17. Terdampar
18. I Want To Be Alone
19. The Killer is Among Us
20. Apocalypse Revolution
21. Survive di Pulau Misterius
22. No More Way Out
23. Semanggi Empat Daun
24. Perfect Family
25. Galaxy
26. Message from the Future
27. Asrama dan Atmanya

4. Babysitting Gone Wrong

80 10 235
Por flc_writers

Tema: Traveling ke luar negeri
Tokoh Utama: Rara

Beruntung sekali perempuan yang baru saja memasuki umur dua puluhan itu. Dia bisa pergi ke luar negeri tanpa mengeluarkan sepeser pun untuk perjalanannya dengan pesawat. Bukankah itu luar biasa? Namun, tentu, jika tidak dipungut biaya, pasti ada sesuatu yang wajib dilakukan.

Langit yang tadinya berwarna biru cerah kini dihiasi gradien oranye. Hari sudah sore. Katanya, Rara bisa sekalian jalan-jalan, ajak Nina dan Chita. Mereka bukan anak-anak bandel. Akan tetapi, apa daya, kedua keponakannya itu enggan beranjak keluar rumah.

Musim panas di Jepang memang bukan main, Rara turut mengakuinya. Walau ingin jalan-jalan, Rara juga sudah telanjur nyaman dengan rumah sepupunya yang dilengkapi dengan pendingin ruangan. Sudah dua hari dia terjebak di sana. Yah, walau tidak menyiksa---justru nyaman---suasana hatinya jadi jelek.

Saat Rara hendak membenamkan wajah di atas tangannya yang terlipat, dia merasakan seseorang menarik pelan kausnya dari belakang. Rara pun berbalik, mendapati Nina yang tengah memegangi perut, menggandeng boneka kelinci cokelat dengan tangan satunya. "Nina udah lapar?"

Nina mengangguk, kemudian menunjuk jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima sore. "Tadi cemilannya tinggal dikit. Udah habis. Mau lagi."

"Eeeh...." Kalau sudah begitu, mau bagaimana lagi, pikirnya. Mau tidak mau dia harus pergi keluar. Keluar di cuaca yang panasnya amat menyengat hanya untuk pergi ke minimarket.

"Jalan-jalan ke minimarket! Iyeey!" Chita bersorak di ambang pintu. Tadinya dia hanya menyimak setelah menyuruh Nina untuk bicara pada Rara.

Rara melirik ke luar jendela dan lagi-lagi dia mengembuskan napas. "Baik, baik. Ayo kita pergi."

Melihat Rara hendak bangkit berdiri, Nina buru-buru menyingkir, kembali ke sisi saudari kembarnya. Dia juga ikut bersorak, walau tidak seheboh kembarannya.

Sore itu, karena tidak bisa naik sepeda bertiga, mereka terpaksa harus berjalan kaki di bawah teriknya matahari. Walau sudah petang, terik matahari masih lumayan menyengat.

Dengan cuaca seperti itu, Rara sampai heran. Bagaimana bisa Nina dan beberapa perempuan yang berpapasan dengan mereka tetap digerai rambutnya? Sebelum berangkat, Chita meminta Rara menata rambutnya jadi kucir dua; Rara sendiri buru-buru menggelung rambutnya karena dua keponakannya yang tidak sabaran. Agak berantakan, tetapi tidak apa. Mereka hanya pergi ke minimarket. Memangnya apa yang akan terjadi di sana?

Melewati sebuah taman bermain kecil nan sepi—pasti karena sedang musim panas—ketiganya terhenti mendengar seruan seseorang.

"Nina! Chita!" panggil yang tampaknya adalah seorang anak laki-laki. Dia sedang berdiri di atas seluncuran, buru-buru meluncur turun terus berlari menghampiri. "Mau ke mana?"

"Ke minimarket!" Chita yang menjawab. "Kābin mau ikut?"

"Eeee ... siapa yang Kābin? Namaku Kar-vin!" Anak laki-laki itu berkacak pinggang tidak terima.

"Kābin! Sama saja. Cuma beda sedikit." Chita mengatakannya dengan sebelah mata terpejam, sambil meragakan gestur mencubit.

"Chita payah. Nama teman sendiri nggak ingat. Aku mau main sama Nina aja." Karvin menoleh pada Nina yang sejak tadi menempel pada Rara. "Yuk, Nina."

Mengejutkan, Nina justru menatap anak itu dengan tatapan horor. "Siapa...?" Dia memegang erat boneka kelinci yang digandengnya, sedangkan tangan yang satu lagi meremas ujung kaus Rara.

"EEEEHHH? JANGAN BERCANDA BEGITU!"

"Iya, ya. Siapa anak ini?" Chita ikut berlagak takut, lantas mengambil posisi serupa Nina di sisi lainnya. Dia pun mendongak sambil menarik pelan ujung kaus Rara. "Kak Rara, ayo kita pergi saja, Kak."

Rara geleng-geleng kepala menyaksikan tindakan mereka. Ia lalu meletakkan tangan dengan lembut di atas pucuk kepala Chita dan Nina. "Kalian jangan begitu. Kasihan teman kalian, lihat, matanya sampai berkaca-kaca."

Anak laki-laki bernama Karvin itu langsung memerah wajahnya. Membalikkan badan, dia menempelkan telapak tangan ke matanya sudah lebih dahulu dipejamkan. "Nggak! Siapa yang matanya berkaca-kaca!"

Tertawa kecil, Rara beranjak menghampirinya, meninggalkan si kembar sebentar. "Iya, iya, nggak ada yang matanya berkaca-kaca." Rara berjongkok di samping anak itu, katanya, "Karvin mau ikut ke minimarket? Kita beli es krim."

Karvin mengangguk. "Un, mau."

Jadilah, pada sore hari itu, mereka pergi ke minimarket berempat. Perjalanan singkat mereka jadi sedikit lebih berisik sebab anak-anak—tepatnya hanya Chita dan Karvin—yang tak hentinya berkelakar. Nina hanya sesekali menyahut dan seringnya hanya saat diajak bicara.

Setibanya di minimarket, mereka segera berpencar, mencari target masing-masing. Rara tidak khawatir karena dia tahu, mereka sudah cukup besar untuk berkeliaran sendiri di dalam minimarket. Tempatnya juga tidak terlalu luas.

Sepertinya jajanan mereka akan cukup banyak, jadi Rara mengambil keranjang terlebih dahulu barulah dia menelusuri rak makanan ringan. Tidak banyak yang dia masukkan ke dalam keranjang. Rara lebih ingin minuman dingin, maka dia beranjak ke deretan lemari pendingin di paling tepi.

Di sana Rara melihat Nina yang sedang memeluk boneka kelincinya sambil menengadah menatap rak atas lemari es. Kelihatannya dia sedang kesulitan.

"Nina mau beli minuman yang mana?" tanya Rara sembari melangkah menghampiri.

Nina terperanjat kaget, barangkali dia setengah melamun. "A-ah, itu." Dia menunjuk deretan susu botol di rak kedua dari atas. "Yang stroberi ...."

Refleks Rara tersenyum. Nina itu menggemaskan sekali. Rara hampir tidak tahan, ingin mencubit pipinya yang tembam itu. "Baik, baik. Rara ambilkan, ya," ucapnya seraya membuka pintu lemari pendingin tersebut. Sejenak Rara terhenti dan menoleh pada Nina. "Nina mau beli berapa?"

"Satu saja."

"Oh, oke." Rara segera mengambilkannya, lalu memasukkan susu itu ke dalam keranjang. Sekali lagi dia bertanya, "Kalau Chita sukanya minuman yang mana?"

"Yang cokelat, tapi yang kemasannya kotak. Kalau yang botol, Chita nggak suka."

Rara tertawa kecil, kemudian mengambil satu susu kotak rasa cokelat untuk kembaran Nina itu. "Kalian kembar, tapi sukanya beda-beda, ya. Lucunya."

Nina baru mau menyahut, tetapi suara lembutnya ditimpa oleh seruan anak perempuan dan anak laki-laki dari ujung lorong.

"Ih, masa nggak boleh beli yang sama? Kan ada banyak!"

"Nggak boleh! Pokoknya nggak boleh samaan!"

Tentu saja yang bertengkar itu adalah Chita dan Karvin. Keduanya bertukar tatapan sengit di depan lemari es. Masing-masing dari mereka memegang sebungkus es krim cokelat bertabur kacang yang bungkusnya didominasi oleh warna biru.

Segeralah Rara pergi menengahi mereka. Namun, baru setengah perjalanan, rasa pusing menyerang kepalanya. Efek terik musim panas? Tidak mungkin. Mereka sedang berada di dalam minimarket yang dilengkapi pendingin ruangan, bahkan sedang berada di lorong minuman dingin dan es krim.

Rara berusaha untuk meletakkan keranjang di lantai secara perlahan, lalu bertumpu pada rak makanan di samping. Tangan satunya menyibak poni, memegangi kepala yang mulai berdenyut. Menyadari sekeliling tiba-tiba menjadi sunyi, Rara kembali menatap ke depan.

"Eh, Kābin, lihat!" Chita menunjuk dinding di belakang Karvin.

"Apa, apa?"

"Masuk, yuk!"

"EEH—?"

Karvin didorong ke arah dinding tersebut. Ia menghilang disusul oleh Chita yang turut berlari kala mendorongnya.

Sejenak setelah itu, denyut nyeri yang menyerang kepala Rara berhenti. Walau sedikit lemas karena syok, dia bisa kembali berdiri tegap tanpa tumpuan.

Apa yang baru saja terjadi?

Ke mana mereka pergi?

Lalu, Nina! Nina di mana—

Membalikkan badan, Rara sedikit lega mendapati Nina masih berdiri dekat dengannya. Kakinya kembali getir kala dia melirik ke belakang, menatap sekilas dua es krim cokelat yang tergeletak di lantai, dekat sekali dengan dinding yang harusnya tak dapat ditembus.

Pelukan Nina pada boneka kelincinya kian erat. Anak itu mendongak menatap Rara khawatir. "Kak Rara ... Kak Rara nggak apa-apa?"

"E-eh, anu. Itu ...." Kata-kata tak mau meluncur keluar dari mulutnya. Lagi pula, apa yang harus dia katakan pada Nina? Bahwa saudara kembar dan temannya tiba-tiba hilang menembus dinding minimarket?

Sementara Rara sedang kalut, berusaha memproses kejadian yang barusan, rupanya Nina dapat menangkap kegelisahannya dengan baik. Gadis kecil itu menaruh bonekanya ke dalam keranjang belanjaan, mengangkat keranjang tersebut, kemudian mendekati Rara.

Nina menarik ujung kaus Rara untuk menarik perhatiannya. Perempuan itu terkejut, membuat Nina ikut tersentak.

"Eh, maaf. Ada apa, Nina?" tanya Rara dengan senyum yang dipaksakan.

"Belanjanya sudah? Kak Rara kelihatan nggak enak badan. Sebaiknya kita segera pulang ...."

Tunggu. Apa?

Perempuan yang baru saja memasuki usia dewasa itu tertegun. Nina, keponakannya, bertingkah seakan-akan mereka hanya pergi berdua ke minimarket. Namun, mungkin saja Rara salah tangkap karena masih sedikit pusing.

"Aku hanya sedikit pusing. Nggak apa." Rara sedikit membungkuk dan mengulurkan tangannya. "Sini, biar Kak Rara yang bawa keranjangnya."

Nina mengangguk. Dia memberikan keranjang tersebut pada Rara, tidak lupa mengambil boneka miliknya.

"Nah, sekarang ayo kita cari Chita dan Karvin lebih dulu," ujar Rara terus berbalik melangkah. Sebisa mungkin dia mengontrol suaranya agar tidak bergetar.

Mencari Chita dan Karvin, begitu katanya. Memangnya mau dicari ke mana? Dua anak itu lenyap menembus dinding. Mungkinkah ada jalan masuk yang tidak kentara di dinding itu? Barangkali pintu masuk ke gudang? Minimarket di Indonesia punya yang seperti itu.

Menoleh ke belakang untuk mengecek apakah keponakannya mengikuti, jantung Rara meloncat kecil. Tidak, Nina tidak apa-apa. Hanya saja, anak itu tengah memasang ekspresi keheranan. Rara pun bertanya, "Nina kenapa?"

Gadis kecil itu menggeleng. "Chita dan Kābin itu siapa? Teman Kak Rara?"

Sekujur tubuh Rara langsung lemas. Keranjang belanjaan hampir dia jatuhkan. Tanpa dapat menyembunyikan kepanikannya, Rara berjongkok, melepas keranjang, dan memegang kedua bahu Nina.

"Nina, kamu jangan bercanda lagi kayak tadi. Chita itu saudarimu, kalian anak kembar. Karvin itu teman kalian yang kita temui di taman tadi."

Gelagat Rara mulai membuat Nina takut. Gadis kecil itu kebingungan dan matanya sedikit berkaca-kaca.

"N-nina anak tunggal, Kak ... Nina juga nggak kenal siapa Kābin ...."

Jantung Rara berpacu kian cepat. Apa yang dikatakan Nina tidak masuk akal, tetapi anak itu tidak terlihat seperti sedang berbohong atau mengerjainya. Lihat saja matanya yang makin berkaca-kaca. Rara jadi merasa bersalah karena sudah membuat Nina takut. Namun, apalah daya, Rara juga takut dan kebingungan.

Panik di hadapan anak kecil tidak akan berbuah apa pun. Seharusnya Rara tetap tenang atau setidaknya mengendalikan diri. Membuat situasi menjadi lebih kalut tidak ada untungnya. Maka dari itu, Rara mengambil waktu untuk menenangkan diri.

Pertama-tama, dia harus mengecek dinding yang tadinya ditembus Chita dan Karvin. Harapan bahwa ada pintu gudang tersembunyi di sana pupus begitu Rara menyentuh pun mengetuk permukaannya. Padat. Tidak ada gagang pintu di mana pun.

Pasrah, Rara berbalik untuk mengajak Nina ke kasir. Masih ada belanjaan yang harus dibayar sebelum mereka pulang ke rumah.

"Nina, ayo kita pergi ke ka—" Rara terdiam. Tubuhnya kaku kala dihadapkan dengan sesuatu yang aman janggal.

Dua bungkus es krim cokelat yang tergeletak di lantai mulai ... terdistorsi? Belum sempat bereaksi, kedua es krim itu lenyap dalam sekejap mata.

Lagi-lagi Nina mendekati Rara dan menarik-narik kausnya. Kali ini anak itu mulai panik sampai suaranya bergetar saat memanggil-manggil nama Rara.

Setelah mengambil napas dalam-dalam, Rara kembali meyakinkan keponakannya bahwa dirinya tidak apa-apa. Mereka pun pergi ke kasir untuk menyelesaikan kegiatan berbelanja mereka.

Di jalan pulang, Nina dan Rara melewati taman kecil tempat mereka bertemu dengan Karvin. Dadanya langsung sesak. Jangan lupa dengan kepala yang dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban.

Ke mana dua anak itu menghilang?

Bagaimana bisa itu terjadi?

Kenapa Nina jadi tidak mengenal saudara kembar pun temannya?

Kenapa ini terjadi pada Rara? Kenapa harus dirinya? Kenapa hanya dia yang menyadarinya?

"Kak Rara, rumahnya belok ke sini," ujar Nina, menyentakkan tangan Rara yang menggenggam tangannya.

"Eh, iya. Maaf." Rara tertawa kecil dengan harap itu dapat menyembunyikan kegelisahannya.

Setibanya di rumah, Nina lebih dulu masuk. Tangannya penuh, membawa bonekanya dan sekantong jajanan. Dia tampak senang dan bersemangat. Samar-samar terdengar senandung riang.

Rara mengembuskan napas gusar sembari memijit pangkal hidung, barulah dia membungkuk untuk merapikan sendal mereka. Akan tetapi, lagi-lagi sesuatu yang janggal terjadi. Sama seperti es krim di minimarket, sepasang sendal rumah berukuran sama dengan milik Nina mulai terdistorsi. Setahu Rara, itu adalah sendal milik Chita.

Kali ini, Rara mencoba meraih sendal tersebut sebelum hilang. Harapnya bisa mencegah, tetapi menyentuh sendal itu saja tidak bisa. Begitu berada dalam radius lima sentimeter, tangan Rara bak disengat listrik. Sama sekali tidak bisa disentuh. Perempuan itu hanya dapat menyaksikannya lenyap ditelan udara.

Setelah cukup lama mematung, Rara bergegas naik ke lantai, berniat mengecek kamar si kembar. Hendak meraih gagang pintu kamar mereka, hal yang sama terjadi dan tangannya pun tersengat.

"Nggak, nggak, nggak," Rara bergumam sembari menggeleng-gelengkan kepala. Dia melangkah mundur hingga punggungnya bertemu dengan dinding lorong.

Papan nama yang tergantung pada pintu itu mulai terdistorsi. Mulanya, tertulis nama Chita dan Nina dalam huruf hiragana: 「ちたとにいな」. Tulisan itu tidak begitu rapi dan sekelilingnya dihiasi coretan-coretan lucu, pastilah mereka berdua yang membuatnya. Rara tak kuasa melihat huruf-hurufnya bergerak pun ada yang memudar, menyisakan nama Nina seorang. Spontan Rara menutupi mulutnya dengan kedua tangan, hanya bisa berteriak dalam hati.

Setelah jeda beberapa detik, penuh harap pun rasa cemas, Rara melangkah maju. Tangannya yang lemas terulur meraih gagang pintu, kemudian membuka jalan masuk.

Seakan terhapusnya nama Chita tak cukup, fenomena aneh itu juga melahap segala kepunyaan gadis kecil tersebut. Kamar yang tadinya ditata untuk dua orang kini telah diubah menjadi kamar untuk satu orang.

Bertumpu pada bingkai pintu tak cukup. Kaki Rara terlampau lemas untuk menopang dirinya. Perempuan itu merosot turun hingga terduduk di atas lantai nan dingin.

Apa yang harus dia lakukan?

Kalaupun orang tua Chita dan Nina juga terpengaruh fenomena itu, apakah Rara akan baik-baik saja? Apakah dia akan baik-baik saja sebagai satu-satunya orang yang tidak terpengaruh?

Oh, astaga! Mana mungkin dia bisa baik-baik saja! Rara menyaksikan keponakannya dan seorang anak lain hilang tepat di depan matanya. Rara juga menyaksikan bagaimana eksistensi kedua anak itu dihapus oleh semesta, seakan-akan mereka tidak pernah ada.

"Aku harus bagaimana...?" Rara menunduk pasrah, masih terduduk di ambang pintu kamar Nina dan Chita.

Entah berapa lama ia termenung. Tiba-tiba kepala Rara serasa ditusuk-tusuk jarum. Matanya yang sedikit berkunang-kunang menangkap sesuatu di pojok kamar. Itu ... pintu? Tidak. Itu sebuah lorong tanpa pintu.

Mungkinkah itu lorong yang sama dengan yang dilalui Chita dan Karvin?

Rara bangkit berdiri. Agak lunglai dia berjalan mendekati lorong itu, lorong yang baru dia sadari kian mengecil, menutup.

Di minimarket tadi, Rara juga pusing dan sakit kepala saat kedua anak itu menghilang. Bisa jadi itu pertanda terbukanya jalan yang entah menuju ke mana. Kalau begitu, besar kemungkinan lorong ini akan mengantarkannya pada Chita dan Karvin. Akan tetapi, bagaimana dengan Nina?

Kalau Rara pergi, eksistensinya juga akan dihapus. Lantas, apa yang akan terjadi pada Nina? Apa dengan tidak adanya Rara, situasi akan berubah, membuat Nina ikut dengan orang tuanya? Atau Nina akan dititipkan pada orang lain?

Apa Rara bisa membawa Chita dan Karvin kembali?

Bagaimana kalau tidak bisa? Apa yang terjadi pada orang-orang yang menyusuri lorong ini?

Sementara Rara tenggelam diseret arus pertanyaan tanpa akhir, jalan masuknya tak berhenti mengecil. Jalan itu tidak menunggu siapa pun. Jalan itu tidak peduli jika tidak ada yang masuk.

Rara harus segera mengambil keputusan.

Masuk dan bertaruh atau kembali ke bawah dan menemani Nina seakan-akan fenomena itu tidak pernah terjadi.

Konsekuensi pun penyesalan menanti di kedua ujung jalan itu.

Jalan masuk sudah hampir setengah dari ukuran awalnya. Makin kecil jalan itu, makin pusing kepala Rara dilanda efek fenomena itu sekaligus rasa bimbang.

Mengambil napas dalam-dalam, Rara memantapkan hati. Dia mengumpat pelan baru melangkah masuk ke lorong gelap di hadapan. Katanya, "Kalau aku gagal dan menyesal, setidaknya aku sudah mencoba!"

***

Lorong itu seperti tidak berujung. Gema langkah kaki mengundang rasa gelisah.

Tap, tap, tap.

Kira-kira sudah lebih dari setengah menit Rara berjalan. Lantai, dinding, pun langit-langit lorong berwarna hitam pekat. Tidak ada lampu, pernak-pernik, bahkan tekstur juga tidak ada. Semuanya mulus, termasuk perjalanannya. Hingga cahaya tanpa sumber pasti yang sejak tadi menemani Rara lenyap tak berbekas.

Tanpa diberi waktu untuk menganalisa situasi, lantai pijakan Rara lenyap. Perempuan itu kemudian jatuh diiringi teriakan nan menggema.

***

".... kamu. Hei? Halo...?"

Rara mengerang kesakitan. Punggungnya serasa remuk sehabis jatuh dari ketinggian.

"Ah, akhirnya kamu bangun!"

Baru mau membuka mata, Rara nyaris terjungkal ke belakang. "Siapa kamu!?" serunya, menggunakan lengan sebagai tameng.

Di hadapan Rara yang tengah terduduk di atas ... tanah? Sebentar.

Tiba-tiba sekali Rara berdiri, membuat perempuan di hadapannya tersentak mundur. Rara celingak-celinguk memindai tempatnya berada. "Ini...."

Taman. Rara dan perempuan itu berada di taman bermain tempat Rara berjumpa dengan Karvin sore tadi. Hanya saja, itu bukan taman kecil. Sejauh mata memandang, Rara cuma bisa melihat alat permainan taman yang itu-itu saja: seluncuran, jungkat-jungkit, ayunan, palang besi, dan merry-go-round, tersebar melampaui cakrawala.

"Aduh, sekarang aku malah diabaikan," keluh perempuan di belakang Rara. Dia bersedekap, memalingkan wajah saat Rara menoleh.

Rara mengembuskan napas seakan rasa penatnya turut keluar. "Baiklah, maaf. Dan aku ingin bertanya."

Perempuan itu melirik sebentar, lalu menjawab, "Silakan."

"Kamu siapa? Dan, ini di mana?" tanya Rara langsung pada intinya.

"Huu ... sudah kuduga. Pertanyaan klasik." Si perempuan berbalik kembali menghadap Rara. Dis menaruh satu tangan di dada, sedangkan tangan satunya terangkat seolah sedang mempertunjukkan sekeliling mereka. "Namaku Ari, penjaga dimensi ini."

"Dimensi...?" Rara menelan saliva dengan seakan itu dapat memadamkan kepanikan yang bergejolak dalam diri.

Ari mengangguk mantap. "Ya, dimensi. Ini tempat yang melahap manusia, khususnya anak-anak. Tempat yang harusnya musnah saja, tapi sayangnya tidak bisa." Dia mengendikkan bahu.

"Melahap manusia?" Rara mengulangi penggalan kalimat Ari dengan penekanan. "Apa maksudnya melahap manusia khususnya anak-anak? Tempat macam apa ini!?"

Panik menguasai. Napasnya menderu. Rara tidak bisa berhenti melihat ke sana kemari. Pandangannya menelusuri sekitar meski entah mengapa sedikit buram.

"Yaaah ... tepat seperti apa yang kukatakan." Ari beranjak mendekati sebuah perosotan. "Sebaiknya kamu cepat, Rara. Temukan anak bernama Chita itu sebelum dia bernasib sama seperti dua korban sebelumnya."

Korban sebelumnya? Sudah berapa anak yang menghilang tanpa disadari seorang pun?

"Elucia dan Siri." Ari mengusap badan seluncuran nan mengilap. "Sama sepertimu, aku memberi Siri kesempatan untuk menemukan Elucia yang adalah adiknya. Tapi sayang, mereka gagal."

Rara sudah mengambil ancang-ancang untuk memulai pencariannya, tetapi dia masih penasaran. "Lalu, apa yang terjadi pada mereka berdua?" Siapa tahu Rara bisa membantu mereka kalau bertemu.

Ari menoleh, tersenyum tipis. "Mereka lenyap, selesai dicerna. Eksistensi mereka telah dihapus sepenuhnya."

DEG!

"Sekarang, mulailah mencari. Eksistensinya sudah hampir pudar ...."

Belum selesai Ari berbicara, Rara sudah mulai berlari. Entah mengapa, langkanya terasa ringan. Apakah itu karena Rara juga semakin pudar keberadaannya?

Tap, tap, tap, tap!

Aneh sekali. Rara sama sekali tidak merasa kelelahan, padahal dia bisa jadi sudah berlari sepanjang satu kilometer. Harusnya dia sudah letih sekarang, apalagi dis berlari sambil berkali-kali menyerukan nama Chita dan Karvin dengan lantang. Harusnya pandangan Rara sudah berkunang-kunang. Harusnya kakinya sudah lemas.

Tap, tap, tap, tap!

Tempat itu seakan tak berujung—atau memang tak berujung? Pemandangan di cakrawala tak kunjung berganti. Alat permainan taman masih tersebar di sekitarnya. Sejak tadi, pemandangannya masih itu-itu saja, mengundang rasa putus asa ke dalam hati.

Lari Rara kian pelan. Tidak. Perempuan itu tidak kelelahan, setidaknya bukan secara fisik. Rasanya ingin menyerah dan jatuh terlungkup saja. Namun, sebelum Rara menuruti keputusasaannya, ada orang lain yang muncul di pandangan.

"Kak Rara! Sini!" seru seorang anak laki-laki yang tak lain adalah Karvin.

Seketika harap dalam diri Rara kembali tumbuh. Laju larinya dipercepat dan langkahnya makin mantap. Tujuannya adalah ayunan tempat Karvin duduk.

"Karvin! Syukurlah kamu nggak apa-apa!" Rara berseru lega sesampainya di ayunan tersebut. Dia mengambil jeda untuk menenangkan gejolak dalam hati, baru bertanya, "Kamu lihat Chita ada di mana? Tadi kalian masuk sama-sama, kan?"

Anak laki-laki di hadapannya mengangguk, lalu menunjuk ke kanannya. "Chita ke arah sana. Tadi kami berpencar buat cari jalan keluar."

Berpencar? Apa yang anak-anak ini pikirkan?

Rara tak habis pikir. Setelah memencet pangkal hidung guna mengusir kesal, Rara menarik tangan Karvin agar dia turun dari ayunan. "Ayo, kita temui Chita. Kita harus segera keluar dari sini."

Bersama mereka pergi ke arah yang Karvin tunjuk. Kali ini tidak berlari, hanya berjalan cepat. Sebenarnya Rara ingin mereka berlari saja, tetapi Karvin kelihatan enggan dan Rara juga takut dia akan tertinggal.

Tap, tap, tap.

Tanpa embusan angin sejuk, tiba-tiba Rara merinding. Mungkin karena dia gelisah.

Tap, tap, tap.

Badan Rara mulai terasa ringan. Kakinya masih menapak tanah, tetapi dia seakan mengambang.

Tap, tap, tap.

Mereka tidak hanya berputar-putar dan terus kembali ke titik awal sejak tadi, kan? Harusnya tidak karena mereka berjalan lurus. Mungkin hanya perasaan Rara karena disuguhkan pemandangan yang sama sejak tadi.

Tap, tap, tap.

Rasa putus asa kembali hinggap dalam hati. Rara ingin menyerah saja, tetapi itu akan mengkhianati dirinya yang sudah berani maju.

Perjalanan mereka tempuh dalam diam. Tidak ada percakapan yang mengiringi. Pikiran Rara tak dapat dialihkan. Tubuhnya semakin ringan.

Apa sudah hampir waktunya aku lenyap?

Melelahkan sekali sampai-sampai Rara bisa berjalan sambil menutup mata dengan kepala tertunduk. Dan, dia memang melakukannya, sampai matanya membelalak kala seseorang memanggilnya.

"Kak Rara ...."

"Chita! Ka—"

Terlambat. Tubuh anak itu sudah memudar, tembus pandang bak hantu. Meski demikian, Rara masih bisa melihat jelas wajahnya yang ketakutan pun berlinang air mata.

Harus apa? Rara harus apa? Dia terlambat. Hanya menghitung waktu sebelum gadis kecil di hadapannya menghilang. Rara tak lagi bisa menyentuhnya, meski dia ingin setidaknya berusaha menenangkan.

Sial.

Padahal sudah diberi kesempatan, tetapi Rara gagal membawa mereka keluar dari sana. Tak kuasa menahan sesak di dada, Rara meloloskan air mata yang sejak tadi dibendung.

Ah, ngomong-ngomong soal mereka, apa Karvin menghilang tanpa Rara sadari dalam perjalanan?

Menoleh ke belakang, dugaannya ... benar? Rara tidak mendapati siapa pun. Itu aneh. Sangat aneh. Kalau Karvin masuk bersamaan dengan Chita, harusnya dia juga masih memudar, bukannya langsung lenyap tak bersisa.

"Kak Rara," panggil Chita sesenggukan. "Maaf."

"Loh, k-kenapa?"

"Karena Chita bertindak sembarangan—karena Chita, semuanya jadi begini."

"Nggak, kok." Ragu, tetapi Rara tetap melanjutkan, "Ini bukan salah siapa-siapa."

Hening sejenak sebelum Chita melontarkan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang langsung menusuk hati Rara.

"Nina ... Nina nggak ikut ke sini, kan?"

Seketika pikiran Rara kembali pada nasib Nina  yang tidak dia ketahui akan berubah menjadi seperti apa. "Iya, Nina nggak ikut."

Chita hanya bergumam pelan. Lagi-lagi dia diam sejenak, menatap tangannya yang kian transparan. Dia pun kembali mengangkat kepala, menatap Rara yang pandangannya kosong.

"Kak Rara," panggilnya, "makasih udah datang, udah mau coba bantuin Chita."

"Iya. Dan ... maaf," ucap Rara sembari meremas celananya. "Aku terlambat."

"Tapi Kakak udah berusaha. Jadi, makasih."

Rara ingin sekali memeluk keponakannya itu, tetapi sayang sekali dia tidak bisa. Rara hanya bisa duduk bersimpuh di atas tanah, menyaksikan gadis kecil di hadapannya lenyap setelah mengucapkan kata-kata nan manis. Bisa-bisanya, begitu pikir Rara.

Ya, Chita benar. Rara memang terlambat, tetapi perempuan itu sudah berusaha. Lagi pula, menghilang tidak buruk juga. Itu lebih baik daripada hidup dalam pelukan rasa bersalah.

Mulai menerima nasib, Rara bangkit dari duduknya. Dia beranjak ke ayunan terdekat, lalu duduk di sana, menunggu gilirannya untuk menghilang.

***

"Jahat sekali kamu, Ari," seorang laki-laki berkomentar begitu dia muncul di samping.

Ari tersenyum. "Kok aku? Kan, kamu yang memancing mereka masuk, Vin."

Karvin mengendikkan bahu. "Setidaknya aku nggak memberi mereka harapan palsu."

"Aku hanya ingin menikmati sedikit pertunjukan."

"Parah."

Penulis: Clouchi

Seguir leyendo

También te gustarán

228 66 13
Masa Remaja Keras Kepala Mencari Pengakuan *** Arjuna ingin membuktikan bahwa ia bukan anak cupu, ia mabuk dan balapan meninggalkan semua aturan ruma...
1K 172 17
Berada dalam satu universe yang sama dengan Senayan Express dan Fake Eskul. Mereka menyebutnya kelas malam. Anak-anak SMA Jagad Raya menyebut itu ad...
2.6K 89 13
Kumpulan fave pair dari OTP sampai Crack Pair beserta hasil testnya. disclaimer (bila tidak muat, akan dilanjutkan di chapter tentang disclaimer). Na...
ONESHOOT48 Por Dutamara

Historia Corta

372K 10.3K 66
Cerita Pendek Tanggal update tidak menentu seperti cerita yang lainnya. Berbagai tema dan juga kategori cerita akan masuk menjadi satu di dalamnya.