FLC Multiverse

By flc_writers

2K 218 1.5K

Event daftar ulang member FLC tahun ajaran ke-6 More

1. Selamat Tinggal di Toko Buku Nagare
3. Purple Scarf
4. Babysitting Gone Wrong
5. The Alumnus Trap
6. As The Walls Close In
7. Zeit
8. Kesalahan
9. The Killer and the Sinner
10. Mencuri Batara
11. CsCx (Amalgamasi)
12. Ice Cream
13. Bye-bye
14. Sang Pahlawan
15. A Little Prank
16. Rwar
17. Terdampar
18. I Want To Be Alone
19. The Killer is Among Us
20. Apocalypse Revolution
21. Survive di Pulau Misterius
22. No More Way Out
23. Semanggi Empat Daun
24. Perfect Family
25. Galaxy
26. Message from the Future
27. Asrama dan Atmanya

2. Last Performance

122 12 58
By flc_writers

Tema: Grup band sekolah
Tokoh Utama: Karvin

Di sebuah rumah yang hampir hancur terlihat seorang anak laki-laki yang sedang bersembunyi di balik puing-puing atap rumah yang roboh. Dia memeluk tubuhnya yang menggigil dengan kedua tangannya. Wajahnya yang pucat di penuhi oleh debu dan darah kering.

"Ibu," gumam anak kecil itu tak henti-hentinya.

Matanya yang sudah lelah tertutup secara perlahan. Tubuh kecilnya yang terlihat rapuh ambruk ke tanah yang dingin. Air matanya tak henti mengalir begitu juga bibirnya yang terus mengucapkan kata ibu.

Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh di langit malam yang sunyi. Seolah petir datang lebih awal padahal hujan belum ingin menyirami bumi. Semua orang berlarian ke sana kemari saat sesuatu seperti bom terlempar dari langit. Untungnya si anak kecil terlindungi oleh atap-atap rumah yang kokoh. Dia tertidur dengan sangat nyenyak hingga sengatan matahari mengenai matanya.

"Aduh ... kepalaku sangat sakit," lirihnya setelah terbangun dari tidur panjang.

"Ada anak kecil di sini!" teriak seseorang yang kebetulan lewat di depan rumahnya.

Sekelompok orang dengan pakaian tentara mendatangi anak kecil itu lalu mengangkatnya dengan tandu. Dia di bawa ke tempat penampungan. Dia diperiksa oleh seorang dokter dan di beri makan serta selimut.

"Kamu beruntung, lukanya tidak terlalu parah, istirahatlah di tenda yang paling ujung, di sana banyak anak seumuranmu," ucap sang dokter sambil tersenyum.

Anak kecil itu berjalan ke arah tenda yang di maksud sambil membawa makanannya. Setelah masuk ke dalam tenda dia di sambut oleh empat orang anak yang seumuran dengannya. Ada yang sedang menangis dan menenangkan anak yang menangis itu, ada yang sedang menggambar, dan terakhir ada seorang anak yang sedang meminum teh.

Si anak kecil meringis saat melihat luka yang ada di tubuh anak yang meminum teh. Hampir seluruh tubuhnya tertutupi oleh perban. Merasa tingkahnya itu tidak sopan, dia akhirnya memilih duduk di sebelah anak yang diperban itu.

"Nama?" tanya anak yang diperban padanya.

"K-Karvin," jawabnya dengan terbata karena kaget.

Anak yang diperban itu mengambil cangkir teh yang lain lalu memberikannya pada Karvin. "Ambillah, hari ini sangat dingin."

Karvin menerimanya dengan canggung. Dia meminum teh itu sambil melirik ke arah anak yang diperban. Tanpa sengaja mata mereka bertemu, membuat situasinya bertambah canggung.

"Namaku Cindy," ucap anak yang diperban padanya.

"Dan namaku Steven," tambah seorang anak yang tiba-tiba saja datang menengahi mereka berdua.

Seorang anak perempuan juga ikut di belakang Steven. Dia terlihat malu-malu dan terus bersembunyi di belakang punggungnya. "Tak apa Key, mereka bukan orang jahat."

"Tapi kak, aku takut."

Senyuman di wajah Karvin seketika luntur setelah mendengar penuturan anak yang lebih kecil darinya itu. Ia mengira wajahnya sangat menakutkan hingga anak kecil saja takut padanya.

"Key tidak boleh seperti itu. Lihat, kak Karvin jadi sedih." Steven menunjuk Karvin yang wajahnya seperti ingin menangis.

Key menjadi tidak enak hati. Dia berjalan mendekat ke arah Karvin lalu menarik lengan bajunya. "Maaf," ucap Key malu-malu.

Karvin membalas dengan senyuman. "Tidak apa, namamu Key, bukan?"

"Y-Ya."

"Umurmu berapa tahun?"

"Kak Steven bilang umurku seperti empat jari," jawab Key sambil menunjukkan keempat jari tangannya ke hadapan Karvin.

"Hahahah, kau lucu sekali, umurku baru saja menginjak 10 tahun. Senang bisa berkenalan denganmu Key."

Key mengangguk lalu kembali duduk di belakang Steven. Dia bersembunyi di balik punggung kakaknya itu dan kali ini melirik ke arah Cindy yang sedang menikmati teh hangatnya. Sedangkan Steven sendiri sedang sibuk berbicara dengan Karvin.

"Jadi keluargamu terbunuh oleh tentara Utara dan kini kau hanya tinggal sendirian. Nasibmu sama seperti kami." Steven menoleh ke belakang memperhatikan Key yang sedang mengawasi Cindy.

"Apakah dia adik kandungmu?" tanya Karvin sambil menunjuk ke arah Key.

Steven mengangguk. "Aku dan Key dari wilayah Selatan, keluarga kami menjadi korban bom prajurit Utara. Key saat itu masih berusia tiga tahun, dia mengalami trauma yang mendalam setelah insiden pengeboman itu."

Steven mengusap lembut puncak kepala Key, membuat kekhawatiran yang ada di dalam diri anak kecil itu sedikit berkurang. Entah karna kelelahan atau ada suatu sihir di telapak tangan Steven, Key saat ini menjadi mengantuk. Dia menguap panjang lalu tertidur meringkuk di belakang kakaknya.

"Kau harus membiarkan dia hidup sendiri, dia tak bisa menghadapi dunia ini jika terus bergantung padamu. Bahkan kau saja tidak tahu berapa sisa umurmu," tutur Cindy setelah melihat Key tertidur.

"Dia benar, seorang anak perempuan sepertinya punya jalan hidup yang panjang. Bukankah kau bilang Key akan diangkat menjadi anak dari seorang saudagar kaya dan kau sendiri Steven akan menjadi seorang tentara?" tanya seseorang yang sejak tadi sibuk menggambar.

Steven hanya diam, kepalanya tertunduk memandangi Key yang tertidur pulas. Karvin yang dari tadi hanya mendengarkan jadi kesal mendengar penuturan kedua perempuan itu.

"Hey, jangan mengatakan sesuatu seperti itu pada orang lain! Apakah menurut kalian dengan menjadi anak saudagar kaya hidup akan langsung terjamin menjadi bahagia? Steven pasti akan selalu ada di sisi Key dan melindunginya."

"Apa yang mereka katakan itu benar Karvin. Aku sudah berjanji akan menjadi tentara untuk negeri ini. Aku tak bisa selalu ada di sisi adikku. Orang yang akan mengasuh adikku juga sangat baik, mereka orang kaya yang sangat keluargaku kenal. Aku yakin Key akan baik-baik saja bersama mereka," ungkap Steven dengan senyuman yang dipaksakan.

Karvin tidak mengerti bagian mana yang baik dari meninggalkan adik sendiri pada orang lain. Karvin bisa melihat kekhawatiran dari wajah Steven namun dia berusaha menutupinya. Saat kepala Karvin sibuk berpikir, dia tanpa sengaja melihat sebuah gitar di dalam sebuah kotak. Karvin mengambil gitar itu dan mulai memainkannya.

Semua orang yang ada di dalam tenda cukup kaget dengan kemahirannya memainkan alat musik. Harmoni yang indah dan menenangkan itu membuat perasaan mereka yang tidak karuan menjadi lebih baik.

"Kamu pandai memainkannya," puji Steven.

"Hehehe, aku di ajarkan oleh ayah," balas Karvin yang merasa tersanjung.

"Musik sangat bagus untuk memperbaiki perasaan. Aku suka melodi indah itu," ucap Cindy.

Nina menganggukkan kepala, "Itu sangat indah. Aku dulu pernah belajar bermain keyboard, setiap tuts yang aku tekan mengeluarkan melodi."

Mata mereka semua berbinar mendengar kata keyboard. Alat musik itu sangat modern dan langka. Key yang awalnya tertidur jadi terbangun karena mendengar suara bising dari mereka berempat yang sibuk membahas tentang musik.

"Kak Steven," gumam Key yang masih setengah mengantuk.

Steven tiba-tiba mengangkat Key lalu menaruh adiknya itu di tengah-tengah mereka berempat. "Adikku juga sangat pandai bernyanyi kalian harus mendengarkannya."

Key yang baru saja sadar jadi malu saat semua orang melihat ke arahnya. Namun melodi gitar dari Karvin membuat sedikit rasa malunya menghilang. Melodi itu sama persis seperti lagu pengantar tidur yang dibawakan oleh mamanya. Hingga Key tidak menyadari jika dia mulai bernyanyi. Membuat Cindy, Nina, dan Steven jadi terkagum mendengar suaranya yang lembut dan indah.

"Wow keren," puji Nina sambil bertepuk tangan lalu di ikuti oleh yang lainnya.

Key tersenyum malu-malu setelah menyelesaikan nyanyiannya, dia berlari ke arah Steven lalu memeluknya. "Key hebat," puji Steven dengan bangga.

"Aku juga pernah memainkan alat musik seperti gitar namun menggunakan listrik, bunyi yang dihasilkan berbeda. Mereka menyebutnya gitar bass," ungkap Cindy.

Karvin menjadi sangat senang saat mendengar kata gitar bass. Dia mengambil kedua tangan Cindy yang masih terbalut perban dengan semangat. "Aku tidak menyangka bahwa akan mendapat teman yang bisa bermain gitar bass. Cindy maukah kamu memainkannya bersamaku?"

"Maksudmu menjadi bassist gitarmu?" Cindy memastikan ucapan Karvin.

Anak laki-laki itu mengangguk bersemangat. "Aku akan mencari gitar bass di sekitar sini."

"Tapi Karvin, apakah kita boleh memainkan alat musik?" tanya Nina yang penasaran.

"Eh bermain alat musik itu tidak dilarang, kan? Di rumahku dulu tak ada yang melarang bermain, selagi lagunya enak didengar," jawab Karvin dengan yakin.

Nina menggelengkan kepalanya pasrah. "Di sini kita dilarang bermain alat musik, hanya yang diizinkan saja yang boleh bermain."

"Jika begitu aku akan meminta izin," ucap Karvin sebelum akhirnya berlari keluar tenda dengan membawa gitar di tangannya.

Steven hanya bisa terdiam melihat bocah laki-laki seumurannya itu dengan percaya diri keluar dari tenda. "Apa dia akan baik-baik saja?"

"Mungkin," jawab Nina dan Cindy bersamaan.

Setelah satu jam kepergian Karvin mereka bertiga menjadi sangat khawatir. Tentara dari negeri ini punya rasa toleransi yang sedikit tentang musik. Sebab musik adalah budaya orang Utara. Namun kekhawatiran itu hilang saat orang yang mereka khawatirkan muncul di depan pintu tenda sambil membawa dua gitar di tangan.

"Ini, aku menemukannya di tumpukan barang bekas." Karvin menyerahkan salah satu gitar yang dia pegang kepada Cindy. "Bukan yang listrik tapi versi akustik."

Mata Cindy berkedip beberapa kali saking tidak percaya bahwa Karvin benar-benar mencarikan gitar bass untuknya. Dia mengambil gitar pemberian Karvin itu dengan hati-hati. Setelah dia perhatikan lamat-lamat gitar bass itu masih sangat bagus.

"Ayo coba mainkan."

"Tapi gitar ini sangat bagus, aku-" ucapannya terhenti karna melihat wajah Karvin yang kecewa. "Baiklah akan aku coba."

Cindy mulai memikirkan lagu yang dulu sering dia mainkan. Itu sudah sangat lama sekali. Dengan kehati-hatian jarinya yang masih terbalut perban memetik senar gitar bass. Melodi mulai tercipta membuat Cindy masuk ke dalam permainannya sendiri. Karvin pun ikut memainkan gitarnya. Mengikuti lagu yang dimainkan oleh Cindy.

"Sangat bagus ya kak," puji Key sambil menoleh pada kakaknya yang terkagum mendengar permainan kedua orang di depannya.

"Ya, sangat indah."

Setelah permainan mereka selesai, terdengar tepukan tangan dari Nina, Key, dan Steven. Cindy dan Karvin hanya membalas dengan senyuman. Mereka menaruh gitar yang mereka mainkan tadi pada sebuah kotak. Saat mereka akan kembali duduk, seseorang tiba-tiba saja masuk ke dalam tenda dengan membawa sebuah keyboard. Karvin menghampiri orang tersebut lalu mengucapkan terima kasih. Orang itu hanya membalas dengan anggukan kepala dan bergegas keluar setelah menaruh keyboard di tengah tenda.

"Apakah kamu mau mencoba memainkannya Nina?" tanya Karvin pada perempuan berambut pendek yang duduk di sebelah Key.

"Tentu."

Nina mulai memainkan keyboard itu. Dia jadi mengingat kenangan tahun lalu, saat pertama kalinya dia diajari bermain piano oleh pengurus panti. Permainan keyboard Nina masih sederhana namun dia bermain dengan sangat bagus. Temannya yang lain hanya bisa memperhatikan dia bermain, hingga tak menyadari jika ada seseorang yang masuk ke dalam tenda untuk mengantarkan makanan. Steven yang sadar pertama kali langsung menerima makanan itu dan membagikannya pada yang lain.

"Istirahat dulu, kita lanjutkan besok," ucap Karvin.

Mereka berlima makan dengan lahap lalu ketiduran. Malam itu sangat hangat walau mereka tidur hanya beralaskan karpet dan tidak memakai selimut. Mungkin karna di malam sebelum-sebelumnya mereka tidak pernah tidur dengan perasaan senyaman ini. Bunyi berisik di langit masih terdengar, namun itu tidak menganggu tidur mereka sama sekali.

Saat pagi hari tiba Steven bangun lebih awal. Dia keluar tenda dan mendapati makin banyak pengungsi yang datang. Diantara mereka kebanyakan anak-anak dan para lansia. Orang dewasa dan para remaja banyak yang gugur di medan perang atau diculik oleh tentara Utara untuk di jadikan budak.

Steven berjalan menuju ke tempat sumber air berada. Di sana banyak anak yang mengantri untuk mendapat minuman. Tubuh mereka penuh luka dan debu. Kebanyakan dari anak itu seumuran dengan adiknya Key. Hati kecil Steven seolah ingin teriris, dia membayangkan bagaimana jika Key sendirian tanpa dirinya seperti anak-anak ini. Adiknya itu sangat mudah sekali menangis, jika bersembunyi dari tentara dia akan mudah ketahuan. Steven dengan cepat menghilangkan pemikiran buruk itu dari dalam kepalanya.

"Kalian datang dari daerah mana?" tanya Steven pada sekelompok anak yang duduk menunggu giliran mereka mengambil air.

Anak-anak itu tersenyum dengan semangat seolah tak ada rasa sedih di hati mereka. Salah satu dari mereka berjalan mendekat ke arah Steven dengan kaki yang terpincang-pincang. "Kami dari daerah pegunungan Barat," jawab anak laki-laki itu mewakili temannya yang lain.

Steven membalas tersenyum lalu menepuk kepala anak kecil itu pelan, "Wah, kalian hebat bisa sampai ke sini."

"Karna banyak orang dewasa yang melindungi kami hingga bisa sampai ke sini." Senyuman di wajah anak itu menghilang tergantikan dengan tatapan mata yang kosong.

Salah satu temannya berdiri lalu menepuk bahunya. "Hey jangan bersedih, mereka pasti tidak ingin melihatmu berwajah murung dari atas sana."

Anak kecil yang lain ikut menyemangati membuat anak itu menjadi senang kembali. Steven jadi ikut gembira melihat kedekatan mereka semua. Hingga dia tidak menyadari jika antrian di depannya sudah berjarak sangat jauh.

"Maaf aku harus pergi sekarang," pamit Steven dan buru-buru mengantri lagi.

Setelah antrian yang panjang itu Steven kembali ke tendanya dengan membawa dua botol besar berisi air untuk diminum. Baru saja sampai, Steven mendapat sambutan isakan tangis dari anak kecil yang sangat ia kenali. Dia segera masuk ke dalam tenda dan mendapati Key yang sedang menangis sesegukan di dekat Cindy.

"Kakak ..." lirih Key saat melihat Steven berdiri di depan pintu tenda.

Steven langsung berlari ke arah Key, dia duduk di hadapan adiknya itu sambil menaruh dua botol yang dia bawa ke samping tubuhnya. "Key ... Maaf kakak tidak mengajakmu keluar. Kakak tadi sedang mencari air untuk diminum."

Key menggelengkan kepalanya, "Aku menangis bukan karna kakak, tapi karna tidak sengaja menginjak kaki Kak Cindy."

"Aku sudah bilang padanya bahwa aku tidak apa-apa, kaki kecilnya tidak bisa meremukkan tulangku," timpal Cindy yang duduk di sebelah Key.

Steven memeluk Key yang masih menangis. Dia mengusap punggungnya pelan, membuat anak kecil itu berhenti menangis. "Key, sudah meminta maaf ke Kak Cindy?" tanya Steven setelah Key tenang.

Key mengangguk, dia menggeser tubuh kecilnya untuk lebih ke dekat ke arah Cindy yang sedang berusaha meraih botol air yang dibawa oleh Steven. Key terus memperhatikan kaki perempuan itu yang masih berbalut perban putih. "Kak Cin, Key minta maaf sekali lagi."

Cindy meminum air yang dibawa oleh Steven, dia melirik sebentar ke arah Key yang wajahnya masih murung. "Tak apa, ini bukan masalah besar."

"Dimana Karvin dan Nina?" tanya Steven pada Cindy.

"Tuh, mereka dari tadi sudah ada di sana."

Steven langsung menoleh ke arah yang Cindy tunjukkan, dia melihat dua orang itu duduk diam di pojokan tenda. Mereka termenung cukup lama sambil memandangi kertas yang bertuliskan grup band. Steven yang penasaran mendatangi mereka dan terkaget saat Karvin tiba-tiba menarik tangannya.

"Hey!"

"Oh maaf, aku ingin membicarakan sesuatu yang penting," ucap Karvin.

Steven duduk di antara mereka berdua. Tatapan Nina dan Karvin terhunus tajam ke arahnya, membuat ia jadi tak nyaman. "Apa? Ada apa?"

"Steven kamu dulunya pernah ikut grup band ya?" tanya Nina seperti sedang mengintrogasi. Dia menunjukkan kertas yang mereka temukan di tumpukan buku Steven.

Steven menganggukkan kepalanya. "Hanya grup band kecil, saat itu umurku baru 6 tahun jadi aku tak ingat banyak."

Karvin dan Nina jadi sangat bersemangat. Mereka berdua menepuk bahu Steven. "Kita harus membuat grup band."

Setelah ucapan Karvin dan Nina di hari itu, mereka berlima pun mulai membentuk grup band. Karvin sebagai gitaris, Cindy sebagai bassis, Nina sebagai pianis, Steven sebagai drummer, dan Key sebagai vokalis. Awalnya mereka berlatih di dekat tenda, tentunya setelah mendapat izin dari para tentara. Namun penonton mereka yang semakin bertambah membuat mereka harus bermain di tempat yang lebih luas.

Band mereka bermain untuk menghibur para pengungsi yang kehilangan rumah, keluarga, dan tempat tinggal. Kebanyakan dari penonton mereka adalah anak-anak kecil, remaja perempuan, lansia dan tentunya para tentara yang terluka. Permainan lagu mereka yang menghibur membawa semangat sendiri di tempat penampungan itu.

"Aku senang kita bisa menghibur banyak orang sekarang," ucap Nina sambil membersihkan keyboardnya dari debu.

Karvin mengangguk dengan semangat lalu merangkul bahu Steven. "Aku dengar kau mendapat surat cinta lagi Steven."

Steven mendorong Karvin hingga bocah laki-laki itu hampir terjatuh dari atas panggung yang dibuat dadakan oleh para tentara. "Hey, jangan berbuat kasar pada Ketua," protes Karvin.

"Maaf Tuan Ketua," sinis Steven. Matanya teralihkan pada Key yang masih bersemangat membaca surat-surat dari para penggemarnya.

"Key, kamu belum makan, bukan?" tanya Cindy pada anak kecil itu.

Key menggeleng, "Belum, aku mau makan bareng kak Steven."

Cindy menoleh pada Steven yang sedang melamun. "Kau akan berdiri di sana sampai kapan? Ajak adikmu itu makan. Dia pasti sangat lelah dan lapar."

Steven tersadar dari lamunannya, dia bergegas mengajak Key untuk makan di tenda mereka. Cindy kemudian beranjak ke arah Nina yang masih membersihkan keyboardnya.

"Dia sudah seperti anakmu sendiri."

"Kau benar, dia sangat cantik bukan?" tanya Nina sambil menunjukkan keyboard itu pada Cindy yang sedang duduk menikmati teh sorenya.

"Ya."

"Aku akan makan, bisakah kau berjaga di sini sendirian?" pinta Nina sambil menangkupkan kedua tangannya.

"Silahkan, aku sudah makan," jawab Cindy.

Nina berterima kasih padanya lalu pergi ke tenda. Cindy duduk di atas panggung sambil mengawasi matahari yang hampir tenggelam. Dia termenung cukup lama sampai matanya teralihkan oleh kode pesawat di langit.

"Ini tanda bahaya," ucap seorang tentara yang kebetulan lewat di dekat panggung.

"Kau benar, kita harus memperingatkan yang lain untuk pergi dari tempat pengungsian ini," balas tentara satunya.

Cindy yang tak sengaja menguping mereka hanya memilih diam. Dia memperhatikan lagi langit yang kini sudah berubah menjadi gelap. Pesawat tempur berterbangan di langit seperti kumpulan burung gagak.

"Cin, apakah kamu mendengar percakapan kedua tentara tadi?" tanya Karvin yang datang entah darimana.

Cindy mengangguk sambil meminum tehnya yang sudah dingin. Karvin ikut duduk di lantai panggung sambil melihat ke arah kamp pengungsian. Malam itu anginnya sangat kuat hingga beberapa tenda hampir melayang dibuatnya. Lampu neon yang ada di luar tenda bergoyang ke sana kemari mengikuti gerakan sang angin.

"Pergilah, bersama yang lain besok malam," ucap Cindy yang memecahkan keheningan diantara mereka berdua.

Karvin menoleh ke arahnya dengan tatapan memicing curiga. "Apa kau bisa membaca kode itu?"

"Ya, kode itu mengisyaratkan untuk penyerangan ke tenda pengungsian wilayah Barat di esok fajar," jawab Cindy dengan yakin.

"Kenapa kau bisa tahu?"

"Itu tidak penting sekarang."

Beberapa tentara yang lewat langsung mendatangi mereka berdua, tidak memberikan kesempatan pada Karvin untuk bertanya lebih lanjut pada perempuan di sampingnya.

"Kalian kenapa masih di sini? Cepat ajak teman kalian untuk berkemas, para tentara di dekat pintu rahasia akan mengantar kalian ke dermaga. Di sana akan ada kapal yang berlabuh. Kapal itu ditugaskan untuk mengantarkan para warga sipil seperti kalian ke daerah yang tidak terkena dampak perang," jelas salah satu tentara yang di seragamnya bertuliskan Elucia.

"Itu akan sia-sia saja," balas Cindy. "Tujuan mereka sebenarnya adalah menyerang kapal itu."

Semua tentara di sana sangat kaget. Seseorang yang bertubuh tinggi dengan banyak luka di tubuhnya berlari ke arah Cindy dan menarik kerah bajunya. "Kau! Begini caramu membalas kebaikan kami selama ini!" teriak tentara itu dengan marah.

"Yotsuba hentikan!"

Laki-laki itu membanting tubuh Cindy hingga jatuh terperosok ke tanah. Karvin hendak menolongnya namun tentara yang lain mencegatnya. Elucia berjalan mendekat ke arah Cindy, dia kemudian menarik salah satu perban di lengan remaja perempuan itu. Terlihat sebuah tato bendera wilayah Utara di sana dengan beberapa luka.

"Harusnya sejak awal kami tidak menyelamatkanmu, kalian para tentara Utara sangat kejam!" teriak Elucia sambil mengarahkan pistolnya ke kepala Cindy.

Steven, Nina, dan Key yang mendengar keributan dari arah panggung bergegas keluar dari dalam tenda. Saat sampai di sana mereka mendapati Karvin yang berusaha melepaskan diri dari para tentara dan Cindy yang sudah babak belur.

"Ada apa ini?" tanya Nina pada mereka semua.

"M-Mereka kenapa?" tanya Key pada Steven. Bukannya menjawab Steven malah menarik tubuh Key untuk berlindung di belakangnya.

Karvin terus mencoba melepaskan diri, dia berteriak pada para tentara untuk berhenti memukuli temannya. Tapi tak ada yang mengindahkan teriakannya. Setelah Cindy terkapar tak berdaya baru mereka berhenti memukulinya.

"Cin!!" teriak Nina.

Dia berlari ke arah Cindy namun sama seperti Karvin dia juga ditahan oleh para tentara. "Maaf, tapi kalian tidak boleh mendekat ke arahnya, dia adalah mata-mata tentara Utara."

"Itu tidak benar, dia temanku ..." isak tangis Nina menjadi melodi di malam yang dingin itu. Tak ada suara apapun selain raungan minta tolongnya kepada para tentara untuk melepaskan temannya.

"Lepas!"

Karvin berhasil melepaskan diri dan mendekat ke arah Cindy yang sudah sangat sekarat. Bekas lukanya kembali terbuka, di tambah dengan luka baru di tubuhnya. Karvin yang masih kecil ini tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa mengguncang tubuh Cindy yang masih hangat, sama seperti yang dia lakukan saat ibunya menjadi korban bom di hari itu.

"Bangun ...," lirihnya. Tapi tak ada jawaban apapun.

Karvin mengguncang tubuh wanita di hadapannya lebih kuat namun hanya bunyi nafas yang bisa dia dengar. Orang-orang berlarian ke sana-kemari menyelematkan diri mereka sendiri dan tak ada yang mau membantunya. Malah mereka menginjak tubuh kecilnya tanpa merasa bersalah, Karvin kecil terus menutupi tubuh wanita itu agar tidak terinjak oleh siapapun. Hingga akhirnya deru nafasnya tidak terdengar.

"Aku tak apa," ucap Cindy yang membuyarkan lamunan Karvin.

Perempuan itu berusaha tersenyum. "Sepertinya kamu harus mencari bassis yang baru, Karvin."

Matanya tertutup perlahan dan deru nafasnya tidak terdengar lagi. Karvin mematung di tempat. Dia duduk di depan jasad seorang wanita untuk kedua kalinya. Rasa penyesalan itu menusuk ke jantung kecilnya. Karvin memandangi kedua tangannya yang penuh darah sama seperti di hari itu, dia tak bisa melakukan apapun untuk menolong mereka.

Nina terjatuh tak sadarkan diri saat melihat tubuh Cindy yang membiru. Sedangkan Steven menyeret Key kembali ke dalam tenda. Dia membereskan barang mereka lalu keluar dan pergi ke suatu tempat. "Kak Steven kita akan kemana?" tanya Key padanya.

"Key akan bertemu keluarga baru, di sana banyak makanan dan mainan, pasti Key suka," jawab Steven sambil mengendong Key menjauh dari tempat penampungan.

"Tapi ... Key lebih suka di sana, ada Kak Cindy, Karvin, dan Nina, kita bermain alat musik bersama dan-"

"CUKUP KEY!" teriak Steven tiba-tiba.

Key berhenti berbicara, ini kali pertamanya dia mendengar Steven berteriak kepadanya. Key sangat ingin menangis, tapi dia menahannya. Dia tak ingin Steven marah lagi karena dia membuat suara yang berisik. Setelah berjalan cukup jauh, mereka akhirnya sampai ke suatu pangkalan militer. Steven menurunkan Key di sana. Dia menemui seseorang sambil menunjukkan sesuatu ke penjaga.

"Silahkan masuk, tentara mata-mata."

Steven menarik tangan Key untuk masuk ke dalam sebuah tenda. Di sana ada anak seumuran dengannya tapi pakaian mereka sangat bersih dan indah. Key hanya bisa menatap mereka penuh kekaguman, itu seperti gambaran kak Nina tentang anak dari keluarga bangsawan.

"Siapa anak yang kotor ini ayah?" tunjuk salah satu anak itu ke arah Key.

"Jangan tidak sopan begitu, dia akan menjadi adik barumu namanya Key," jawab sang ayah yang tubuhnya sangat gemuk. Key yakin jika dia berjalan bumi bisa saja bergoyang, karena Key tak pernah melihat manusia segemuk itu sebelumnya.

Steven menundukkan kepala Key membuat anak itu kaget. "Maaf atas kelancangannya Tuan, Key sebenarnya anak yang sopan hanya saja dia kadang mudah kebingungan."

"Hahahah, tak apa Nak Steven, Key akan banyak belajar tata krama dan sopan santun di sekolahnya, aku akan menyuruh pelayan untuk memandikannya dan memakaikan dia pakaian mewah," jawab pria tua itu sambil mengarahkan tangannya pada pelayan untuk membawa Key pergi.

"Saya sudah melakukan perintah seperti yang Anda inginkan, jadi tolong rawatlah adik saya dengan baik di sini," pinta Steven sambil membungkuk hormat.

"Tentu saja, tapi kami punya misi terakhir untukmu."

Pria itu melemparkan sebuah foto kehadapan Steven. Di sana ada sebuah foto seorang perempuan dan satunya adalah seorang anak laki-laki. Steven mengenali dua wajah ini. Dia menoleh ke arah pria itu dengan tatapan bertanya.

"Perempuan itu adalah seorang tentara yang ahli tapi kami kehilangan jejaknya, dia melarikan diri. Banyak tentara bilang jika dia sudah meninggal, tapi kami tidak mempercayainya. Lalu, anak laki-laki yang seumuran denganmu di foto itu adalah seorang anak bangsawan dari wilayah Barat. Keluarganya sangat kaya dan terhormat, jika kita berhasil menyanderanya kita akan mendapat banyak uang. Aku ingin kau menangkap keduanya!" perintah si pria itu padanya.

Steven tertunduk sebentar sebelum akhirnya berdiri memberi hormat. "Perempuan ini baru saja meninggal Tuan, sedangkan anak laki-laki yang ada di dalam foto, dia adalah mantan temanku di tempat penampungan."

"Baguslah, berarti semakin mudah untukmu menipunya, jika kau berhasil membawanya pulang kau tak perlu mengabdi menjadi tentara dan bisa merawat Key dengan harta yang banyak."

Setelah perbincangan itu Steven bergerak lagi ke tempat penampungan. Dia kembali ke dalam tenda seolah tak terjadi apapun. Di sana Nina masih tak sadarkan diri sedangkan Karvin melamun memandangi kotak yang berisi dua gitar. Steven berjalan ke arahnya dan hendak berbicara.

"Darimana saja kau dan dimana Key?" tanya Nina padanya.

Steven menoleh ke arah Nina yang sudah sadar, dia tersenyum sambil memperlihatkan surat hak asuh Key padanya. "Key sudah aku titipkan pada keluargaku, dia akan baik-baik saja."

"Oh, syukurlah." Nina kembali menutup matanya dengan sedih. Dia sangat ingin mendengar nyanyian Key sekarang. Dia merindukan band mereka.

"Karvin, kau tak apa?" tanya Steven sambil menepuk bahu laki-laki yang masih termenung itu.

"Tidak."

Karvin mengambil gitarnya dan hendak keluar tenda tapi Steven menghentikannya. "Kau mau kemana dengan gitar itu?"

"Aku akan menghibur para pengungsi seperti dulu," jawabnya sambil berusaha keluar dari tenda.

"Tapi, kau tak bisa kita sudah kekurangan anggota sekarang, dan siapa yang akan bernyanyi?"

"Harus ada yang menghibur mereka."

Steven memberikan Karvin jalan, namun dia mengatakan sesuatu sebelum Karvin benar-benar menginjakkan kakinya keluar tenda.

"Menurutku kau sangat kekanakan, Karvin. Musik hanya penghiburan sementara. Perasaan bahagia yang ditimbulkan juga sementara. Semua itu semu dan tak berarti. Musik tidak bisa menghidupkan yang mati untuk kembali."

Karvin menahan kepalan tangannya. Dia masih terus berjalan ke arah panggung. Dalam hatinya dia tahu apa yang dikatakan Steven benar, namun saat ini dia hanya ingin menghibur. Setidaknya untuk sedikit saja perasaan bahagia itu bisa ia timbulkan. Gitarnya mulai terdengar ke seluruh penjuru penampungan dengan bantuan alat pengeras suara. Melodi itu sangat menyedihkan, semua orang yang sedang berkemas untuk meninggalkan penampungan seperti mendengar lagu perpisahan.

Para tentara hendak menghentikannya namun Elucia mencegat mereka. Dia membiarkan Karvin bermain musik yang mungkin saja permainan terakhirnya. Steven memperhatikan Karvin dari jauh. Dia akan menunggu waktu hingga bantuan penyergapan tentara Utara berhasil masuk ke daerah ini dan menculik Karvin. Itu adalah rencananya.

Namun semua rencananya berantakan saat melihat adiknya Key dengan gaun berwarna biru memasuki area penampungan. Dia menangis dengan pakaian yang kotor penuh lumpur.

"Kak Steven!" teriak Key sambil berlari ke arah kakaknya.

"Key, kenapa kau ada di sini?" tanya Steven sambil membersihkan lumpur di wajahnya.

"Key tidak ingin kembali ke sana, mereka semua jahat, mereka menyeret Key ke kandang babi lalu melempari Key dengan lumpur. Key sangat takut kak Steven," jawab Key sambil memeluk kakaknya dengan erat.

"Apa benar mereka melakukan itu padamu?"

Key mengangguk. Steven jadi sangat marah. Bukankah pria itu bilang Key akan diperlakukan dengan baik namun kenapa ini yang di dapatkan oleh adiknya. Steven hendak kembali ke sana tapi dia bingung ingin melanjutkan rencana atau menghancurkannya.

"Kenapa kau terlihat bingung? Seret saja aku ke sana seperti pengkhianatan yang kau lakukan pada kami semua!" tegas Karvin yang sudah berdiri di belakangnya.

Steven menoleh ke belakang dan melihat tatapan marah Karvin terhunus padanya. Steven menarik tangan Key untuk bersembunyi. Lalu dia berjalan ke arah Karvin dan menodongkan pistolnya. "Anak orang kaya sepertimu tak tahu penderitaanku dan adikku!"

"Jangan bersikap seolah kau orang yang paling menderita di dunia ini. Kau tahu sendiri ada banyak anak kecil di sini yang bahkan seumuran dengan Key. Tapi dengan tidak ada hati nuraninya kau menjadi mata-mata untuk musuh yang akan menghancurkan jiwa tidak bersalah itu."

Steven tertawa, "Hahahah, jangan jadi sok pahlawan Karvin! Aku tidak bisa menyelematkan setiap anak di dunia ini. Aku tidak ingin nasib adikku sama seperti mereka semua. Dia harus mendapat sesuatu yang lebih baik."

"Dengan cara mengorbankan semua orang yang ada di sini?"

"Tentu, akan aku lakukan apapun untuk adikku!"

Karvin menoleh ke arah Key yang ketakutan di belakang Steven. "Tapi pernahkah kau bertanya pada Key apa itu yang dia inginkan?"

"Key belum bisa berpikir dengan baik, apa yang aku pilihkan selalu terbaik untuknya jadi dia hanya perlu menurutiku," balas Steven dengan amarah yang semakin memuncak.

"Tapi Steven ... kau juga anak kecil sama seperti dirinya."

Mata Steven terbelalak kaget. Dia menatap kedua tangannya yang sedang memegang pistol. Tangannya lumayan kecil hingga dia harus menggunakan kedua tangan untuk memegang pistol yang terlihat besar di tangannya itu. Steven menoleh ke arah pantulan genangan air yang ada di bawah sepatunya yang robek. Hanya ada wajah anak kecil memegang pistol di sana. Hanya ada wajahnya.

"Kak ...," panggil Key saat melihat Steven terduduk tak berdaya. Celana dan tangan Steven penuh lumpur dari genangan air yang ada dibawahnya, pistol ditangan anak itu sampai terjatuh.

"Aku ... hanya anak kecil!" pekik Steven dengan suara yang memilukan.

Steven mengangkat kedua tangannya yang kotor dengan tatapan tidak percaya. Steven tertawa seperti orang gila dia mengusap lumpur itu keseluruh wajahnya. Key yang melihat kejadian itu menjadi sangat terkejut. Key hendak menyadarkan kakaknya yang dia kira kerasukan, namun seseorang langsung menghentikannya.

"Key, jangan mendekat," larang Nina.

Nina mengusap pelan punggung kecil Key yang terus bergetar hebat. Key berusaha menahan tangisnya, namun bendungan air mata itu akhirnya pecah. Dia menangis meratapi Steven yang berteriak dan tertawa seolah sedang bertengkar dengan dirinya sendiri. Semua pengungsi menjadi penasaran apa yang sedang terjadi, tapi mereka tak punya banyak waktu dan memilih untuk berkemas. Para tentara juga sama, mereka sibuk mengarahkan korban perang menuju kapal. Tak ada waktu meladeni pertengkaran anak kecil.

"Kenapa aku?" tanya Steven pada dirinya sendiri. Memori pembantaian masa lalu terputar kembali di ingatannya.

"Mundur kalian semua! Jangan ambil adikku!" teriak Steven sambil mengarahkan pisau lipat ke arah para tentara yang lebih besar darinya.

"Hahaha anak ini lucu sekali, dia mengira kita akan takut dengan satu pisau kecil."

Walau dihina seperti itu Steven tetap mengangkat pisaunya tanpa rasa takut sama sekali. Isakan tangis balita kecil yang ada dibelakang punggungnya merupakan sumber keberaniannya. Dia tak akan pernah menyerahkan adiknya pada siapapun. Hanya dia yang bisa melindungi adiknya.

Suara langkah kaki membelah kerumunan para tentara itu. Mereka mempersilahkan seorang pria tua yang bertubuh berisi lewat. Kilau permata yang menempel di pakaiannya sangat menyilaukan mata. Pria tua aneh itu bertepuk tangan di depan wajah Steven, membuat para tentara kebingungan.

"Turunkan pisaumu anak kecil, aku melihat keberanian dalam dirimu," pujinya. "Aku ingin menawarkan suatu kesepakatan padamu yang bisa memastikan masa depan adikmu."

Kenangan kilas balik itu sirna tergantikan oleh memori yang lain. Dia melihat sosok seorang wanita tua menangisi putranya yang bersimbah darah dengan sebuah pisau di perutnya. Steven kecil melihat wanita itu memandangnya dengan penuh kemarahan, tapi dia tak bisa melakukan apapun dan hanya bisa menangis. Steven berlari dari tempat itu, dia bersembunyi ke dalam hutan. Di air sungai yang mengalir dia berusaha membersihkan darah di tangannya, namun warna merah pekat itu seolah tak ingin menghilang.

"Aku tak mengerti," gumaman itu menyadarkan Steven dari kilas balik masa lalu.

"Kenapa kau berbuat sejahat itu?"

Steven menyeringai penuh arti. Dia berdiri dan menatap tajam ke arah Karvin yang masih berada di tempatnya. "Jika kau hanya bisa melihat dunia dengan hitam dan putih. Maka kau tak akan pernah mengerti apapun dari keabu-abuan yang tak bisa kau lihat."

"Cukup Steven! Hentikan semua ini, apa menurutmu mereka yang berani menyakiti orang lain akan bisa merawat adikmu dengan baik?" teriak Karvin padanya.

Steven mengusap wajahnya yang penuh lumpur dengan pakaiannya. Dia menoleh ke arah Key yang masih ditahan oleh Nina. "Menurutmu apa kebaikan bisa membantuku dengan adikku? Tidak bisa! Jika hari itu aku tak membunuh orang yang dia perintahkan, aku dan adikku mungkin saja sudah di jual karna tak berguna."

Key menutup telinganya. Dia tak ingin mendengar kata pembunuhan apa lagi itu dari kakaknya sendiri. Nina menatap kasihan pada anak kecil itu. Dia memeluknya erat dan berusaha menghiburnya sekuat yang ia bisa.

"Kebaikan bisa membantumu! Lihatlah saat kita bermain musik, semua anak merasa gembira. Itu adalah kebaikan yang kita sebarkan untuk menghibur mereka."

"ITU HANYA HIBURAN SEMENTARA!" pekik Steven dengan lantang. Matanya menatap tajam ke arah Karvin. "Karvin, aku pikir orang sepertimu terlalu naif untuk berada di dunia yang kejam ini seperti Cindy."

Nina menoleh ke arah mereka berdua saat nama temannya di sebutkan. Nina jadi mengingat kejadian saat Cindy meninggal. Itu sangat menyakitkan baginya. Dia mengenal Cindy di tempat penampungan ini, mereka awalnya tak saling menyapa namun karna beberapa hal dia jadi harus berbicara pada orang yang dia kira bisu itu.

"Aku tak mengerti kenapa semua orang menangis untuk orang yang sudah meninggal, itu kan percuma saja," ucap Nina saat melihat pembakaran mayat korban perang di dekat penampungan bersama Cindy.

"Mungkin itu adalah satu-satunya cara mereka meluapkan emosi kehilangan yang dirasakan. Saat kau menangis dunia akan terus berputar, jam terus berdetak, tapi perasaan manusia akan berusaha mengikhlaskan. Karna kehilangan orang yang kau sayangi sangat menyakitkan dan perasaan itu harus diikhlaskan," balas Cindy sambil menangkupkan tangannya untuk berdoa bagi para korban.

"Wow kau seperti seorang bapak petuah yang bijak," puji Nina yang mendapat balasan jitakan kepala dari Cindy.

"Sana ikut berdoa."

Ingatan itu memudar. Nina hanya bisa tersenyum getir mengingat kejadian di hari itu. Sekarang semuanya seperti hampa. Mungkin Cindy benar, mengikhlaskan adalah satu-satunya jalan untuk menerima kenyataan bahwa orang yang kita sayangi sudah pergi.

Karvin dan Steven terlihat masih terus beradu kata hingga akhirnya terjadi baku hantam yang tidak terelakkan. Para tentara mencoba menghentikan mereka, namun tak ada yang berhasil. Steven memukul wajah Karvin dengan begitu kuat dan di balas oleh Karvin pukulan di sekitar perutnya.

Key hanya bisa menangis, dia tak tahu harus berbuat apa untuk menghentikan kakaknya. Dia ketakutan, tapi untungnya ada Nina yang terus berusaha menguatkannya. Anak yang masih berusia 4 tahun itu, sudah melihat banyak hal sebelum waktunya.

"Hentikan kalian berdua!" teriak Nina tapi mereka terus saja beradu pukulan.

Suara tembakan kemudian menyusul di luar penampungan. Membuat aksi saling pukul itu benar-benar terhenti. Para tentara Barat yang terluka lari terbirit-birit masuk ke dalam penampungan dan menutup akses pagar masuk.

"Semuanya cepat tinggalkan area penampungan!" teriak Yotsuba dari atas menara pengintai.

Semua orang yang ada di dalam penampungan berlari ke arah pintu ruang bawah tanah rahasia. Steven baru mengetahui hal ini, dia hendak melaporkan ini pada Tuannya. Tapi Karvin menahan kakinya.

"Aku tak akan membiarkanmu pergi dan membuat kesalahan lebih banyak! Cukup Cindy yang menjadi korbannya!" tegas Karvin yang masih terus berusaha menahan kaki Steven.

"Lepas! Aku harus melaporkan ini agar adikku bisa selamat!"

"Aku tahu tujuan awal kau kembali ke sini, kau bisa menyerahkanku saja sebagai sandera tapi sebagai balasannya kau tak akan melaporkan hal ini ke para tentara Utara," ucap Karvin yang kini sudah melepaskan kaki Steven.

Steven menatap tak percaya. Untuk apa Karvin menyerahkan dirinya untuk sekelompok orang yang mungkin saja tak peduli padanya. "Terserah kau saja, tapi jika terjadi sesuatu padamu aku tak akan ikut campur."

Steven menyeret Karvin keluar dari tempat penampungan. Para tentara mencoba menghentikan mereka namun Steven tak mengindahkan ucapan mereka semua. Key dan Nina menyusul di belakang mereka berdua. Nina tak suka ide ini, dia takut akan terjadi sesuatu pada Key. Tapi anak kecil itu sangat tidak ingin berpisah dari kakaknya.

"Aku sudah membawakan apa yang kalian inginkan," ucap Steven sambil menunjukkan Karvin yang dia seret.

"Bagus Steven, kau memang sangat pemberani. Aku akan-"

"Hentikan Kak! Jangan biarkan kak Karvin dibawa oleh orang tua jahat itu!" pekik Key yang kini sedang berlari ke arah Steven.

Nina mencoba menghentikan Key. Tapi anak itu sangat gesit, larinya begitu cepat hingga dalam hitungan menit dia sudah berdiri di depan kakaknya. "Aku tahu kakak bukan orang yang jahat." Key merentangkan kedua tangannya untuk menghadang Steven.

"Singkirkan anak kecil menyusahkan itu," bisik si pria tua pada salah satu tentara.

DORRR

Bunyi suara tembakan itu membuat waktu di sekitar Steven seolah terhenti. Dia langsung terduduk memandangi adiknya sudah bergelimang darah di hadapannya sekarang.

"KENAPA!" pekik Steven.

"KENAPA KALIAN MELAKUKAN INI!"

Steven menangis sambil memeluk tubuh Key yang sudah bersimbah darah. Para tentara Utara hanya tertawa memandangi kedua adik beradik itu. "Steven, kau tak mengerti ya? Anak rendahan sepertinya tidak cocok untuk menjadi anak angkatku. Selama ini aku hanya memanfaatkanmu untuk membunuh orang yang tidak aku sukai. Sekarang kau tak berguna lagi, jadi pergilah bersama adikmu."

Mereka siap menembak lagi tapi Karvin menutupi tubuh Steven dan Key. "Jika kalian berani melukai mereka, aku akan menyakiti diriku sendiri. Aku tahu, orang yang menyuruh kalian tidak ingin aku pulang dengan keadaan cacat. Dia pasti akan memberikan kalian hukuman yang sangat mengerikan."

Para tentara menurunkan senjata mereka. "Bagaimana ini Tuan?" tanya salah satu tentara.

"Kita tunggu dia tenang lalu beri dia tembakan obat bius," jawab si pria tua sambil berbisik.

"Sekarang!" teriak Nina.

Karvin, Nina, dan Steven yang sedang mengendong Key berlari ke arah penampungan. Semua prajurit tentara Utara berusaha untuk mengejar tapi tak berhasil karna mata mereka kemasukan bubuk warna yang disebarkan oleh Nina. Setelah mereka sampai di penampungan tempat itu sudah sepi. Nina menyuruh Steven untuk membawa Key ke atas panggung karna itu adalah satu-satunya tempat yang masih memiliki cahaya dari listrik.

"Kenapa tempat ini masih menyala?" tanya Karvin yang kebingungan.

"Karna listriknya menggunakan mesin bertenaga minyak. Berbeda dengan listrik batu bara yang digunakan oleh para tentara selama ini," jawab Nina sambil menyiapkan tempat untuk Key berbaring.

Steven menaruh adiknya yang sekarat ke atas tikar yang disiapkan Nina. Dia tak bisa lagi mengeluarkan air mata karna rasa sedihnya sudah sangat menyakitkan. Nina dan Karvin hanya bisa saling tatap karna tak bisa melakukan apapun untuk Key dan Steven.

"Kak ...," lirih Key sambil berusaha memegang tangan kakaknya.

"Iya kakak ada di sini Key," balas Steven yang sudah memegangi kedua tangan Key dengan erat.

"Lagu mama."

Steven menggelengkan kepalanya. Dia sudah tak ingat lagu yang sering dinyanyikan mamanya. Tapi Karvin sepertinya tahu persis lagu apa yang dimaksud oleh Key, dia mengambil gitar bass milik Cindy yang masih ada di atas panggung. Dengan tangannya yang masih penuh luka lebam akibat saking adu pukulan dengan Steven, dia memetik gitar itu dengan lembut. Melodinya mulai tercipta. Membuat Key tersenyum senang.

Steven meneteskan air matanya lagi. Lagu itu adalah lagu pertama yang mereka bawakan saat bertemu untuk pertama kalinya di dalam tenda. Nina menghidupkan keyboardnya dan memainkan tuts-tuts itu dengan lihai. Melodinya semakin indah. Steven tak bisa membendung tangisannya lagi saat melihat Key berusaha untuk bernyanyi dengan keadaannya yang sudah sangat sekarat.

"Hentikan Key, simpan tenagamu," mohon Steven pada adiknya. Tapi Key terus berusaha menyanyi walau suaranya hampir tak terdengar.

Steven memegang kedua tangan adiknya begitu erat. Dia menunduk dan menaruh tangan itu di kepalanya. Dengan mata terpejam Steven menyanyikan tiga bait terakhir lagu itu.

"Di dekat hutan ~
Ada sebuah rumah kecil ~
Yang penuh dengan impian ~"

Setelah bait terakhir dinyanyikan Key menghembuskan nafas terakhirnya. Steven menahan suara tangisnya. Dia mengigit bibir bawahnya hingga berdarah. Ini sangat menyakitkan untuknya. Seolah bayangan wanita tua di masa lalu yang anaknya dia bunuh menghantui pikirannya sekarang. Mungkin ini adalah perasaan wanita tua itu ketika melihat putra satu-satunya terbunuh oleh dirinya. Steven mendapat karma dari apa yang dia lakukan.

"Steven, ayo pergi dari sini, para tentara Utara pasti akan menyusul," ajak Nina tapi tak ada pergerakan apapun darinya.

Karvin duduk di tempat Cindy biasanya minum teh di atas panggung itu. Dia melihat langit yang mulai gelap. "Waktu hari ini terasa berjalan cukup cepat."

Nina ikut duduk di sebelahnya. Dia melihat cangkir teh Cindy yang sudah kosong. "Cindy bilang padaku bahwa dia selalu dihantui rasa bersalah pada para korban yang dia bunuh. Perasaan penyesalan itu memakan pikirannya setiap waktu, dia selalu ingin membunuh dirinya sendiri. Hingga suatu hari dia bertemu orang-orang baik dari wilayah Selatan ketika sedang dalam masa pelarian. Mereka merawatnya dan memberikan ia tempat penampungan walau sudah tahu bahwa Cindy adalah seorang bekas tentara Utara."

Steven menutup tubuh Key dengan kain yang dia temukan sambil mendengarkan Nina bercerita. Setelah melakukan hal itu, dia ikut duduk di dekat mereka berdua. "Aku pernah dengar, dia adalah seorang tentara yang hebat walau umurnya saat itu masih tergolong remaja."

Nina mulai terisak pelan. "Sepertinya saat itu Cindy sudah tahu jika kau adalah seorang mata-mata, tapi dia menutupinya dari semua orang agar grup band ini tetap bertahan."

"Dia bodoh!" teriaknya.

Steven tertunduk dia mengeluarkan pisau lipatnya dan memberikan itu pada Nina. "Kau bisa membunuhku sekarang. Aku tak punya alasan apapun untuk hidup."

Nina menolak pisau itu, dia memperhatikan raut penyesalan di wajah Steven. "Ini adalah takdir untukmu dan dirinya. Kau harus hidup sesuai takdirmu dan merasakan penyesalan itu seumur hidupmu. Aku sudah memaafkanmu Steven, tapi Tuhan punya jalannya sendiri."

Karvin mengangguk setuju. "Ingin menjadi orang jahat atau baik itu tergantung bagaimana caramu menyikapi kehidupan ini, Steven."

"Kau sudah mengambil jalanmu sendiri, sekarang kau harus menerima hukumannya," ucap Nina dan Karvin secara bersamaan.

Steven memandangi kedua tangannya. Dia masih bisa merasakan dinginnya tubuh Key. Mereka semua benar dia harus hidup dengan rasa bersalah selamanya. Tetesan air mata itu menitik sekali lagi bersamaan dengan hujan di langit.

Karvin mengambil gitar dan mulai memainkannya. "Bagaimana dengan pertunjukan terakhir?" tanya Karvin sambil mengulurkan tangannya kepada Steven.

Steven menatap mereka berdua kebingungan. "Apakah aku masih dalam band?"

"Tentu."

Di penampungan yang sepi itu dengan cahaya listrik yang tersisa mereka memainkan sebuah lagu untuk pertunjukan terakhir kalinya. Steven tidak pernah merasakan kesedihan dan kebahagiaan menjadi satu seperti ini. Dia seperti ingin menangis dan juga tertawa. Suara hujan yang jatuh ke bumi ikut menjadi instrumen tambahan. Begitu pula dengan suara sepatu para tentara yang bergerak ke arah mereka.

"Steven dan Karvin, kalian harus pergi dari sini. Aku akan menahan mereka," pinta Nina padanya.

"Tapi, aku-"

"Kau harus tetap hidup Steven, Karvin bawa Steven bersamamu dan pergilah."

Karvin menatap Nina yang tersenyum sambil menangis. "Aku akan bertemu dengan teman lamaku jadi jangan khawatir." Itu ucapan terakhir Nina padanya.

Karvin dan Steven berlari ke arah pantai terdekat. Di sana ada sebuah kapal pengangkut barang, mereka diam-diam masuk dan bersembunyi ditumpukan barang. Karvin tidak banyak bicara, dia duduk diam di pojokan. Sekali lagi dia tak bisa menyelamatkan seseorang yang dia kenal. Bunyi ledakan dari arah penampungan, sangat menakutkan untuk dia dengar. Karvin menutup kedua telinganya kuat-kuat.

"Karvin, aku rasa kita harus berpisah di sini, aku akan pergi dari kapal dan menjadi relawan untuk tentara Selatan," ucap Steven setelah mereka sampai di sebuah dermaga milik wilayah Selatan.

"Aku mengerti, sampai jumpa lagi."

Karvin terus ikut berlayar menjadi penumpang gelap di kapal-kapal lainnya. Dia berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya hingga akhirnya dia berhenti di sebuah pulau yang sudah sangat sepi. Karvin berjalan menyusuri bibir pantai dan akhirnya ia berjalan menuju ke suatu tempat di dalam hutan.

Tempat itu seperti habis di ledakan oleh sesuatu yang sangat besar. Semuanya hampir berubah menjadi abu. Hanya ada sedikit barang yang bisa di kenali termasuk kerangka tubuh manusia. Karvin memungut kerangka-kerangka itu lalu membawanya ke sebuah tempat untuk di kuburkan. Di sana ada sebuah kuburan lama yang bertuliskan nama seorang wanita. Dia dikuburkan seperti seorang tentara. Setelah menguburkan kerangka itu, Karvin berdoa untuk para korban perang.

"Semoga jiwa kalian tenang di alam sana."

Karvin kembali ke tempat yang tadi. Di sana dia menemukan bekas beberapa alat musik yang sangat dia kenali. Sambil memegang barang yang hampir hancur itu Karvin berucap, "Aku pulang."

Penulis: cindi_cr

Continue Reading

You'll Also Like

667 117 5
(𝐒𝐔𝐃𝐀𝐇 π“π€πŒπ€π“ πƒπˆ π†πŽπŽπƒπ–πˆπ‹π‹) Setelah terbebas dari penjara, River mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakek...
1K 172 17
Berada dalam satu universe yang sama dengan Senayan Express dan Fake Eskul. Mereka menyebutnya kelas malam. Anak-anak SMA Jagad Raya menyebut itu ad...
525K 6.8K 35
menceritakan tentang desa yg dihuni banyak pasusu dan segala tingkah mereka warning!!!!!! BxB πŸ”žπŸ”ž Hanya untuk hiburan semata. Tentang keseharian war...
370 56 2
[2/2] Tepat setelah mobil melaju, kalian mengarungi nostalgia yang menyenangkan dan mencicip percakapan filosofis. Selama berbincang, Ushijima mempe...