I DESERVE U

By marsh-melo

7.6K 989 607

Apakah sejatinya, cinta adalah tentang kepantasan? Berawal dari secarik kertas hukuman sialan dari sahabatnya... More

Prakata
1. Would U like to Be My Partner? [Joshua]
2. We've Never Been This Close Before. [Song Bora]
3. Am I ready for U? [Joshua]
4. What Do U Want From Me? [Song Bora]
5. U R The One I'm Worry About. [Joshua]
6. So Let Me Stay in Ur Arms, Just A Little Longer. [Song Bora]
7. We Have Each Other, So We Can Solve It Together. [Joshua]
8. But It's Harder Than I Thought. [Song Bora]
9. Come Here, And Try To Lean On Me. [Joshua]
10. U R The Hardest Project I've Ever Had. [Song Bora]
11. U R The Most Unpredictable Girl I've Ever Met. [Joshua]
12. U Make Me Feel (Un)Comfortable. [Song Bora]
13. U R So Close, Yet So Far. [Joshua]
14. I Just Wanna Make It Sure. [Song Bora]
15. So Tell Me The Reason. [Joshua]
16. Let Me Try My Best. [Song Bora]
17. And So Let Me Do My Part. [Joshua]
18. U Can Lean on My Little Shoulder Anytime. [Song Bora]
19. U Don't Hate Me, Do U? [Joshua]
20. Nothing Really Change, But Now.. I'll Try To Be Brave. [Song Bora]
21. I believe in U. [Joshua]
22. Tell Me Ur Way To Be Happy. [Song Bora]
23. Could I Make U Happy? [Joshua]
24. U Make Me Think That I'm Worthy Enough. [Song Bora]
25. Am I Just A Name For U? [Joshua]
Intermezzo #1 : U Deserve a Selca Time!
26. At Least, U Wanna Talk to Me. [Song Bora]
27. I Like U, More Than Yesterday. [Joshua]
28. U Hug Me Warmly, Even When U're Not Able to. [Song Bora]
29. Don't Worry, U're on My Guard. [Joshua]
30. Never Thought That I'll Like U This Much. [Song Bora]
31. I Wanna Be The One U Trust The Most. [Joshua]
32. It's Not That I Don't Trust U. [Song Bora]
33. U Did Well, Sweety. [Joshua]
34. U R The Most Comfortable Space of Mine. [Song Bora]
35. Cause Our Story is Not A Fault. [Joshua]
36. But U Don't Deserve This Pathetic Girl. [Song Bora]
37. At The End of The Day, I'm Not Much of A Help. [Joshua]
38. Why U Disregard Urself, When Ur Hug is My Only Space to Rest? [Song Bora]
39. Thank U, For Make Me Feel Like A Super Hero. [Joshua]
40. The More I Like U, The More I Brave. [Song Bora]
41. It Has To Be U And Me; No One In Between. [Joshua]
42. Do I Deserve To Be This Happy? [Song Bora]
43. Could I Even Sleep Well Tonight? I'm Not Really Sure. [Joshua]
44. Is It Right to Depend on U This Much? [Song Bora]
45. I Should've Hug U More Back Then. [Joshua]
46. What Should I Do Now? [Song Bora]
47. It's Just My Way To Love U. [Joshua]
48. I Know Myself Better When I'm With U. [Song Bora]
49. Could I Be A Part of Ur Future Too? [Joshua]
50. What Kinds of Stupid Joke It is? [Song Bora]
52. It's Me.. That Hurt Myself. [Song Bora]
53. I'm Sure, It's U. [Joshua]
54. Maybe I Have To Learn To Be Loved. [Song Bora]

51. I Won't Give Up on Us. [Joshua]

35 5 0
By marsh-melo

Ah, so sad.

Tidak banyak foto Bora yang bisa kujadikan sebingkai kolase. Aku cuma punya beberapa foto candid, foto-foto triple date di Bukchon, lalu satu strip foto yang diambil bersama Yeonjoo dan pacarnya saat di Hongdae kemarin. Jeez, can't believe that we don't even have a proper couple picture. Ah, I regret it.

Sepertinya nanti aku harus beli sebuah kamera polaroid untuk menabung foto-foto bagus dan kubuat kolase yang lebih bagus di anniversary pertama kami nanti.

Aku tidak pernah sempat merayakan satu tahunan jadian di hubungan-hubunganku yang sebelumnya, tentu saja, karena selalu tandas duluan. Mereka selalu punya alasan; karena aku punya terlalu banyak teman jadi merasa kurang diperhatikan, aku seperti seorang nerdy karena suka menonton anime, bahkan mereka tidak suka aku terlalu dekat dengan Mama -- man, that's the worst reason. Going aboard is not the problem at all, it's just their stupid excuse. Ironisnya, aku baru sadar itu setelah setahun menjomlo di perantauan.

Bora berbeda. Dia tidak banyak menuntutku, dia juga tidak mempermasalahkan hal-hal remeh semacam itu. Justru dialah yang sering membuat pikiranku yang rumit menjadi sederhana. It will works now, I trust her.

Baiklah, aku akan memanfaatkan beberapa foto yang ada saja. Mumpung hari ini tidak ada kelas, kolasenya harus selesai hari ini.

Kulepas pensil dari tanganku dan menggantinya dengan double tape. Nah, selesai membuat polanya. Sekarang tinggal kususun fotonya dan menempelkannya satu persatu di atas pola karton ini. Aku mencetak beberapa fotoku dan foto Bora. Foto kami berdua -- yang tidak benar-benar berdua itu -- kukumpulkan di tengah. Seperti irisan dua himpunan. Ah, pasti lebih bagus kalau foto yang ditengah hanya foto kami berdua. Tapi kalau ku-crop, ukurannya jadi tidak harmonis. Serba salah.

Terlepas dari ketidakpuasan kecilku itu, membuat kolase ini benar-benar mengasyikan. Aku bisa melakukan hal lain di luar tugas kuliah, mengeksplorasi ideku dan berpuas diri melihat hasilnya, sambil memikirkan seseorang yang kusayangi di sepanjang proses kreatifnya. Sungguh mengasyikan.. sampai perutku keroncongan sesaat setelah 'mahakarya'ku selesai. Ternyata sudah jam enam.

Kutaruh kolaseku di samping televisi dengan hati-hati seperti memperlakukan sebingkai lukisan mahal, lalu membereskan semua peralatan. Segera kuraih ponsel di meja, untuk memesan makanan. Ah, sekalian saja aku cari restoran pasta untuk perayaan baek-il hari Minggu nanti. Aku harus reservasi dari sekarang agar tidak kehabisan tempat.

But someone's calling. Bora. Kukulum senyumku. Dia tahu betul aku sedang merindukannya.

"Halo--"

"Joshua," potongnya, "bisa ketemu di minimarket dekat apartemen Joshua sekarang?"

Senyumku menyusut perlahan mendengar suaranya dari seberang sana. Nada bicaranya serius sekali.

"Kamu udah disana?"

"Iya."

"Okay. Aku kesana sekarang, ya? Just a minutes."

"Iya."

Segera kusambar jaket dan dompet di kamar sebelum setengah berlari keluar dari apartemen. Aku tidak mau membiarkan dia menungguku terlalu lama. Dia terdengar capek sekali.

Napasku agak memburu karena langkah kakiku di atas kecepatan rata-rata langkah normalku, juga usaha keras kepalaku yang terus mengabaikan pikiran buruk, tapi percuma. Aku tetap merasa gelisah. Nada bicaranya agak dingin. Entah kenapa.

Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja.

Bora sedang duduk di salah satu dari dua meja bundar di halaman minimarket. Pandangannya yang kosong terarah ke permukaan meja. Benar, dia terlihat capek.

Kutepuk pelan bahunya -- yang kemudian terperanjat sekilas. Ia menoleh padaku, lalu melempar senyum tipis. Teramat tipis, nyaris tak terlihat, seolah dipaksakan, karena hanya bibirnya yang tersenyum.

Matanya tidak.

Lagi-lagi kutepis segala dugaan buruk dan segera duduk di seberangnya.

Aku harus segera membuka pembicaraan. "Kamu udah makan? Kalau belum, kita--"

"Aku nggak akan lama," potongnya. "Ada yang mau aku omongin sebentar sama Joshua."

Aku manggut-manggut pelan. Something's just happen to her, I'm sure. Entah apa.

Mata monolid besarnya menatapku lekat-lekat, mengisi keheningan yang mendebarkan.

"Joshua."

Kutelan salivaku seketika. "Hmm?"

Jeez, few seconds of silence feels like a year.

"Apa pembicaraan kita malam ini bakal Joshua laporin ke Jeonghan sama Seungcheol juga.. di groupchat kalian?"

O-oh?

Jeonghan dan Seungcheol? Groupchat--

Kurasakan mataku membelalak dengan sendirinya. Sebuah respon alami keheranan, dan tatapan mata Bora yang dingin padaku sekarang menjawab semuanya.

Ya. Dia.. sudah mengetahuinya. Entah bagaimana caranya.

"Bora.. itu.."

"Jadi.. groupchat itu benar-benar ada ya," lirihnya. Bibir tipisnya tersenyum miring. "Sulit dipercaya."

Sial, lidahku mendadak kelu untuk sekedar merangkai penjelasan. Apa yang harus kukatakan sekarang? Tidak ada tameng apapun untuk menangkal pertanyaannya. Aku tidak bisa berbohong padanya. Groupchat itu memang ada. Aku memang bersalah, aku tak bisa menyangkalnya.

"Aku ketemu Lee Seungjoon hari ini."

Seolah belum cukup mengagetkan, aku kembali diserang satu fakta yang tidak ingin pernah kudengar.

"S-Seungjoon? Terus.. kamu nggak apa--"

"Dan Joshua tau, apa yang paling bikin aku kesal?" potongnya tanpa ampun. "Itu karena aku harus tau tentang kontrak tiga bulan hubungan kita, dari dia. Ya, dari mulut pecundang yang sama sekali nggak bisa dipercaya itu. Bahkan aku nggak mau percaya sama Jeonghan yang ngekonfirmasi itu semua, ternyata.." ucapnya menggantung. Tatapannya yang tajam lurus tepar ke mataku.

"Joshua, apa kisah hidup aku yang menyedihkan itu.. selama ini ternyata jadi hiburan juga buat kalian bertiga?"

"No, Bora.. not in a million years! It's not--" cepat-cepat kuraih tangannya. Panik. Berharap dia bisa merasakan kejujuran genggaman tanganku. Ya, tindakan seseorang yang nyaris putus asa. "Okay, it may seem like an excuse, but.. in fact, I-- I never exactly tell 'em-"

"Terus gimana caranya aku bisa percaya lagi sama Joshua sekarang??"

Suaranya lirih dan bergetar.

Wajahnya yang biasanya tak ekspresif itu, kini menyiratkan kesal, marah, kecewa, dan sedih dalam satu waktu.

Benar. Bagaimana bisa dia mempercayaiku setelah merasa dibodohi tiga bulan lamanya?

Bodoh.

Aku bodoh sekali saat berharap bahwa Bora akan menganggap enteng masalah ini. Aku bodoh sekali sudah menyia-nyiakan kepercayaan yang dia berikan padaku. Aku bodoh sekali membiarkannya bertemu Seungjoon sendirian, membuatnya mendengar hal itu selain dari mulutku, dan kontan menabur benih kesalahpahaman --- hanya gara-gara tidak berani bilang padanya langsung.

'She won't go for something like tasting the moment and.. done.'

'She may seek for long run relationship, Josh.'

Sejak awal, aku tidak pantas melibatkan gadis seteguh Bora dalam permainan bodohku ini -- meski aku, sekalipun, merasa tidak pernah berniat main-main padanya.

"I'm sorry," lirihku pasrah. "I'm deeply sorry."

Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah menelan konsekuensi dari kecerobohanku; menerima bahwa aku baru saja menyakiti perasaan orang yang kusayangi.

Ia menarik pelan tangannya dari genggamanku, memalingkan wajahnya, dan mengusap kasar air matanya tanpa mempersilahkanku melakukannya.

"Aku.. mau batalin janji kita hari Minggu nanti. Tiga bulan kita udah habis, harusnya kita nggak perlu lagi rayain baek-il."

"Bora--"

"Cuma itu yang mau aku omongin sama Joshua. Makasih buat waktunya. Aku.. duluan."

Dia bangkit dan pergi, berjalan cepat meninggalkanku yang hanya bisa terduduk diam di kursi. Seolah ada perekat kuat yang kududuki di permukaan kursi ini, aku diam saja dan tidak bangkit mengejarnya. This damn guilty. Aku menganggap diriku yang tak bisa memeluk punggung dinginnya saat ini sebagai bentuk hukuman terbesar. Aku tidak mau membuatnya makin membenciku. Aku takut.

I'm such a jerk. A coward.

★★★

Entah bagaimana caranya kakiku bisa kembali ke gedung apartemenku dengan tepat, tanpa linglung dan tersesat ke gedung lain, dengan pikiran dan perasaan sekacau ini. Rasanya langkahku mengambang, melayang tak berpijak. Aku, lagi-lagi menghukum diriku dengan menanjaki tangga darurat dibanding naik elevator, seolah hukuman itu bisa menghapus kesalahan besarku. Apa yang kuinginkan? Aku bingung. Aku ingin tidur.

Bora meninggalkanku.

Is this the end of us?

Realita malam ini sama sekali jauh dari skenario indah yang kubayangkan sebelumnya. Gara-gara Seungjoon -- tidak, ini gara-gara aku membiarkan Bora menemuinya. Kenapa tidak kuhabisi pecundang itu sekalian saat aku punya kesempatan waktu itu? Kenapa aku cukup puas hanya dengan menonjoknya sekali saja? My bad. Harusnya aku bikin dia penyok hari itu juga. Ah. Apa sih yang barusan kupikirkan? Aku sudah gila.

Sesosok kurus yang berdiri di depan pintu unitku membuat langkahku terhenti sejenak. Yoon Jeonghan. Dia tampak menungguku. Raut wajahnya mengatakan segalanya. Perasaannya, juga apa yang akan dia katakan padaku sekarang. Penyesalan, rasa bersalah, takut.

Mungkin kurang lebih ekspresi ini yang tadi Bora liat dariku.

Dan sekarang aku jadi paham, mengapa Bora sekesal itu padaku -- mungkin tak jauh beda dengan perasaanku sekarang saat melihat Jeonghan.

"S-sorry, Josh. Ya.. gua salah."

Dan, betapa kata maaf saja tidak cukup menghapus rasa kesalku.. mungkin itu juga yang sedang dirasakan Bora sekarang. Tentu saja perasaan Bora tidak jauh kacau dariku. Tak peduli betapa ia menyayangiku. Kalau marah ya, marah saja.

Berarti, sekarang aku boleh marah juga, 'kan?

Tanpa membalas ucapannya sepatah kataun, aku melewatinya dan menghampiri pintu, menekan tombol-tombol passcode dan beranjak masuk seolah dia adalah angin lalu.

"Gua bakal tanggungjawab buat ini semua, Josh."

Langkahku terhenti sejenak di ambang pintu.

"Gua.. bakal bantu lu perbaiki semuanya sama Bora. Gua bakal--"

"Cukup, Han. Cukup," potongku tegas. "Semua juga ada batasnya, Han. Tolong, seenggaknya kasih gua ruang kecil. Ruang.. yang nggak ada elunya sama sekali."

Lalu kututup pintu apartemenku tanpa ampun, tanpa menoleh lagi padanya, apalagi mempersilahkannya bertandang.

Aku tahu, saat pikiranku sudah jernih lagi, aku akan sadar bahwa ini bukan sepenuhnya salah Jeonghan, bahwa tak mungkin juga sepenuhnya menyingkirkan intervensi sahabat paling dekatku itu dalam hidupku, tapi malam ini.. setidaknya malam ini saja, aku tidak mau menjadi satu-satunya yang bersalah. Akan kutuntaskan semua perasaan runyam ini malam ini agar besok aku bisa mencari solusi.

Itulah pikirku, seolah mencari solusi bisa semudah itu.

Aku ingin tidur saja. Sungguh, aku ingin tidur saja di kamar, namun pemandangan di ruang televisi mengurungkan langkahku kesana. Ya, kolase itu. Kolase yang baru kubuat kurang dari satu jam yang lalu.

Aku kalah. Ambruk. Lututku lemas di depan kolase foto sederhana itu. Dadaku sesak. Mataku basah tanpa kendali. Aku menangis dan marah sendirian, seperti bocah ingusan yang kehilangan mainan karena ulahnya sendiri. Bora juga menangis malam ini. Dan dia menangis karenaku.

Bora, don't hate me.

Please.. I beg you.

★★★

Aku bangun gara-gara seberkas terik matahari yang menyelinap masuk ke celah jendela kamar, dengan kepala pening, napas tidak enak, muka terasa bengkak. Mata bengkakku melirik jam digital di atas nakas untuk menyadari bahwa sekarang sudah jam sebelas siang di hari Minggu. Dan tadi malam, aku menghabiskan sisa dua kaleng bir yang ditinggalkan Jeonghan di chiller kulkasku.

I'm screwed.

Tiga hari bangun kesiangan karena tidak bisa tidur semalam suntuk. Ketinggalan dua kelas di hari Jum'at. Andai saja Bora tau aku bolos kelas karena bangun siang, dia pasti memarahiku.

Ah, dimarahi karena bolos kelas tentu masih jauh lebih menyenangkan dibanding diabaikan sama sekali seperti ini.

Seharusnya hari ini adalah perayaan baek-il kami. Seharusnya aku sedang bersiap-siap pergi untuk makan pasta bersamanya di suatu tempat di restoran yang sudah kureservasi. Dandan yang tampan, agar pacarku yang paling manis sedunia itu terpesona padaku.

Tiga hari berlalu, dan aku belum menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah ini. Jangankan solusi, menghubungi Bora lewat chat saja aku belum berani

Bagaimana cara mendapatkan kepercayaannya kembali? Pikiranku langsung buntu disana.

Ah, perutku kerubukan. Aku harus segera pesan makanan sebelum mati kelaparan. Sekotak pizza sepertinya bisa memulihkan kinerja otakku.

Sambil menunggu pesananku datang, aku bangkit dari ranjang, merapikan tempat tidurku, dan beranjak ke lemari untuk memilih pakaian santai terbaikku. Membuang waktu di tempat tidur dalam keadaan mabuk, sampai berhari-hari begini, benar-benar bukan diriku yang biasanya. Pathetic. Aku harus berusaha bangkit kalau ingin masalah selesai.

I took a shower for an hour--or maybe more. Dan tepat sehabis mandi, bel pintuku berbunyi. Akhirnya, pizzaku datang. Masih mengeringkan rambutku dengan selembar handuk kecil, kakiku bergegas menuju pintu untuk menyambut moodboosterku itu. Pizza pizza pizza..

O-oh?

Apa aku masih mabuk? Kurir pizzanya terlihat berbeda. Dia tidak pakai seragam kurir seperti biasanya. Dan.. yang terpenting, tidak ada pizza di tangannya. Lelaki asing berhidung mancung ini malah menggenggam kotak gepeng berwarna putih. Dengan senyum lebar.

"Selamat siang. Perkenalkan, saya tetangga baru di unit sebelah," ucapnya ramah. Lalu menyerahkan sesuatu yang ada di tangannya itu padaku. Oh, ternyata sekotak kue. Dan ternyata, dia bukan kurir yang kutunggu. "Mohon bantuannya."

Kue beras. Ah, ya.. it's local traditions. Aku pernah dengar ini dari Ibunya Jeonghan. Mereka akan makan jajjangmyeon di tempat baru mereka, lalu berkeliling membagikan kue beras ke tetangga baru. Uniknya, tradisi ini sudah mulai ditinggalkan di kota-kota, tapi laki-laki ini -- yang usianya tampak tidak jauh berbeda denganku-- masih melakukannya. Wah, such a rare sight.

Tanpa pikir panjang lagi, kuulurkan tanganku padanya. "Joshua. Semoga betah disini, ya."

Dahinya berkerut meski senyumnya tidak memudar. "Y-ya? Cho--"

"Joshua Hong. Jo-shu-a."

Mata sipitnya membelalak takjub. "Wah, namanya kayak orang Barat, ya.. eh, j-jangan bilang Anda emang orang Amerika?"

"Yes, I am," senyumku turut melebar. "Udah mau tiga tahun disini buat kuliah."

"Oh my God," pekiknya tertahan, dengan logat lokal nya yang kental. Ia menjabat erat tanganku. "I'm.. Lee Seokmin. But just.. Seokmin.."

Bahkan aku terkekeh begitu saja dibuatnya meski dia tidak bermaksud bergurau. Sepertinya dia lumayan humoris. Sangat lugu juga, tepatnya. "Nggak apa-apa, pake bahasa lokal aja. Saya udah cukup fasih kok. Saya juga masih keturunan Korea."

"Ah, syukurlah," seketika dia nyengir lebar, dan tampak benar-benar lega. "Ya udah kalo gitu, saya Seokmin. Lee Seokmin. Calon mahasiswa baru Hanyang, jurusan Fotografi."

Kontan dahiku berkerut. Baru kali ini melihat mahasiswa Hanyang menyewa unit di gedung ini. "Hanyang? Bukannya agak jauh ya kalo dari sini?"

"Iya. Saya daftar program kelas online-nya. Jadi bisa jarak jauh," jelasnya dengan sumringah. Tangannya menunjuk pintu unit disebelah unitku yang kini disewanya. "Saya bakal tinggal berdua sama sepupu saya disini, soalnya tempatnya lumayan besar, terus biaya sewanya lumayan, jadi harus patungan.. he he. Dia kerja paruh waktu dekat kampus Kyunghee, lho, tapi nanti kuliahnya bukan disana sih.. dia daftarnya ke universitas Cyber juga, kayak saya. Jurusan Teknik Informasi. Tapi bukan di Hanyang-- ah, maaf, saya nyeroscos terus daritadi," ia menutup ceritanya dengan tawa malu. "Kalau Joshua-ssi, kuliahnya dimana?"

"Kyunghee. Jurusan Bisnis Internasional."

"Wah, keren," takjubnya. "Pasti pusing banget itu. Saya mah nggak bakal sanggup kayaknya. Matematika aja remedial terus."

Sepertinya aku baru saja dapat tetangga yang menyenangkan. Atau mungkin aku merasa terhibur karena beberapa hari ini hanya meringkuk menyedihkan di sudut kamar, lalu tiba-tiba dapat teman mengobrol saat aku akhirnya berani membuka pintu keluar. Rasa sepiku jadi sirna sejenak.

Akhirnya kurir pizza yang kutunggu muncul juga di ujung koridor. Barulah aku ingat kalau perutku masih keroncongan.

"Kebetulan, ini saya baru pesan pizza. Kalau mau, ayo kita makan bareng di tempat saya, Seokmin-ssi," ajakku, separuh basa-basi, selagi menyelesaikan transaksiku dengan kurir. Bahkan jika dia menerima tawaranku, aku tidak keberatan. Aku malah sedikit berharap kami bisa jadi teman baik. Orang ini.. auranya positif sekali.

"Ah, makasih untuk ajakannya, Joshua-ssi. Tapi saya masih harus beresin barang, terus saya juga lagi titip jajjangmyeon sama sepupu saya itu-- nah, itu dia datang. Panjang umur!"

Refleks, aku menoleh lagi ke ujung koridor. Senyumku perlahan memudar, sementara mataku membelalak begitu saja saat melihat sosok familiar yang sedang pegang bungkusan itu semakin dekat, dan tersenyum tipis tipis padaku.

Wonwoo -- ya, teman SMP Bora itu, ternyata adalah sepupu Lee Seokmin yang akan jadi tetanggaku. Setelah dilihat-lihat, mereka memang agak mirip, sih. Jeez, whatta small world. Such a mixed feeling.

Sempat-sempatnya aku berpikir.. seandainya, seandainya saja aku bisa menyelesaikan masalahku dengan Bora, lalu mengajak dia kemari seperti biasanya.. bagaimana caranya agar Bora tidak bertemu dengan Si Kacamata ini?

"Joshua-ssi," sapaan suara beratnya membuyarkan lamunan kekanakanku itu.

Seokmin menatap kami bergantian, tentu dengan ekspresi kaget -- dan agak heboh. "Heol-- kalian udah saling kenal? Kok bisa?"

"Ya," aku dan Wonwoo mengiyakan berbarengan. Kami jadi tertawa canggung.

"Kami pernah ketemu beberapa kali. Wonwoo satu SMP sama pacar saya," jelasku.

Lalu diam-diam, aku takjub dengan ucapanku sendiri.

Yes, he's just my girlfriend's old friend.

Betapa pun tidak nyamannya aku dengan kehadiran teman SMPnya Bora itu, aku tetap merasa harus berterimakasih padanya, karena tiap kali aku melihatnya.. aku selalu mendapatkan keberanian untuk mempertahankan Bora agar tetap berada di sisiku. Seperti sekarang.

Aku tahu, menggunakan rasa cemburu sebagai sumber energiku itu sungguh memalukan. Tapi mungkin, hanya ini satu-satunya cara agar aku punya keberanian untuk segera menemui Bora.

Before it's too late.

---to be continued---

a/n:
tiba-tiba ada seokmin-ie ㅋㅋㅋ

berikut gambar kyeom-shu set yang disini jadi tetanggaan (salah satu combo favoritku btw)

dan member bak kembarnya seventeen yang kujadikan sepupuan 😌 ya mereka juga favoritkuu


dan sebenarnya.. meski disini mereka tampak seperti rivalry.. wonshua juga ultimate duo favoritku 😔 ah gimana sih maruk banget gua.

hadoo, ternyata gamaen-maen damagenya mereka disatuin di satu frame yang sama untuk hati lemah q ini 😔🤌🏻

baiklah, today too.. thank you for coming to this book ♡

semoga masih berkenan untuk membaca chapter selanjutnya!

today too, have a nice day! dan selamat berlebaran bagi teman-teman muslim, mohon maaf lahir dan batin

Continue Reading

You'll Also Like

609 90 4
[FOLLOW SEBELUM BACA] cerita ini, menceritakan tentang seorang pemuda bernama Sadewa Arshman Delavar yang memendam perasaannya selama 11 tahun kepada...
3.1K 767 4
(Sinopsis nyusul, masi bingung nanti dlu wkwkwkwk)
200K 9.9K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
17.5K 1.2K 8
Ini adalah Fanfiction pertamaku tentang Daragon Aku harap kalian menyukainya~ ☺️ Kalian dapat meninggalkan saran dan kritik di kolom komentar~ Moho...