FLC Multiverse

By flc_writers

2K 218 1.5K

Event daftar ulang member FLC tahun ajaran ke-6 More

2. Last Performance
3. Purple Scarf
4. Babysitting Gone Wrong
5. The Alumnus Trap
6. As The Walls Close In
7. Zeit
8. Kesalahan
9. The Killer and the Sinner
10. Mencuri Batara
11. CsCx (Amalgamasi)
12. Ice Cream
13. Bye-bye
14. Sang Pahlawan
15. A Little Prank
16. Rwar
17. Terdampar
18. I Want To Be Alone
19. The Killer is Among Us
20. Apocalypse Revolution
21. Survive di Pulau Misterius
22. No More Way Out
23. Semanggi Empat Daun
24. Perfect Family
25. Galaxy
26. Message from the Future
27. Asrama dan Atmanya

1. Selamat Tinggal di Toko Buku Nagare

242 19 69
By flc_writers

Tema: Terjebak di pulau terpencil
Tokoh Utama: Fuyu

Di ruang kelas yang kosong dan lantainya sedikit berdebu, ada keheningan yang menyenangkan yang aku dambakan di musim panas terakhir masa seragam sekolahku.

Di rumah juga hangat, tapi untuk seseorang yang terkadang membutuhkan interaksi dan terkadang kesendirian, aku memilih berepot-repot berpanas-panasan dan mendorong kursi dekat jendela itu, memandangi lapangan dari ketinggian lantai tiga.

"Tidak akan ada yang ke sini, kan?" Aku bertanya pada sisi warasku, bersiap menekan tombol play pada lagu yang sudah sangat sering masuk ke telinga dan kepalaku.

Dua menit lagu terputar dan mataku terpejam di bawah semprotan cahaya senja, kehadiran sepasang sepatu lain sontak membuatku merasa telah melakukan tindak kejahatan ketertiban masyarakat.

"Aku kira siapa yang menyetel lagu sendirian di kelas."

Aku kira siapa yang nyaris membuatku mengira seperti penjahat. Rupanya cuma dia.

"Kau tidak ada kerjaan, ya?"

"Iya."

"Cari dong."

"Tolong carikan dong."

Aku bukan tipikal yang mudah mendapat musuh bebuyutan. Tapi tidak tahu saja bersama orang ini lebih menyenangkan bertengkar.

Elucia-san masih berdiri di dekat pintu, mungkin sambil melipat lengan. "Mau ke Toko Buku Nagare?"

Tidak, tidak mungkin segampang itu dia mengajakku walau sekadar ke meja guru pun. "Pas sekali. Tolong belikan aku bukunya Murakami-sensei."

Jika saat ini dia sedang memegang tali, pasti sudah diikatnya kedua tangan dan kakiku lalu dijadikan santapan buaya. Buaya yang sesungguhnya buaya, bukan pemuda penggoda perempuan.

"Dengar ya, Fuyuna," suaranya seperti komandan militer yang melatih tentara superjunior, "aku menyumpahimu semoga kau mendarat di suatu pulau terpencil yang dipenuhi kios makanan yang kau benci dan ditemani orang paling tidak jelas sedunia."

"Kau dong? Orang paling tidak jelas sedunia."

Lalu sepulang dari situ, aku mampir ke Toko Buku Nagare, bukan untuk memenuhi ajakan Elucia-san meskipun dia kutemukan juga berada di sana, punggungnya terhampar beberapa jauhnya dari pintu.

"Selamat datang," kata si penjaga yang bernama Lee Ya saat aku mendekat dan tidak sengaja melihat nametag-nya.

"Ada bukunya Kawakami-sensei?"

"Sebaiknya kau mencarinya dulu sebelum bertanya padaku." Mulutnya tersenyum sembari mengatakan hal tidak sopan kepada pelanggan itu.

Maka aku mencarinya dengan malas-malasan, berupaya tidak masuk dalam jarak pandang Elucia-san. Toko buku itu tua lebih terasa seperti perpustakaan, rak-raknya terbuat dari kayu mahoni serta dindingnya bercat gelap. Seakan telah ratusan tahun saja bangunan itu berdiri di ujung jalan setelah tanjakan ini.

Saat aku iseng mengambil punggung buku monoton yang tidak menarik perhatianku, secarik kertas kucel terjatuh ke lantai yang terlapis kertas vinyl. Aku memungutnya iseng.

'Tolong Rara, Senpai'.

Aku tidak punya adik kelas bernama Rara yang memanggilku Senpai. Paling satu orang yang namanya Rarami. Tapi mereka pasti orang yang berbeda.

Aku pergi ke si-penjaga-tidak-sopan. "Bukunya tidak ada."

"Sayang sekali kau kurang beruntung." Dia masih mempertahankan ucapan tidak sopannya. "Dan tidak ada lain waktu untuk pelanggan baru. Mau aku ramal saja?" Lee Ya mengeluarkan kartu tarot dari suatu tempat.

"Seingatku ini toko buku, kan?"

Seorang pelanggan sial lain memasuki toko ramal. Dia laki-laki yang usianya mungkin delapan belas dengan rambut pirang khas Amerika.

"Benar, toko buku. Tetapi spesialisasiku adalah meramal menggunakan tarot." Wanita itu tersenyum kepada pelanggan sialnya ini. "Mau dalam hal apa? Asmara, karir, atau pendidikan?"

"Fuyuna-san."

Aku menduga satu-satunya keadaan di mana Elucia-san akan memanggilku dengan embel-embel 'san' adalah saat kondisi membahayakan tiba. Dan 'kondisi membahayakan' itu pun akhirnya tiba.

Gadis itu menggelengkan kepala pelan, wajahnya tampak seperti sudah tidak makan berhari-hari.

Aku pun jadi tidak berani menengok ke si penjaga yang merangkap peramal itu. Siapa tahu matanya berkekuatan medusa.

Bahu Elucia-san menyentuh bahuku di perjalanannya menuju pintu. "Ayo pergi dari sini."

Kukira akan ada gempa yang terjadi saat salah seorang dari kami menyerukan itu. Nyatanya kami berhasil membuka pintu toko buku dengan mulus, dan mendapati kami tidak lagi berada di Jepang, atau pulau paling tidak layak huni di Jepang.

Kekuatan sumpah Elucia-san lebih dahsyat dibanding ramalan tarot Lee Ya.

.

Elucia-san yang penakut akut dan aku yang penakut kronis sama-sama panik.

Tapi kami tetap jaim karena tidak mau disangka penakut.

"Kau itu sesat ya, Elucia-san." Hanya itu makian yang dapat kulayangkan padanya sambil memegangi pinggang. "Kau bagian dari mereka, kan?"

"Tentu saja tidak!" Tanah di bawahku serasa bergetar satu kali. "Aku tidak tahu sumpahku akan menjadi nyata."

"Kau tidak tahu kau akan ikut bersamaku menjalani sumpah bodohmu ini. Atau kau orang paling tidak jelas sedunia itu."

"Hei, di mana ini?" Laki-laki pirang Amerika berusia delapan belas tahun baru saja keluar dari bangunan tunggal toko buku, otomatis berada di belakang kami.

Aku kaget menyaksikan orang benua barat lain fasih berbahasa negaraku. Sedangkan orang barat satunya masih jaim.

"Kau bisa berbahasa Jepang?" Elucia-san terlihat heran meski aku yakin dia gembira juga.

"Kau juga?"

Setelah beberapa langkah yang dilewati bersama, akhirnya kami tahu namanya Zack. Dan dia berasal dari Brazil.

.

Omong-omong, kami bisa saja memasuki toko buku itu lagi lalu keluar lagi untuk melihat hasilnya; mungkin kami akan melihat bunga-bunga kosmos yang sempat kami temui sebelum memasuki toko buku. Tapi bisa saja juga Lee Ya mengeluarkan laser dari matanya dan kami menjadi batu seperti dalam Dr. Stone.

Jadi tidak perlu mengambil risiko itu. Kami berjalan ke arah mana saja dengan kepanikan terpendam dalam diri masing-masing. Tidak tahu sih kalau Zack-kun.

"Sial aku tidak suka hotdog." Elucia-san berhenti dan membalikkan badan ke arah kami. Aku melihat ke balik bahunya. Kios hotdog yang plang atasnya telah reyot terlihat beberapa meter di depan.

Aku pura-pura tidak mengaitkan ini dengan karma.

"Aku akan kembali ke sana saja." Hanya kurang dari lima menit Zack-kun sekubu dengan kami. Dia berjalan ke tempat terkutuk itu lagi. Aku ingin menghentikannya, tapi suaraku tidak mau keluar.

Tinggallah aku dan musuhku saja yang tersisa di pinggiran laut tak berkarang itu.

"Aku ke sana, ya." Tanpa peduli persetujuannya, aku pergi ke kios hotdog. Dan tidak terdengar pergerakan dari titiknya berdiri.

Kios reyot itu tentu saja kosong. Bahkan tak ada bekas bahan makanan atau peralatan memasak di dalamnya. Kosong, gelap, dan dingin seperti pulau yang mulai terasa semakin mengerikan ini.

"Silakan hotdog-nya."

Aku berjengit ketika kembali mengarahkan pandang ke dalam kios. Tiba-tiba saja kios kosong itu ada penjaganya.

"Kau gila, ya." Aku hampir berteriak dan tidak segan-segan mengatainya karena mengejutkanku. Di sini kupikir aku boleh bersikap seenaknya jika Lee Ya saja bisa bersikap seenaknya padaku dengan mengirimku ke sini.

Lee Zal tertawa (itu memang namanya, aku tidak sengaja melihat nametag-nya di seragam kiosnya).

"Apa kau sudah kelaparan?"

Aku tak bisa tak semakin merinding. Ucapannya memang berhubungan dengan tempat jualannya. Tapi tetap saja itu ganjil, kan.

Aku memegangi sikuku dan mengusapnya. "I-ini di mana, ya?"

"Kios Hotdog Lee."

"Kalian kembar? Atau kakak beradik? Atau berbagai macam jenis saudara lainnya?"

"Dia tetanggaku."

Tetangga di dunia sini atau sana?

Aku menatap wajah tersenyumnya beberapa lama, memundurkan posisi. "Apa aku... bisa kembali?"

"Beli dulu hotdog-nya."

Enak saja.

"Lapak dagangmu tidak terlihat seperti kios makanan higienis," tantangku sambil tak bisa berhenti takut.

"Ini 100% higienis. Asal kau mau mencobanya dulu." Lee Zal terus tersenyum seperti tetangganya, Lee Ya.

Kuputuskan untuk pergi. Tak ada gunanya mencoba menang dari perdebatan melawan makhluk astral. Mereka pasti penduduk asli pulau sini.

"Elucia-san." Aku menghampiri musuhku yang tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya semula berdiri. "Kita pergi ke sisi sebelah sana, yuk."

"Eh. Ayo." Walaupun bicaranya tidak terbata sepertiku, wajahnya masih menunjukkan ketakutan yang sama.

Kami berjalan menuju sisi sebelah kanan Toko Buku Nagare; toko buku angker yang dijaga wanita peramal tidak waras.

Sementara Zack-kun tidak terlihat di mana-mana.

Aku tiba-tiba memikirkan secarik kertas yang kubaca di dalam toko buku. Apa seseorang bernama Rara juga terjebak di pulau ini? Dan kenapa dia minta diselamatkan? Siapa 'Senpai' yang dimaksudnya itu?

"Fuyuna-san."

"Iya?"

"Kau ingat adik kelas di klubmu yang menghilang satu tahun lalu?"

Aku berhenti dan memandangi wajahnya dengan pikiran yang tidak ingin aku pikirkan. "Apa maksudmu?"

"Kalau tidak salah namanya Rarami-san?"

"Kasusnya sudah ditutup. Dia mungkin melarikan diri ke luar negeri untuk alasan yang tidak seorang pun tahu."

"Kenapa dia melarikan diri ke luar negeri?"

Dia pikir aku tahu jawabannya?

"Bukankah dia melarikan diri ke luar negeri karena seseorang merundungnya?"

Benarkah?

"Seseorang itu kau kan, Fuyuna?"

Tiba-tiba aku ingat alasan mengapa Elucia-san kuanggap sebagai musuhku. Barangkali karena dia satu-satunya orang yang tahu bahwa aku memang merundung Rarami-chan.

Ah, bukan merundung. Aku hanya berkali-kali mengancam akan memasukkannya ke rumah sakit jiwa?

Apa? Iya, hahaha. Apa, tidak. Aku bercanda. Kenapa bisa semudah itu memercayaiku? Aku pemeran utama di ceritaku sendiri, tentu aku menulis narasi bagus mengenai diriku, kan?

Aku dan Elucia-san saling bertatapan di tengah debur ombak yang bersahutan dari kejauhan.

Lalu aku tersenyum, dan bergeleng-geleng kepala. "Kalau kau tidak suka padaku, jangan memfitnahku juga dong. Aku kan jadi sakit hati." Aku membuat wajah yang sedih.

Elucia-san menyipitkan mata. Kemudian bahunya terangkat. "Terserahlah."

Lalu kami berjalan lagi, tanpa sesuatu yang perlu aku konfirmasi kebenarannya.

Ada kios hotdog lagi seperti isi sumpah Elucia-san terhadapku. Dan ada kios hotdog lagi lima puluh meter setelahnya.

Aku pergi ke salah satunya lagi. Dan bertemu dengan Lee Zal lagi dengan seragam yang sama seakan dia berteleportasi setiap enam puluh detik.

"Kau orang yang sama dengan pemuda yang aku temui di kios hotdog sana, kan?" Aku tak gentar lagi menyuarakan kekesalanku.

Lee Zal tersenyum, seperti kebiasaannya. "Aku baru melihatmu sekarang."

"Kau punya berapa kembaran?"

"Tidak satu pun."

"Bagaimana caranya aku keluar dari sini selain membeli hotdog tidak higienismu?"

"Tidak ada cara lain, selain membeli hotdog higienisku."

Aku bersumpah tidak akan lagi pergi ke kios hotdog mana pun itu.

.

Aku dan Elucia-san masih bersama saat kami menemukan penduduk lain di pulau itu. Barangkali dia orang Korea bermarga Lee juga walau Lee Ya dan Lee Zal tampak seperti orang Asia Tenggara.

Penduduk itu berjongkok di dekat semak-semak yang memanjang, berpose seperti sedang merokok. Aku menghampirinya.

"Permisi. Kau tahu caranya keluar dari pulau ini?" Sebab pulau ini sangatlah sepi penghuni, maka setiap orang yang kami temui haruslah aku tanya satu-satu.

Alis pemuda itu lurus ketika menengok, seperti tidak tertarik oleh hal apa pun di dunia ini kecuali tembakau; tidak, dia tidak merokok kok.

"Oh, sudah lama sekali sejak terakhir ada yang mendarat di sini." Senyum sebelahnya mampir, tetapi masih tidak ada binar apa-apa di mata depresinya. "Toko buku itu benar-benar terkutuk, kan? Aku sudah menjadi penduduk tetap pulau ini selama sepuluh tahun dan umurku masih enam belas."

Oh, usia aslinya berarti dua puluh enam. Harusnya lebih tua dariku kan walau usia fisiknya lebih muda?

"Siapa namamu?" aku bertanya.

"Tidak ingat."

"Shiro Karuvin." Elucia-san membaca nametag di seragam sekolah pemuda itu. Orang Jepang ternyata. Bukan orang dari benua seberang yang entah mengapa andal berbahasa Jepang.

Shiro-san menunduk melihat nametag di dada sebelah kirinya. "Dibacanya Shiro Karuvin, ya? Kukira Hans Bima."

Depresi bisa menyebabkan buta huruf, ya?

Elucia-san melirikku, tak mampu lagi terus mempertahankan raut baik-baik sajanya. "Kita harus segera pergi dari sini."

Pemuda di tengah-tengah kami tertawa. "Coba saja kalau bisa. Pulau ini mungkin jaraknya jutaan kilometer dari planet yang kita huni."

Tidak kok, ini masih di Bumi. Buktinya air lautnya berwarna biru, kan?

Karena tak mau tertular kedepresiannya, kami pun melanjutkan langkah meninggalkan si pemuda putus asa. Walaupun aku dan Elucia-san bermusuhan, dalam keadaan seperti ini kami harus tetap bersama. Setidaknya kami tidak saling menyerang satu sama lain-belum.

Kami berjalan lebih jauh lagi sampai masuk ke pemukiman rumah yang ditinggalkan. Saking heningnya selain suara tapakan kaki kami ke tanah, angin yang berembus dengan cara yang aneh menjadi satu-satunya bunyi di tempat paling tidak ingin kau kunjungi ini.

Aku mulai lelah, dan semakin ingin pulang.

Sambil memegangi pinggang lagi, aku berputar menghadap Elucia-san. "Saat di toko buku barusan, apa kau mengalami kejadian janggal?"

"Melihatmu masuk ke toko buku yang kurekomendasikan."

"Aku serius."

"Tidak, aku tidak mengalami apa-apa!" Elucia-san membuang-buang energinya dengan berteriak kesal. "Aku bahkan belum bicara pada si penjaga. Tapi dari obrolanmu dengannya dan hawa toko yang terasa seperti di film horor, aku tahu saat itu kita sebaiknya pergi."

Aku terharu dia menyertakanku dalam aksi penyelamatan dirinya. "Kau tahu toko buku itu dari mana?"

"Internet."

Kata Elucia-san saat dia tengah membaca artikel untuk tugas klub menjahitnya, dia menemukan semacam iklan toko buku baru yang menghalangi sudut bawah kiri layar. Gadis itu mengekliknya, mendapat informasi lokasi yang tak jauh dari sekolah, iming-iming koleksi lengkap, potongan harga, serta suasana toko seperti sedang menjelajah abad pertengahan.

Iklan-iklan promosi seperti itu biasanya tidak berguna dan cenderung penipuan, kan? Astaga, bodoh sekali musuh tercintaku ini.

Siapa sangka bahwa Toko Buku Nagare itu ternyata ajaib.

"Aku akan kembali ke sana."

Elucia-san mengeluh, protes, dan menahanku. "Kau mau meninggalkanku sendirian?"

"Iya."

Maka berpisahlah kami sekian menit seusai aku berkata sebaiknya kami tetap bersama. Aku tak kepikiran cara lain selain menerima harapan Lee Ya bukanlah medusa.

Perlu waktu lebih lama lagi untukku tiba di sana. Aku sempat berhenti sebentar di semak-semak memanjang tempat Shiro-san duduk jongkok, bertanya apa selain aku dan Elucia-san dia pernah bertemu dengan orang lain juga sebelumnya?

Dia menggali ingatan sepuluh tahunnya selama di pulau. "Ada satu. Delapan tahun lalu."

"Siapa?"

"Temanmu tadi."

Aku meneruskan jalan. Mengenyahkan apa pun yang baru kudengar tadi.

Harusnya aku tak perlu memedulikan racauan orang depresi, kan?

Tiba di pintu kaca Toko Buku Nagare, kakiku menginjak bebatuan hancur yang seingatku semula tak ada di sana. Tanganku yang telah memegang kenop pun terasa lebih dingin.

Bunyi lonceng pintu terdengar-yang seingatku semula tak ada di sana.

"Selamat datang." Lee Ya tersenyum menyambut pelanggan lamanya.

Aku ingin membiarkan pintu terbuka untuk memberi akses angin masuk. Tapi aku berfirasat sebaiknya aku tak melakukan hal aneh apa-apa.

"Bagaimana caranya pergi dari sini?"

"Cukup keluar dari pintu."

"Maksudku dari pulau."

"Mau aku ramalkan dengan tarot?" Dia mengambil kartu tarot dari suatu tempat.

Tak menemukan opsi lain, aku mengangguk membiarkan si juru kunci melakukan keinginannya.

Lee Ya mengocok kartu-kartu berukuran cukup besar dan berpunggung belah ketupat ungu dan magenta. Puluhan kartu itu pun dia jajarkan di meja kasir di antara kami.

"Pilih satu."

Belum sempat mataku menyusuri kartu sampai ke ujung, Lee Ya mengambil salah satu kartu dengan kecepatan setara superhero Amerika.

"Fuyuna Shofuro. Kelas 3-3 SMA Serizawa. Klub membaca buku. Pernah dan sering berkata buruk kepada adik kelasnya di klub membaca buku yang bernama Rarami Stella. Rarami Stella tidak melarikan diri ke luar negeri. Rarami Stella mengunjungi Toko Buku Nagare satu tahun lalu dan meninggal dibunuh Shiro Karuvin yang depresi. Sebelum Shiro Karuvin mengejarnya sampai ke toko, Rarami Stella menulis surat yang sangat pendek dan tidak selesai karena Shiro Karuvin keburu menemukannya. 'Tolong Rara, Senpai'. Karena sangat putus asa, Rarami Stella sampai meminta bantuan pada kakak kelasnya yang telah menjahatinya. Keadilan untuk Rarami Stella."

Apa-apaan itu?

"Jadi intinya ada cara untuk keluar dari sini, kan?"

Sudah kubilang racauan orang depresi itu tidak perlu dipedulikan. Elucia-san tidak mungkin mengunjungi toko buku ini delapan tahun lalu dan kembali lagi ke dunia tempat kami berasal.

Lee Ya membereskan kartu-kartunya. "Ada."

"Apa?"

"Tumbalkan temanmu."

"Bukan teman. Musuh."

.

Ruang kelas itu kosong. Aku menempelkan siku dan kepala ke permukaan meja, merasakan hangatnya sinar mentara senja yang menembus jendela.

Aku beruntung pemuda asal Brazil itu tidak menumbalkanku.

Hari ini melelahkan sekali.

Penulis: pinnavy

Continue Reading

You'll Also Like

MINE By Viole Yeon

Mystery / Thriller

114 75 19
"Semua perhatian hanya akan tertuju padaku!" Ailette Kathleen. Siapa yang tidak mengenalnya. Siswi yang berhasil menarik perhatian warga sekolah kare...
1K 172 17
Berada dalam satu universe yang sama dengan Senayan Express dan Fake Eskul. Mereka menyebutnya kelas malam. Anak-anak SMA Jagad Raya menyebut itu ad...
1.1K 217 38
Terserah untuk membacanya atau tidak, ini hanya berisikan keluhan. Copyright © 2021 by Yoontjx
1.8K 237 42
[COMPLETED] Aku takkan berhenti mengejarmu, sebelum pada akhirnya kau kembali seperti dulu. Aku akan selalu menyukaimu, Tachibana Ryuji. -Kazuhara Ai...