JALAN PULANG

By cimut998

35.3K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 47
Bab 48

Bab 46

607 33 11
By cimut998

"Sur!" Panggil seseorang dari arah belakang. Suryono memutar badan.

"Kembalilah, ada tugas untukmu."

Suryono mengangguk cepat. Ia hanya melirik ke arah Sobirin, dan berjalan keluar dari tempat itu.

"Bersikaplah yang baik padanya, kau tidak boleh seperti itu. Kita semua di sini, sama. Jangan seenaknya, kamu itu bukan siapa-siapa." Ucap orang tersebut.

"Saya tahu, tapi sikap Suryono memang sudah keterlaluan. Saya hanya ingin dia sadar, bahwa saya adalah teman yang baik. Tapi, dia sama sekali tidak peduli." Balas Sobirin sambil mendongakkan muka. Linangan air mata masih ia tahan.

"Apa rencana kita berhasil?" Tanya orang itu.

"Suhadi sudah masuk perangkap, tinggal satu orang lagi, anak perempuannya." Jawab Sobirin.

"Katakan pada Kiai gadungan itu, saya menunggu kabar baik darinya. Kalau tidak kunjung ada, lenyapkan saja dia. Lelaki tua tidak berguna!" Orang tersebut terlihat tersenyum. Tetapi, dengan tatapan tajam.

"Sepertinya, dia sudah tidak diperlukan lagi. Saya muak dengan orang munafik seperti dia. Lagipula, sudah waktunya dia istirahat." Kata Sobirin.

"Itu terserah kamu. Toh, kalian serupa. Jadi, kalau pun ada yang mati, tidak akan ada yang tahu. Terutama para santri bodoh itu. Mereka benar-benar tidak sadar, kalau sudah ditakdirkan menjadi tumbal." Timpal orang yang mengajak bicara Sobirin.

"Bagaimana keadaan desa, apa semua baik-baik saja?" Tanya Sobirin.

"Semua terkendali sesuai rencana. Orang-orang itu sudah berhasil melenyapkan musuh-musuh kita. Saya tidak menyangka jika Inah begitu ambisius untuk memperbanyak keturunan. Untungnya, gadis itu membawa kedua pemuda yang diperintah saudaramu, keluar dari desa. Kalau tidak, pasti kita akan jauh lebih sulit mengalahkannya." Jawabnya.

"Baguslah. Sekarang tinggal mengeksekusi para munafik di sini. Dan rencana kita sebentar lagi berhasil." Ucap Sobirin. Ada yang berbinar dari sorot matanya. Harapan untuk kembali seperti dulu, begitu besar. Mengharap jalan pulang yang ia tempuh, tidak begitu terjal dan berliku. Namun kenyataannya, semua jalan tak semulus yang ia kira. Harus melewati berbagai tanjakan, turunan, belokan, dan juga terpaksa putar arah mencari rute lain.

***

Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...
Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...

Sayup-sayup dari kejauhan lantunan suara azan menggema. Suasana di pondok begitu dingin. Udara yang mengembus sepoi seakan menusuk tulang kering. Seluruh anggota tubuh menggigil. Padahal embun fajar tidak sedang berkabut kali ini. Hanya saja, hawa dingin seakan betah berlama-lama di sana.

Para santri yang berkumpul di aula pun kedinginan sejak semalam. Pemudanya terlihat menyelimuti tubuh mereka dengan sarung. Sementara para gadis, tampak mengenakan mukena masing-masing. Ada rasa cemas yang berlebih, ada rasa takut yang hinggap. Keinginan untuk pulang, semakin membesar. Tetapi, apa daya, para pengurus belum memberi perintah untuk pulang saat ini. Mungkin, nanti.

"Assalamu'allaikum,"

Suasana yang hening, tiba-tiba pecah saat mendengar seseorang datang mengucapkan salam.

"Wa'allaikumussalam,"

Para pengurus begitu sumringah melihat kedatangan orang yang baru saja tiba.

"Abah," Amara berlari menuju sang bapak. Segera ia memeluk lelaki sepuh itu dengan derai tangis.

"Ada apa, Nduk?" Tanya Kiai Sobirin.

"Abah ..." kedua mata Amara berbinar. Air matanya jatuh di kedua pipi ranumnya. Bibirnya sedikit tergigit. Gadis itu tak ingin mengucapkan sepatah kata pun. Yang ia mau, hanya berada dipelukan sang bapak.

Kiai Sobirin mengelus lembut kepala yang tertutup kerudung hitam itu. Sambil terus mengelus, Kiai Sobirin mengamati sekeliling. Lelaki sepuh itu merasa heran, dengan seluruh santri yang dikumpulkan di satu tempat.

"Sudah waktunya shalat subuh, kenapa belum azan?" Tanya Kiai Sobirin kepada Fadil, sang pengawas kelas.

"Anu, Pak Kiai. Tadi kami ketiduran, semalam a-

AAAARRRGGGH!

JANGAN! JANGAN!

AAAARRRGGGH!

Teriakan santri yang kesurupan di lantai atas, mengejutkan semua orang. Para gadis berteriak histeris. Mereka ketakutan. Ada pula yang menangis kencang. Suasana gaduh kembali terjadi. Para pengurus, mencoba menenangkan. Tapi, tetap saja gadis-gadis itu tak berhenti berteriak.

"Ada apa itu? Siapa yang di atas?" Tanya Kiai Sobirin yang ikut terkejut.

"Anu, itu ..." Fadil menjeda kalimat.

"Ada santri putri yang kesurupan, Kiai. Dan dia, juga membunuh kakak saya, Mas Hilmi." Jawab Sarah dengan lantang. Sorot matanya memerah penuh dendam.

"Astaghfirullahaladzim, mari kita ke atas sekarang!" Ajak Kiai Sobirin kepada Fadil dan juga pengawas yang lain. Lelaki tua itu melepas pelukan sang anak dan menyuruhnya agar tetap diam di tempat.

Awalnya mereka tampak ragu, dan sedikit takut. Menyadari hal itu, Kiai Sobirin mendekat dan membujuknya. Tak lama kemudian, Kiai Sobirin bersama empat pengawas pergi menuju lantai atas. Lelaki itu berhasil membujuk para pemuda tersebut.

Langkah demi langkah mereka lalui. Lantai lorong asrama terasa dingin untuk dipijak. Sepoi angin terasa mengikuti setiap langkah mereka. Sedari tadi, bulu kuduk ke empat pengawas meremang. Ada sesuatu yang seakan membuat nyali mereka turun. Entah, perasaan mereka menjadi tak karuan. Takut bercampur penasaran.

"Di mana Ahmad dan Ilham?" Tanya Kiai Sobirin yang tiba-tiba menghentikan langkah tepat di depan pintu kamar santri putri.

"Saya tidak tahu, Kiai. Mereka berdua tidak terlihat di Aula. Mungkin saja, berada di kamar." Jawab Fadil.

Kiai Sobirin terdiam. "Pasti ada sesuatu," batinnya.

"Buka pintunya!" Perintah Kiai Sobirin pada Fadil.

Pemuda itu bergegas meraih kunci di dalam saku. Dengan tangan gemetar, ia berusaha membuka pintu kamar. Beberapa detik kemudian, pintu berhasil dibuka.

"Eh, bau apa ini," celetuk salah satu pengawas sambil menutup hidung dengan satu tangan.

"Huek! Huek!" Kedua dari empat pengawas terlebih dahulu memuntahkan isi perutnya. Keduanya tak tahan dengan aroma busuk dari dalam kamar. Sementara Fadil dan Kiai Sobirin berusaha menahan diri. Padahal, mereka juga tidak tahan dengan bau tersebut.

"Kalian tunggu di sini, biar saya dan Fadil yang masuk," kata Kiai Sobirin kepada ketiga pengawas tersebut. Mereka menganggukan kepala dengan cepat.

"Bismillah," lirih Kiai Sobirin saat melangkah masuk ke dalam kamar. Tak lama kemudian, Fadil menyusul.

Aroma bau anyir dan busuk bercampur jadi satu. Kedua mata Kiai Sobirin berair, saking busuknya aroma tersebut.

Fadil masih berusaha menahan diri, meskipun sedari tadi perutnya sudah mual.

"Apa itu ..." ucap Kiai Sobirin saat mendapati seorang gadis tengah berdiri dengan darah yang mengucur deras dari lehernya.

"Astaghfirullah!" Seru Fadil yang terbelalak melihat sang gadis dengan leher hampir terputus.

Gadis yang kesurupan semalam, tewas dengan kepala setengah terputus dari leher. Dengan tatapan melotot, lidah menjulur keluar, pandangan sang gadis begitu memilukan. Sementara di sisi lain, jasad Ustaz Hilmi tergeletak begitu saja. Hanya, ada sedikit kejanggalan. Jasad yang baru meninggal semalam, membusuk dengan cepat. Sekujur tubuhnya menghitam. Aroma bangkai tercium dari jarak jauh.

"Huek!" Kali ini Fadil tak bisa lagi menahan rasa mual. Ia pun memuntahkan isi perutnya dengan cepat.

"Siapa yang tega melakukannya," lirih Kiai Sobirin.

BRUK!

Fadil terkulai lemas dan tak sadarkan diri. Kiai Sobirin segera menghampirinya.

"Dil, Fadil!"

"Akhirnya kita bertemu lagi, Sobirin."

Kiai Sobirin menoleh ke arah sumber suara, kedua matanya terbeliak melihat orang yang mengatakan kalimat itu.

"Kamu ..."

Orang itu berjalan mendekat, sambil memegang celurit yang berlumur darah.

"Apa kabar, Sobirin?" Orang itu tersenyum menyeringai.

"Ternyata selama ini kau yang-

SLASH!

BUK!

Dengan satu tebasan, orang itu berhasil memenggal kepala Kiai Sobirin. Darah mengucur deras dan mengenai wajah dan kemeja orang tersebut.

"Hahaha! Hahaha!" Tawanya menggema. Kakinya menendang-nendang kepala Kiai Sobirin yang terpenggal. Memainkannya bak sebuah bola. Lalu, ia menghampiri Fadil yang tengah pingsan. Kemudian ia menggorok leher Fadil layaknya sedang memotong seekor ayam. Fadil yang pingsan, sama sekali tak terbangun, sehingga membuat orang itu sangat bersemangat untuk mengeksekusi korbannya. Darah menggenang di lantai. Merahnya bak air yang mengalir tanpa henti.

"Jadi selama ini, kau pelakunya!"

Orang tersebut menoleh, dengan senyum yang mengembang sempurna di bibirnya.

"Ah, ketahuan." Ucap orang itu.

"Kenapa, Ham! Kenapa kau lakukan semua ini! Kenapa!" Teriak Ahmad yang sedari tadi berdiri di ambang pintu, menyaksikan aksi bengis Ilham. Sebelumnya, Ahmad terlebih dahulu memerintah dua orang pengawas yang tak ikut masuk, untuk turun ke lantai bawah, dengan alasan menggantikan tugasnya. Dengan senang hati, kedua pengawas tersebut, meninggalkan tempat yang beraroma tak sedap itu.

"Kenapa? Kau tanya aku, kenapa! Jangan mengajakku bercanda, Mad!" Seru Ilham sambil menenteng celurit. Hampir seluruh tubuhnya penuh dengan noda darah.

"Mengapa kau melakukan semua ini, Ham?" Tanya Ahmad dengan nada lirih dan sendu.

Ilham mengembus napas pelan. Ia menatap lekat teman sekamarnya. Kemudian perlahan berjalan mendekat.

"Menjadi orang pilihan itu tidak mudah, Mad. Aku juga tersiksa." Jawab Ilham. Entah mengapa bibir itu bergetar saat mengucapkan kalimat tersebut.

"Orang pilihan macam apa? Pilihan siapa?" Ahmad bertanya kembali.

"Pilihan Tuhan untuk mengakhiri para bajingan itu!" Jawab Ilham dengan nada tegas.

"Pilihan Tuhan? Tuhan siapa yang kau maksud? Jika benar kamu pilihan Allah, mana mungkin kamu akan berbuat sekeji ini, Ham!" Bentak Ahmad.

Ilham berhenti sejenak. Merenung, berdiam diri.

"Ham, ini hanya nafsumu, Ham. Jangan kau lanjutkan lagi, bertaubatlah." Ucap Ahmad, mencoba meredakan gejolak amarah Ilham.

Ilham hanya sekadar memandang, lalu menundukkan kepala. Terdengar isak tangis yang sesegukan. Tampak pula sesekali tangan Ilham menyeka air di pipi.

"Ham, bertaubatlah. Sebelum terlambat," ujar Ahmad.

"Hm!" Hanya kata itu yang keluar dari mulut Ilham.

"Kita pulang, Ham. Aku antar kau kembali ke rumah." Ahmad berjalan menghampiri Ilham, namun langkahnya terhenti.

"Jangan!" Cegah Hasiah yang tiba-tiba datang menahan lengan Ahmad.

"Kamu," Ahmad menatap Hasiah penuh tanya.

"Dia bisa menyakitimu, Mas. Jangan mendekat," ujar Hasiah.

"Dia benar, Mad. Aku bisa menyakitimu." Sahut Ilham menyeringai, dan berlari sambil mengayunkan celurit ke arah Hasiah.

Dengan sigap, Ahmad menarik tubuh Hasiah dalam pelukannya, sambil menangkis serangan Ilham menggunakan satu tangan.

"Lepaskan gadis itu, Mad. Dia orang yang paling jahat di sini! Dia juga yang sudah mengirimkan santet padamu! Dia, dia yang kau anggap suci!" Teriak Ilham.

Ahmad terkejut mendengar ucapan Ilham. Kalimat itu sering ia dengar ketika masih berada di desa Giung Agung. "Dia yang kau anggap suci", arwah Hawiyah pun pernah mengatakannya.

"Mas!" Bentak Hasiah. Ahmad beralih pandang, "Jangan lengah," imbuh Hasiah menatap kedua bola mata Ahmad yang membulat.

"Sini, gadis jalang!" Ilham mencoba menarik ujung kerudung Hasiah, akan tetapi Ahmad kembali menepis tangan Ilham.

"Jelaskan padaku, Ham. Apa maksud semua ini!" Pinta Ahmad tanpa melepas pelukan di tubuh Hasiah. Gadis itu pun memeluk erat tubuh Ahmad. Ada senyuman tipis di bibirnya, namun dalam hitungan detik, senyum itu menghilang.

"Bukan saatnya aku menjelaskan padamu, Mad. Yang terpenting, serahkan gadis itu padaku! Sebelum terlambat." Balas Ilham.

"Aku tidak akan melepaskan Hasiah, sebelum kamu jelaskan semuanya," tukas Ahmad.

Ilham menghela napas panjang. "Kau ingat, ucapan Kiai Sobirin setelah kita kembali ke pondok?"

Ahmad terdiam. Ia mencoba mengingat ucapan sang Kiai. Namun, ia lupa kalimat mana yang dimaksud Ilham. Terlalu banyak kalimat pada saat itu. Sehingga, Ahmad menganggapnya bak angin lalu.

"Lupa, Mad?" Tanya Ilham untuk memastikan. Dari raut wajah Ahmad yang bingung, Ilham sudah tahu apa jawaban sang teman.

"Adiba itu nyata, Mad. Dan dia orangnya!" Jari telunjuk  Ilham menunjuk ke arah gadis yang sedang dipeluk Ahmad.

Kedua alis Ahmad saling bertaut. Arah pandangnya seketika mengarah ke Hasiah.

"K-kau ..."

Hasiah menggelengkan kepala. "Bukan, Mas. Bukan!"

"Jalang!" Tarik Ilham, ia menjambak kerudung putih yang menutupi mahkota Hasiah. Kali ini, Ahmad tak lagi merangkul tubuh gadis itu, justru ia sedikit melepas pelukannya

"Aarrgggh!" Teriak Hasiah kesakitan, saat beberapa helai rambutnya ikut ditarik Ilham.

"Kau tak bisa menipuku, Siah. Aku sudah melihat semuanya, semuanya!" Ilham mengeraskan suaranya tepat ditelinga Hasiah bagian kanan.

"Kau salah orang, Ham! Bukan aku! Bukan aku!" Bantah Hasiah sambil berusaha melepas cengkeraman tangan Ilham yang sedari tadi menjambak rambutnya.

"Lalu, siapa? Siapa? Hah! Siapa!" Teriak Ilham, ia menodongkan celurit tepat di leher Hasiah.

Hasiah meneguk saliva. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Bola matanya mengarah ke tempat celurit itu mendarat.

"Aku saja tidak tahu, siapa Adiba yang kau maksud. Jadi, untuk a—

"Kalau berbohong sekali lagi, celurit ini akan memotong lidahmu!" Ancam Ilham.

Hasiah berhenti bergerak. Ia mengembus napas pelan, kemudian berusaha menata pernapasan. Sementara Ahmad hanya berdiam diri, menunggu kepastian dari kedua orang tersebut.

Matahari mulai terbit. Waktu subuh berlalu begitu cepat. Para pengurus dan para santri, sama sekali tak bergerak menuju lantai atas, padahal teriakan Hasiah terdengar cukup kencang. Entah, apa yang sudah terjadi di aula, suasana tampak sunyi di sana.

"Apa benar begitu, Siah?" Tanya Ahmad, setelah sekian lama ia terdiam.

Hasiah tetap saja menggeleng. "Bukan, Mas."

"Jujur saja, aku akan memberimu waktu," ucap Ilham.

Ahmad berjalan mendekat, ia memandang wajah Hasiah begitu lama. Hasiah terlihat gugup, saat Ahmad menatap kedua matanya.

"Bukan dia, Ham!" Lirih Ahmad.

"Apa! Tolong katakan sekali lagi," pinta Ilham. Ia berpura-pura tidak mendengar.

"Bukan dia, Ham. Mata itu berbeda," lanjut Ahmad.

"Memang bukan!" Ilham menggoreskan celurit itu, leher Hasiah terluka, hingga mengeluarkan darah yang begitu banyak.

"Aaaaaarggghh!" Pekik Hasiah. Kedua matanya mendelik ke atas. Napasnya mulai tak beraturan. Darah yang mengalir dari lehernya, mengucur tepat di  wajah Ahmad. Seketika Ahmad mundur selangkah demi selangkah. Tak lama kemudian, Hasiah pun tewas dengan leher hampir putus.

JANGAN LENGAH!

Ahmad menoleh, ada yang berbisik. Tapi, tidak ada siapa-siapa di sana, selain Ilham.

"Bagaimana, Mad? Puas!" Ilham menyeringai, sambil memamerkan giginya yang penuh darah.

Nb: semua adegan kekerasan di dalam cerita ini, tidak layak ditiru oleh anak dibawah umur atau pun yang cukup umur. Saya selaku penulis hanya menyuguhkan cerita fiksi. Berbijaklah dalam membaca. Terima kasih ❤






















Continue Reading

You'll Also Like

77.7K 6.4K 85
[COMPLETED] Kematian seorang Guru di SMP GENTAWIRA membawa Zuna dan Diana kembali ke sekolah lama mereka. Awalnya hanya Zuna yang ditugaskan untuk me...
11.1K 1K 23
Banyak kejadian horor yang Yuni alami sejak bekerja di rumah sakit itu. Situasi kian mencekam dengan kematian orang-orang yang ditandai.
53.4K 4.5K 19
Safira dan Kaivan baru saja pindah ke sebuah rumah dinas di tengah perkebunan sawit. Rumah yang berdiri sendiri, tanpa ada satupun tetangga. Mereka t...
3.8K 590 13
Tentang Halilintar, remaja yang ingin lepas dari belenggu rantai yang mengikatnya. Ia ingin menikmati kehidupan layaknya orang biasa. Namun, ayahnya...