JALAN PULANG

By cimut998

35.6K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 45

624 42 6
By cimut998

AAARRRGGGH!

AAARRRGGGH!

Amara dan Sarah dikejutkan dengan teriakan salah satu santri dari dalam kamar.

"Astaghfirullahaladzim!" Seru keduanya saat mendapati salah satu santri sedang melukai dirinya sendiri dengan mencakar-cakar wajahnya.

"Tadi kami lihat, dia senyum-senyum sendiri, Mbak. Terus, tiba-tiba dia cakar-cakar gitu. Kami takut, Mbak." Ucap salah satu santri putri yang kini tengah berkumpul di satu titik bersama santri putri yang lain.

"Ra, bagaimana ini?" Sarah ikut panik. Dia juga ketakutan melihat sang santri.

"Kamu beritahu para pengurus, biar aku yang jaga di sini. Cepat!" Titah Amara dengan nada tegas.

Tanpa bertanya lagi, Sarah bergegas keluar kamar.

"Mbak ..." lirih para santri yang lain.

"Kita berdoa, minta pertolongan sama Allah. Tiadalah Allah menguji hambanya diluar batas kemampuan, mari berdoa bersama," Amara mencoba menenangkan para santri. Hanya itu jalan terbaik yang ia lakukan. Jika memaksa melawan pun, ia tak punya kuasa. Semua diserahkan kepada Sang Maha Kuasa.

"Percuma, Cah Ayu. Aku ora bakal lungo soko kene. Kabeh sing neng kene kuwi golekane bocah kuwi. Dadi bakale yo tetep mati, mati! (Percuma, Anak cantik. Aku tidak akan pergi dari sini. Semua yang di sini, hanya bonekanya anak itu. Jadi, akan tetap mati, mati)"

Ucapan gadis itu membuat konsentrasi Amara terganggu. Kata-katanya terus terngiang di telinga. Apa maksud kalimat itu. Amara terlihat kebingungan, ini kali pertama ia menghadapi masalah tanpa adanya sang bapak.

HAHAHAHA!

HAHAHAHA!

Tawa sang gadis yang kesurupan kian kencang. Selain mencakar wajahnya, gadis itu juga menggigit satu persatu kuku jarinya hingga terlepas. Giginya terdengar gemertak. Saling beradu di dalam mulut.

"Ra!"

Tak selang beberapa waktu Ustaz Hilmi dan pengurus pondok yang lain pun tiba. Termasuk Ahmad dan Ilham.

"Mas, bagaimana ini?" Tanya Amara kepada Ustaz Hilmi.

"Sebaiknya, para santri lain keluar. Pindah ke kamar lain, atau ke aula saja. Biar ditemani pengurus lain. Sementara kita yang tersisa, usahakan baca terus ayat-ayat suci Al-Qur'an, supaya jin yang berada di tubuh dia segera pergi." Jawab Ustaz Hilmi.

"Ayo, cepat! Cepat!" Seru salah satu pengurus. Ia meneriaki para santri putri untuk segera berpindah kamar. Mereka yang berada di ruangan tersebut segera berlari keluar kamar. Dan beberapa pengurus pun ikut mendampingi.

"Percuma kau suruh bacakan ayat-ayat, Hil! Lihatlah, dia justru semakin menyakiti dirinya sendiri," ucap Ahmad sambil menunjuk ke arah sang gadis. Di sana, selain menggigit kuku jari, sang gadis juga menggigit jari-jarinya. Layaknya sedang memakan daging. Begitu lahapnya dia, ketika memasukkan jari ke dalam mulut. Darah mengalir deras dari jemarinya, sedangkan mulutnya tampak asik mengunyah-ngunyah.

"Astaghfirullahaladzim," Ustaz Hilmi berlari mendekat. Ia berusaha menghentikan apa yang dilakukan gadis itu. Akan tetapi, justru dirinya mengalami serangan dari sang gadis.

Senyum menyeringai mengembang sempurna disertai dengan tatapan tajam.

"Anake Suherman! (Anaknya Suherman)" Gadis itu melotot, sambil mencekik leher Ustaz Hilmi.

"Maaas!" Sarah dan Amara berteriak histeris. Keduanya semakin panik, sementara Ahmad hanya diam mematung.

"B-bapak!" Suara Ustaz Hilmi terdengar lirih. Ia berusaha melepas cengkeraman tangan sang gadis dari lehernya.

"Mati kowe! (Mati kamu)" sang gadis mendekatkan wajahnya, menyeringai penuh amarah. Kemudian ia memuntahkan isi perutnya. Dari mulutnya keluar darah, belatung, dan beberapa paku berukuran besar. Ia mengambil satu paku dari mulut, lalu menusukkannya ke leher sisi kiri Ustaz Hilmi.

"Aaarggh!" Pekik Ustaz Hilmi. Darah segar mengalir dari lehernya. Sempat ia melawan, namun sang gadis semakin menancapkan paku tersebut hingga ke dalam.

"Uhuk! Uhuk!" Darah keluar dari mulut Ustaz Hilmi, mengotori kemeja putihnya. Dalam hitungan detik, pria itu menutup mata untuk selamanya.

"Maaaaaas!" Pekik Sarah. Gadis itu hendak mendekat, tetapi dihadang oleh Amara.

"Minggir, Ra! Itu kakakku! Kakakku!" Isak Sarah. Amara memeluk Sarah dengan linangan air mata yang tumpah. Ia bisa merasakan, betapa pedihnya kehilangan anggota keluarga. Namun, jika dibiarkan mendekat, pasti gadis itu akan melukai Sarah.

"Mad, bagaimana ini?" Tanya Ilham yang bingung harus melakukan apa.

"Kita pergi dari sini. Kunci pintu! Biarkan gadis itu sendirian." Jawab Ahmad.

Kening Ilham mengernyit, ia sama sekali tidak mengerti apa maksud dari ucapan temannya itu.

"Cepat, Ham! Ajak Amara dan Sarah keluar, biar aku yang mengunci pintunya!" Teriak Ahmad. Tanpa berpikir panjang, Ilham segera mengajak Sarah dan Amara. Butuh sedikit paksaan untuk membujuk gadis yang tengah menangisi saudaranya. Hingga akhirnya ke empat orang itu sudah berada di luar kamar.

HAHAHA!

HAHAHA!

WEDI! (takut) HAHAHA!

Gadis itu mencabut paku di leher Ustaz Hilmi, dan kembali menelan paku tersebut dengan tatapan sinis.

"Ada apa ini!"

Semua menoleh ke sumber suara tersebut. Hasiah, sedang berdiri menatap ke empat orang di depannya dengan penuh pertanyaan.

"Si-si anu, kesurupan, Siah!" Sahut Amara.

Hasiah menarik napas panjang, mengembusnya pelan. "Terjadi lagi," keluhnya.

"Siah ... Mas Hilmi," binar mata Sarah berair. Hasiah segera memeluknya. Tak perlu sepatah kata untuk sekedar tahu, bagaimana perasaan gadis itu sekarang.

"Mad, apa yang harus kita lakukan? Kalau menunggu Pak Kiai, itu akan sangat memakan waktu. Kita harus segera bertindak," ucap Ilham sedikit berbisik.

"Kamu itu punya apa, Ham? Kita di sini cuma santri biasa. Bukan dukun macam mereka-mereka itu. Lagipula, kalau ada santri kesurupan, apa harus kita yang repot? Kan ada pengurus lain," balas Ahmad sembari berjalan menuju lorong kamar, hendak meninggalkan tempat itu.

"Tunggu, Mad. Aku belum selesai bicara," tahan Ilham.

Ahmad menghentikan langkah. "Mau bicara apalagi?"

"Apa jangan-jangan, kepulangan kita yang justru mengakibatkan kerusuhan di Pondok? Sebelumnya tidak pernah terjadi peristiwa seperti ini, dan-

"Mungkin, pelaku sebenarnya memang ada di sini. Dan bisa jadi, orang tersebut ada di antara kita," potong Ahmad. Pemuda itu kembali melanjutkan langkahnya. Sementara Ilham hanya berdiam diri di tempat. Ucapan Ahmad membuatnya semakin yakin, bahwa memang benar, dirinya saat ini sudah diambang batas kewarasan.

***

Malam semakin larut. Suasana di pondok berubah drastis. Yang awalnya tenang dan damai, kini menjadi sangat mencekam. Para santri putra, santri putri dikumpulkan menjadi satu di Aula. Isak tangis terdengar seperti melodi yang menyayat hati. Tidak ada yang bersuara kali ini, sayup-sayup para santri itu melantunkan bacaan ayat-ayat suci untuk menenangkan hati, walaupun sebenarnya mereka sangat ketakutan.

Teriakan suara seorang gadis dari lantai atas, lebih tepatnya di kamar santri putri, terdengar memilukan. Raungan, tawa terkekeh, tangis, bahkan seruan kata-kata ancaman, membuat semua orang semakin takut.

"Kita pulangkan saja mereka, kasihan jika dibiarkan seperti ini." Usul salah satu pengurus.

"Tidak semudah itu, harus ada izin dari Pak Kiai dan pengurus lain. Kita tunggu saja sampai ada perintah dari beliau." Sahut rekannya.

"Mau sampai kapan kita menunggu? Toh, kita tidak tahu ke mana Kiai Sobirin membawa Oliv pergi. Tidak ada satu pun pengurus yang diperbolehkan ikut. Sementara Suryono saja, belum kembali sampai sekarang," balas pengurus lain.

"Apa jangan-jangan ..." semua orang yang tadinya mengobrol, kini terdiam.

"Jangan berpikir yang aneh-aneh, sebaiknya kita tetap husnudzon kepada siapa pun, termasuk kepada Pak Kiai." Ucap seorang pengurus. Dan semua yang hadir pun mengangguk setuju.

Seluruh santri dan pengurus pondok, menggelar doa bersama. Meminta pertolongan kepada Sang Maha Agung. Di antara doa yang terpanjat, ada doa yang disematkan seseorang. Doa yang berbeda dari semua orang yang berkumpul. Di mana, kalimat-kalimat disebutkan, tertuju pada seseorang. Bukan untuk mendoakan, melainkan hal yang lain.

Beralih ke tempat lain, beberapa orang juga sedang berkumpul. Tetapi, berbanding terbalik dengan suasana pondok. Orang-orang itu, bukan sedang berdoa, melainkan merapalkan mantra untuk menyambut ritual sesembahan mereka.

Terlihat seorang gadis, diikat di sebuah kursi dengan wajah tertutup kain hitam. Sekelilingnya, terdapat lilin yang menyala, kembang setaman dan asap dupa yang mengepul.

"Apa kau sudah siap?" Tanya seseorang yang memakai jubah berwarna putih serta tudung dengan warna sama.

"Siap!" Jawab orang yang ditanyainya.

Seseorang itu memberikan sebuah parang, dan ...

SLASH!

BUK!

Lilin-lilin yang berjejeran rapi di lantai, satu persatu mulai padam. Percikan darah mengucur deras hingga menggenang di sekeliling. Seseorang yang berada di samping orang tersebut, segera mengambil sebuah cawan, mengisinya dengan darah segar.

"Minumlah," perintah seseorang itu kepada orang yang berhasil memenggal kepala sang gadis. Dengan cepat, ia meraih cawan tersebut, kemudian meminumnya hingga tandas.

"Bagus, sekarang kau resmi menjadi anggota kami, Hadi."

Prok! Prok! Prok!

Tepuk tangan meriah dari seluruh anggota, terdengar sangat riuh. Mereka begitu bersemangat menyambut kehadiran anggota baru. Terlebih, pemimpin mereka.

"Kau tidak akan menyesal jika bergabung bersama kami. Semua keinginanmu pasti terkabul." Ucap pemimpin mereka.

Suhadi, atau Pak Hadi tersenyum mendengar ucapan orang yang disebut pemimpin itu. Ia begitu tergiur dengan ajakan sang pemimpin yang katanya bisa membuatnya kaya dengan cepat. Padahal, kekayaan di dunia hanyalah sebatas bayangan semu. Semua hanya nafsu belaka. Iri dengki, menjadi salah satu sebab, keinginan itu muncul. Setiap manusia mempunyai takaran rezeki masing-masing, dan semua sudah terbagi rata dan adil. Hanya saja, masih ada orang yang beranggapan, jika Tuhan tidak pernah adil kepada hambanya.

"Hadi, Hadi. Saya saja ingin berhenti, kamu justru ikut terpengaruh. Lengkap sudah penderitaanmu, Di." Gumam seseorang.

"Dia yang mata duitan itu ya," lirih temannya.

Orang itu mengangguk. "Ya,"

"Dasar, manusia serakah." Umpatnya.

"Sama, kita semua sama. Sama-sama serakah dan bejat."

"Baru sadar kau rupanya, Sur!" Sindir orang yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka berdua.

"Kamu! Kamu itu biang kerok, Sobirin!" Teriak Suryono. Suara teriakannya terdengar menggema ke seluruh ruangan. Hingga, para anggota beralih memandang ke arah mereka.

"Kenapa kalian ribut-ribut. Berhentilah bersikap seperti anak kecil, Suryono!" Bentak sang pemimpin.

Pak Hadi begitu terkejut saat sang pemimpin menyebut nama Suryono. Pria yang dikenal alim dan taat itu, rupanya mengikuti aliran ilmu hitam sama seperti yang ia lakukan sekarang.

"Kapan engkau memberi saya perintah, untuk memenggal kepala Sobirin! Bukankah dia layak untuk ditumbalkan?" Tanya Suryono sambil menatap sinis ke arah orang yang dipanggilnya Sobirin.

"S-sobirin?" Pak Hadi tercengang mendengarnya. Nama itu, sama dengan pemilik pondok pesantren tempat anaknya menempuh pendidikan. Apa jangan-jangan memang orang yang sama? Pak Hadi termenung. Ia tak berhenti memikirkan nasib sang anak kelak, jika memang benar nama itu, nama sang pemilik pondok.

"Kepala Sobirin tidak begitu berharga, Sur. Dia hanya cecunguk sama sepertimu. Jika saya tumbalkan, yang ada hanya menambah masalah." Jawab sang pemimpin.

"Kau dengar sendiri, kepala saya tidak berguna di sini. Jadi, berhentilah mengoceh! Dasar, kacung pondok!" Ejek Sobirin.

Suryono mengepalkan tangan. Ingin sekali ia memukul wajah pria yang mengejeknya itu. Akan tetapi, sangat amat percuma jika ia melakukannya sekarang. Hanya buang-buang waktu dan tenaga saja.

"Bagaimana perkembangan anak itu, apakah dia sudah bisa diharapkan?" Tanya sang pemimpin.

"Sedikit lagi, kita tunggu sampai waktu itu tiba. Saya yakin, dia akan datang sendiri kepada kita." Jawab seseorang yang ditanyai sang pemimpin.

"Awasi terus perkembangannya, buat dia lupa segalanya. Dan mengutuk Tuhannya yang begitu ia junjung. Saya sangat menantikan hari itu, di mana semuanya akan abadi, dalam satu hitungan." Ucap sang pemimpin.

"Baik," singkat sang anggota.

"Kalian boleh menikmati sisa darah yang tergenang, minumlah sepuasnya. Darah dari gadis itu benar-benar segar dan wangi. Saya begitu puas, meskipun sekadar mencium aromanya. Dia pasti masih suci. Gadis-gadis di sana memang sangat pandai menjaga diri, tak rugi saya mempunyai anggota yang mengurus di sana. Mari berpesta!" Kata sang pemimpin sambil mengangkat kedua tangan. Suryono mengamati tangan tersebut. Ada tahi lalat di telapak tangan sebelah kanan sang pemimpin. Ia mencoba mengingat, sepertinya pernah melihat orang yang mempunyai tahi lalat tersebut. Tapi, ia lupa siapa orangnya.

"Hore! Wuuuu!" Sorak sorai dari para anggota yang berjumlah kurang lebih 30 orang itu terdengar riuh. Mereka bergegas menghampiri tubuh sang gadis. Darah segar yang mengalir dari lehernya, sedikit demi sedikit di cicipi para anggota. Mereka tampak begitu rakus, saat meminum darah gadis yang masih perawan.

Hanya Suryono dan orang yang bernama Sobirin saja yang tidak ikut serta. Keduanya masih saling beradu pandang. Kebencian yang begitu besar, membuat Suryono memiliki dendam kepada Sobirin. Dia merasa ditipu olehnya. Hingga ia terjebak dan tersesat, saat menjadi anggota kelompok yang disebut tudung putih.

"Kau tahu, Sur. Menjadi diriku itu tidaklah mudah. Aku harus mengorbankan keluargaku, demi dirimu. Tapi, kau begitu dendam padaku, tanpa sedikit pun bertanya, mengapa aku melakukannya." Batin Sobirin.
















Continue Reading

You'll Also Like

600K 63.7K 33
[Update tiap Rabu dan Jum'at] Ghost [Normal] Mystery [Hard] Riddle [Hard] *** Ada beberapa pantangan penting di Desa Widi. Tidak ada yang boleh ke...
7.4K 693 18
Berawal dari sebuah ide sederhana, hingga membuat mereka tersiksa. Berharap kalau liburannya akan baik-baik saja, tetapi yang terjadi adalah yang seb...
37.7K 3.1K 49
Kumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebel...
3.8K 590 13
Tentang Halilintar, remaja yang ingin lepas dari belenggu rantai yang mengikatnya. Ia ingin menikmati kehidupan layaknya orang biasa. Namun, ayahnya...