JALAN PULANG

By cimut998

35.6K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 44

727 36 10
By cimut998

Ahmad hanya sesekali menggoyangkan kepala ketika jemari Hasiah mengelus rambutnya. Sementara Ilham, tengah berusaha melanjutkan kembali tidurnya. Akan tetapi, suara teriakan para santri membuat konsentrasinya terganggu.

"Aku tahu kamu tidak sedang tidur, Mas." Ucap Hasiah.

"Ah, ketahuan," Ilham menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Ahmad.

"Kenapa kamu tidak panik, saat mendengar Oliv kesurupan? Bukankah seharusnya kamu keluar untuk melihat keadaannya," Hasiah berpindah tempat. Ia mendekat pada Ilham.

"Justru aku yang seharusnya bertanya padamu," balas Ilham. "Apa tidak aneh, seorang gadis masuk ke dalam kamar laki-laki, dan bahkan berani menyentuh bagian tubuhnya. Apa kau sudah tidak punya rasa malu?" Lanjut Ilham dengan senyum simpul dibibirnya.

Hasiah menghela napas panjang. Wajahnya memerah mendengar ucapan Ilham. Benar memang, mengapa dia tidak memikirkan hal itu, padahal jelas, larangan di agamanya bagi seorang perempuan yang bukan mahram berdekatan dengan laki-laki. Dan kini, ia justru masuk ke kamar laki-laki tanpa merasa malu sedikit pun.

"Astaghfirullahaladzim," bergegas Hasiah berlari keluar kamar. Ilham hanya tertawa terkekeh melihatnya. Di ujung pintu, masih berdiri Hasiah menatap tajam pada pemuda yang tengah merapikan sarung yang ia pakai. Pemuda tersebut, bahkan mengambil sebuah bantal untuk alas kepalanya. Ia sama sekali tak tertarik untuk keluar kamar. Bahkan sekadar basa-basi bertanya, bagaimana keadaan gadis yang dikabarkan kesurupan tadi.

"Aku harus berhati-hati dengannya," lirih Hasiah, kemudian berjalan meninggalkan tempat tersebut.

Beberapa menit yang lalu, Oliv gadis cantik yang seharusnya pulang hari ini, tiba-tiba saja berteriak histeris. Ia melompat ke sana ke mari, layaknya seekor kera. Ia juga memanjat lemari para santri putri. Mengacak-acak seluruh benda yang ada di kamar. Para rekan sekamarnya saling berteriak ketakutan. Ada yang mencoba berlari keluar kamar, namun naasnya, Oliv segera melompat tepat di hadapan sang santri putri. Dengan wajah beringas, Oliv menarik kerudung temannya, menyeret tubuhnya, kemudian mengantuk-antukkan kepala sang santri ke lantai dengan posisi tertelungkup.

Darah mengalir dari bagian depan kepala sang santri. Warna merah kental itu menggenang di lantai. Teriakan para gadis semakin menggema kencang. Beberapa santri lain hanya bisa menyaksikan pemandangan mengerikan itu dari luar jendela. Bahkan para pengawas pondok pun, merasa takut untuk masuk ke dalam.

"Ono opo iki, lah kok rame (ada apa ini, kok ramai)" celetuk Suryono, salah satu pengurus pondok yang bertugas di dapur.

"Itu kang, si Oliv kesurupan!" Balas salah satu santri yang ikut berkemurun di luar kamar sang santri putri.

"Astaghfirullahaladzim," Suryono segera masuk ke dalam kamar. Ia berusaha menghentikan aksi Oliv yang sedari tadi tak berhenti melukai temannya.

"Sadar, Nduk. Astaghfirullah, istighfar!" Suryono mengunci kedua tangan Oliv, dengan tangannya.

AAAAARGGGHHH!

AAAAARGGGHHH!

RRRRRR!

RRRRRR!

Oliv berteriak, meraung dengan wajah merah padam. Kedua matanya melotot. Dari mulutnya keluar air liur yang kental kekuningan.

"Manungso serakah! Manungso bejat! Kowe kowe pantes mati! Hahaha! Hahaha! (Manusia serakah! Manusia bejat! Kamu semua pantas mati)"

Oliv berusaha melepas cengkeraman Suryono. Tetapi, Suryono semakin mengencangkan genggaman tangannya di pergelangan tangan Oliv.

"Istighfar, Nduk. Istighfar! Astaghfirullahaladzim!"

RRRRRRR!

"Astaghfirullah!" Teriak Suryono terkejut, ketika mendapati Oliv berhasil melepas cengkeramannya.

Bola mata Oliv tertuju pada pisau yang terselib di celemek milik Suryono. Dengan cepat tangan Oliv meraih pisau tersebut. Suryono mencoba mengambil kembali pisau miliknya, akan tetapi Oliv justru menusukkan pisau tersebut ke bagian ubun-ubun sang teman yang sedari tadi terkulai lemas di lantai.

"Aaaaarrrgggghhhh!" Lengkingan jerit sang teman menggema ke seluruh penjuru kamar. Disusul pula jeritan para santri putri yang histeris menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Tak lama kemudian, sang santri mengembuskan napas terakhir, dengan pisau masih tertancap di kepala.

"Jabang bayi! Eh!" Seru Suryono, setengah melompat mendekati Oliv dan sang teman. Suryono kembali meringkus Oliv, kali ini Oliv membiarkan Suryono mengunci kedua tangannya tanpa perlawanan.

"Tahan dia, Sur!"

Suryono menoleh, di sana Kiai Sobirin beserta para pengajar yang lain berjalan mendekati posisinya. Senyum Oliv mengembang di ujung bibir. Seakan sengaja menyambut kedatangan sang Kiai.

"Mari kita berdoa bersama-sama untuk menyadarkan Oliv," pinta Kiai Sobirin kepada para pengajar.

Mereka yang berjumlah enam orang, mengangguk serentak kemudian bergerak memutari Oliv dan Suryono. Membuat pola lingkaran dan duduk mengelilingi dua orang tersebut.

"Hahaha! Hahaha!" Oliv tertawa cekikikan. Bola matanya yang sedari tadi hitam, kini tiba-tiba berubah memutih. Giginya gemeretak. Tubuhnya tergoncang-goncang. Suryono sedikit kewalahan menahan tubuh gadis itu.

"Tahan, Sur! Tahan!" Seru Kiai Sobirin.

"Nggih, Pak Kiai." Tandas Suryono.

Bacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an terdengar merdu di segala sisi ruangan. Para santri putri yang sedari tadi panik, kini perlahan mulai tenang. Bahkan mereka ikut melantunkan guna membantu sang Kiai dan para pengajar.

AAAAARRRGGGGHHHH!

AAAAARRRGGGGHHHH!

Oliv menjerit kesakitan. Sementara Suryono semakin kewalahan menahan tubuh Oliv.

"Kowe ora iso ngusir aku, Sobirin! (Kamu tidak bisa mengusirku, Sobirin)" maki jin yang merasuki tubuh Oliv. "Kowe lali! Kowe lali! Ono sing mati! Ono sing mati! (Kamu lupa! Kamu lupa! Ada yang mati! Ada yang mati!)" Imbuhnya.

Para pengajar saling curi pandang. Mereka memikirkan hal yang sama, mungkin. Mengapa jin tersebut menyebut nama sang kiai? Pertanyaan itu muncul dari benak para pengajar dan juga beberapa santri. Membuat seruan ayat-ayat suci mereka perlahan terjeda.

"Pulanglah, Nung! Saya tahu, saya salah. Lepaskan tubuh gadis itu. Dia tidak bersalah," ucap sang kiai mencoba berinteraksi dengan jin tersebut.

Oliv dengan kedua mata melotot, menatap tajam ke arah Kiai Sobirin. Senyumnya menyeringai, "Kowe bakal ciloko, yen ora ngati-ati. Bocah kuwi bakal nyoto, hahaha! Nyoto, Sobirin! (Kamu akan celaka, kalau tidak hati-hati. Anak itu akan nyata, hahaha! Nyata, Sobirin)"

"Bismillahirrahmannirrahiim, Allahu Akbar." Kiai Sobirin mengibaskan sorban yang ia kenakan ke arah Oliv. Gadis itu mengerang kesakitan. Tubuhnya melayang jauh menuju sudut ruangan, tentu saja setelah Suryono melepas genggaman tangannya.

Oliv meringik, mengantuk-antukan kepalanya sendiri ke dinding. Darah segar mengalir dari dahinya. Sesekali ia juga menjambak rambutnya sendiri, menyeka telinganya yang tiba-tiba berdarah.

"Hiks ... hiks ..., huhuhu! Huhuhu! Kowe ngelarani aku, Bi. Ngelarani aku. (Kamu menyakitiku, Bi. Menyakitiku)" isak Oliv.

"Bagaimana ini, Pak Kiai?" Tanya salah satu pengajar pondok.

"Tolong, gadis itu. Hubungi keluarganya. Kita kuburkan dia dengan layak. Dan yang lain, bekerja samalah untuk membersihkan kamar ini. Biar saya yang mengurus Oliv." Jawab Kiai Sobirin. "Dan kalian semua, tolong keluar dari tempat ini." Perintah Kiai Sobirin kepada santri putri yang sedari tadi memilih berdiam diri di kamar, sebab ketakutan.

"Ayo, Nduk. Cepet, metu (cepat keluar)!" Seru Suryono.

Para santri putri itu berlari kencang, keluar dari kamar. Jumlah mereka sekitar sembilan orang. Mereka saling berdesak-desakan, hingga saling sikut dan tarik menarik lengan. Bahkan ada yang menarik kerudung yang dikenakan sang teman.

"Hati-hati, Nduk. Jangan buru-buru," kata Suryono menggelengkan kepala, melihat tingkah para gadis itu.

"Sur, bantu saya." Titah Kiai Sobirin.

"Nggih, Pak Kiai." Suryono mengekori langkah Kiai Sobirin. Lelaki tua itu berjalan mendekati Oliv. Sementara pengajar yang lain, berbondong-bondong memboyong jasad santri putri yang tewas tadi. Isak tangis mengiringi jasadnya saat dibopong melewati para santri yang lain. Ada pula yang menangis histeris, tak rela dengan kematiannya.

Sesampainya Busro di asrama putri, ia hanya berani melihat dari kejauhan. Beribu pertanyaan terus berkecamuk di dalam kepalanya. Dari sekian banyak santri yang sedang berkumpul, ia sama sekali tidak melihat keberadaan dua santri yang tinggal sekamar dengannya.

"Aneh," gumam Busro.

***

Kabar seorang santri kesurupan hingga kabar tewasnya santri di Pesantren Al-jabar, telah tersebar di berbagai media. Koran, majalah, radio, membahas serius tentang isu tersebut. Masyarakat setempat ketar-ketir, mendengarnya. Beberapa ibu pun segera membatalkan rencana mereka yang hendak memasukkan putra putrinya ke Pesantren tersebut.

Reaksi para warga yang tinggal di sekitar pesantren pun, sangat antusias menyambangi tempat itu. Mereka penasaran dengan berita yang sudah menyebar luas ke pengujung kota. Bahkan kabar burung tersebut, menjadi bahan perbincangan para penduduk desa yang terletak jauh dari kota.

"Bagaimana ini?" Tanya Ustaz Hilmi kepada Ustaz Edwin. Para pengajar yang juga merangkap menjadi pengawas pondok. Mereka berdua, sedang berdiri beberapa meter dari pintu gerbang. Di sana, sudah banyak warga yang berkumpul, berbondong-bondong datang untuk memastikan kebenaran berita tersebut.

"Saya juga tidak tahu, Hil. Katanya, Kiai Sobirin membawa Oliv ke suatu tempat agar bisa tenang. Mas Suryono pun belum juga kembali. Dia diutus Pak Kiai untuk meminta pertolongan kepada Kiai Habidin. Semoga saja, semuanya kembali seperti dulu. Tenang, damai tidak segaduh ini," jawab Ustaz Edwin. Ustaz Hilmi termenung mendengarnya. Benar yang dikatakan Ustaz Edwin. Semoga saja, semua kembali membaik. Itu harapan yang pastinya diminta semua orang, ketika sedang ditimpa masalah.

Ustaz Hilmi mengembus napas pelan. Tak bisa dipungkiri lagi, dia pun begitu penasaran dengan peristiwa pagi tadi. Selama dia belajar bahkan sekarang menjadi pengajar, sama sekali belum pernah terjadi peristiwa santri kesurupan. Sekalinya kejadian, justru memakan korban.

"Hai, mau ke mana kamu!" Teriak Ustaz Edwin ketika melihat Ahmad berjalan melewati dirinya dan ustaz Hilmi tanpa menyapa.

"Bukan urusan kalian," sahut Ahmad tanpa menoleh.

"Hai, tunggu!" Cegah Ustaz Edwin. Ahmad terlihat sangat acuh. Ia tak menggubris ucapan sang ustaz. Ahmad berjalan dengan santainya tanpa merasa bersalah. Menurutnya, tidak semua pengawas harus ia sapa, apalagi jika seumuran. Padahal dalam agama, sangat dianjurkan untuk saling tegur sapa. Terlebih kepada sesama muslim.

"Siapa, Ed?" Tanya Ustaz Hilmi.

"Si Ahmad," jawab Ustaz Edwin.

"Loh, dia sudah pulang to? Kapan?" Ustaz Hilmi sedikit terkejut mendengar nama Ahmad disebut.

"Tadi malam, kata Fadil." Tukas Ustaz Edwin.

Ustaz Hilmi bergerak mengejar Ahmad. Ia meninggalkan Ustaz Edwin yang ikut terkejut dengan sikapnya.

"Mau ke mana, Hil?"

"Nyusul Ahmad," singkat Ustaz Hilmi dengan langkah cepat.

"Lalu, bagaimana dengan mereka?" Tanya Ustaz Edwin sambil menggaruk kepala. Ia bingung, menghadapi kerumunan orang-orang yang kini berdiri di depan pintu gerbang.

"Hai, mana yang kesurupan? Apa dia masih hidup?"

"Pondok apa ini? Bisa-bisanya, ada santri kesurupan. Jangan-jangan, ada yang main ilmu hitam!"

Bla bla bla bla bla ...

Kalimat-kalimat yang dilontarkan para warga, membuat kepala Ustaz Edwin sedikit pusing. Ia menutup telinganya rapat-rapat. Perlahan melangkahkan kaki, meninggalkan tempat itu.

"Ngati-ati! Kowe bakal mati! (Hati-hati! Kamu akan mati!)" Celetuk salah satu warga. Ustaz Edwin segera memutar badan, menelisik satu persatu orang yang berkumpul, ia mencari siapa yang sudah mengatakan kalimat itu padanya.

Namun, setelah beberapa menit mengamati, tak satu pun ia mendapati orang tersebut. Para warga itu masih terlihat sama. Saling bergerombol satu sama lain. Mereka membicarakan peristiwa itu tanpa henti.

Ustaz Edwin hanya bisa mengangkat bahu. Kemudian berjalan kembali, berusaha menepis pikiran buruknya. Andai saja, ia sedikit mengulur waktu, pasti orang yang dimaksud akan segera muncul dengan senyum simpulnya yang manis.

***

Hari menjelang malam. Para warga yang sedari tadi berkumpul di depan pintu gerbang pesantren, kini perlahan mulai berkurang. Para pengurus pondok memang sepakat untuk tidak meladeni mereka. Para pengurus sedang gelisah, menunggu kepulangan Suryono. Setelah kepergian Kiai Sobirin tadi pagi, seluruh pengurus kebingungan untuk menenangkan para santri. Apalagi, ke sembilan santri putri yang melihat jelas bagaimana sadisnya Oliv saat menusukan pisau ke kepala sang teman. Mereka benar-benar trauma akan hal itu.

Ada yang tak berhenti menangis, ada juga yang melamun di sudut kamar. Ada juga yang memohon minta pulang. Sarah, terlihat mondar mandir di dalam ruangannya. Perempuan 22 tahun yang menjadi pengawas kamar tempat Oliv tidur, begitu mencemaskan keadaan sang santri. Beberapa kali, ia tampak menggigit kuku jari. Menghela napas panjang, kembali mengambil napas.

"Apa kita pulangkan saja mereka, Sar." Ucap Amara yang sengaja datang untuk menemani Sarah.

"Apa boleh seperti itu, Ra. Kita harus menunggu keputusan Abahmu dulu, kalau memang diizinkan pulang, ya segera beritahu orang tua mereka." Balas Sarah. Gadis itu tak berhenti meremas jemarinya sendiri. Sarah merasa gelisah, panik, takut bercampur menjadi satu.

"Tadi, Ahmad menemuiku. Awalnya dia mencari Abah, tapi aku memberitahunya jika Abah pergi, saat itu dia langsung mengatakan sesuatu yang membuatku takut." Ujar Amara sembari mengajak Sarah untuk duduk di sampingnya. Bulir-bulir peluh, berkumpul di satu titik wajah Amara. Dahi dan pelipisnya basah. Gadis cantik yang menjadi incaran para santri itu, merasa ada sesuatu yang disembunyikan sang bapak. Dan Ahmad, adalah orang pertama yang memberitahunya.

"Memangnya, apa yang dikatakan Ahmad, Ra?" Tanya Sarah penasaran.

"Dia bilang, kalau aku dan Abah sudah menjadi mayat di desa Giung Agung," jawab Amara.

"Apa!" Teriak Sarah kaget. "Mayat? Apa maksudnya?"

"Aku juga tidak tahu, tapi Ahmad bilang jika semua yang terjadi, karena ulah Abah." Lirih Amara. Kesenduan terpancar dari wajahnya yang cantik. Pupil matanya menyipit. Senyum di bibirnya perlahan memudar. Tampaknya, kata-kata Ahmad telah menyebabkan hilangnya keceriaan di diri sang gadis. Mendengar kata mayat saja sudah membuatnya bergidik. Apalagi, Ahmad sangat jelas menyebut namanya dan juga sang bapak sebagai identitas mayat tersebut.

Continue Reading

You'll Also Like

3.8K 590 13
Tentang Halilintar, remaja yang ingin lepas dari belenggu rantai yang mengikatnya. Ia ingin menikmati kehidupan layaknya orang biasa. Namun, ayahnya...
87.5K 9.8K 39
"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau...
21.3K 2.1K 30
[COMPLETED] Seri Cerita TUMBAL Bagian 5 Baru saja selesai menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan hal gaib, Manda tiba-tiba saja mengalami muntah...
29.3K 3.1K 21
Wirma, si pemakan mayat. Itu yang tertulis didalam sebuah artikel, aku sebagai penulis horor yang suka berkelana untuk mencari bahan cerita. Tertarik...