SWAN LAKE | Naruhina

By Are_ries

327 78 2

Hinata harus menerima risiko besar hanya untuk bisa bermain piano. Di sela waktu belajarnya, menyembunyikan b... More

1 | Odette and Siegfred
2 | Peek a Boo
3| Unpredictible
4| Challenge Accept
5| Blacklist
6| Unlocked One Stone
7| The Violin

9| Oh, CRAP!

32 11 0
By Are_ries

Perasaan Hinata saja atau memang sedari tadi ada yang memperhatikannya? Sudah ketiga kali gadis itu berbalik, memandang sekitar dengan menyelidik. Suasana perpustakaan tampak hening meski banyak siswa berkunjung, tampak sibuk dengan buku dan perangkat komputer masing-masing.

Tidak ada yang mencurigakan.

Jadi, apakah Hinata yang terlalu paranoid? Hanya karena mimpi dikejar rusa dan serigala entah darimana, sekarang dirinya mengira ada yang berniat kurang baik? Atau memang hanya sebuah ketakutan sesaat—bawaan mimpi? Tidak, tidak. Lagipula, ini sudah tengah hari, rasanya sangat berlebihan efek mimpi sampai sekarang begitu terasa. Gadis itu menggeleng-geleng, dia tak salah melihat seseorang dari sudut matanya tampak memperhatikan. Namun, Hinata tidak tahu di mana, terlebih tampak ketenangan tanpa hal mencurigakan.

Hinata menghela napas dan kembali mencoba fokus pada buku bacaan. Dia harus mengumpulkan materi untuk dibahas kelompok nanti pulang sekolah.

'Berbagai wilayah di Jepang pernah mengalami peperangan—'

"Hinata ...."

Hinata tersentak, dengan kesiap dia menoleh ke segala penjuru. Memastikan seseorang baru saja memanggilnya dengan bisikan lirih.

Tidak ada, bahkan penjaga perpustakaan tak memandangnya—Hinata sempat mengira beliaulah yang memanggil. Sedikit was-was, gadis yang menguncir rambut jadi satu itu kembali membaca.

'Negara barat menjatuhkan dua wilayah Jepang dengan —'

"Hei, Hinata ...."

Lagi, Hinata langsung berbalik. Kali ini telinganya seakan menangkap arah datangnya suara. Sudut rak-rak buku yang tak jauh dari Hinata menjadi objek tatapnya. Namun, satu menit memandangi objek tanpa pergerakan, ternyata dia semakin gelisah.

Ini ... ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba sedikit menyeramkan? Apakah karena Hinata memilih tempat duduk yang sedikit menyudut dan terhalang beberapa rak hingga terpisah dari siswa lain?

"Tidak, Hinata! Fokus saja pada pelajaranmu!" batinnya. Hinata memejamkan mata, lalu menepuk-nepuk pipinya sendiri agar sadar dan kembali berkonsentrasi membaca. Untuk kedua kalinya, gadis itu mencoba membaca buku.

Namun, begitu Hinata menghadap buku, sepenuhnya mulai kembali konsentrasi belajar, dia dikejutkan dengan wajah Naruto Uzumaki.

Hanya berjarak kurang dari satu jengkal.

Grek!

Derik bangku yang Hinata duduki langsung terdengar kencang, efek spontan memundurkan bangku. Dia terkesiap dan membeliak terkejut.

"Hai, Hinata. Aku sejak tadi memanggilmu, tapi kau malah diam saja." Naruto bertopang dagu dan berucap lirih, bersikap seolah tersakiti. Dia sesaat cemberut, lalu terkikih karena merasa puas melihat wajah terkejut Hinata.

Sejak perenungannya kemarin, Naruto sudah bertekad. DIa akan mencari tahu efek apa yang sebenarnya gadis itu bawa hingga membuat seorang Naruto Uzumaki uring-uringan. Remaja laki-laki itu bahkan tidak yakin kalau dia jatuh hati, sebab dirasanya masih terlalu dini.

Naruto tidak ingin menyalahi perasaan, setidaknya dia harus memastikan dahulu.

"Hello, bumi kepada Hinata." Naruto kembali mendekat, kali ini mencondongkan dirinya. Melihat gadis itu masih terkejut, dia melambaikan tangan tepat di antara wajah keduanya yang masih terbilang dekat. "Boleh kuminta jangan begini? Lama-lama aku takut ada hantu yang merasukimu."

Merasakan tangan Naruto berada dekat dengannya, Hinata langsung terlonjak dan memilih mundur lagi.

"Minggir!"

"Shhtt ...!"

Desis siswa lain terdengar karena Hinata berseru hingga perhatian mereka terbagi. Gadis itu gelagapan hingga akhirnya hanya mendengkus. Dia memandang tajam sejenak Naruto yang tersenyum lebar padanya, lengkap dengan lesung dan garis di kedua pipi.

Naruto bersiul dalam hati menanggapi tatapan Hinata. Hatinya begitu ringan untuk menjahili gadis itu, seakan tidak takut Hinata merasa terancam atau sebagainya. "Sejak kemarin kau tidak membalas pesanku. Ada apa? Kurang sopan, kah? Aku menyapa, menanyai kabarmu, ingin tahu kegiatanmu. Barulah aku berani minta bertemu. Dan semua itu tidak kau balas. Jadi, apa kekuranganku?"

Kurang adab, Kuning! nyinyiran Kiba yang sering mengecapnya demikian terdengar di benak Naruto. Well ... kurang adab darimana? Naruto menjunjung tinggi perempuan—menjurus kepada Ibu Ratu tercinta—, menyayangi adik dan diri sendiri, terlebih dia tampan. Tidak ada yang salah.

Meskipun Naruto berbicara lirih, tak menampik kehadirannya di ruangan ini—memojok bersama Hinata—mengundang beberapa lirikan dari berbagai sisi. Namun, dia tidak berpikir lebih jauh.

Tujuannya ke sini hanya Hinata Hyuuga.

Hinata tahu, Naruto ke sini hanya karena rasa penasaran. Mungkin remaja itu sudah terbiasa dengan para gadis—yang jumlahnya bisa lebih dari sepuluh orang—akan dengan senang hati mau diganggu, bahkan bisa saja meladeni Naruto. Namun, Naruto salah besar kalau mengira Hinata akan berbuat serupa. Dia tidak sudi menjadi salah satunya.

"Kalau kau mengira aku akan takut atau terancam, kau salah, Uzumaki-san. Kau berhadapan dengan orang yang salah. Hanya karena kita satu kelompok dan satu grup sampai punya kontak masing-masing, itu bukan alasanmu buat menggangguku seperti ini. Jadi, kalau mau cari mangsa untuk dibully, coret aku dari daftar."

Hinata tergesa-gesa membenahi semua buku yang sempat diambil sebagai bahan bacaan. Dia harus secepatnya keluar dari sini atau desas-desus tidak mengenakan akan terucap dari bibir-bibir tak bertanggungjawab.

Sudah cukup Hinata ditekan untuk selalu belajar. Dia tak berminat mendapat tekanan pula dari siswa lain—terlebih berurusan dengan Naruto.

Naruto mengerjap berulang kali. Sedikit mengulang kalimat panjang Hinata yang sekarang sudah berjalan menjauhinya. Gadis itu tampak meletakkan buku-buku di rak semula dengan raut datar.

Hei! Naruto tak mencari mangsa untuk dirundung! Hah, yang benar saja! Naruto bahkan pernah memukul pelaku perundungan, lalu kenapa sekarang menjadi salah satunya? Dia harus memukul diri sendiri kalau begitu. Lagipula, kalau ingin merundung, Naruto akan pilih-pilih. Tidak mungkin Hinata yang jelas sudah terlihat tak menunjukkan kelemahan. Remaja itu hanya ingin mendekatinya, lalu berteman. Urusan perasaan akan dilanjutkan nanti.

Lihatlah! Belum apa-apa Hinata sudah menuduhnya perundung?

"Salah 'kah aku?" lirihnya pada angin.

Lagi-lagi, Naruto harus cari cara agar bisa mendekat.

***

Hari Selasa seharusnya Hinata berkelompok, tetapi tiba-tiba sebagian anggota ada pertemuan dengan ekstrakurikuler masing-masing. Alhasil, pertemuan yang semula dijadwalkan harus batal. Itu berarti Hinata harus hadir di pertemuan belajar tambahan bersama Shizune.

Namun, meski Hinata tahu hal tersebut, dia tidak masalah. Shizune adalah pembimbing yang tak pernah menuntutnya untuk benar-benar mengejar target sesuai kemauan Hiraki. Wanita berkacamata itu hanya sedikit-sedikit menambahkan sambil mencoba mencari cara belajar yang lebih praktis agar Hinata tak kelimpungan.

Lagipula, hari Selasa adalah hari yang Hinata tunggu selain Kamis. Apalagi kalau bukan untuk mengendap ke ruang teater? Terlebih dia sudah tahu bagaimana mengagumkannya ruangan itu setelah tempo hari melihat lampu-lampu menyala terang. Hinata bisa membayangkannya sebagai lampu konser dan menarikan jemari untuk Fur Elise atau Spring-nya Beethoven.

Meskipun Hinata masih mempelajarinya, masih tersendat-sendat karena tempo permainan yang sangat menguji keterampilan jari, dia tidak mengeluh. Gadis itu menyukainya, sangat menyukainya.

Bahkan ketika dirinya sudah berhasil menyelinap sekarang, memandang interior gelap ruangan teater, Hinata tersenyum sangat lebar hingga matanya menyipit. Terlebih piano yang ada di samping panggung seakan melambai kepadanya, meminta untuk dimainkan. Hinata berjalan cepat, meletakkan ransel di dinding belakang piano, lalu duduk untuk bersiap memainkan lagu. Dia mengelus permukaan tuts, lalu memosisikan jemari di beberapa nada.

Ting!

Nada pembuka lagu Spring miliki Beethoven berdenting. Lalu Hinata langsung menyambungnya, memainkannya, memejamkan mata untuk meresapinya. Terkadang dia berhenti, memandang tuts piano dan mencari nada, lalu kembali menekan tuts saat sudah menemukannya.

Amatir.

Ya, Hinata memang masih amatir. Dia bahkan tidak tahu apakah permainannya sudah bagus atau belum—tidak ada yang mengajarinya, semua dipelajari secara autodidak. Hinata tidak pernah mau mengambil resiko mendatangi tempat les piano yang kebetulan tak jauh dari bimbel Shizune. Lagipula, baginya, permainan diam-diam ini sudah sangat terasa cukup. Mendengarkan instrumen lewat ponsel, lalu sembunyi-sembunyi mempelajari buku partitur. Hinata tidak mau lebih jauh membohongi Hiraki.

Gadis itu semakin larut dalam permainannya sendiri saat tiba-tiba siulan serta tepuk tangan menggema di ruangan. Sontak membuat Hinata berhenti dan panik memandang sekelilingnya yang gelap.

"Wow, hebat! Aku kira ada hantu yang bongkar kunci pintu, sampai-sampai sering terbuka sendiri. Ternyata ada seseorang di sini."

Hinata sangat mengenali suara ini. Tidak mungkin dia salah menebak, terlebih sosok yang akhirnya mendekat setelah bersembunyi di antara kursi-kursi yang bertumpuk perlahan terlihat.

Manusia yang pernah menabrak Hinata, lalu dia pertanyakan fungsi keberadaannya, dan sempat Hinata tuding sebagai perundung, sekarang menjelma menjadi sosok pemegang kunci harta karun.

Gadis berambut panjang itu menelan liur yang seolah berubah menjadi batu.

Naruto Uzumaki dengan senyum lebarnya sangat mengancam Hinata yang membeku di tempat.

"Jadi ... Hinata, bisakah kita bicara?" Lesung pipi Tirta tercetak jelas di keremangan cahaya. Mendekati Hinata, lalu menumpukan tubuh di sisi piano dan kursi yang diduduki si gadis. Mengungkungnya, memenjarakan, dan memblokade jalan Hinata agar tidak kabur. Lirih, berbisik, Naruto memandang lekat gestur Hinata yang terpojok. "Jangan berteriak, atau aku langsung maju dan kita berciuman."

Hinata menahan napas, terdiam di kursi tanpa tahu harus berbuat apa. Rasanya seperti melihat jurang dari jembatan kaca yang sangat-sangat tinggi dan membuat jantung menggebu. Gadis itu menatap sekeliling, terpenting tidak memandang si mata biru yang perlahan semakin mendekat. Segala keberanian yang berserakan dicoba untuk berkumpul, memupuk suara agar bisa keluar dan memberi peringatan.

"Mi ... minggir," cicitnya. Hinata menunduk, lalu tubuhnya condong ke belakang dan menghindari Naruto. Lagi, sekali lagi! Ayo keluarkan suara sekali lagi! "Mi ... minggir!"

Sebenarnya Naruto menahan tawa sejak tadi. Dia sengaja mendekat untuk melihat ekspresi Hinata yang mengerut karena takut. Tangannya masih memegangi sisi piano dan kursi, mengerat untuk bersiap jika Hinata kabur. Lucu sekali melihat gadis itu terpojok, terlebih tadi siang sempat mendelik dan memperingatinya untuk tidak mengganggu. Namun, tentu saja Naruto menolak. Dekat dengan Hinata terdengar lebih menggiurkan daripada harus mengabaikan rasa tertariknya.

Namun, lama-lama melihat wajah tertekan Hinata sangat tidak nyaman.

"Baik! Baik! Aku mundur," tungkasnya sambil mengangkat tangan dan mundur perlahan. Dia terkesiap melihat Hinata yang berdiri tergopoh-gopoh, langsung menangkap sebelah pergelangan tangan si gadis. Mencegahnya pergi. "Eh, jangan kabur!"

Hinata terperanjat dan mencoba melepas cekalan tangan, tetapi percuma. Satu kali berhasil, kedua kalinya kembali dihentikan. Naruto sudah kuat mencekalnya dan mencegah Hinata kabur. Akhirnya, gadis itu menyerah, melemaskan otot tangan dan mendengkus keras.

"Nah, sudah seharusnya begitu ...." Naruto tersenyum jumawa. Dia tahu Hinata akan menyerah dan memilih tenang. Ditatapnya gadis yang membuang muka, membuat wajahnya remang oleh cahaya. Naruto terkekeh, lalu memilih duduk di kursi yang tadi Hinata kuasai. Dia masih mempertahankan tangan si gadis tanpa berminat melepasnya. "Sekarang, coba duduk sebentar. Aku hanya ingin bertanya."

"Lepas! Aku ingin pulang."

"Tidak, sampai kau mau duduk dan menjawab pertanyaanku, Nona Cantik." Naruto menarik sebuah kursi lagi yang tak jauh darinya, memposisikan tepat di samping Hinata sebagai isyarat untuk duduk.

"Duduk atau aku sebarkan aksimu yang membongkar kunci gedung ini!" Naruto mengubah intonasi suara menjadi lebih rendah, terdengar mengintimidasi. "Kau seharusnya tahu kalau aku adalah anggota klub teater."

Hinata melirik, sedikit gentar dengan ancaman. Gadis itu beringsut duduk, lalu menjaga jarak dari Naruto yang masih saja memegangi tangannya. Membuat Hinata risih dengan rasa hangat yang asing, yang tidak pernah dia tahu dari lelaki manapun—termasuk ayahnya.

"Serius! Aku tidak akan macam-macam selagi kau tak kabur. Oke?" Naruto kembali bersuara begitu melihat kilat sendu di mata Hinata meski minim cahaya. Pupil mata berwarna ungu pucat yang tampak bersinar itu sedikit banyak baru Naruto sadari keberadaannya dengan cahaya seperti ini.

Tampak ... cocok untuk Hinata.

Hinata mengangguk setuju, lalu perlahan merasakan cekalan itu hilang. Tergantikan dengan dingin yang sayup-sayup menerpa kulit. Dia menggenggam bekas tangan Naruto di sana, mencoba menghilangkan rasa asing yang sempat hinggap dan membuat gadis itu terhenyak.

Kepala Naruto teleng ke kanan, heran dengan sikap Hinata yang tampak anti terhadap sentuhan. Bagai tanaman mimosa pudica yang langsung mengatupkan daun setelah merasa disentuh.

Remaja itu menggeleng-geleng. Disentuh? Ambigu sekali!

"Oke!" Naruto menarik napas, mencoba mengalihkan pikiran anehnya barusan. Bahaya sekali meng ... astaga! Fokus! "Oke!" celetuknya, lagi.

Dia berdeham singkat, mencoba mengabaikan Hinata yang mengernyit bingung. Merasa bodoh dengan dirinya, Naruto mengerutkan hidung dan menarik napas keras. Dia membutuhkannya sekarang. "Oke, aku tidak akan bertanya kenapa kau merusak kunci, toh aku tahu tidak mungkin masuk tanpa ada kunci ruangan, karena itulah kau merusaknya. Dan aku tidak satu kali ini dapat laporan kuncinya rusak—intinya lebih dari sepuluh kali."

Hinata menunduk, menyembunyikan rona merah yang hinggap di kedua pipi. Merasa jengah karena Naruto menjelaskan aksi nakalnya dengan rinci.

"Yang membuatku penasaran, sejak kapan kau ... bisa bermain piano?"

Hinata mendongak dan memandang Naruto yang mengerutkan dahi penuh rasa penasaran. "Euhm ... apa permainanku berantakan?"

Naruto mengerjap-ngerjap, sedikit linglung mendengar pertanyaan Hinata. "Eung, bukan gitu. Untuk amatir, kau lumayan meski harus dilatih terus."

Bahu gadis itu sedikit lemas, turun dengan hati yang merengut kecewa. Hinata tahu dia masih harus banyak belajar yang artinya kembali membohongi Hiraki. "Aku baru belajar awal kelas satu dulu, tapi baru bisa praktek kelas dua."

Naruto mengusap-usap tengkuknya, merasa sedikit bersalah karena penilaiannya tadi. "Euh, sorry. Aku tak bermaksud menyebutmu amatir, tapi ..."

"Tidak masalah," potong Hinata, menggeleng lemah. "Memang masih harus belajar."

"Baik, tidak apa. Kenapa tak ikut les?"

Itu ide buruk. Hinata langsung menggeleng tanpa berucap, tanpa memberikan penjelasan. Membiarkan Naruto mengernyit dan menyusun opininya sendiri. Dia tak ingin membahas ini, cukup hanya Hinata yang tahu dan memendamnya sendiri akan jauh lebih baik. Naruto hanya orang asing di sini, tidak ada hak untuk mengetahuinya, dan Hinata tidak ada kewajiban melibatkannya.

Meskipun Naruto tahu Hinata menyembunyikan sesuatu, dia tak mengambil langkah lebih jauh alih-alih merasa penasaran dengan kesenangan Hinata. "Tidak minat ikut ekstra juga? Musik, misalnya?"

"Tidak."

"Why?"

"Tidak." Hinata mendongak, memberi tatapan peringatan pada Naruto yang mengernyit.

Remaja laki-laki itu melemaskan bahunya yang semula antusias. Ini sulit. Naruto tidak tahu kalau gadis itu ternyata tertutup, baik pergaulan maupun karakternya. Hinata memblokir akses remaja laki-laki itu untuk mencari tahu. Tidak mengizinkan Naruto bertanya dan mendesak, alih-alih balik memaksanya untuk berhenti bertanya dengan tatapan tegas.

"Oke, aku tidak akan ikut campur." Naruto mengedikkan bahu, lalu memandang sekilas memandangi ruangan sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada Hinata. "Kau suka siapa?"

Kali ini, pertanyaan ini, langsung membuat Hinata mendelik dan langsung berdiri. Membuat Naruto kelabakan dan menepuk-nepuk bibirnya sendiri.

"Bodoh! Idiot! Pertanyaanmu seperti kelinci, Pirang!" rutuk Naruto dalam hati. Dia menahan kembali tangan Hinata, mencegahnya agar tidak pergi, "Eh, maksudku bukan apa-apa. Kau suka pianis, itu ... itu ... siapa? Mozart? Beethoven? Atau lainnya, begitu?"

Hinata menghela napas panjang. Dia tahu Naruto aneh, tetapi baru tahu kalau remaja itu benar-benar sangat aneh. Pertanyaan memancing dan bisa lebih dari satu makna yang membuat gadis itu berpikir Naruto mencari mangsa.

Hinata tersentak pelan.

Dirinya dan Naruto berada di ruangan ini, gelap, tanpa ada yang tahu, hanya berdua. Seketika, sebuah alarm dalam dirinya menyala. Hinata harus segera keluar dari sini. Gadis itu tak menjawab, tidak juga acuh pada racauan Naruto yang mengancam.

"Hinata, akan kusebarkan ke semua orang! Oi, berhenti! Aku ... aku sebarkan rumor bahwa kita berkencan! Hyuuga, berhenti!"

Di tengah kekacauan, di sela Hinata  yang sibuk mengambil ransel dan Naruto yang mencegat jalan si gadis, tiba-tiba derit pintu terbuka membuat mereka membeku di tempat.

Naruto langsung menyambar lengan Hinata, menariknya serabutan ke kursi-kursi yang bertumpuk, berjongkok dan merunduk di antara kursi yang menjadi benteng dadakan. Keduanya terdiam, syok karena pintu langsung terbuka beriringan dengan suara lelaki yang menyorot senter ke segala penjuru ruangan.

"Sepertinya tadi ada suara orang."

Hinata mencoba melepaskan bekapan tangan Naruto di mulutnya, mendelik pada remaja yang balas membeliak dengan isyarat telunjuk di bibir. Gadis itu sedikit meronta, membuat gerakan hingga tak sengaja menyenggol kursi di belakangnya.

Grek!

Lampu senter langsung menyorot ke sekitar mereka. Membuat Naruto panik mendengar derap langkah yang mendekat. Dia mendelik pada Hinata karena bergerak-gerak, lalu merangkul si gadis dan merapatkannya ke diri sendiri.

"Kami-Sama! Kami-Sama!" batin Hinata panik, kali ini membiarkan tingkah Naruto yang semena-mena merangkulnya dan menyuruh gadis itu membekap mulutnya sendiri.

Mereka semakin panik saat lelaki yang ternyata petugas keamanan sekolah itu sudah beberapa langkah dari tumpukan kursi yang menjadi benteng. Membuat Naruto langsung memutar otak dan memusatkan atensi pada pena yang terselip di saku seragam atas Hinata.

"Hinata, pinjamkan penamu!" desisnya, menunjuk-nunjuk pena si gadis. "Cepatlah!"

Hinata meraba saku depan, langsung mengambil pena dan menyerahkannya pada Naruto tanpa berpikir panjang. Namun, dia mendelik begitu tahu Naruto melempar pena berbahan metal itu ke pintu ruangan. Menimbulkan debam kecil karena lantai yang memantulkan suara pena."Kenapa kau buang!?" desisnya sebal.

Petugas itu langsung berbalik begitu dengar ada bunyi sesuatu yang jatuh di luar. Dia langsung beranjak menjauh dan menutup pintu tanpa menguncinya. Membuat kedua remaja yang bersembunyi itu menghela napas lega dan lemas seketika.

Sesaat keduanya tak menyadari jarak hingga Hinata tersadar dengan tangan Naruto yang bertengger santai di bahunya. Gadis itu langsung menyentak tangan si remaja laki-laki, lalu bangkit sambil menggendong ransel tanpa kembali memandang Naruto yang mengumpat pelan.

Yah ... dia pergi. Naruto menggerutu tidak jelas, lebih karena gadis itu langsung keluar tanpa menunggunya. Membuatnya langsung ikut keluar dan mengejar siswi yang bermain piano itu.

***

"Aku bilang minggir!"

"Hei, Nona! Ini sudah di pinggir."

"Pergi!"

"Tidak! Bahaya kalau kau sendirian."

"Bukan urusanmu!" Hinata mencoba membelokkan kemudi sepeda, berharap kaki Naruto yang menopang laju sepeda bisa lepas.

"Justru itu menjadi urusanku! Kalau kau hilang, aku pasti dijadikan saksi. Secara teknis, kau terakhir terlihat di sekolah bersama Naruto Uzumaki." Naruto berdecak. Dia mencoba sabar dengan kepala batunya Hinata. "Sudahlah! Fokus saja dengan kemudi sepeda! Tidak perlu bergoyang seperti ikan!"

Setelah berhasil keluar dari lingkungan sekolah, rasa lega yang semula menguasai Hinata mendadak hilang begitu Naruto kembali mensejajarkan laju sepeda listriknya dengan sepeda Hinata. Bahkan remaja itu meletakkan kaki di boncengan sepeda, membuat kendaraan si gadis melaju tanpa harus dikayuh.

"Pergilah, Naruto-san!"

"Tidak akaaan, Hinataaa!" Naruto terkekeh, seru juga mendebat gadis ini. "Sudahlah! Kau tunjukkan saja jalan rumah, dan biarkan aku mengikutimu. Serius, wilayah ini sedikit rawan saat sudah malam."

Hinata menggerutu. Dia tidak suka ini, sangat mengganggunya. Terlebih begitu sampai di depan tempat bimbingan, Naruto tidak langsung pergi. Remaja laki-laki itu ikut turun dan berjalan di belakangnya.

"Pergi" usir Eira, lagi.

"Aku harus bertemu ibumu. Setidaknya memberitahu kalau anak gadisnya baik-baik saja."

"Baik-baik, kepala pirang dari utara!" umpat Hinata dalam hati sambil memutar pupil mata. Dia memandang Shizune yang berdiri di depan pintu, tampak penasaran dengan sosok baru itu.

Secepat kilat, Hinata langsung membungkuk pada Shizune, memeluk gadis itu hingga si pembimbing belajar berjengit kaget.

"Hei!"

"Aduh, Ibu. Aku hanya memeluk." Hinata mengedip-ngedipkan matanya, memandang Shizune. "Maaf, Bu. Aku harus membersihkan kelas dulu."

"Ada apa dengannya?" Shizune melongo. Dia memandang Hinata yang mengedipkan mata, lalu melirik Naruto yang tak jauh dari mereka. Otak gadis itu langsung memproses teori dan konspirasi dadakan ini, lalu mengangguk pelan.

"Oh, iya, iya. Tadi Kaa-san hanya terkejut, ada orang lain ternyata," celetuk Shizune, tersenyum pada Naruto.

Naruto tertegun. Dia tidak yakin melihat interaksi di depannya ini. Terlebih sosok yang dipanggil Ibu oleh Hinata tampak kikuk dan sedikit gelagapan. Namun, melihat gadis yang sedari tadi dia ikuti tampak nyaman dan akrab, membuat Naruto mengenyahkan pikiran buruk. Remaja itu mendekat, membungkuk sopan pada Shizune dan tersenyum.

‌"Sumimasen, saya Naruto Uzumaki. Maaf karena Hinata harus pulang sedikit terlambat karena tugas kelompok. Akhirnya saya ikuti dari belakang."

Hinata merasa sudut matanya berkedut. Diikuti dari belakang, katanya? Naruto mendorong sepeda gadis itu dan membuat Hinata bersandiwara begini. Dasar Titan!

Shizune tertawa hambar, lalu mencoba menepuk-nepuk pundak Naruto. "Terima kasih, Naruto-san. Maaf merepotkan, dan juga tidak bisa menawarkanmu untuk masuk ke rumah." Dia mendekat, berbisik seolah ini menjadi rahasia. "Ayahnya sedang di rumah. Dia kurang suka anak gadisnya didekati laki-laki."

Naruto tertawa pelan, lalu mengangguk. "Iya, Oba-san. Lagipula memang saya langsung pulang. Sudah malam juga."

"Iya, iya."

"Ya sudah, Oba-san, saya pamit."

Shizune mengangguk, tersenyum lebar penuh kepalsuan pada Naruto. Namun, senyum itu berubah jadi menggoda saat melihat remaja lelaki itu tampak memandangi Hinata yang memilih masuk dan tak balas menatapnya. Naruto hanya mendengkus geli, lalu berbalik setelah mengangguk singkat pada Shizune.

Oh, ada sesuatu di antara mereka ternyata. Shizune tertawa dalam hati. Dia harus mengingat-ingat untuk mewawancarai Hinata setelah sesi belajar mereka nanti.

BERSAMBUNG

A/N : Sumimasen, Minna-san. Arem tidak tepati janji unggah dua hari sekali. Selain lupa alur, ide yang jadi pilihan juga bertabrakan 😵‍💫.

Semoga tidak membosankan, ya.

Continue Reading

You'll Also Like

10.1K 1.2K 26
Selesai, 20 Agustus 2023 Bagi Yoongi sekeluarga, Shin Jiya itu adalah investasi masa depan. Biar tidak susah-susah memikirkan masa depan Yoongi akan...
7.7K 4.3K 28
LOVE IN SILENCE Kita adalah dua orang yang saling mencinta tanpa harus berucap. Sepasang hati yang saling memeluk luka satu sama lain. Writer ARRA...
3.8K 232 28
Ini cerita tentang, Leony Ardelia. Cewek biasa yang menaruh perasaan pada cowok yang menjadi primadona kaum remaja. Dan juga, Biantara Adelard. Cowok...
REGRET √ By Cii

Fanfiction

4.3K 1.1K 26
Ketidak pastian tentang sebuah perasaan membawa Sohyun pada sebuah penyesalan terdalam. Akankah waktu mengembalikan semuanya? _Regret_