Happy Reading Guys
.
.
.
.
.
.
"Hahaha ..."
"Hahaha ..."
Di tengah hamparan pasir, ombak yang menggulung dengan seirama, matahari berwarna jingga tampak berseri di atas sana, kedua pasang yang sedang saling mengejar menjadikan semua keindahan semesta itu pelengkap kebahagiaan mereka.
Tawa di bibir mereka merekah menggambarkan bahwa mereka benar-benar menikmati waktu berdua di sore hari itu. Tak ingin meninggalkan momen indah, mereka berswa foto.
"Karl ... Liat ini!"
Karl yang sedang melihat hasil jepretan mereka, menoleh saat Mina memanggilnya. Wanita yang tengah mengisi hatinya itu tampak tersenyum kearahnya, lalu tatapannya beralih pada tulisan yang digoreskan oleh Mina.
I Love U
Kata itulah yang tergores di atas pasir. Senyum Karl semakin merekah, merengkuh Mina ke dalam pelukannya.
"I love u too," bisiknya.
Mina melepas pelukannya, "aku sangat senang Karl, bisa menikmati pantai bersama orang yang aku cintai."
Karl menautkan tangan mereka, menuntun Mina menyusuri bibir pantai. "kamu tau apa bedanya pasir pantai ini sama kamu?" ucap Karl.
Mina menoleh dan menjawabnya dengan gelengan seolah menunggu jawaban selanjutnya dari Karl.
"Pasir pantai itu tercipta untuk disinggahi oleh ribuan orang, sedangkan kamu hanya untuk disinggahi aku seorang." gombalnya.
Mina tersenyum, mencubit pinggang Karl. "anak nakal!" setelah melakukan itu, Mina berlari menghindari Karl.
"Hey, aku bukan anak-anak ya!" teriak Karl seraya berkacak pinggang, lalu berlari menghampiri Mina.
Mina hanya menjulurkan lidahnya sebagai jawabannya. Momen ini adalah sebagai perayaan anniversary mereka yang ke tiga bulan.
"Kamu itu masih anak-anak!" ucap Mina diselingi tawa.
Karl menekukkan wajahnya. Mereka memang memiliki jarak usia yang cukup jauh, Mina yang lebih tua dua tahun darinya. Namun, jarak usia tidak bisa memisahkan cinta yang tumbuh di hati keduanya.
Cinta itu tumbuh pertama kali saat mereka dipertemukan di acara tahunan sekolah.
Saat itu Mina cedera akibat pukulan bola yang tak sengaja mengenainya dan pelakunya adalah Karl. Dari situlah kedekatan mereka mulai terjalin.
Menurut Mina, Karl itu cowok yang manis dan humoris sedangkan menurut Karl, Mina itu cewek yang berbeda dan bisa membuatnya nyaman. Mungkin faktor usia yang membuat Mina bersikap lebih dewasa dari Karl dan mampu membuatnya nyaman.
"Sayang, kalau aku lebih dulu di panggil Tuhan ... Apa cinta kamu akan hilang?" tanya Mina tiba-tiba.
"Jangan melantur, itu gak akan terjadi." Karl menguatkan tautan lengannya dan melanjutkan ucapannya, "cinta kita gak akan berakhir sampai kapanpun. Kamu lupa sama ucapan aku, kalau aku sukses ambil setengah wasiat grandpa, grandma, aku akan melamar kamu."
Mina tertawa, "aku akan adukan sama grandpa, grandma kalau cucunya ini mengharapkan wasiat sebelum kematian mereka."
Mendengar itu, Karl ikut tertawa.
"Tapi ... Aku serius sayang." ucap Mina.
"Aku juga serius sayang ..."
Mina menunduk sedih, Karl yang menyadari hal itu mengangkat kepalanya untuk menatapnya seraya berkata, "ada apa, hm? Ada yang kamu sembunyiin dari aku?" tanyanya penuh rasa khawatir.
"Aku ... Aku ..." Mina tampak ragu untuk mengungkapkan sesuatu yang terus menghantuinya akhir-akhir ini.
"Katakan aja gak apa-apa ..."
"Setelah aku mengatakannya, aku takut kamu membenci aku." tangisnya kali ini pecah.
Karl mengusap air matanya, "aku gak akan membenci kamu, jangan khawatir."
Mata Mina terpancar kekaguman, inilah salah satu alasannya memilih Karl untuk menempatkan cintanya. Dia merasa Karl memiliki rasa cinta lebih dari yang dia miliki.
Dengan bibir yang bergetar Mina berucap, "aku hamil."
Bagai petir di siang bolong, tubuh Karl membeku. Dia berusaha mencerna ungkapan Mina.
Tidak, rasanya Karl tidak pernah berbuat hal diluar batas dan tidak sedikit pun Karl memiliki nafsu bejat itu pada kekasihnya. Dia sangat menjaga kehormatan Mina. Tapi, apa yang didengarnya sangat mengejutkannya.
Mina memejamkan matanya erat-erat, "kamu pantas membenci aku, Karl."
"Siapa?" hanya itu yang keluar dari mulut Karl.
"A-ayah ..." ucapnya dengan terbata-bata.
Mata Karl membola, "kamu gak bercanda 'kan sayang?"
Mina menggeleng, perlahan dia menceritakan apa yang selama ini sedang menimpanya. Mimpi buruk itu disebabkan oleh ayahnya yang melakukan kekerasan fisik dan seksual kepadanya selama sang kakak pergi ke luar negeri.
Mina tidak memiliki tempat tujuan untuk dia singgahi, sampai akhirnya dia bertekad untuk menceritakan semuanya pada kekasihnya walaupun dia sudah siap untuk ditinggalkan oleh Karl.
Setelah semuanya dia curahkan pada Karl, ternyata dugaannya salah. Bukan campakkan yang dia rasakan saat ini, melainkan sebuah pelukan.
"Kamu gak benci aku?"
"Aku udah bilang, kalau aku gak akan membenci kamu." jawab Karl.
"Sekarang kita laporkan semua ini sama pihak berwajib. Aku akan bantu kamu sampai dia masuk ke dalam penjara!" ucap Karl menggebu-gebu.
"Nggak Karl, aku gak bisa melakukan itu."
"Kenapa? Dia udah melanggar hukum dan membuat kamu seperti ini!"
"Aku gak bisa! Aku takut kak Flo kecewa, dan cuma ayah yang kak Flo percaya selama hidupnya."
"Sayang ... pikirkan hidup kamu juga."
"Aku ... tetap gak bisa, Karl."
Lagi, Karl memeluk Mina berusaha menguatkannya, "maaf, aku gak becus jaga kamu. Aku melanggar janji aku untuk membuat kamu tersenyum dan bahagia."
"Kamu udah menepati janji kamu, sayang." lirih Mina.
'Seharusnya aku yang meminta maaf, karena aku menyerah.' batin Mina, menitikkan airnya.
Malam hari menjelang, Karl mengantar Mina ke apartemen yang sengaja dia sewa untuk kekasihnya itu. Karl tidak akan membiarkan Mina pulang ke rumahnya setelah dia tahu semuanya.
"Peluk aku sekali lagi," pinta Mina, Karl menuruti permintaannya.
Sebelum pulang Karl mengecup singkat kening Mina, "istirahat malam ini, jangan pikirkan hal lain selain aku. Dan ..." Karl menyentuh perut datar Mina, "aku siap menjadi papanya."
Mina menggeleng keras, menghapus air matanya yang kembali mengalir. Sungguh, dia adalah wanita yang beruntung mendapatkan pria seperti Karl.
"Makasih untuk semuanya, sayang."
'Maaf, kamu gak bisa menjadi sosok itu sayang. Kamu gak pantas untuk aku yang kotor ini. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku.' lanjut Mina dalam batinnya, menatap sendu Karl.
"Gak perlu berterima kasih. Apapun yang kamu mau, aku lakukan."
Mina hanya tersenyum, "cepat pulang, pasti orang-orang rumah mengkhawatirkan kamu."
"Iya, good night babe." ucapnya seraya mengecup kembali kening Mina.
Momen yang mereka rayakan, pelukan yang mereka satukan, cerita yang mereka bagikan, dan kecupan yang Karl sematkan di kening Mina ternyata terakhir kalinya mereka lakukan sebelum penemuan tubuh Mina yang tergantung di apartemen.
Berita itu membuat Karl terpukul. Semua tuduhan mengarah padanya, dia mendapatkan ribuan cacian semua orang dan keluarganya sangat kecewa padanya.
Di tengah kesedihan itu, Karl sendirian.
Batinnya terguncang, mentalnya terkikis, tangisnya setiap malam dia curahnya seorang diri. Hingga beberapa waktu dirinya bisa kembali bangkit.
Keceriaan, kejahilan, kenakalan, playboynya, ternyata hanya cover untuk menyembunyikan sisi rapuhnya di dalam dirinya. Saat itu, Karl hanya memiliki dirinya sendiri.
🍭MNIP🍭
Gundukan tanah dengan batu nisan diatasnya menjadi tempat peristirahatan terakhir Karl. Semua orang tengah menangisi Karl, begitupun dengan alam yang ikut menangisinya.
"Kak Karl kenapa ninggalin Cia? Kak Karl curang!" lirih Kaycia, memeluk batu nisan yang bertuliskan nama kakaknya itu. Matanya sudah sembab, menangis sepanjang malam.
"Kak Karl!!" Kaycia meraung menangis, sedangkan Keenan terus memeluknya berusaha menguatkannya.
"Maafin Cia kak Karl ... Ini semua gara-gara Cia!!"
"Sstt, Cia gak boleh gitu. Kak Karl pasti sedih dengarnya." bisik Keenan.
"Cia, Keenan, hujan semakin lebat. Kita pulang," ucap Rasello.
"Nggak Pa! Cia mau nemenin kak Karl di sini, pasti kak Karl kedinginan."
Dengan lembut, Rasello kembali mengangkat bicaranya, "sayang, kakak kamu akan lebih sedih di sana kalau dia tau kamu sakit. Kamu gak mau 'kan kak Karl sedih liat kamu sakit setelah Mama?"
Mendengar rayuan sang papa, akhirnya Kaycia menurutinya pulang. Namun, sebelum langkah mereka jauh dari makan Karl, tiba-tiba saja sosok Asten datang.
"Kak Asten?" beo Kaycia.
"Cia, kamu baik-baik aja?" tanya Asten hendak melangkah ingin memeluknya.
Keenan tidak membiarkan itu terjadi, dia mendorongnya dengan keras. "jangan sentuh adik gue setelah apa yang lo lakuin!!"
Kali ini Asten tidak melawan seperti biasanya.
"Dia orangnya Keenan?" ucap Rasello.
"Iya pa,"
"Kamu, ikut saya!!" tunjuk Rasello pada Asten, "Keenan, bawa Cia."
Mengerti dengan peringatan Papanya, Keenan membawa Kaycia.
🍭MNIP🍭
Bugh
Bugh
Bugh
Pukulan demi pukulan terus menghatam tubuh Asten. Mendapati semua pukulan itu, Asten tidak melawan. Dia hanya diam pasrah.
"Kamu memang bukan pelaku kematian anak saya! Tapi karena kamu penyebab semua ini terjadi!" ucap Rasello.
Asten mengakui jika ini semua adalah kesalahannya. Tidak seharusnya dia membawa Kaycia ke tempat berbahaya seperti itu.
Saat dirinya mendengar kematian Karl, dia langsung pergi, tidak memperdulikan lukanya yang belum mengering.
"Maaf," lirih Asten dengan tubuh yang dipenuhi lebam dan bercak darah.
"Hidupkan anak saya, setelah itu baru saya maafkan! Ayo Keenan, sekarang tunjukkan pelaku yang sebenarnya." ucap Rasello beranjak duduk.
Sebelum mengikuti langkah Rasello, langkahnya terlebih dahulu menghampiri Asten yang kini sedang terkulai lemas.
"Mulai detik ini, jauhi Cia! Kalau gue liat lo sama Cia ... Lo bakal menyesal!" ucapnya, menepuk pipinya Asten.
Asten mengepalkan kedua tangannya, rasa penyesalan mulai kembali menggerogoti relung hatinya. Peringatan Keenan di akhir itu membuat hatinya semakin sakit. Dia tidak bisa membayangkan jika dirinya harus menjauhi Kaycia.
"It's crazy!!" Asten pingsan setelah mengatakan kata itu.
Di satu sisi yang lain, terlihat Kaycia yang tengah meringkuk di atas kasur. Dia masih dilanda kesedihan karena kematian Karl membuat dirinya benar-benar tidak berdaya. Apalagi saat ini sang Mama sedang dirawat secara intensif di Rumah Sakit.
"Psstt! Psstt!"
Kaycia menoleh pada sumber suara yang seperti desisan seseorang. Alangkah terkejutnya dia, melihat siluet hitam dibalkon kamarnya.
"Jangan takut ini gue, Ren."
"Ren?" Kaycia membuka pintu balkon kamarnya.
"Cia ... Gue mohon, tolong Asten!!"
"Ada apa sama kak Asten?"
"Dia disekap sama bokap lo! Gue minta bantuan lo buat keluarin Asten ..."
Kaycia tampak mengimbangi ucapan Ren. Sebenarnya dia merasa marah pada Asten.
Seolah tahu kebimbangan Kaycia, Ren melanjutkan ucapannya, "luka Asten belum kering, dan dia ... Dia udah sengsara Ci. Gue mohon, jangan salahin Asten sama semua kejadian ini. Asten juga gak tau kalau hal ini bakal terjadi." tutur Ren. Dia tahu jika sahabatnya itu sedang disekap karena dirinya tak sengaja membuntuti Asten yang dibawa oleh Rasello dan Keenan.
Kaucia menautkan kedua alisnya, "maksud lo?"
"Ini bukan saatnya gue cerita. Gini, gue janji bakal ceritain semuanya sama lo asalkan lo tolong Asten keluar dari sekapan bokap lo!"
"Oke, tunjukin jalannya."
.
.
.
.
.
.
TBC