EAST: TAG! YOU'RE MINE

By Mew_Nu

8.7K 582 87

Ini adalah terjemahan resmi dari novel dengan judul yang sama karya howl_sairy. Universe "เซ็ตพี่หมอ" akan me... More

PERMISSION
SINOPSIS
INTRO
Prolog
Chapter 1 : Cocoa & Chocolate Cake
Chapter 2 : When We Meet Again
Chapter 3: In Front of Me [1]
Chapter 3: In Front Of Me [2]
Chapter 4: Always
Chapter 6 : Owner of the watch
Chapter 7 : Through a lens
Chapter 8 : Not Fair
Chapter 9: Question & Answer
Chapter 10: Something in your eyes
Chapter 11: Christmas
Chapter 12: You're Mine

Chapter 5 : Tunnel of Candle Light

366 32 3
By Mew_Nu


Aku duduk dan mulai melihat halaman Facebook ku. Tampaknya foto yang baru saja dipostingnya menjadi populer. Baru-baru ini, hashtag #Siapa pemilik jam tangan itu? sudah mulai membuat semakin banyak orang membicarakannya dan sepertinya mereka sangat penasaran. Mereka membuat berbagai tebakan, mencoba menebak nama orang tersebut. Ada nama-nama yang familiar bagi ku, namun ada pula nama-nama lain yang belum pernah ku dengar sebelumnya.

Mungkin tidak ada yang tahu siapa pemilik jam tangan tersebut. Bahkan pemilik jam tangan pun mungkin tidak menyadarinya. Aku sangat ingin tahu ekspresi yang dia buat sekarang, apa dia marah atau malu?

Aku mencoba membayangkan wajah pria kecil yang sedang marah, dengan wajah merah dan senyuman rahasia, sendirian. Sial... Aku pasti sedang dalam masalah serius.

Hal ini sengaja ku lakukan, karena aku sudah memutuskan bahwa pendekatan secara langsung adalah cara yang paling praktis. Aku sudah jelaskan dari awal, percaya atau tidak, mungkin ada peluang, tapi kalau aku melakukan sedikit demi sedikit, dia bisa dengan mudah menjauhkan diri.

Singkatnya, aku ingin segera menangkap mangsaku. Jika aku bergerak perlahan, mangsaku mungkin akan menyadarinya terlebih dahulu dan melarikan diri. Namun metode apapun yang ku gunakan, selalu ada resikonya. Saat ini, dia mungkin membenciku.

Lebih baik dibenci daripada merasakan ketidakpeduliannya, karena jika dia tidak peduli, berarti dia tidak merasakan apa-apa.

Aku tidak ingin melakukannya secara bertahap seperti sebelumnya, dan kenyataannya dalam kasus kami, tidak semudah itu. Aku ingin jelas dan tegas sehingga dia bisa melihatnya dari awal.

Pertama, Aku harus mengambil resiko dan melihat reaksinya.

Aku mengatakan kepada semua orang bahwa sekarang aku memiliki seseorang yang sedang serius ku kejar. Awalnya aku hanya sekedar iseng mengatakannya pada orang-orang disekitarku, namun beritanya menyebar dengan sangat cepat. Bua mengatakan bahwa para shipper mulai mendapat masalah. Sebenarnya, aku tidak bermaksud membuat kekacauan, tapi aku mungkin tidak bisa menghentikan apapun.

Aku khawatir tentang dia. Mungkin aku terlalu banyak berpikir, tapi kalau tiba-tiba aku bilang aku akan menggodanya, aku takut terjadi sesuatu padanya. Dia mungkin hanya mengalami hal-hal kecil, seperti ditatap atau diremehkan. Namun hal itu membuatku semakin terpuruk, aku tidak ingin masalah kecil seperti itu terjadi.

Apa ini akan terlalu sulit kalau aku langsung mengumumkan dan memberi tahu orang lain? Tidak... Aku harusnya bisa.

Hari berikutnya...

Aku datang bekerja di klub seperti biasa, selama ini semua persiapan hampir selesai, hanya beberapa yang tersisa dan belum sepenuhnya sempurna. Klub tahun ini sangat kekurangan orang. Sesuai rencana yang diberikan para dosen, harus ada tarian untuk membuka acara, kemudian MC akan datang dan berbicara. Ada beberapa pertunjukan yang menjadi tanggung jawab klub dan kelompok pertunjukan yang dipilih tahun ini. Dan setelah itu, sesuai rencana, konser penyanyi yang diundang oleh pihak universitas akan dimulai sekitar jam 6 sore.

Saatnya untuk mulai bekerja di klub. Aku berasumsi Ter tidak akan datang hari ini karena dia berhenti bekerja di klub sejak aku memposting foto terakhir ku. Jadi aku bisa menebak, dia sepertinya berusaha menghindariku. Mungkin aku bingung dan terlalu banyak berpikir. Aku tahu jalan menuju asramanya, tapi mencarinya kesana akan terlalu terburu-buru bagiku.

"Hill, Nong Ter sudah beberapa hari tidak kesini. Setelah kita pergi makan, aku belum melihatnya lagi. Apa ada yang salah dengan dia?" Bua datang dan bertanya padaku.

"Aku kira tidak."

"Tapi aku mencoba menelepon beberapa kali dan dia tidak menjawab sama sekali. Mungkin karena makanan Jepangnya. Dia mungkin mengalami reaksi alergi."

"Tidak, dia tidak alergi pada makanan Jepang."

"..."

"Dia makan banyak hari itu. Itu menunjukkan bahwa dia tidak alergi. " Selain itu, tingkah lakunya saat makan sangat lucu. Orang macam apa yang alergi terhadap makanan yang memasukkan segala sesuatu kedalam mulutnya sampai pipinya bengkak?

"Apa begitu?" Kata Bua, masih terlihat khawatir. Dia selalu peduli melebihi alasan. Tapi aku juga merasa tidak enak karena sudah berhari-hari aku tidak melihat wajahnya.

Drrrttt.....Drrrttt....

"Oh, ini Nong Ter. Dia menelepon." Bua mengangkat telepon dan aku menyuruhnya menyalakan speaker agar aku bisa mendengar juga.

"Halo, Nong Ter. Aku sudah menelponmu berkali-kali, kenapa kau tidak menjawab? Apa ada yang salah? Aku sangat khawatir." Bua berkata seperti senapan mesin, dengan serangkaian pertanyaan demi pertanyaan. Ujung telepon yang lain mungkin sedikit terkejut dengan perilaku seperti itu.

(Aku...maaf, uh...aku sedang tidak enak badan saja.) Suara di telepon mengatakan itu. Tapi aku langsung merasa kalau orang di seberang sana masih buruk dalam berbohong.

"Benarkah? Apa karena alergi makanan? Maaf, seharusnya aku tidak mengajakmu makan di restoran itu."

(Apa?! Bukan... Ini hanya flu biasa.)

"Oh benarkah? Tapi kau sudah menghilang selama beberapa hari. Sudah berapa lama kau sakit?"

(Uh...mungkin...dua atau tiga hari.) Suaranya sedikit bergetar, dia mungkin tidak menyangka akan menghadapi pertanyaan seperti ini. Tapi Bua sepertinya tidak menyadari ada yang salah, atau justru aku yang terlalu memperhatikan tingkah laku Ter?

"Maaf. Apa kau sudah ke dokter?"

(Belum.)

"Kalau begitu cepat pergi ke dokter ya? Ini sudah dua atau tiga hari dan kondisimu belum membaik. Itu mengkhawatirkan. Hill punya mobil, dia bisa mengantarmu."

(Tidak!! ...Eh, maaf. Maksudku aku tidak ingin merepotkan. Terima kasih.)

"Jangan sungkan. Dan apa kau punya teman bersamamu?

(Tidak, teman sekamarku keluar.)

"Kau malah sendirian? Apa yang harus kita lakukan, Hill?" Bua menoleh padaku dan bertanya.

(...) Ujung telepon yang lain tidak mengatakan apapun lagi.

"Kalau begitu aku akan pergi dan membawamu ke rumah sakit." kataku melalui telepon.

(Tidak, aku akan pergi keluar.) Nong buru-buru menjawab. Suaranya menjadi semakin gelisah dan mudah dibedakan.

"Oh benarkah? Tapi orang sakit sebaiknya istirahat." Kupikir dia benar-benar akan pergi, jadi dia menelepon Bua untuk memberitahunya terlebih dahulu karena dia telah menghilang selama beberapa hari dan mungkin dia merasa bersalah. Ketika aku memikirkannya, aku segera berjalan menuju mobil.

"Tunggu... kau mau kemana?" tanya Bua.

"Aku akan menjemput orang yang sakit, tolong pinjam teleponmu sebentar." Kataku sebelum menekan telepon untuk mematikannya sejenak sebelum menyalakan mobil. Aku sengaja tidak membiarkan orang di ujung telepon mendengarku. Bua berdiri mengeluh di belakangku, tapi tidak menghentikanku melakukan apapun. Dia mungkin berpikir aku akan membawa Ter ke rumah sakit.

(Jika tidak ada lagi, aku akan menutup telepon.)

"Apa kau berbohong tentang sakit?" Aku tidak bermaksud memarahinya. Aku hanya ingin terus berbicara dengannya. Kenapa? karena jika dia masih berbicara denganku, dia mungkin belum akan meninggalkan ruangan. Dari sini ke tempat tinggal mahasiswa baru tidak jauh jaraknya, aku hanya perlu meninggalkan universitas dan berkendara sedikit lebih jauh.

(Aku... aku tidak berbohong. Aku akan menutup telepon.)

"Kalau kau tidak masuk kerja, jam kerjamu akan dipotong, kau tahu itu kan?" Kedengarannya agak mengancam, tapi pengurangan jam bagi siswa penerima beasiswa adalah nyata. Mereka akan mulai dipotong sejak awal tahun ajaran.

(...Hah? Benarkah?)

"Ya, uangmu akan dipotong karena kau tidak masuk kerja. Kalau benar-benar dipotong, kau bisa kehilangan beasiswa." Sebenarnya aku hanya iseng mengatakan itu, dia tetap tidak akan kehilangan beasiswanya, hehe.

(...Aku tidak menginginkannya.)

"Jadi, kau benar-benar sakit?"

(...sangat sakit.)

"Oke. Kalau begitu aku akan datang menjemputmu." Meskipun aku mengatakan itu, aku hampir sampai di asramanya.

(Tidak!)

"Kenapa?"

(...)

Nong menolak menjawab, dia mungkin tidak akan berani menjelek-jelekkanku karena aku masih bersikap seolah-olah kita baru saja bertemu. Dan menurutku dia sendiri ingin berpura-pura tidak mengenalku. Jika demikian, semuanya baik-baik saja untuk saat ini.

"Kalau begitu aku akan datang menjemputmu."

(Tidak perlu!) Kemudian panggilan berakhir, dia mungkin tidak ingin mengatakan apa-apa lagi, tapi aku sudah sampai di depan asramanya. Aku kira akan segera ada orang yang tampak panik berlari ke bawah.

Anggapanku tidak salah, seseorang berlari menuruni tangga dengan mengenakan kaos hitam putih; jeans gelap dan sepatu kets. Dia membawa kamera, menunjukkan bahwa dia akan mengambil foto.

Begitu Ter melihatku, dia membuat ekspresi terkejut di wajahnya. Dia mulai bertingkah seolah dia tidak tahu harus berbuat apa. Aku tersenyum padanya.

"...Phi?" Dia menghindari mataku lagi, wajahnya mulai memerah. Aku berjalan ke arahnya dan dia terlihat semakin terkejut dan segera mundur selangkah. Kenapa kau bertindak seperti itu? Itu sangat lucu dan menggemaskan.

"Kau tidak terlihat sakit sama sekali, itu bagus."

"..." Pihak lain mengernyitkan hidung, sedikit tidak puas. Sepertinya aku telah menangkap seorang pembohong total.

"Di mana kau akan mengambil foto?"

"..." Nong masih tidak menjawab.

"ayo masuk ke mobil." Aku masuk dan meraih pergelangan tangan si kecil agar dia mengikutiku, tapi dia segera menepis tanganku.

"Tidak, tidak, tidak. Aku tidak akan pergi!"

"Jangan keras kepala." Aku tidak sengaja menggunakan kata yang suka ku gunakan di masa lalu, tapi dia sepertinya tidak menyukainya sama sekali.

"Aku tidak akan pergi!" Pria kecil itu masih keras kepala. Tapi wajah dan telinganya jelas-jelas berwarna merah.

"Baiklah, kalau begitu aku akan bilang pada Bua kalau sebenarnya kau tidak apa-apa, tapi kau berbohong soal sakit untuk mendapat cuti kerja." ancamku, sambil meraih ponselku dan menghubungi nomor Bua. Yang tentu saja tidak akan ada yang menerima panggilan itu karena ponsel Bua ada di mobilku.

"...Tidak, jangan beritahu dia." Orang di depanku mulai menggunakan nada yang lebih lembut sebelum mengerutkan kening dan menatap wajahku. Meski dia segera membuang muka lagi.

"Kalau begitu masuk ke mobil." Aku berjalan mendekat dan membuka pintu samping pengemudi agar dia mengikutiku perlahan.

"Curang."

"Hanya dengan orang yang keras kepala." Aku tersenyum sambil menutup pintu mobil dengan lembut, berjalan ke sisi pengemudi dan segera menyalakan mobil.

Tidak ada suara apapun di dalam mobil kecuali suara AC dan musik lembut radio, sebenarnya aku sedikit gugup. Aku sekali lagi berada di depan orang yang tidak pernah terpikir akan aku temui lagi. Dan juga, perpisahan kami 1 tahun yang lalu merupakan sebuah bencana besar. Dia mungkin juga gugup, bahkan lebih gugup dariku, tapi dia mencoba untuk tetap tenang dan melihat ke luar jendela sepanjang waktu, serta terlihat tegang. Aku terus mengemudi di jalan, diam-diam melirik orang di sebelah ku dari waktu ke waktu.

"Kemana kau akan pergi?" Dia bertanya setelah lama terdiam.

"Ke tempat berfoto yang pemandangannya indah. Aku tahu tempat yang cocok. Sangat cocok untuk fotografi. Kau mungkin belum pernah berkunjung, jadi aku yakin kau akan menyukainya."

.

.

Beberapa hari yang lalu [TER POV]

Saat itu, hatiku mulai terasa berbeda. Meskipun otakku dengan tegas memerintahkanku untuk tidak melakukan apapun. Aku menoleh dan membaca pernyataan yang ditulis seseorang berulang kali, untuk memastikan aku tidak buta.

Itu jam tanganku dan itu piringku. Apa yang dia maksud adalah orang lain...?

Jika yang dia maksud adalah orang lain, kenapa dia melakukan ini? Tapu jika yang dia maksud adalah aku, maka akupun pasti bertanya, kenapa dia melakukan ini?... Meskipun hatiku masih keras kepala, dia terus berdenging dan berdetak dengan kencang; Pengalaman memberitahuku... Apapun yang kau lakukan, aku seharusnya tidak tertarik, bukan?

Ya... Tidak ada kesempatan baginya untuk memasuki hatiku lagi... Aku memikirkannya seperti itu. Sial, itu hanya foto dan aku sudah seperti ini.

"Ter... kau baik-baik saja?" Suara familiar North melayang ke arahku dan membangunkanku dari pikiranku.

"Aku baik-baik saja, bukankah aku terlihat baik?" Aku memasang ekspresi normal.

"Tidak, kau tiba-tiba terlihat bingung. Apa karena foto ini?" North bertanya, menunjuk ke layar komputerku dengan yang menampilkan postingab P'Hill.

"Tidak, aku hanya sedikit kaget."

"Hill Ratchakit, oh Dr. Hill? Apa kau juga mengenalnya?"

"Oh, jadi kau kenal dia?"

"Ada banyak pembicaraan tentang dia."

"Ah, benarkah?" Aku sedang memikirkan apa aku harus memberi tahu North atau tidak... Tapi, lebih baik mengatakannya, setidaknya aku masih punya seseorang untuk diajak bicara. Bisakah dia memberi ku nasehat?

"Apa kau melihat captionnya? Bagaimana menurutmu?"

"..."

"Sepertinya dia sedang menggoda seseorang." Dia berhenti sejenak. "Apa kau melihat orang yang duduk di depannya?"

"Itu aku. Aku yang duduk di depannya," desahku. "Sudah kubilang, senior mengajakku makan."

"Apa!!!" North tampak terkejut dan menatapku dengan tidak percaya sebelum berbalik untuk melihat layar lagi.

"Hmm, kau bisa perhatikan baik-baik, perhatikan jamnya." Aku mengangkat pergelangan tangan kiriku, agar dia bisa melihat jam tangan yang kupakai.

"Saat aku melihatnya, aku masih shock."

"Sial, sungguh mengejutkan! Dan dia juga laki-laki." Dia mengerutkan kening.

"Aku tidak peduli dengan gender. Tapi ku pikir dia sudah punya pacar."

"Ya, aku melihat banyak berita tentang itu."

"Oh, aku juga pernah mendengarnya."

"Apa kalian saling kenal sebelumnya?"

"Kami dari sekolah yang sama." Itu tidak sepenuhnya bohong, tapi aku masih belum siap menceritakan semuanya padanya sekarang.

"Apa kau pernah berbicara sebelumnya?"

"Sedikit."

"Apa dia menunjukkan tanda-tanda bahwa dia menyukaimu atau tertarik padamu?"

"TIDAK." Dari apa yang aku lihat di reuni sekolah, tidak ada yang aneh. Hanya aku yang benar-benar paranoid.

"Tapi dia tetap menulis caption di samping fotonya seperti ini. Bagaimana menurutmu?"

"Aku? Tunggu, aku tidak memikirkan hal itu." kataku.

"Wah, semua gadis di kampus pasti menangis. Kenapa kau tidak mencoba bicara dengannya dulu?"

"Tidak, aku tidak mau."

"Apa kau akan menolak?"

"Mungkin, aku belum tahu. Mungkin dia hanya bercanda." kataku. Menurutku, ejekan seperti ini adalah hal yang paling aku benci.

"Itu sulit, kau mungkin merasa sangat tidak nyaman, apalagi dengan para senior di klub, kan?"

"Hmm, aku dalam masalah."

"Ayolah, tidak apa-apa. Tapi jangan abaikan dia. Jika kau memang tidak mau, langsung tolak saja."

"Um."

Aku masih memikirkan hal itu. Keyakinan yang ku pikir tidak akan terpatahkan, mulai berkurang.

Hhhmmm....

Aku tidak bisa melakukan ini kan? Postingan itu menghancurkan penolakanku untuk pergi ke klub selama beberapa hari karena aku sengaja ingin menghindari wajahnya. Dan aku tahu itu sama sekali kalau ini tidak bagus, karena Phi Bua menelpon berkali-kali, tapi aku tidak menjawab panggilan satu pun. Dia mungkin khawatir.

Hal terbaik bagiku adalah meneleponnya kembali untuk meminta maaf dan juga mengatakan aku sakit sehingga dia berhenti khawatir. Lalu berjalan-jalan dan mengambil foto. North juga tidak ada di dalam ruangan.

Ya...

Meskipun aku memberitahukan dengan jelas bahwa aku sedang tidak sehat...

.

.

Lalu, kenapa tiba-tiba orang itu ada didepan asramaku dan menyeretku ke mobil!!! Sial, apa yang aku lakukan di mobil ini bersama orang ini? Pria ini licik sekali.

Padahal aku baru saja mengatakan pada diriku sendiri untuk menjauhinya, tapi kata-kata itu langsung masuk lagi ketenggorokanku.

Siapa bilang dokter itu tampan dan baik hati? Dia bahkan mengancamku!!

Aku mengatakan kepadanya bahwa aku sakit dan akan meninggalkan kamar tidur. Tapi begitu aku keluar, aku harus menemukannya berdiri dengan wajah tampan bersandar di mobil. Yang terburuk, aku membawa kamera yang digunakan sebagai bukti yang memberatkan ku.

Sial, aku terjebak dalam jebakan!

Phi Hill berkendara dengan santai, meski AC-nya sejuk, itu terasa seperti pemanas. Badanku terasa panas. Di luar, langit gelap sejak pagi ini, kita tidak perlu mengandalkan ramalan cuaca untuk menebak akan turun hujan. Akan menyenangkan untuk mengambil foto di dekat kaki gunung.

Tapi aku duduk di sini! Dan aku tidak tahu kemana aku akan pergi! Mobil mewah itu berbelok ke gang kecil dan tak lama kemudian aku bisa melihat kuil. Kuil? Apa dia membawaku ke kuil?

Mobil itu diparkir di tempat parkir kecil dan tanda di depannya bertuliskan itu adalah kuil. Namun di dalamnya sama sekali tidak terlihat seperti kuil karena sangat luas dan hanya ada hutan di sekitarnya.

"Apa kau pernah ke sini?" Orang di sebelahku bertanya pelan.

"Tidak pernah..." jawabku pelan.

"Kalau begitu, aku akan menjadi pemandumu ," kata Phi Hill sebelum turun dari mobil. Aku melepas sabuk pengamanku dan sebelum aku menyadarinya, Phi Hill sudah datang untuk membukakan pintu mobil untukku. Ah, kenapa dia berusaha bersikap sopan?

Aku tidak berkata apa-apa, meski seluruh tubuhku dipenuhi keringat. Aku hanya memegang kamera dan perlahan mengikuti orang yang lebih tinggi. Hill tampak sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.

Mungkin antara 180 dan 182 sentimeter. Dia memiliki bentuk tubuh yang bagus sebelumnya, tapi setelah masuk universitas, dia tampak lebih berotot. Tapi tidak cukup menakutkan, hanya cukup membuat para gadis menjerit. Wajah tampan itu selalu tersenyum lembut, cara bicaranya tidak berubah sama sekali, sopan dan lembut.

Meski hanya mengenakan pakaian biasa, kemeja, dan jeans, dia tetap tampil menonjol dan sempurna. Siapa yang tidak menyukainya? Siapapun yang menyukainya, terserah. Tapi aku tidak akan termakan lagi.

Sosok jangkung itu tiba-tiba berbalik dan tersenyum padaku. Otomatis aku membuang muka. Oh, seharusnya aku tidak menatap terlalu lama. Aku mendengar Phi Hill tertawa kecil.

Aku tidak berani melihatnya, itu normal. Aku hanya melihatnya dari belakang. Sejujurnya, sejak kita bertemu, aku belum pernah melihat wajahnya sekali pun, jadi aku tidak berani...

"Ini adalah kuil kuno. Dulu, kawasan ini merupakan kawasan hutan utuh, jadi kuil ini sangat luas. Selain itu, sangat dekat dengan alam. Ini adalah gaya arsitektur Lanna. Sebagian besar dindingnya dibuat dari batu bata. Kawasan ini baru saja diperluas dan dibangun kembali tapi masih mempertahankan keunikan Lanna. Menurutku, ini sangat menawan." kata Phi Hill dengan nada menawan. Dia pasti bisa menjadi pemandu.

Aku mendengarkan dengan seksama dan kemudian berbalik untuk memotret bunga-bunga yang tumbuh di sepanjang jalan. Suasananya bagus, hari ini juga matahari tidak terlalu terik. Pihak lain menunggu ku mengambil foto tanpa mengeluh dan aku bahkan melihatnya tersenyum sedikit diam-diam.

"Foto yang sangat indah". Suara keras dari belakang membuatku terlonjak. Entah kapan Phi Hill diam-diam datang untuk melihat foto yang ku ambil.

"Uh... Jangan lihat," kataku sebelum berjalan pergi. Sial... Apa yang harus kulakukan jika aku terkena serangan jantung? Oh, apa wajahku akan memerah lagi? Aku harap warnanya tidak menjadi terlalu merah sampai-sampai memberikan dirinya kepuasan karena mengejekku.

"Jadilah juru kamera untukku." Senyuman manis dan lembut seperti itu.

Aku sangat alergi padamu, sejujurnya bukan hanya aku. Dulu, ketika para gadis di kelas ku melihatnya tersenyum seperti itu, hampir membuat seluruh ruangan berteriak keras. Sungguh memilukan, jadi aku akan menghindarinya tanpa melihatnya secara langsung.

"Tidak, itu hanya membuang-buang memori." Menurutku tidak terlalu buruk, tapi aku tidak mau, jadi aku hanya bisa menyalahkan memori kameraku. Maaf kameraku sayang.

Pihak lain diam-diam tertawa pelan.

"Oh, aku jarang membiarkan siapapun memotretku."

"Aku lihat ada banyak fotomu dimana-mana." Di halaman Facebook banyak sekali orang yang meminta berfoto dengannya. Kenapa dia bilang jarang melakukannya?

"Kau lihat fotoku juga? Senang sekali." Sahut yang lain, sambil tersenyum lebar.

"Seseorang membagikannya." Aku mencoba menggunakan nada yang normal agar dia tidak tahu bahwa jauh di lubuk hatiku, aku benar-benar gugup.

"Tapi setidaknya dengan cara itu kau bisa melihatnya, kan?"

"...Entahlah." Aku menghindari menjawab dengan suara rendah. Aku melihat ada jalan kecil menuju ke dalam hutan dan terlihat sangat misterius. Pihak lain pasti menyadari bahwa aku sedang menatap jadi dia mulai menjelaskan.

"Ini hanya pintu masuk ke biara. Apa kau melihat ada petugas kebersihan di sana?"

Oh itu benar.

"Ayo."

Aku mulai melihat sesuatu di depan ku, aku sangat bersemangat. Saat aku berjalan, aku sampai di sebuah tangga tua yang terbuat dari batu bata kecil, di samping tangga itu terdapat dua buah patung raksasa, di sebelahnya terdapat toko-toko yang menjual oleh-oleh dan persembahan kepada para biksu.

Aku menaiki tangga dengan hati-hati, tidak lupa mengambil foto. Saat Phi Hill menuntunku, aku mencoba untuk tidak memperhatikan, tapi dari sudut mataku aku melihatnya masih mengawasiku. Ada apa dengannya? Tidak bisakah dia berhenti menatapku seperti itu? Siapapun yang dilihat seperti pasti tegang!

Saat menaiki tangga, di sebelah kanan adalah pameran seni religi dan di sebelah kiri adalah gardu pandang. Di depan ada tembok dengan terowongan. Aku melihat beberapa turis, tapi tidak banyak. Bahkan ada yang memasuki terowongan. Aku rasa itulah yang menjadi sorotan di sini.

Tapi aku belum melihat patung Buddha untuk disembah.

"Kuil itu sebenarnya ada di dalam."

"Ahhh..."

"Apa kau ingin pergi melihatnya?" Phi Hill bertanya. Aku mungkin tidak akan menolak, karena aku baru saja melihat sesuatu seperti ini dan harus melihat lebih banyak lagi. Aku masuk, melepas sepatu ku dan meletakkannya di tempat yang telah disiapkan. Phi Hill menyuruhku masuk duluan.

Interiornya hampir gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya kuning lembut dari lilin. Melihat secara berkala, pola-pola yang dilukis di dinding dan langit-langit membuatku kagum.

Dari keindahannya, hanya dengan melihatnya saja kau bisa melihat seberapa besar niat orang untuk membuatnya. Ini adalah gambaran yang suram karena begitu banyak waktu telah berlalu. Aroma lilin wangi dan bunga segar yang berterbangan kemana-mana tak membuatku berhenti memikirkan betapa romantisnya suasana itu. Seolah-olah kita memasuki dunia Lanna di masa lalu.

"Ter, lihat ke kiri." Aku menoleh ke arah suara orang di belakangku, itu adalah jalan kecil, sedikit lebih dalam. Ada patung Buddha yang berdiri. Phi Hill dan aku mengangkat tangan bersama-sama dalam ibadah. Kemudian ketika kami berjalan ke arah lain kami menemukan patung Buddha lainnya serta beberapa di dinding terowongan gua yang merupakan tebing batu. Saking semangatnya melihat semua ini untuk pertama kalinya, hingga tiba-tiba aku lupa dengan siapa aku bersama. Beberapa saat yang lalu aku melakukan kesalahan dan hampir tersandung di jalan yang tidak rata. Tapi Hill mampu menangkap lenganku tepat waktu. Aku tidak tahu apa aku memikirkannya atau tidak, tapi dia selalu menjagaku dan bersikap seperti itu.

Yah dia memang seperti itu secara alami. Tidak hanya denganku.

Kami berjalan ke pintu keluar dan melewati bagian belakang sudut pandang. Hatiku ingin melanjutkan ke titik itu, namun kami tidak membawa sepatu sehingga harus berjalan kembali dengan cara yang sama.

Tik...

Tik...

Sial...hujan mulai turun. Kami tidak membawa payung, sehingga kami berdua dan wisatawan lain harus bersembunyi untuk meneduh berdampingan, di depan pintu masuk terowongan untuk menunggu hujan reda. Namun sepertinya itu masih lama sekali, karena rintik hujan turun terus menerus hingga bagian depan kamu seolah menjadi tirai yang nyaris tidak memungkinkan apapun terlihat di sisi lain bahkan angin pun semakin kencang dan membawa rintik hujan tersebut.

Pluk...

Saat itu sesuatu menyelimutiku. Aku menoleh untuk melihat orang di sebelahku.

Kemeja?

Phi Hill melepas kemejanya dan mengenakannya padaku. Dan yang tersisa hanyalah kaos yang dia kenakan di bawahnya. Pihak lain berbalik dan tersenyum lembut ke arahku.

Hill... dia sangat baik.

Aku berjongkok untuk menyembunyikan wajahku yang terbakar. Aku yakin pipiku pasti sangat merah, bahkan sampai ke telingaku. Jantungku mulai berdetak semakin cepat hingga aku takut akan meledak, sial...

Dokter gila macam apa orang ini? Apa dia ingin membuatku terkena serangan jantung dan mati!!

"Te...terima kasih ," kataku pelan. Dia mungkin tidak mendengarnya karena suara hujan akan membuat suaraku teredam.

"Sama-sama."

Oh,, apa dia mendengarnya? Senyuman Phi Hill masih tetap lembut seperti biasanya. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk merasa tenang. Di depan kami ada tirai hujan lebat dan di belakang kami ada terowongan cahaya lilin.

"Bolehkah aku meminta sesuatu?"

"Tidak," jawabku, bahkan tanpa menoleh ke arah pria jangkung itu.

"Ayolah..." dokter itu memohon.

"Apa itu?"

"Bolehkah aku memegang tanganmu?"

"..."

Sial... hatiku akan hancur! Jangan pingsan Ter!!

Perlahan-lahan aku mengulurkan tanganku ke arah orang lain sampai aku merasakan kehangatan yang mereka pancarkan kepadaku, sementara Phi Hill dengan lembut meraih tanganku. Sejujurnya, aku terlalu malu sampai-sampai aku harus membuang muka sekarang.

Deg... deg...

Deg... deg...

Sial, kakiku mulai kehilangan keseimbangan!!

"Bolehkah aku meminta satu hal lagi?"

"TIDAK!" Aku merespon dengan cepat. Apa lagi ini? Apa sekarang kau akan meminta untuk memegang pundakku? Kalau begini, aku tidak akan bisa bernafas lagi!

"Satu hal terakhir."

"Katakan saja. Apa lagi?"

"Bolehkah aku mengejarmu, Ter?"

.

.

.

Continue Reading

You'll Also Like

1M 44.2K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
372K 20.3K 28
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
545K 3.1K 24
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
17M 754K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...