Darka terlihat sudah siap. Rambutnya tertata dengan pakaian hanya kaos putih dan celana selutut berwarna hitam yang banyak sekali sakunya.
Delin bingung di tempatnya, dia tidak bawa tas entah kenapa tidak ingat. Power bank dan yang lainnya dia harus bawa bagaimana.
Darka mendekat. "Ada apa?" tanyanya dengan alis bertaut, terlihat galak padahal hanya bertanya biasa.
"Anu, kak.." Delin menatap Darka ragu. "Ga bawa tas, ini ga di bawa ga papa?" tanyanya pada barang Delin dan juga barang Darka yang dititipkannya pada Delin.
"Ck! Biasanya perempuan itu bawa tas!" omel Darka sambil meraih yang dia dan Delin butuhkan.
Delin menunduk. Di bawa pun tasnya memalukan, bisa saja Darka malu membawanya. Delin bahkan merasa beruntung lupa.
"Maaf,"
"Sementara di sini, masukin!" ketusnya.
Delin pun bantu memasuki beberapa barang kecil ke dalam saku celana Darka yang besar-besar itu.
"Udah, dompet kak Darka juga udah di sini," jelas Delin dengan suara yang tetap pelan lemah lembut khasnya.
Darka tidak merespon, dia meraih jemari Delin, menautkannya di antara jemari lalu dia genggam erat.
Delin tidak protes dan ikut melangkah meninggalkan kamar. Langkahnya lagi-lagi tidak bisa mengimbangi Darka.
Delin ragu. Apa dia boleh protes agar Darka berjalan lebih santai?
"Eng, anu.. Kak Darka," panggilnya.
"Hm?" sahut Darka tanpa menoleh.
"Tolong, jalannya pelan," cicit Delin.
Darka menoleh sekilas lalu mengabulkannya tanpa banyak protes. Delin tersenyum samar, dia pikir Darka akan marah ternyata tidak dan kini langkahnya pun nyaman.
"Kak Lana sama yang lain ga sarapan, kak?" tanya Delin dengan masih saja sedikit ragu dan takut.
"Mereka masih tidur." singkat Darka.
Darka paham. Jika saja Delin tidak datang bulan, dia pun akan sama bangunnya kesiangan.
"Oh.." Delin pun memilih diam tidak ingin bertanya lagi agar Darka tidak merasa terganggu.
"Eh! Itu kak Dikta!" Delin refleks berseru.
Darka menautkan alisnya galak. "Kenapa kalau Dikta? Lo seneng banget kayaknya!" Darka terlihat cemburu.
Delin sontak menciut lalu menggeleng. "Ga gitu, maaf." cicitnya.
Darka tidak menghampiri Dikta, dia memilih keluar dari hotel dan mencari sarapan lain. Dasar posesif cemburuan.
Delin menekuk bibirnya sesaat.
***
"Di sana, ada toko tas." tunjuk Darka dari jendela cafe yang dia kunjungi untuk sarapan.
Delin menatap arah tunjuk Darka lalu mengangguk, menunduk ragu. "Tapi, kak. Aku ga bawa uang," cicitnya.
Darka melirik. "Makan sarapan lo!" tegasnya.
Delin pun mengangguk agak murung. Dia sungguh tidak bawa uang banyak. Hanya ada 200ribu di dompetnya.
"Apa pun yang lo mau, kasih tahu atau gue akan marah!"
Delin menatap Darka sekilas lalu mengangguk saja.
"Jangan pikirin uang selama ada gue. Gue akan tutupi keperluan lo karena gue yang larang lo kerja," Darka menyiapkan sarapannya lalu membaginya sedikit pada Delin.
Darka ingin Delin tidak sedikit makannya. Delin sekarang semakin kurus. Mungkin juga karena tekanan Batinnya soal video.
Karena video itu sudah di hapus, Darka harap Delin mulai lagi mengisi tubuhnya agar dia semakin betah.
Keduanya makan dengan nyaman. Delin terlihat senang menatap orang yang berjalan di trotoar.
Semua bisa dia lihat dari jendela cafe yang menghadap jalanan itu. Banyak sekali wisatawan.
Ini pertama kalinya Delin merasakan liburan. Jantungnya berdebar senang sungguh walau masih agak takut dan tak nyaman terhadap Darka.
***
"Lo suka?" Darka mengangsurkan satu tas ke arah Delin.
Darka tidak tahu apa yang bagus. Dia hanya asal mengambil sesuai instingnya. Dia pikir Delin akan cocok dengan warna pink hitam.
"Ba-bagus," Delin ragu karena harganya bukan seratus ribu atau paling mahal dua ratus ribu. Ini paling murah 10 juta.
Delin merinding.
"Ini, sama ini.." Darka mengambilnya begitu mudah.
Warna putih, cream dan black pink. Sekalian beli tiga.
Darka membiarkan Delin dengan segala takjubnya terhadap harga. Darka terlihat asyik memilih dompet untuk dirinya sendiri lalu membelikan satu untuk Delin juga.
Delin hanya diam tanpa tahu harus apa. Merasa tidak enak iya, tapi jika mengeluh Darka takutnya ngamuk.
"Abis ini kita pulang dulu, sore ke pantai terus malam bakar-bakar," jelas Darka selagi membayar semuanya.
***
Delin hanya perempuan biasa. Dia terlihat senang menerima pemberian Darka yang tidak bisa dia tutupi, dia menyukainya.
Delin kembali memakainya lalu bercermin. Cocok sekali. Dia lebih suka yang warna putih karena cocok dengan pakaiannya.
Darka hanya melirik dengan fokus memindahkan semua isi dompet Delin ke dompet baru.
Entah dari kapan Delin beli dompet. Dompetnya begitu kotor dan sobek sebagian.
Delin melepas tas putih lalu mencoba yang black pink. Tetap sama. Bagus. Delin yang bingung memilih putih saja.
Dengan hati-hati Delin memasukan dua tas mahal itu ke dalam koper. Delin menyingkirkan pakaian jeleknya demi dua tas itu.
Darka tersenyum samar. Delin terlihat menyukainya. Membuat hati Darka tiba-tiba senang.
"Nih, dompet baru lo." Darka memasang wajah datarnya lagi.
Delin beranjak, berlari kecil menghampiri Darka yang duduk di sofa.
Delin meraih dompet itu dan Darka meraih Delin agar duduk di pangkuannya. Menyamping menghadapnya.
Delin agak menegang lalu perlahan rileks.
"Ini dompet aku, kak?" Delin berbinar suka walau tidak berlebihan, lebih tepatnya bisa menahannya.
Darka hanya mengangguk sambil menatap tak terbaca.
Delin membukanya, ada dua kartu yang dia tahu ATM. Delin menatap Darka.
"Simpen, gue titip. Lebih bagus di pake." singkatnya.
Delin terlihat gelisah samar namun berusaha menerima. Uang seratus ribuannya yang ada dua jadi lebih dari sepuluh.
Delin kembali menatap Darka.
"Uang jajan," Darka mengusap rambut Delin dengan masih terus menatapnya.
Sosok yang membuatnya terobsesi sampai sejauh ini.
"Makasih, kak." cicit Delin tak enak hati.
Delin menunduk sambil menatap dompet bagus itu. Tidak tahu harus apa lagi. Mana masih duduk di paha Darka dan pinggangnya di peluk.
Darka sama hanya menatap. Kian lekat.
"Lo tahu apa yang gue mau. Gue ga butuh ucapan makasih."
Delin menoleh dan membuatnya saling bertatapan. Delin ragu, apakah dia harus menciumnya?
Delin bergerak menyentuh pipi Darka lalu mengecup bibirnya hanya menempel.
Darka sontak menahan tengkuknya. Memperdalam ciumannya.
Keduanya terus perpagutan sampai rebahan di sofa. Saling memeluk dan menikmati bibir satu sama lain.
Delin juga sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Membuat Darka semakin kecanduan.
Delin hanya bisa mendesah halus saat Darka terus bermain di tubuh atasnya.
"Gue ada rencana lain," Darka menyudahi kulumannya.
Delin hanya bisa terengah sayu menatap dua bobanya yang basah dengan Darka yang berada di antaranya.
Pemandangan yang baru pertama kali Delin lihat dengan teramat sangat sadar tanpa rasa takut dan panik.
Darka yang tampan dan panas. Menatapnya selalu dengan kilatan yang mendamba.
"Gue mau nikahin lo sebelum sibuk berbisnis."
Delin terhenyak kaget. Menikah. Apakah hubungan mereka seserius itu. Delin melamun.
"Akh! Kak!" Delin kembali sadar saat Darka menggigit si mungil tegang itu lalu kembali mengulumnya sampai terlihat begitu tersedot kuat.
Delin tak sanggup, membuatnya membusung keenakan.
Darka berhenti, keduanya pun berbincang soal rencana bisnis tanpa mengubah posisi sama sekali.
Delin jadi sulit berpikir.