Pemenang voucher Karyakarsa chapter 19: yul_nda 3k & flowyyy_ 2k
20 | someone who feels like a holiday
Bekerja dibalik layar untuk orang-orang yang dikenalnya punya sensasi tersendiri.
Bikin gemes aja gitu, pengen buka masker, lalu say hi ke orang-orang yang dulu pernah membantu melancarkan magangnya.
Padahal, magang di Nowness nggak berkesan-berkesan amat. Trinda juga nggak merasa memiliki keterikatan secara emosi dengan rekan-rekan kerjanya. Tapi, melihat mereka dari jauh begini, mendadak diingatkan betapa sabarnya Mbak Safitri memberi izin saat dia lebih memilih kabur ke Malang mengekor Mas Ismail ketimbang mengerjakan tugasnya di Jakarta, betapa menyebalkannya Mas Ardi yang demen menyindir perasaan terpendamnya ke Mas Ismail di setiap ada kesempatan, dan yang lain-lain. Lalu Mas Ismail? Oh, jangan tanya, karena Trinda sama sekali tidak peduli.
"Who are you looking at?" Mbak Tiffany kepo, memandang orang-orang Nownes yang baru saja tiba dengan bus yang menjemput mereka dari Ngurah Rai, dan sedang mengantre untuk mendapatkan kunci kamar hotel masing-masing.
"Nggak ngelihatin siapa-siapa." Trinda mengangkat bahu tepat saat Mas Ismail seolah sedang balik memandang ke arahnya, lalu segera balik kanan.
Jadi, begini rasanya bersikap profesional?
~
Dibanding mengurus acara Nowness, mengurus acara pertunangan teman ternyata lebih nano-nano rasanya. Mana Mbak Tiffany menyerahkan project Winny-Theo sepenuhnya pada Trinda, dengan dalih lebih efisien karena Trinda pasti lebih paham karakter temannya itu, guna menerjemahkan keinginan-keinginan mereka dalam bentuk konsep acara.
Entah berapa kali Trinda ingin menjambak rambut Winny, karena merasa ditusuk dari belakang.
"Kenapa sih nggak nyari EO lain?" Trinda hampir saja membanting handphone-nya karena kesal.
Winny di seberang malah ikut-ikutan kesal. "Lo mau nerima duit mamanya Saga, tapi nggak mau nerima duit gue, maksudnya apa?"
Alhasil, terpaksa dia menyetir hujan-hujanan ke apart Winny hanya untuk meeting pada akhir pekan. Berpikir lebih cepat beres lebih baik.
"Tugas lo yang paling utama nih ya ...." Winny langsung ngoceh begitu Trinda tiba. "Adalah meyakinkan nyokap, kalau tunangan kecil-kecilan tuh oke. Maksimal lima puluh tamu, lah."
"Relevent nggak menerima jasa menjembatani masalah keluarga." Trinda mendengus sebal.
Winny balas mendengus. "Itung-itungan banget, sih?"
"Ya kenapa nggak kamu sendiri aja yang ngomong ke si mamah?"
"Males ribut, Babe."
"Terus kalau ributnya sama aku nggak apa-apa??"
"Sebagai EO, elo kan cukup mempersuasi aja, bukan ngajak ribut."
"Masalahnya, mamahmu udah ngelabelin aku sebagai 'Team Winny'."
Ingin rasanya Winny membanting iPad Trinda kalau ponsel Theo di tangannya nggak keburu berdering.
~
Theo masuk, disusul Saga di belakang.
Winny dan Trinda yang sepuluh menit terakhir cosplay menjadi pesulap, demi bisa merapikan apartment Winny yang tadinya kayak Titanic supaya lebih rapi dikit sebelum menyambut tamu mereka, kontan menghentikan seluruh aktivitas. Susah payah keduanya mengatur napas yang sebelumnya ngos-ngosan.
"Sorry, mendadak mampir." Saga kelihatan tidak enak hati.
Well, Winny-Theo di apartment cuma pas tidur doang. Kalau lagi nggak capek, karena Senin-Jumat magang, mereka baru akan beres-beres saat weekend. Entah apa alasan mereka pada weekend kali ini, sehingga tidak melakukan pekerjaan rumah. Yang jelas saat Saga tiba, keadaannya masih jauh dari layak huni.
"It's okay, Ga. Hujannya serem banget di luar. Malah gue yang nggak enak karena lagi berantakan." Winny mempersilakan Saga duduk.
Trinda membawakan nampan berisi empat cangkir kopi.
Long story short, Saga dan Trinda sama-sama nggak bisa pulang karena bukannya reda, hujan malah makin menjadi-jadi, dan banjir di luar makin tinggi.
"Thank God, it's Saturday." Winny meringis saat mereka makan malam berempat. "Paling nggak, masih bisa sabar nunggu sampai besok. Kalau masih belum surut, ya mobil kalian tinggal aja di sini, silakan berenang pulangnya."
Trinda berdecak. Tapi masa banjir nyalahin Winny, padahal lokasi apart-nya bukan di daerah langganan banjir? Ya memang Jakarta lagi serentak kena musibah aja.
Satu-satunya yang Trinda sesalkan adalah, selama menunggu hujan reda, suasana apartment betul-betul krik-krik.
Theo kayak mayat hidup, mungkin kurang tidur semalam.
Saga juga sebelas-dua belas, jadi omongan mereka berdua sama sekali nggak seru sampai kemudian Theo pamit tidur duluan karena sudah nggak kuat.
Lama-kelamaan Trinda dan Winny jadi ikut-ikutan mengantuk.
"Gue juga mau tidur, deh." Akhirnya Winny menguap setelah menahan-nahan diri berjam-jam. "Trinda ke kamar gue aja. Theo gue bangunin, biar ngungsi ke kamar satunya sama Saga, tapi ntar kudu pelukan tidurnya biar nggak jatuh, soalnya cuma ada kasur single di sana."
Saga dengan mata tinggal lima watt menggeleng pelan. "Santai. Nggak usah dibangunin Theonya. Biar Trinda pake kamar tamu, gue di sofa ini aja."
Keputusan yang bagus, batin Trinda. Karena satu-satunya perabotan yang dibeli sendiri oleh Winny adalah sofanya yang kelewat empuk kayak awan. Sisanya, perabot bawaan dari pemilik sebelumnya. Dan kasur di kamar tamu, nggak usah ditanya, sudah pasti keras kayak perjuangan hidup.
"Ya udah, gue ambilin bantal sama selimut dulu." Winny pun berlalu menuju kamarnya.
~
Hari Minggu pagi, cuaca nggak kunjung membaik.
Kelar sarapan, Winny-Theo balik ke kamar. Meninggalkan Saga-Trinda mondar-mandir nggak jelas. Mandi, nonton televisi, mengobrak-abrik isi kulkas, balik ke depan televisi, lalu ke kamar mandi lagi.
"They're so loud." Trinda ambruk ke sofa, sudah kehabisan ide mau ngapain lagi.
Melihat Saga cuma tertawa, berangsur-angsur rasa sungkan Trinda jadi berkurang. Toh bukan dia tuan rumahnya, kenapa dia yang harus sungkan, sih?
"Dan lo udah biasa jadi obat nyamuk mereka?" Saga bertanya.
Trinda manggut-manggut. "Yes. Can you imagine?"
Si cowok menggeleng, tertawa lebih heboh sehingga membuat Trinda ikut tertawa.
Juga, Trinda baru sadar bahwa mereka berempat sekarang jadi memiliki style dan bau badan yang sama: sweatshirt dan training Theo, dipadukan dengan sabun dan shampoo Winny.
"Bosen, kan? Let's cook something for lunch." Mendadak Saga bangkit dari sofa.
Trinda melotot lebar-lebar. "Impossible you can cook?!"
"How so?" Satu alis Saga terangkat, agak geli melihat ekspresi temannya.
"Inget waktu kita semua wasted di apart kamu?"
"Hm-hm?" Cowok itu mengangguk.
"Inget apa yang kamu makan buat sarapan?"
Sekarang Saga ganti mengangkat bahu.
"Roti tawar polos!"
"Doesn't mean I can't cook."
"Siapa sih yang doyan roti polosan, Ga?"
"Gue."
"So weird."
"Tergantung rotinya, Trinda. Nggak semua roti tawar polos rasanya memuakkan."
"Emang yang kamu makan roti apaan?"
"My mom made 'em."
"Kidding."
"Jangan judging gitu dong. Sekali-kali ngaca, orang luar juga ngelihat elo, 'impossible this girl can cook'."
"Okay, fair enough."
Tuan rumah cuma keluar kamar untuk mandi dan makan siang, lalu mengeluh ngantuk lagi. Tapi Trinda dan Saga sudah sampai di titik tidak ambil pusing. Bodo amat teman mereka mengunci diri di kamar, dia dan Saga akan menganggap apart mereka seperti rumah sendiri.
"Surut nggak surut, nanti sore gue balik." Saga membuat keputusan sembari menyalakan televisi lagi, untuk keseratus kali dalam sehari.
"Masalahnya aku bawa mobil kantor." Trinda mendadak bego. Padahal sama aja, dia tetap di sini atau cabut, mobilnya tetap nggak bisa keluar sampai jalanan di depan surut. "Eung ... tapi daripada kejebak sama mereka berdua, mending basah-basahan nyeberangin lumpur, sih."
Saga yang dari tadi merenung dengan remote control di tangan, menunggu Trinda selesai ngomong untuk bertanya. "Sekarang mau nonton apa?"
"Thor Ragnarok?" Cewek itu meringis. Tadi pagi Saga menemaninya lanjut marathon Loki—yang tertunda berbulan-bulan—sampai episode terakhir. Tapi Trinda masih terobsesi dengan salah satu karakter Marvel itu. Dan seingatnya, Loki versi paling tidak menyebalkan, adanya di Thor Ragnarok.
"Okay." Saga manggut-manggut, lalu mengetik judul film yang dimaksud.
Sayangnya, filmnya terlalu cepat berlalu, dan suara-suara dari kamar kembali mengganggu.
"Gosh, mereka nggak ada capeknya." Trinda menggerutu, menoleh hampa ke stoples popcorn yang sudah kosong melompong. Tapi mau bikin lagi, terlalu malas.
Yang diajak bicara cuma menghela napas panjang, nggak berniat menyahut.
"Btw, Ga, kenapa kamu nggak pernah jelasin ke yang lain? Isn't it annoying to be called 'the guy who was rejected by Trinda' when you never even asked me out?"
"If you were me, would you care?"
"Probably."
... to be continued