NISKALA

By ajuraaiueo

1K 112 15

Seperti yang diketahui, nama Niskala berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya ialah kokoh dan kuat. Sagara... More

Prolog
Kepindahan
Lingkungan baru
Interaksi
Bolu
Senin
Adaptasi
Bau rokok
Gantungan salju
Terlambat
Gagal
Mengenal lebih dalam
Act fool
Berusaha memperbaiki
Saturday night

Perjuangan Sagara

55 7 0
By ajuraaiueo

Happy Reading, Cupie! ꒰⁠⑅⁠ᵕ⁠༚⁠ᵕ⁠꒱⁠˖⁠♡

Karena Guru sudah memperbolehkan mereka untuk kembali ke Rumah masing-masing, seluruh warga SMA Garuda Emas tentu saja tidak menyia-nyiakan hal itu, memang siapa yang bisa menolak pemberitahuan pulang cepat?

Sama halnya seperti yang lain, Gantari kini tengah bergegas untuk merapihkan alat tulisnya hingga meja gadis itu bersih dari peralatan-peralatan menulis, otaknya sedang berpikir kegiatan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

Sagara yang sedari tadi diam memperhatikan Gantari pun kini ikut memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam tas, hal itu membuat Sabian melemparkan tatapan bingung.

"Lo udah mau balik? Nongkrong dulu lah." Ucap Sabian yang mendapatkan anggukan setuju dari Orion, pasalnya mereka akhir-akhir ini memang sudah agak jarang berkumpul selain di Rumah Sagara.

Sang empu sempat terdiam sebelum akhirnya memberikan anggukan kepala pertanda kalau laki-laki itu setuju dengan ajakan Sabian, "Gue anterin Gantari balik dulu, nanti gue nyusul, di tempat biasa kan?"

"Iya. Lagian emang harus banget lo anterin apa? C'mon, Sag, jaman sekarang kan udah ada ojol?" Orion sepertinya sudah sangat kesal dengan Gantari.

"Gue tau, tapi gue gamau dia balik sendiri. Berangkat sama gue, pulang juga sama gue, lagian lo kenapa sih? Kenapa jadi lo yang sewot banget gue tanya?" Sabian yang merasa situasi sudah tidak kondusif pun langsung berusaha untuk melerai peperangan yang hampir saja terjadi, jangan sampai pertemanan mereka bermasalah hanya karena hal sepele! Sebisa mungkin Sabian berusaha untuk mencegah hal buruk itu terjadi.

"Bro udah bro, jangan sampe kita ribut gara-gara hal sepele kaya gini," Ucapan Sabian terpotong dengan sengaja karena laki-laki itu menatap kedua temannya secara bergantian, "Yaudah, Sag, lo anterin Gantari aja dulu. Lo juga, Yon, gue tau lo masih kesel sama Gantari gara-gara perlakuannya ke Sagara kemaren, tapi udahlah lupain aja, toh Sagara-nya juga udah biasa aja?" Akhirnya peperangan antara kedua sahabat itu berhasil dicegah oleh Sabian, laki-laki itu bernapas lega karena usahanya berhasil.

✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩

Disebuah ruangan, terdapat 2 orang perempuan yang sedang duduk saling berhadapan, entah apa yang mereka bahas tapi yang pasti pembahasan ini merujuk kepada hal yang akan membahayakan orang lain nantinya.

"Nih nomornya." Ucap salah satu gadis berambut pendek yang menunjukkan nomor ponsel Gantari kepada seorang gadis berambut panjang di hadapannya.

"Lo yakin ini nomor dia?" Tanya sang gadis berambut panjang untuk memastikan, jangan sampai ia salah menghubungi orang!

"Yakin, gue udah mastiin sendiri, yaelah lo gak percaya banget sama gue?" Lawan bicaranya hanya terkekeh sambil menyimpan nomor Gantari di ponselnya, senyuman puas terbit di bibir tebal sang empu.

"Thanks, lo emang paling bisa diandelin. Udah cukup selama ini gue sabar ngeliat tuh cewe deket-deket terus sama Sagara, yang seharusnya ada diposisi itu tuh gue! Sialan."

✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩

Kini Sagara dan Gantari tengah berada dalam perjalanan pulang, keduanya saling diam tak berniat untuk membuka suara, sebenarnya hanya Gantari yang tak memiliki niat untuk berbicara.

Sagara ingin, bahkan sangat ingin mengobrol dengan gadis itu, tetapi sebisa mungkin ia mengurungkan niatnya, tidak ingin mengganggu fokus Gantari yang sedang memperhatikan jalan.

"Ke supermarket dulu, Sagara!" Ucap Gantari dengan nada suara yang sengaja ia naikkan, takut kalau laki-laki itu tidak mendengar suara Gantari.

Sagara memang diam tak merespon, tapi ia tetap menepi, menuruti keinginan Gantari yang ingin pergi ke supermarket yang letaknya tidak terlalu jauh dari perkomplekan Rumah mereka berdua.

"Woi, Sag!" Gantari sempat terlonjak kaget ketika mendengar suara laki-laki yang menyapa Sagara, tatapan bingung ia lemparkan ke arah kedua lelaki berbeda usia itu.

"Eh, Bang! Buset kemana aja baru keliatan lagi?" Tanya Sagara sambil melakukan tos kepada laki-laki yang lebih tua dihadapannya.

Gantari yang melihat hal itu merasa bingung, bagaimana bisa Sagara juga berteman dengan seorang juru parkir? Apa karena laki-laki itu sebelumnya sering pergi ke supermarket ini makanya mereka berdua jadi akrab, atau bagaimana?

Gantari pikir, teman-teman Sagara paling hanya warga SMA Garuda Emas saja, tapi ternyata tidak! Teman Sagara jauh lebih banyak dari apa yang Gantari pikirkan, sungguh gadis itu dibuat bingung sekarang.

Tapi jujur saja Gantari merasa penasaran bagaimana rasanya menjadi Sagara? Ah lebih tepatnya, bagaimana rasanya memiliki banyak teman? Apakah menyenangkan atau sebaliknya? Tapi jika dilihat dari tingkah Sagara, laki-laki itu nampak menikmati setiap hubungan pertemanan yang ia jalin.

"Kaga kemana-mana, cuma nemenin bini gue yang lagi di Rumah sakit," Ucap sang juru parkir, tatapannya tak sengaja berpapasan dengan Gantari yang sedari tadi diam mendengarkan, bahkan tangan kecilnya sudah bertengger di tali tas milik Sagara, "Eh siapa nih? Cewe lo, Sag? Pinter ya lo milih cewe! Hahaha."

Mendengar hal itu, Gantari semakin menguatkan pegangan tangannya pada tali tas milik Sagara, bahkan kakinya sudah melangkah mundur, menyembunyikan dirinya di belakang tubuh besar Sagara.

Jika dilihat-lihat, Gantari sudah seperti anak ayam dan Sagara adalah induknya.

Sagara yang menyadari hal itu hanya bisa terkekeh sambil memberikan usapan pelan pada tangan Gantari, berusaha menenangkan gadis itu. "Temen saya, Bang. Oh iya, istri Abang emang sakit apa?"

Sang juru parkir yang menyadari ketidaknyamanan Gantari pun dengan cepat menyelesaikan obrolan dirinya dengan Sagara, tidak ingin membuat gadis itu menunggu lebih lama lagi. "Bukan penyakit serius, santai wae lah! Sekarang juga udah di Rumah, makanya gue bisa lanjut jaga parkiran lagi nih." Sagara mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar perkataan sang juru parkir, sepertinya laki-laki paruh baya itu juga sudah menyadari tingkah laku Gantari yang tak nyaman.

"Yaudah kalo ada apa-apa, kabarin Bang! Kalo butuh sesuatu juga bilang aja, saya siap bantuin Abang sama istri." Setelah mengatakan hal itu, Sagara langsung berpamitan untuk masuk ke dalam supermarket sambil menggenggam lengan Gantari yang ukurannya jauh lebih kecil dari telapak tangan Sagara.

✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩

Dengan telaten Sagara membantu Gantari untuk mengambilkan barang-barang yang letaknya berada dipaling atas, tentu saja gadis itu tak bisa menggapainya karena terlalu tinggi. Sebuah keuntungan memang mengajak Sagara berbelanja seperti ini.

"Gue lupa nanya, masakan gue tadi enakkan? Keasinan gak?" Gantari sempat terdiam sebentar, bola matanya tergerak untuk melirik Sagara yang menatap ke arahnya dengan penasaran.

Harus jujur atau tidak? Kalau ia jujur, apa Sagara akan sakit hati? Tapi kalau bohong, nanti Sagara tidak bisa belajar menjadi lebih baik lagi.

Sebelum memberikan jawaban, Gantari sempat menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. "Sedikit keasinan, Sagara. Tapi aku makan sampai habis kok!" Gadis itu memberikan senyuman tipisnya untuk Sagara, berharap kalau laki-laki itu tidak merasa canggung terhadap Gantari.

Tapi sepertinya hal itu tidak berpengaruh pada Sagara, karena laki-laki itu kini sedang merasa malu sekaligus tidak enak pada Gantari, sulit memang memiliki sifat tidak enakan. Meskipun memang sudah seharusnya ia merasa begitu, kan?

"Aduh, maaf banget ya, Tar! Gue jadi ngerasa gak enak, pasti lo kesiksa banget ga pas makan masakan gue? Harusnya—"

"Tenang aja, Sagara, wajar kok namanya juga baru belajar. Aku dulu juga sempet kaya kamu kok." Gantari dengan sengaja memotong perkataan Sagara, soalnya laki-laki itu pasti tidak akan mengatupkan bibirnya jika Gantari tidak memotong perkataannya seperti ini.

Gantari yang sudah lelah, emosinya jadi mudah naik, maka dari itu ia sebisa mungkin menahan gejolak amarah yang ada pada dirinya, tidak ingin Sagara yang kena imbasnya.

"Gue bakal belajar lagi, Tar. Gue bakal belajar gimana caranya biar masakan gue enak, buat lo." Batin Sagara, tekadnya sudah bulat, mulai besok ia akan tekun belajar memasak.

Mereka kembali melanjutkan mengambil beberapa barang yang Gantari butuhkan, selanjutnya barulah membayar dan kembali melanjutkan perjalanan menuju Rumah.

Karena perjalanan dari supermarket ke perkomplekan mereka tidak terlalu jauh, jadi tidak perlu membutuhkan waktu yang lama untuk Sagara mengantarkan Gantari. Kini keduanya sedang berada di depan pintu gerbang warna putih milik Gantari.

"Terima kasih ya. Maaf kalau aku ngerepotin kamu, seharusnya tadi aku pergi sendiri aja." Ucapnya karena tadi ia sempat mendengar percakapan antara Sagara dan Orion sebelum pulang ke Rumah, sialnya mengapa ingatan itu baru muncul sekarang?

"Gue gak ngerasa direpotin sama sekali, justru gue seneng, Tar. Lo jangan kemana-mana sendiri ya? Ajak gue, kemana pun lo mau pergi, gue siap nemenin lo. Bahkan di tengah Malam sekalipun gue siap nemenin lo." Balas Sagara dengan tulus, senyuman manisnya mengembang, bahkan mata laki-laki itu kini ikut tersenyum.

Terkadang Gantari merasa bingung dengan dirinya sendiri, ia ingin berteman dengan Sagara tapi disisi lain ia juga tak ingin. Jadi bagaimana cara mendeskripsikannya? Ingin tapi tak ingin, Gantari masih labil.

✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩

Sagara sudah berkumpul bersama dengan Sabian dan juga Orion, ketiganya nampak anteng memainkan ponsel, bukan sibuk sendiri melainkan mereka sedang mabar, lagi.

Sepertinya laki-laki memang selalu seperti ini ya? Berkumpul untuk mabar, atau membahas hal random. Tidak jauh berbeda dengan perempuan yang ghibah.

"JANGAN AMBIL KELOMANG GUE, YON!" Pekik Sabian saat 'kelomang'-nya hampir dicuri oleh Orion, sedangkan sang pelaku hanya tertawa terbahak-bahak namun tetap menghentikan aksinya.

"Setan emang nih, Nana! Gue kesel banget kalo dia udah ngeluarin anaknya, Aldous gue jadi gaada harga diri anying." Orion kesal bukan main ketika hero-nya yang terkesan sangar terpaksa berubah menjadi boneka kelinci berwarna biru yang gempal, sumpah serapah sudah keluar dari mulutnya sejak awal permainan dimulai.

Jangan ditanya seberapa banyak kata kasar yang keluar dari mulut laki-laki itu, karena memang tidak bisa dihitung juga.

"Yon, ke bawah anjir bantuin! Lo ngapain di tengah sih?" Tanya Sagara dengan heran, di bawah sedang ada pertempuran hebat sedangkan Orion malah asik berada di tengah sedari tadi.

"Ntar! Gue bantai dulu nih si Nana, gue belom tenang kalo si curut ini kaga mati." Sagara yang mendengar hal itu langsung mendengus, Orion memang selalu seperti itu. Jika ia dibunuh oleh 1 karakter, maka sampai permainan selesai karakter itu akan ditandai oleh dirinya.

Akhirnya, Nana berhasil Orion kalahkan, senyum puas terbit dibibirnya, perasaan bahagia hinggap di hatinya saat hero kecil itu. Mungkin untuk beberapa orang hal itu sepele tapi tidak menurut Orion, hero kecil itu sudah membunuhnya hampir 4 kali.

Kemenangan berhasil mereka raih, ketiganya nampak puas melihat tulisan 'Victory' yang muncul dilayar ponsel mereka masing-masing, akhirnya sumpah serapah yang dikeluarkan oleh Sabian dan Orion berbuah manis.

"Denger-denger, bonyok lo udah balik, Sag?" Tanya Sabian yang baru saja menenggak habis minuman bersoda yang ada di atas meja.

"Kaga tau." Jawab Sagara dengan cuek, ia seakan tak peduli dengan kepulangan Radit dan Nabel. Beberapa anak mungkin akan merasa senang saat akhirnya bisa berkumpul lagi dengan Keluarga setelah sekian lama berpisah, tapi hal itu tidak berlaku pada Sagara. Mungkin hanya berlaku pada Vadel.

"Lah lo gimana sih anaknya?" Orion merasa bingung, meskipun ia sudah tau permasalahan yang ada di dalam Keluarga Abimanyu itu. Namun awalnya ia kira Sagara sudah memaafkan kedua orang tuanya dan malupakan segala kejadian buruk mereka di masa lalu.

Sagara terkekeh, ia menghembuskan kepulan asap rokok ke arah langit, memandangi langit Sore yang sudah mulai semakin menggelap, hujan sebentar lagi akan turun. "Emang gue anak mereka, Yon? Yang anaknya kan cuma Bang Vadel doang." Jawab Sagara tanpa menatap ke arah Orion maupun Sabian, pandangannya terkunci ke arah anak kecil yang sedang tertawa bersama dengan kedua orang tuanya karena baru saja dibelikan balon.

"Sag—"

"Udah ya, Yon? Kaga demen gue kalo bahasnya beginian," Ucapan Sagara sengaja ia beri jeda karena laki-laki itu menyempatkan diri untuk menenggak ice coffee miliknya terlebih dahulu untuk membasahi tenggorokan. "Besok libur ya?" Tanya Sagara berusaha untuk mengalihkan topik yang membuat mood-nya tiba-tiba saja menjadi buruk.

Sagara memang tidak menyukai topik itu, bahkan ia benci jika harus membahas Radit dan Nabel. Laki-laki itu tidak ingin merasa dikasihani oleh orang lain karena kehadirannya yang tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya.

"Denger-denger sih gitu, total kita libur 4 hari ya? Kamis, Jum'at, Sabtu, sama Minggu?" Orion memberikan anggukan kepala berkali-kali sebagai respon, kepalanya sedang berpikir kegiatan apa yang akan ia lakukan selama 4 hari mendatang.

Disela-sela keterdiaman ketiganya, Sagara menyempatkan diri untuk menghubungi Gantari, hanya basa-basi saja menanyakan apa yang sedang gadis itu lakukan sekarang.

Gantari Pitaloka

|Lagi apa, Tar?

Cukup lama pesan itu tidak mendapat balasan, bahkan Sagara kira Gantari mungkin tidak akan membalas chat-nya. Tapi perkiraan laki-laki itu salah besar, tepat di menit ke 15, Gantari membalas pesannya.

|Melukis

Tanpa menunggu waktu lama, Sagara kembali membalas pesannya, bahkan laki-laki itu tetap stay di dalam roomchat, agar jika Gantari kembali membalasnya lagi, bisa langsung ia baca dan balas tanpa memberikan jeda waktu.

Sagara memang seperti itu, tapi jika bersama Gantari saja. Jika dengan orang lain? Terkadang dengan sengaja ia tak membalas pesan mereka.

|Gue lagi di luar sama Orion & Bian
|Sebentar lagi balik, lo mau nitip?

|Enggak

|Gue beliin martabak ketan
di depan komplek, ya?
|Mau?

|Baca pesan aku di atas, Sagara

|Iya gue baca kok
|Gue balik

Pesan terakhirnya hanya dibaca, Sagara tidak mempermasalahkan hal itu, toh memang sudah tidak ada topik percakapan lagi yang harus dilanjutkan.

Benar adanya yang diketik oleh Sagara, ia langsung berpamitan pulang kepada kedua temannya.

✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩

Diperjalanan pulang, mata Sagara tidak bisa fokus pada jalanan. Ia melirik kesana kemari berusaha mencari tukang pakaian yang menjual kaus seharga 15.000 sampai 20.000, biasanya mudah sekali ia temukan di pinggir jalan, namun kenapa sekarang rasanya susah sekali.

"Mana sih anjir kok gak ada? Biasanya banyak, seragam gue bau rokok banget ntar Gantari gak betah." Sagara menggerutu, perasaannya sangat kesal karena tak berhasil menemukan orang yang biasa berjualan pakaian di pinggiran jalan.

Selalu seperti ini, di saat Sagara butuh, tukang baju tersebut malah tidak ada.

Sagara tidak menyerah, ia terus mencari tukang pakaian tersebut hingga ketemu, bahkan meskipun gerimis sudah mulai turun membasahi Bumi.

Setelah sekian lama ia mencari, akhirnya ketemu! Senyum manisnya terbit, Sagara sangat merasa lega karena akhirnya bisa membeli kaus polos itu.

"Saya izin ganti baju disini gapapa, Pak?" Tanya Sagara yang sudah membuka kancing seragamnya satu per satu, perut kotak-kotak dan dada bidangnya terpampang dengan jelas, untung tidak ada perempuan disini.

"Boleh, Mas, silahkan." Dengan cepat laki-laki itu melepaskan seragamnya lalu memakai kaus polos berwarna biru tua di tubuhnya, tak lupa ia menyemprotkan parfume di area-area tertentu. Tidak sampai ke seluruh badan seperti tempo lalu, takut Gantari pusing.

Seragamnya yang basah sempat Sagara peras terlebih dahulu lalu memasukkannya ke dalam plastik yang ia pinta dari sang penjual, untung saja jaket di dalam tas-nya tidak basah, yah mengingat tas Sagara juga yang tahan air.

Seakan tak peduli dengan buku-buku miliknya yang akan basah, Sagara memasukkan plastik itu ke dalam tas lalu mengeluarkan jaket kulit hitamnya.

"Makasih ya, Pak! Saya pulang dulu." Ucap Sagara setelah memakai jaket dan juga helm kesayangannya.

"Gak mau neduh dulu? Hujannya belum reda, nanti Mas sakit."

Sagara sempat terdiam sambil menatap langit yang semakin lama semakin menggelap, hujannya cukup deras Sore ini, untungnya angin yang berhembus tidak terlalu kencang. "Ah gak usah gapapa, Pak, saya juga lagi buru-buru, udah ditungguin soalnya. Sekali lagi terima kasih ya, Pak."

Laki-laki itu kembali melanjutkan perjalanannya, tujuannya yang kedua adalah tempat martabak ketan di depan komplek, semoga saja masih buka.

Motor yang Sagara kendarai terkesan lambat, mengingat jalanan yang licin dan pengelihatannya yang sedikit terganggu dengan air hujan, Sagara sangat tidak menyukai keadaan ini, tapi juga tak ada hal lain yang bisa ia lakukan, tak mungkin Sagara harus memarahi hujan karena mengganggu konsentrasinya berkendara kan?

Sesampainya ia di tempat martabak ketan kesukaan Gantari, dengan cepat Sagara langsung memesan 3 bungkus martabak, 1 untuk dirinya dan 2 untuk Gantari, seperti biasa. Sagara tidak ingin Gantari membagi makanan kesukaannya kepada orang lain karena takut gadis itu kurang puas, jadi ia membelikannya 2

"Hujan-hujan loh, Dek, nekat bener beli martabak." Ucap sang penjual sambil terkekeh, namun meskipun begitu ia tetap merasa senang karena hari ini penjualannya sedikit menurun.

"Hehe lagi pengen, Bang. Eh ini nanti plastiknya dipisah bisa? Soalnya yang 2 kotak itu bukan buat saya, Bang." Sang penjual hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon, dengan telaten ia membungkuskan 3 kotak martabak itu dengan hati-hati.

"Nih udah, Dek. Totalnya 45.000"

Sagara langsung mengangguk lalu menyerahkan selembar uang berwarna biru, setelah dibayar barulah martabak itu ia ambil alih dari pegangan si penjual. Sagara menerapkan prinsip, 'Bayar dulu, baru ambil barangnya.'

"Kembaliannya 5.000 ya." Sagara yang melihat hal itu tentu saja menolak, dengan gerakan pelan ia mendorong tangan sang penjual untuk menjauh.

"Gak usah, Bang, ikhlas saya." Balasnya sambil memberikan senyum tipis yang mampu membuat sang penjual merasa senang, meskipun tidak seberapa tapi untuk dirinya itu adalah hal yang paling berharga.

"Wah, terima kasih banyak, Dek! Semoga kebaikan yang kamu lakukan hari ini, bisa memberikan timbal balik yang setimpal untuk diri Adek di masa depan."

Hati Sagara menghangat, do'a baik penjual itu segera ia Aamiin-kan sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Rumah Gantari, mengantarkan martabak ketan yang baru saja matang. Pasti akan nikmat dimakan saat hujan-hujan seperti ini.

✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩

Disinilah Sagara sekarang, berada di depan pintu gerbang Rumah Gantari, hujan sudah tidak se-deras tadi, namun tidak bisa dikatakan sudah mereda juga.

Akhirnya yang laki-laki itu tunggu telah tiba, Gantari muncul dengan pakaian Rumahan, jangan lupa payung pink yang saat ini sedang ia kenakan untuk melindungi kepalanya dari rintik hujan.

"Kamu ngapain?" Tanya Gantari yang dengan sengaja menaikkan nada bicaranya menjadi lebih tinggi dari biasanya, takut kalau Sagara tidak bisa mendengar suaranya yang terkesan pelan.

"Bawain lo martabak ketan. Gue beli 2, satu buat lo, satu buat orang tua lo." Sagara menyerahkan kantung plastik berwarna putih itu ke arah Gantari, mata teduhnya menatap lurus ke arah wajah Gantari yang menampilkan sedikit raut khawatir (?)

"Aku udah bilang gak usah! Kamu tuh kenapa sih ngeyel banget?" Oceh Gantari, rasa kesal sekaligus khawatir muncul di hatinya. Kesal karena Sagara terlalu nekat dan khawatir karena keadaan laki-laki itu yang basah kuyup dari kepala hingga kaki.

Untungnya besok libur, jadi laki-laki itu bisa beristirahat full di Rumah.

"Tapi gue mau beliin lo, Tar, setiap lewatin tukang martabak itu gue selalu keinget sama lo karena lo bilang, lo suka martabak ketan." Jelas Sagara dengan tatapan mata yang sama sekali tidak berpindah dari wajah manis milik gadis di hadapannya.

Tidak mau mengulur waktu lebih lama berada di luar Rumah, Gantari juga khawatir dengan Sagara yang sepertinya sudah kedinginan, terlihat dari tubuh laki-laki itu yang sempat bergemetar. "Aku terima ini, makasih. Tapi nanti bakal aku ganti, sekarang kamu pulang, istirahat!"  Usai mengatakan hal itu, Gantari langsung berbalik badan lalu berjalan masuk ke dalam Rumah, meninggalkan Sagara yang tersenyum manis menatap punggung gadis itu yang telah lenyap dibalik pintu.

"Gue selalu suka sama cara lo yang berterima kasih ke gue."

Sagara kembali menaiki kuda besi miliknya dan mengarahkan menuju Rumah, ada 1 mobil yang terparkir disana, dapat dipastikan kalau Radit dan Nabel ada di dalam Rumah.

"Masih inget Rumah ternyata." Gumamnya sambil tertawa hambar, ia langsung memarkirkan motor kesayangannya ke dalam garasi lalu mulai melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam Rumah.

Telinganya sudah sangat siap mendengarkan perkataan pedas yang nanti akan dilontarkan oleh Nabel dan Radit, bahkan mentalnya pun sudah sangat siap. Hal seperti itu sudah bukan hal yang asing untuk Sagara dengar, jadi ia merasa biasa saja.

Pintu Rumah terbuka, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Radit dan Nabel yang sedang duduk di ruang tamu sambil menonton televisi, tak lupa cemilan yang sedang mereka makan di atas meja.

Yang pertama mengalihkan pandangan adalah Nabel, wanita paruh baya yang fisiknya masih terlihat seperti anak remaja itu melirik Sagara dari atas sampai bawah.

Dari kepala hingga kakinya basah, bibirnya sedikit memucat, di tangan kanannya tergenggam kantung plastik berwarna putih yang Nabel sendiri tidak peduli apa isinya.

"Darimana aja kamu? Hujan-hujan malah keluyuran, bukannya jemput orang tua di Bandara, malah asik nongkrong sama temen-temen kamu yang gak jelas itu!" Ucap Nabel sambil menatap tepat di wajah Sagara dengan tatapan matanya yang sinis, tatapan yang selalu ia dapatkan.

Terkadang Sagara merasa iri dengan Vadel, karena Kakaknya itu tidak pernah mendapatkan tatapan seperti ini dari Nabel, yang selalu Vadel dapatkan hanyalah tatapan tulus penuh kasih sayang. Bahkan nama keduanya mirip.

"Bang Vadel juga gak jemput kalian? Kenapa marahnya cuma ke Sagara?" Laki-laki itu dengan berani membalas tatapan mata sang Mama, menatap dengan sendu seakan memberikan isyarat kalau perasaannya sakit ketika Nabel menatap ke arahnya dengan tatapan itu.

Sagara memang marah, benci, bahkan rasanya ingin mengamuk kepada kedua orang tuanya, ingin sekali menjelaskan kalau dirinya ini juga butuh kasih sayang mereka. Namun tak bisa, Sagara tidak bisa mengatakannya karena percuma, Nabel dan Radit tidak akan pernah mendengarkannya.

"Vadel sudah menghubungi kami sebelumnya, Abangmu itu sibuk mengejar pendidikan agar bisa membanggakan kami. Tidak seperti kamu yang kerjaannya cuma main-main, keluyuran, nongkrong gak ingat waktu! Bagaimana bisa kamu membanggakan kami, Sagara?" Kini Radit yang buka suara, pandangan pria paruh baya itu sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Mungkin memang sudah tak ingin melihat wajah Sagara.

Ia memang sudah sering mendengar hal seperti ini, namun mengapa rasanya masih saja sakit? Hatinya mencelos, perkataan Radit memang tidak sepenuhnya salah, tapi apakah harus seperti itu cara penyampaiannya?

Tidak bisakah mereka memberikan nasehat dengan tutur kata yang lembut kepada Sagara? Seperti mereka memberikan nasehat untuk Vadel?

Bersambung...

*

*

*

Halohaii, Cupie! Gimana pendapat kalian buat part kali ini? (⁠*⁠・⁠~⁠・⁠*⁠) maaf yaa kalau misalnya ga sesuai sama ekspetasi kalian! Next part aku bakal berusaha bikin alur yang sesuai sama keinginan kalian deehhh hihi ^⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠^

Ohyaa Cupie, jangan lupa tinggalin jejak berupa vote & comment di part ini yaa! Supaya aku juga makin semangat nih nulis part selanjutnyaa (⁠◕⁠ᴗ⁠◕⁠✿⁠) soalnya jujur vote & comment kalian itu ngaruh banget tau buat akuu!

Oke last, ini ada akun sosial media aku yang bisa kalian kunjungin supaya ga ketinggalan info-info yang nantinya bakal aku share disana, tapi di follow lebih baik sih, hehe 🧘🏻‍♀️

Instagram: @azhjuraa & @4love.ju
Tiktok: @byoudafullj

Sampai jumpa di part selanjutnya, Cupie 🌷💗✨

Continue Reading

You'll Also Like

7.4K 1.4K 5
- Perasaan terindah di dunia adalah mengetahui ada seseorang di sisiku - About Jena. Happy Reading buat kamu yang baca cerita ku. ๐Ÿ“Warning! Cerita...
47.4K 2.8K 33
Hiraeth memiliki arti yakni kerinduan atau keinginan yang tulus dari rasa penyesalan. Penyesalan yang tak berujung bagi Noah Lee untuk seorang gadis...
784K 53K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
2.4K 1.4K 15
"Auhhhh...... Sstttttt" "Apaansi! Lo sengaja nabrak gue? " "M-maaf, Caca gak sengaja." "Lucu banget kaya bocil!, Arrggghhh, kenapa jantung gue gini s...