"Pokoknya lo harus balas si cupu dua kali lipat! Berani-beraninya dia robek tangan gue!" dengus Teo dengan balutan perban di lengannya.
"Kalau bisa buat tangannya patah!" lanjut Teo, suaranya terdengar menggebu karena mengingat kejadian siang tadi.
Tak mendengar sahutan dari Asten, Teo menoleh padanya. Dia mengerutkan dahinya heran sekaligus kesal, Asten terlihat termenung dengan ketukan di jarinya.
"Bangs*t lo!" Teo melempar bantal dan melanjutkan ucapannya, "jadi dari tadi lo gak dengerin gue ngomong?!"
"Shit!! Apaansih lo!" berangnya.
"Gue lagi ngomong, tapi malah lo kacangin!" timpal kesal Teo.
"Ck, ulangi lo ngomong apa tadi?" Asten tak sempat mendengarkan celotehan Teo karena pikirannya terpaut pada ucapan Kaycia saat di lapangan. Kata-katanya terus berputar dibenaknya, dia pun merasa heran dengan hal tersebut.
"Lo harus ingat ini kak. Apa yang lo lakuin gak akan merubah apapun, kecuali rasa sakit orang lain. Cara lo pengecut tau gak?"
Tidak ada yang istimewa dari ucapan Kaycia, tapi entah kenapa kata-katanya terasa mengganjal di hati, seolah Kaycia tahu apa yang sedang dia alami.
"Lo harus balas perlakuan si cupu ke gue dua kali lipat!" ucap Teo
Asten hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kenapa cuman ngangguk? Biasanya lo paling semangat kalau tentang balas dendam." heran Teo.
Asten mengedikkan bahunya seolah tak peduli, "nanti gue pikirin,"
"Tunggu, jangan bilang kalau lo kepincut sama si cupu? Hahaha, gak mungkin kan selera lo turun?"
"Yang robek tangan lo, bukan otak lo! Gak mungkin gue suka sama cewek itu!" bantah Asten seraya memejamkan matanya.
Mereka berdua sedang berada di basecamp, sedangkan Ren masih di rumahnya belum menyusul ke sana.
Teo mengelus dadanya, "untung deh, berarti lo masih waras,"
"Yang disuka lo spek Lidya sih wajar, tapi kalau si cupu lo bener-bener cowok teraneh sih menurut gue. Lagian, kenapa juga gak terima aja perasaan Lidya? Jelas-jelas dia suka sama lo dan gue juga liat dia effort banget buat deketin lo."
"Lo berisik!!" Asten beranjak dari sana dan pergi begitu saja keluar dari basecamp meninggalkan Teo yang tengah kebingungan dengan sikap Asten. Tidak biasanya dia terlihat sekesal itu.
Asten melajukan motornya. Dia berhenti tepat di rumah besar berwarna putih dan gold, memasuki motornya ke dalam garasi. Dia memasukkan ke dua tangannya memasuki rumah besar tersebut. Namun, dia terhenti oleh teriakan seseorang.
"Dari mana aja kamu?!! Baru ingat pulang?"
"Ya," singkatnya meneruskan langkahnya.
"Mama belum selesai bicara!!" Jessica menarik lengan anak bungsunya itu.
"Ada apa? Aku capek, mau tidur!"
"Enak banget ya hidup kamu!! Tidur, makan dan keluyuran seenaknya dijalanan sana! Seharusnya kamu contoh kakak kamu! Dia anak yang tau aturan gak kayak kamu!"
Asten memutar bola matanya malas. Inilah alasannya lebih memilih untuk tidur di basecamp ketimbang tidur di rumah. Jessica selalu saja membandingkannya dengan sang kakak.
"Udah? Aku mau tidur!" sentaknya melepaskan cekalan lengan Jessica.
"Mau sampai mana kamu kayak gini?! Jadi anak berandalan gak bikin kamu sukses!"
Lagi, Asten menghentikan langkahnya lalu menoleh pada Jessica. "aku harus apa? Jadi bidak catur Mama, kayak kak Hazel? Harus jadi kutu buku? Harus cupu? Harus lemah lembut?"
"Berhenti main-main Asten!"
"Mama yang harus berhenti!" sela Asten.
"Kamu benar-benar keras kepala!! Beda sama Hazel."
Asten menarik ujung bibirnya, menertawakan posisinya, "terusin Ma! Terus sayangi kak Hazel. Aku udah muak!" lantangnya mempercepat langkahnya.
"ASTEN!! DASAR ANAK BERANDAL!" teriak Jessica.
Asten menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Si berandalan sekolah ini terlihat berbeda dengan perilakunya di sekolah. Dia gemar membuat luka orang lain, tapi nyatanya dia pun memiliki luka.
Luka yang tak pernah dia lihatkan pada siapapun, termasuk kedua sahabatnya. Mereka hanya mengenal Asten si berandal dan si kaya yang manja. Tanpa mengetahui topengnya.
......
Kaycia menatap langit-langit kamarnya, menerawang kejadian di lapangan tadi.
"Gak ada orang jahat yang ngelakuin kejahatannya tanpa alasan! Jangan sok jadi pahlawan!"
Ucapan Asten, membuat Kaycia menebak-nebak dan perkataan Rere perihal dirinya diminta Asten untuk membantunya pun menjadi pertanyaan besar dipikirannya.
"Emm, apa ada alasan lain kenapa kak Asten jadi pembully, ya?" gumamnya.
"Kak Asten aneh. Tapi ... Apa mungkin karena dia tau wajah asli gue, makanya dia bersikap lembut? Cih, dasar cowok!"
"Ahh!! Ngapain sih mikirin si cowok setan!!" rutuknya seraya mengetuk kepalanya.
"Mending tidur!" Kaycia memejamkan matanya, menghentikan tebakannya tentang Asten. Kini, Kaycia rasa Asten menjadi pria yang penuh misteri. Dia tak menduga hal ini akan terjadi.
Pagi menjelang, Kaycia dengan semangat menuruni tangga. Menyapa semua orang dengan ceria. Flunya semalam telah mereda.
"Kamu udah baikan?" tanya Viola mengelus lembut kepala anak perempuan semata wayangnya itu.
"Iya Ma, aku udah sehat!!" jawabnya, berjingkrak ke sana kemari untuk memastikan keluarganya.
"Syukurlah,"
"Oh ya, Cia hari ini mau bawa motor!"
"Apa?" serentak semua orang terkejut.
"Kenapa kalian kaget?"
"Ya kaget lah, masa tiba-tiba lo mau bawa motor! Belajar dari siapa lo?" sela Karl.
"Dari kak Karl lah!" ujar Kaycia.
"Kapan gue —" Karl membola, mengingat dia pernah mengajarinya motor tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya dan Keenan. Dia merutuki dirinya sendiri dan Kaycia, serta menyiapkan diri dari semburan kedua orangtuanya dan Keenan.
"Karl!! Udah Mama bilang, jangan libatin adik kamu sama motor! Mama gak mau dia kenapa-napa!" Viola menarik telinga Karl.
"Aduh Ma sakit! Karl cuma kasih permintaan Cia yang waktu itu minta diajarin motor!"
"Benar itu Cia?" Rasello menyela.
Kaycia menampakkan deretan giginya, "hehe, iya. Cia penasaran dan minta kak Karl buat ajarin Cia motor,"
"Ya ampun sayang .... Kalau kamu kenapa-napa gimana?"
"Tenang Ma, aku udah lancar kok. Iya kan kak Karl?" tanyanya di balas anggukan Karl seraya menahan ringisnya karena Viola belum melepaskan jewerannya.
"Plis ya Ma, Pa, ijinin Cia bawa motor."
"Beneran kamu udah bisa?" tanya Keenan.
"Iya kak!" jawab lantang Kaycia.
Semua menghela nafas dan berakhir menyetujui permintaan si bungsu. Mereka tidak ingin merusak paginya. Lagian, pasti kedua kakaknya dan Rasello tidak akan membiarkan Kaycia terluka. Mereka akan meminta seseorang untuk mengawasinya.
.......
"Lo ..." panggil Asten pada Galu yang sedang memarkirkan motornya.
"Apa?" Galu menelisik pria didepannya.
Dia masih merasa kesal pada Asten telah mengusirnya pergi yang saat itu ingin menemui Kaycia. Dia pun merasa kesal mendengar pengakuan Asten, bahwa dia adalah kekasih Kaycia.
Namun, dia tidak akan percaya begitu saja sebelum mendengarnya dari mulut Kaycia. Lagi pula, Keenan dan Gala tidak menceritakan jika Kaycia memiliki kekasih.
"Baik-baik lo di sini, jangan pernah berurusan sama gue kalau lo mau hidup tentram di sini." ucap Asten.
"Gue gak butuh ceramahan lo. Lagian lo siapa di sini?"
Asten mendengus, "tanya gih sama pacar gue, dia bakal kasih tau siapa gue," Asten menyunggingkan senyumnya.
"Pacar? Pacar lo yang mana ya?" tantang Galu.
"Lo —"
"AWAS!! MINGGIR!!" teriakan Kaycia membuat Asten dan Galu menoleh dengan serentak.
Mereka tak bisa menghindar karena kejadian tersebut sangat cepat. Sehingga motor yang dikendarai Kaycia menabrak Asten dan Galu. Mereka semua melenguh sakit. Sedangkan Kaycia berhasil lompat dari motornya.
"Maaf-maaf," Kaycia membantu Asten dan Galu berdiri.
"Ya ampun Galu, kening lo berdarah!" Kaycia terkejut.
"Bawa motor ugal-ugalan! Kalau gak bisa bawa motor, jangan bawa motor!" omel Asten.
"Sorry, gue— maksudnya aku tadi lupa sama rem," jelasnya, menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Tangan kak Asten juga berdarah!?"
"Ayo ikut ..." lanjutnya menarik tangan Asten dan Galu bersamaan.
Kaycia menuntun mereka ke UKS. Membersihkan luka mereka karena ulahnya.
Kaycia terlebih dahulu mengobati Asten, memplester telapak tangannya. Asten menatap lamat Kaycia yang sedang fokus mengobati lukanya. Tanpa sadar, kedua ujung bibirnya terangkat, lalu menggeleng singkat setelah tersadar.
'kenapa jantung gue berdebar?' batinnya menyentuh dadanya.
"Dada kak Asten sakit?" tanya Kaycia tampak khawatir.
"Nggak,"
Kaycia bernafas lega, takut jika ulahnya berakibat fatal pada kesehatan Asten.
Setelah dirasa cukup mengobati Asten, kini Kaycia beralih mengobati Galu. Kedua pasang mata milik Asten menatapnya nyalang. Tiba-tiba saja jantung yang berdebar berganti menjadi rasa panas yang menjalar.
Dia merasa tak nyaman ketika Galu dan Kaycia saling melempar senyum. Dia melihat disampingnya ada sebungkus plaster. Dia robek bungkus itu lalu memasangkannya pada kening Galu.
"Aw! Sakit bego!" gaduh Galu, Asten terlalu kuat menempelkannya.
"Lebay banget lo! Luka segitu aja harus diobatin!" hardik Asten.
Kaycia dan Galu saling memandang, mencoba saling menyampaikan interaksi mereka melalui mata.
.
.
.
.
To be continue