JALAN PULANG

By cimut998

35.3K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 35

580 31 1
By cimut998

"Adiba?"

"Minumkan air ini," titah Adiba kepada Amara. Jemari lentiknya memberikan sebotol kecil air sebagai penawar racun.

Amara bergegas menyambar botol tersebut, dan meminumkannya pada Ilham. Selang beberapa detik, Ilham berhenti kejang. Mulutnya tak lagi mengeluarkan busa putih. Dan hitungan detik, kedua matanya terpejam.

"Alhamdulillah," puji syukur dipanjatkan oleh Amara.

"Terima kasih, Ba." Imbuhnya.

Gadis itu tersenyum, terlihat dari kedua matanya yang menyipit. Kain yang hampir menutup seluruh wajahnya itu, terhembus angin. Amara tertegun memandang kecantikan Adiba. Gadis itu memang mempunyai aura yang berbeda dari gadis lain. Pantas saja jika Ahmad menaruh hati padanya, itulah yang terpikirkan oleh Amara saat ini.

"Kenapa kamu kembali lagi ke sini, Ba? Bukankah kamu tadi pulang ke desamu?" Tanya Amara, dia terduduk lemas di antara dedaunan kering dan tanah yang tandus.

"Aku takut, jika berlama-lama di sana, justru aku akan kehilangan dirimu, Ra. Kamu perlu tahu semuanya, karena ..." Adiba menatap Amara penuh linang air mata.

"Karena apa?" Tanya Amara penasaran.

"Kiai Sobirin sudah meninggal," jawab Adiba.

"Apa! Tidak mungkin, Bapak ..." tangis Amara pecah.

"Aku harap kamu jangan pernah menginjakkan kakimu di desa itu, Ra. Biarkan Ilham sendiri yang ke sana. Sebab, dia lah yang bisa menolong Ahmad sekarang," ucap Adiba mencoba memberi peringatan kepada Amara.

"Bapak, Ba ... Bapak," isak tangis Amara kian membuncah. Sesekali ia juga melirik ke arah Ilham yang tertidur.

"Jangan pernah tinggalkan aku seorang diri, Ham. Ayo, bangun! Kamu pasti menjagaku, Kan?" Gumamnya dalam hati.

"Setelah Ilham sadar, aku akan membawamu ke tempat yang aman. Tapi, tolong izinkan aku mengajak Ilham, biarkan dia menyelesaikan tugasnya,"

Kening Amara mengernyit. "Tugas? Tugas apa?" Tanyanya dengan spontan.

"Tugas untuk mengakhiri semua masalah yang terjadi di desa, karena tiga serangkai sangat diperlukan di sana." Jawab Adiba.

"Tiga serangkai?" Amara semakin bingung.

"Ya, tiga serangkai. Aku, Ahmad dan juga Ilham." Tegas Adiba.

"Apa maksudmu?" Amara semakin penasaran dengan jawaban Adiba.

Gadis cantik itu melirik ke arah Pak Asep, kondisinya memang terluka parah, akan tetapi itu sama sekali tidak menjamin jika Pak Asep dinyatakan meninggal. Mengingat, Pak Asep sudah hampir menguasai ilmu hitam setingkat dengan Nyai Sekar. Dia tidak akan mudah mati.

"Nanti setelah semuanya selesai, aku akan jelaskan padamu, Ra. Tolong, percayalah padaku." Pinta Adiba. Desir tatap mata itu tampak sendu, linangan air mata seakan hendak berontak andai saja sang pemilik mata mengizinkannya lepas.

"Baiklah. Aku tunggu jawaban kamu," balas Amara. Adiba seketika langsung menganggukan kepala, tak lupa jua ia mengulas senyum manis, walaupun Amara tak menyadarinya.

Waktu terus berlanjut, hampir setengah jam Amara dan Adiba menunggu Ilham sadar. Pemuda itu mencoba membuka mata. Matanya tampak menyipit, ketika melihat cahaya untuk pertama kali, setelah sekian lama pingsan.

"Alhamdulillah," lirih Amara saat melihat Ilham siuman.

"Ra ..." suara Ilham terdengar berat.

Amara membantu Ilham untuk bangkit, dan duduk bersandar di batang pohon besar yang tumbuh di sekitar mereka.

"Adiba ..." Ilham segera membuka kedua matanya lebar-lebar saat mengetahui Adiba juga berada di sana. Gadis itu tersenyum, terlihat dari ujung mata yang menyipit.

"Kamu tidak apa-apa kan, Ham? Apa yang sakit, bagian mana?" Amara terlihat cemas. Ilham hanya menggelengkan kepala, sambil menepis lembut tangan Amara yang meraba tubuhnya. Sontak Amara segera menjauhkan tangan. Ia sadar jika itu sangat di larang oleh agama, kecuali di saat yang genting.

"Aku tidak apa-apa, Ra. Kamu tidak perlu cemas," jawab Ilham sambil tersenyum.

"Kamu sudah bisa jalan belum, Ham? Kita harus segera pergi dari sini sebelum Pak Asep sadar kembali," ucap Adiba memandang ke arah Ilham dengan tatapan tajam.

"Sudah, Ba. Ayo kita pergi da-

Ilham kembali terhuyung ketika hendak berdiri. Amara dengan sigap menangkap tubuh Ilham dan menarik tangannya, kemudian meletakkan tangan Ilham di pundak Amara.

"Hati-hati, Ham. Kamu baru sadar, keseimbangan tubuhmu masih belum stabil," kata Amara seraya memandang wajah Ilham yang berjarak sekian inci darinya.

Ilham menganggukkan kepala, dan berjalan secara tertatih dengan bantuan Amara.

"Ikut aku," titah Adiba, yang kemudian berjalan mendahului keduanya.

Matahari kian menjulang tinggi. Teriknya menyelinap di antara dedauan hijau yang tumbuh lebat memayungi tanah kering yang terpijak oleh kaki. Suara kicauan burung terdengar merdu, entah di mana saja gerangan. Suasana hutan yang masih asri itu, sedikit membuat hati Adiba tenang. Udara segar yang ia hirup begitu menenangkan.

Dari belakang, Ilham dan Amara masih saling berangkulan. Amara dengan langkah pelan, berusaha mengimbangi jalan Ilham. Begitu juga dengan Ilham. Pemuda itu sesekali melempar senyuman, saat Amara memandangnya. Ada sesuatu yang berdebar di sana, ada pula gejolak batin yang sedang bertarung dengan isi kepala. Keduanya tenggelam dalam perasaan masing-masing.

"Kita sudah sampai," ucap Adiba ketika langkahnya terhenti di depan sebuah gubuk tua yang hampir roboh. Perjalanan mereka memakan waktu hampir dua jam. Terkadang, Amara meminta untuk beristirahat sejenak, semuanya terasa letih apalagi melihat kondisi Ilham yang masih dalam pemulihan.

"Apa kamu yakin, ini tempatnya, Ba?" Tanya Amara. Gadis itu tampak ragu melihat gubuk tersebut.

"Yakin, Ra. Selama ini, di sini lah aku bersembunyi. Tempat ini sangat aman dari kejaran orang-orang itu. Dan, hanya orang yang berhati bersih, yang bisa menemukan gubuk ini," jawab Adiba sambil terus melangkah, dan membuka pintu gubuk tua itu.

"Assalamu'allaikum,"

"Wa'allaikumussalam,"

Amara dan Ilham sama-sama terkejut, saat mendengar ada orang yang menjawab salam Adiba. Kemudian keduanya saling beradu pandang, dari raut wajahnya, mereka tengah memikirkan hal yang sama.

"Ra, Mas Ilham, Mari masuk!" Titah Adiba.

Amara mulai melepas tangan Ilham dari pundaknya. Sementara Ilham perlahan berjalan menuju gubuk tersebut bersamaan dengan Amara.

"Assalamu'allaikum ..." Amara sangat terkejut saat hendak masuk ke dalam, dirinya melihat seseorang yang tengah duduk di samping Adiba.

"I ... bu?"

Ilham menoleh ke Amara, lalu kemudian menoleh ke arah wanita yang tengah tersenyum kepadanya dan juga Amara.

"Ra ..." lirih Adiba, mata indah itu tak luput dari deraian air mata.

"Bu ..." Amara berlari dan segera memeluk wanita yang dipanggilnya ibu. Tangis Amara pecah, seketika suasana menjadi haru. Kedua gadis itu saling berpelukan bersama ibunya. Sementara Ilham, hanya duduk terdiam menyaksikan pemandangan haru tersebut.

"Amara rindu, Bu ..." bisik Amara di telinga sang ibu.

Wanita itu hanya mengangguk pelan dan kembali mengelus kepala Amara yang tertutup kerudung.

"Saya dan Mas Ilham pamit dulu, Bu. Doa kan kami," ucap Adiba meminta izin pergi kepada ibunda Amara.

"Hati-hati, Nak. Doaku selalu menyertaimu di mana pun dan kapan pun itu," balas ibunda Amara sambil melepas pelukan Adiba, dan beralih mencium kening gadis cantik itu.

"Titip Amara ya, Bu." Imbuh Adiba. Wanita itu kembali menganggukkan kepala.

"Ayo, Mas." Ajak Adiba, Ilham bergegas mengikuti langkah Adiba, meskipun ia tidak tahu apa maksud dari ajakan tersebut.

"Assalamu'allaikum," pamit Adiba.

"Wa'allaikumussalam," balas Amara dan juga sang ibu.

Adiba berjalan mendahului Ilham, tak lama kemudian Ilham menyusul dari arah belakang. Ia hanya memandang Adiba dari kejauhan, sejak dulu gadis itu memang penuh dengan misteri. Dari mulai berpakaian, cara bersikap dan juga tingkah laku. Bahkan Ilham sangat penasaran dengan paras Adiba yang selalu tertutup cadar.

"Mas," tiba-tiba Adiba berhenti sambil memanggil namanya.

"Ya, Ba." Sahut Ilham mendekat.

"Aku harap kamu baik-baik saja, Mas. Apa yang akan kita hadapi di sana, jauh lebih sulit dibanding dengan ayahmu. Berhati-hatilah! Kau boleh baik kepada siapa pun, tapi tolong, jangan memercayai orang yang baru kau temui," ucap Adiba, sambil terus memunggungi Ilham.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Ba? Dan ada apa dengan itu? Apa hubungannya dengan aku?" Tanya Ilham, ia berusaha menahan emosi dengan membalas ucapan Adiba sembari memandang lurus.

"Mas, semua yang terjadi sudah seharusnya menjadi tanggung jawab kita. Mau dengan cara apa pun, kita tidak bisa menghindari takdir. Waktu kita sangatlah sedikit, tolong jangan membuang waktu untuk percakapan tak penting!" Jawab Adiba dengan nada tegas.

Ilham menarik napas panjang, kemudian mengembusnya lewat mulut. Ingin sekali rasanya membantah kata-kata gadis cantik itu, akan tetapi Ilham memilih untuk diam, sebab ia tahu bahwa berdebat dengan perempuan tidak akan pernah menang, karena perempuan akan selalu mencari pembelaan.

Matahari kian condong ke barat, perjalanan Adiba dan Ilham kembali ke desa cukup memakan waktu yang sangat lama. Padahal, jika malam hari waktu terasa begitu cepat di lalui.

Adiba mulai kelelahan, kedua kakinya terasa pegal untuk berjalan. Langkahnya mulai melamban, melihat hal tersebut, Ilham segera mengajak Adiba untuk beristirahat.

Adiba menyandarkan punggungnya ke batang pohon yang tumbuh besar di hutan. Sesekali ia juga terlihat merapikan gamis yang dipakainya. Gamis hitam yang penuh debu itu, di sekanya dengan jerami lentiknya.

Ada sesuatu yang mendesir di hati Ilham, ketika memandang Adiba cukup lama. Mata itu tak lepas dari setiap gerak-gerik sang gadis. Tak terasa ada senyum yang terulas manis di bibir pemuda tersebut.

Tak ada obrolan selama sepuluh menit berlalu. Ilham masih betah memandang Adiba, sementara Adiba terlihat menunduk, sambil duduk di bawah pohon rindang yang memayungi tubuh mungilnya.

"Di usia lima belas tahun, seharusnya kamu bermain bersama teman sebaya, Nak. Maafkan bapak, sudah memberimu tanggung jawab yang teramat berat," Adiba segera menyeka air matanya yang mulai membasahi penutup wajahnya. Ia ingat dengan kata-kata sang bapak, di saat terakhir Pak Parta berpamitan untuk menemui Nyai Sekar. Pak Parta adalah kaki tangan Nyai Sekar selama di desa. Ia juga yang selama ini meneror desa. Awalnya Adiba merasa marah, tetapi setelah Pak Parta menjelaskan semuanya, Adiba segera memeluk sang bapak dan meminta maaf.

"Ba ..." panggil Ilham.

"Dalem, Mas?" Jawab Adiba.

Ilham tersenyum, sambil membuang napas yang ia hirup sebelumnya.

"Kamu nangis?" Terka Ilham.

Adiba menggeleng sambil mengusap kedua matanya, "Tidak Mas, hanya terkena debu."

Ilham tersenyum kecil, "Mari lanjutkan perjalanan,"

Adiba mengangguk, kemudian beranjak dari duduknya.

"Ba, kalau boleh tahu, siapa wanita yang bersamamu tadi?" Tanya Ilham penasaran.

"Beliau ibunda Amara, istri dari Kiai Sobirin." Jawab Adiba sembari terus melangkah, kedua kakinya berjalan menapaki dedaunan kering yang tersebar di tanah. Sesekali ia, terlihat menendang kerikil kecil, hanya untuk sekedar menghibur diri.

"Benarkah?" Ucap Ilham sedikit terkejut. Pasalnya, selama di Pondok, Ilham sama sekali belum melihat, bahkan bertemu dengan istri dari Kiai Sobirin.

"Ya," singkat Adiba.

Saat hendak melanjutkan kalimat, Ilham segera menutup mulutnya dengan cepat dan menarik lengan Adiba, dan mengajaknya bersembunyi.

"Ada apa, Mas?" Adiba menepis tangan Ilham saat Ilham menarik lengannya dan menyuruhnya bersembunyi di balik semak.

"Ada anak buah Bapak," jawab Ilham sambil menunjuk ke arah seseorang yang sedang berdiri tak jauh dari jalan raya.

Adiba terbelalak melihat orang tersebut. "Mas Baskara?"

"Kamu kenal?" Tanya Ilham.

Adiba mengangguk. "Ya,"



Continue Reading

You'll Also Like

239K 20K 23
Malapetaka pun terjadi, ketika suamiku pergi haji dengan uang pesugihan. Teror demi teror pun datang, hingga mengancam nyawa. Apa yang harus kulakuka...
317K 27.8K 28
Warga sekitar menyebutnya Rumah Dukun. Rumah yang pernah ditinggali oleh Dukun terkenal desa ini. Rumah terkutuk yang kini aku tinggali.
209K 22.7K 24
"Semenjak nenek meninggal, suasana rumah jadi menyeramkan. Nenek suka datang di waktu malam, mengetuk pintu dan jendela. Kadang juga bernyanyi dan me...
86.4K 9.7K 39
"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau...