JALAN PULANG

By cimut998

35.5K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 33

0 30 5
By cimut998

Setelah menutup kepala Amara menggunakan kain hitam, Pak Asep kini berganti mengguyur tubuh Amara dengan air yang sudah ditaburi bunga. Sambil terus menggumam, Pak Asep begitu cekatan melakukan proses penumbalan.

"Ya Allah, jika memang hamba ditakdirkan untuk meninggal seperti ini, saya ikhlas ya Allah ..." lirih Amara. Dingin, itu yang dirasakannya pertama kali, saat air mulai membasahi sekujur tubuh.

Seusai memandikan Amara, Pak Asep segera mengambil sebilah pisau kecil. Pisau yang akan digunakannya untuk menguliti Amara.

"Aaarrggghhh!" Teriak Amara, ketika pisau tersebut menggores kulit tangannya.

"Sakit, Cantik?" Sindir Pak Asep.

"Lepaskan saya! Lepaskan saya!" Teriak Amara.

Pak Asep hanya tersenyum kecil, ia kembali menyayat kulit tangan Amara yang putih.

"Aaarrggghhh!" Lengkingan suara Amara menggema ke seluruh ruangan. Isak tangisnya tak lagi bersuara. Hanya bulir air mata yang menjadi saksi, betapa perih dan sakitnya ia hari ini.

"Kau tumbal yang sudah saya tunggu, saya pastikan kau tidak ak-

BUK!

Pak Asep terjatuh tertelungkup, dengan darah yang mengalir di bagian belakang kepala. Seketika Pak Asep tak sadarkan diri. Di sana sudah berdiri Wawan dengan sebuah balok kayu di tangan.

"Ngapuntene Pak Lek." Wawan segera membuang balok kayu tersebut, dan beralih melepas kain hitam yang sedari tadi menutupi kepala Amara.

"Tolong saya, Tolong lepaskan saya," pinta Amara ketika kedua matanya kembali melihat cahaya.

"Saya akan menolongmu, tenanglah sekejap." Wawan kini melepas ikatan di tubuh Amara. Melihat lengan Amara yang berdarah, Wawan bergegas melepas baju yang ia pakai guna menutup luka yang menyayat kulit Amara, agar sedikit menyumbat darah yang keluar.

"Terima kasih," ucap Amara.

"Cepat pergi dari sini, ajak Ilham ke desa. Dia sangat dibutuhkan di sana. Tolong jangan berhenti hanya karena diganggu jin milik Nyai. Saya yakin, kamu pasti bisa melawannya." Titah Wawan.

Meskipun Amara tidak tahu apa maksud ucapan Wawan, ia sesegera mungkin bangkit sambil menganggukan kepala. Yang terpikir di kepalanya saat ini hanyalah bisa selamat dari kekejian Pak Asep.

Wawan tersenyum lebar, melihat Amara yang tengah berlari keluar ruangan. Terlihat sekilas, dari arah belakang, postur tubuh Amara sangat menyerupai tubuh mendiang istrinya. Air mata tak lagi bisa ditahan, Wawan begitu menyesal karena tak bisa merelakan kematian istrinya yang dibilang tak wajar. Akan tetapi, kali ini rasa itu semakin menggerogoti nuraninya sebagai manusia. Ia takut, dan merasa berdosa telah menuruti hawa nafsunya untuk membalas dendam. Dendam yang ia sendiri tidak tahu akan ditujukan kepada siapa. Ia hanya mengikuti alur yang ditentukan oleh pamannya, Pak Asep.

Dan sekarang, ia sadar semua perbuatannya sudah terlalu jauh melampaui batas norma kemanusiaan. Wawan berharap, akan ada kesempatan untuk ia berubah, meskipun ia sangat tahu, resiko apa yang akan ia peroleh dari perbuatannya selama ini.

"WAWAN!" Geram Pak Asep saat mendapatkan kesadarannya kembali.

"Ngapunten Pak Lek," lirih Wawan. Setelahnya semua menjadi gelap. Yang terdengar hanya suara rintihan seseorang yang sedang menebus dosa.

***

Di tengah kekacauan yang melanda desa, di tepi sudut pemukiman, terdapat dua orang yang saling terdiam. Hanya tatap mata mereka yang berbicara.

"Hentikan semuanya, Nah! Ini semua tidak benar! Tolong, bertaubatlah! Allah masih memberimu kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi. Tolong ja-

"Diam! Semua yang saya lakukan, demi membalas dendam kepada penduduk desa, yang telah keji terhadap saya. Mereka semua membela orang yang jelas-jelas bersalah! Akan saya bunuh semua orang di sini, termasuk kamu, Habidin!" Teriak Nyai Sekar. Wajahnya merah padam, seakan bumi pun hendak di telan.

"Saya tahu, saya salah. Saya sengaja menemuimu di sini, karena saya ingin meminta maaf. Saya harap, kamu pun bisa memaafkan saya." Ucap Kiai Habidin dengan wajah sendu. Air matanya luruh, melihat sang mantan istri berubah menjadi sosok yang asing.

"Maaf? Maaf? Enteng sekali bicaramu! Kalau dengan maaf bisa mengembalikan keadaan, neraka tidak akan penuh manusia biadab seperti kamu, Bidin!" Umpat Nyai Sekar.

"Tolong, maafkan saya. Maafkan saya, Inah!" Kiai Habidin bersimpuh. Ia terus menangis sesegukan, meminta maaf kepada Nyai Sekar atau Maimunah.

Nyai Sekar memang terkenal sakti dan ampuh, tetapi sesakti apa pun dia, Nyai Sekar tetaplah manusia biasa. Jiwanya memang sudah mati termakan rayuan iblis, tapi tidak dengan nuraninya. Sejenak ia termenung. Ingatan tentang masa lalu terlintas cepat dalam pikirannya saat ini. Di mana, ia sedang tertawa lepas dengan Kiai Habidin, saat dirinya belum bercerai. Mengasuh anak semata wayang mereka dengan penuh cinta.

JLEB!

BLES!

Nyai Sekar merasa ada sebuah benda yang ditusukkan ke arah punggung, benda yang panjangnya hampir menembus letak jantung.

"Uhuk!" Nyai Sekar terbatuk, dari mulutnya keluar darah berwarna hitam pekat.

Nyai Sekar segera memutar tubuh, di lihatnya di sana sudah ada seseorang yang sedang tersenyum menyeringai.

"He ... ru!" Suara Nyai Sekar terdengar sedikit parau. Lantas dengan cepat ia menarik benda runcing itu dari punggungnya. Walau sedikit merasa kesusahan.

"Mati kowe, Sekar! (Mati kamu, Sekar!)" Umpat Pak Heru dengan geram.

"Heru!" Seru Nyai Sekar. Napasnya mulai tak teratur. Sedikit demi sedikit, udara di sekitarnya mulai menipis. Ada nyeri di dada, Nyai Sekar berusaha melawan rasa sakitnya dengan memperlambat detak jantung.

"Seharusnya saya bunuh kamu dari dulu, Nah! Perempuan seperti kamu itu sudah sepantasnya pergi ke neraka!" Umpat Pak Heru.

"Hahaha! Guyon kowe, Ru! (Hahaha! Bercanda kamu, Ru)" Ejek Nyai Sekar.

"Kau ...!" Pak Heru geram melihat Nyai Sekar masih bisa tertawa mengejeknya.

"Sabar, Pak Heru." Kiai Habidin berusaha menenangkan Pak Heru.

"Tidak mudah untuk membunuh saya, Heru! Parangmu ini hanya sekadar lidi kecil!" Nyai Sekar melempar parang yang digunakan Pak Heru untuk membunuhnya.

Parang yang berlumur darah itu segera dipungut oleh Pak Heru.

"Sombong kau, Inah!"

"Uhuk, uhuk!" Nyai Sekar terus terbatuk, darah yang mengalir di bagian punggungnya pun kian banyak. Menyadari keseimbangan tubuhnya mulai terganggu, Nyai Sekar segera duduk bersimpuh. Nyai Sekar menatap tajam ke arah dua orang tersebut. Sekujur tubuhnya terasa sangat panas. Ia sangat yakin, parang itu pasti sudah dilumuri racun.

"Sebaiknya kita segera mencari benda itu, Pak. Sebelum Adiba menemukannya. Saya yakin, Kiai Sobirin sudah terlebih dahulu memberitahunya." Ucap Kiai Habidin kepada Pak Heru yang masih berusaha menahan amarahnya terhadap Nyai Sekar.

"Baiklah, ayo kita pergi sekarang." Ajak Pak Heru dengan wajah sinis.

Kiai Habidin hanya menghela napas panjang. Ia begitu memaklumi sifat Pak Heru yang sedikit Keras Kepala. Ia bersepakat untuk berkhianat kepada Kiai Sobirin karena ingin semua masalah yang ada di desa segera selesai dengan tuntas. Akan tetapi, semua dugaanya ternyata meleset. Pak Heru begitu kukuh untuk mendapatkan benda yang konon terdengar ampuh untuk menangkal berbagai macam ilmu hitam. Padahal, benda tersebut sama sekali belum pernah ditemukan. Bahkan, sekelas dukun sakti seperti Suparta.

"Aarggrh!" Desis Pak Heru ketika tiba-tiba kakinya berhenti bergerak. Ada sesuatu yang merayap di dalam kulitnya. Kaki yang kurus itu, seperti kemasukan sesuatu.

"Ada apa, Pak?" Tanya Kiai Habidin.

"Sial!" Umpat Pak Heru, dengan gerakan cepat parang yang di bawanya, di ayunkan tepat ke arah kaki.

SLASH!

Kiai Habidin tercengang, melihat Pak Heru mengoyak kulit di bagian kakinya sendiri. Dan kedua matanya pun hampir tak berkedip melihat seekor kelabang sebesar jempol kaki, keluar dari luka bekas goresan tersebut.

"Sialan kau, Inah!" Pak Heru memutar badan, dilihatnya Nyai Sekar tengah menggumam. Rupanya, Nyai Sekar telah mengirim santet kepada Pak Heru. Semakin dibiarkan menganga, luka di kaki Pak Heru kian berbau busuk. Bukan hanya satu kelabang, tapi beberapa kelabang pun terlihat keluar masuk di area tersebut.

"Astaghfirullahaladzim," ucap Kiai Habidin.

"Saya bunuh kamu, Inah!" Saat hendak melempar parang, Pak Heru dikejutkan dengan kedatangan Ipul, yang terlebih dahulu menangkis tangan Pak Heru.

"Kau!" Seru Pak Heru sembari melotot.

"Tidak perlu menjadi orang munafik, Heru. Akui saja, kau yang sudah menebar fitnah di seluruh desa," ujar Ipul sambil melirik ke arah Kiai Habidin. Pria tua itu segera mengalihkan pandangan, ia takut untuk mengakui kesalahan di masa lalu.

"Jangan sok kamu, Pul! Saya tahu, kamu melakukan ini supaya semua orang di desa membenci saya, kamu salah, Pul! Semua penduduk desa adalah kaki tangan saya, termasuk Soleh dan juga Sulaiman." Ucap Pak Heru, sedikit menyindir Ipul.

"Saya sudah tahu sejak lama, Ru. Tetapi, bagaimana dengan dia?" Ipul menunjuk ke arah semak belukar. Di sana sudah berdiri seorang yang sangat di kenal oleh Pak Heru. Pria itu membulatkan manik matanya, orang tersebut perlahan berjalan mendekatinya. Dan dari remang cahaya sang mentari pagi, wajah seseorang itu semakin terlihat.

"Ahmad?"

Ipul tersenyum manis, menyambut kedatangan Ahmad. Pemuda yang sekian lama pingsan itu, kini tersadar juga. Dari kejauhan, juga datang segerombol orang yang berjalan kian dekat. Mereka adalah sebagian penduduk yang masih tersisa, setelah semalaman bertahan dengan segala teror pocong tanpa kepala.

Pak Heru dan Kiai Habidin terlihat panik. Tapi, Pak Heru berusaha menenangkan diri, dengan mengatur pernapasan.

"Mas, apa benar yang di katakan Mas Popon? Mas, dalang dari semua ini?" Ahmad bertanya dengan mimik wajah serius.

"Jawab, Ru!" Teriak Pak Usman yang menyusul dari belakang.

Continue Reading

You'll Also Like

29.2K 3.1K 21
Wirma, si pemakan mayat. Itu yang tertulis didalam sebuah artikel, aku sebagai penulis horor yang suka berkelana untuk mencari bahan cerita. Tertarik...
21.2K 2K 30
[COMPLETED] Seri Cerita TUMBAL Bagian 5 Baru saja selesai menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan hal gaib, Manda tiba-tiba saja mengalami muntah...
239K 20K 23
Malapetaka pun terjadi, ketika suamiku pergi haji dengan uang pesugihan. Teror demi teror pun datang, hingga mengancam nyawa. Apa yang harus kulakuka...
15.3K 2.3K 20
❗WARNING❗ [JANGAN BACA SENDIRIAN] ~FOLLOW SEBELUM BACA~ Hani menghilang dari rumah secara tiba-tiba pada ulang tahunnya yang kedelapan. Katna tetangg...