The Poem We Cannot Read

By Janeloui22

39.4K 4.7K 1.3K

[ON GOING] To understand something isn't her strongest point. However, the young genius professor that later... More

Cast
Chapter One
Chapter Two
Chapter Three
Chapter Four
Chapter Five
Chapter Six
Chapter Seven
Chapter Eight
Chapter Nine
Chapter Ten
Chapter Eleven
Chapter Twelve
Chapter Thirteen
Chapter Fourteen
Chapter Fifteen
Chapter Sixteen
Chapter Seventeen
Chapter Eighteen
Chapter Nineteen
Chapter Twenty
Chapter Twenty One
Chapter Twenty Three

Chapter Twenty Two

1.2K 149 41
By Janeloui22

Heyaaa~

I believe that it will be somewhere around 9 in Indonesia. Not too early, not too late to publish this chapter. Don't set your expectation too high, I have to say, I kinda lost a bit of sense in fictional writing. Especially, on romantic part. I'll practice to recover and get that sense again any time soon.

As for now, enjoy the new chapter lovely peeps~~~

❄️
❄️
❄️

“Now I have neither happiness nor unhappiness. Everything passes. That is the one and only thing that I have thought resembled a truth in the society of human beings where I have dwelled up to now as in a burning hell.”
—Osamu Dazai—

Pintu depan ditutup sedikit terlalu keras. Langkah Jaemin terburu-buru; dan air mata yang menggenang di pelupuk mata membuat pandangannya berkabut. Pemuda itu mencari pamannya—dia tidak bisa dihubungi sejak kemarin malam. Lalu saat matanya dapat menangkap sosok Jaehyun yang tengah berdiri di taman belakang sambil menengadah ke atas langit, untuk sejuta alasan, hatinya merasa sedikit lega. Hanya sedikit. Jaemin tak bisa mengabaikan fakta kalau Jaehyun benar-benar sedang sekarat. Pamannya itu bisa mati kapan saja. Bahkan mungkin tidak akan bertahan sampai dirinya masuk kuliah. Itu membuat Jaemin frustasi—sekaligus mengutuk siapapun yang menulis skenario hidup Jaehyun sampai sedemikian rupa.

Jaemin menggeser pintu kaca, sama sekali tak berniat menutup-nutupi fakta kalau dirinya menangis bahkan saat sepasang mata Jaehyun menatapnya dengan sayu. Untuk sesaat pemuda itu terdiam. Hatinya sesak. Terutama saat ia melihat senyum yang terulas di wajah pucat Jaehyun. Di bawah cahaya bulan yang redup, Jaehyun benar-benar terlihat seperti malaikat. Dan itu membuat tangis Jaemin pecah. Kenapa Jaehyun harus sakit? Kenapa penyakitnya tidak bisa disembuhkan? Kenapa saat ia berpikir kalau Jaehyun akhirnya bisa bahagia, Tuhan justru memberikan kejutan yang sama sekali tak masuk akal seperti ini?

Tanpa keraguan sedikitpun, ia memeluk Jaehyun. Raungan kecil yang tertahan di kerongkongan turut terhambat oleh fakta kalau memeluk Jaehyun terlalu erat mungkin akan menyakitinya. Jaemin ingin memeluk pamannya sangat erat—ingin menahan dirinya pergi. “Tolong katakan kalau semua itu tidak benar. Kau tidak sakit. Dan yang kau beritahukan pada Minjeong dan ayah itu hanya kebohongan belaka. Kau sedang bercanda. Ayo katakan itu padaku, Jaehyun. Kau bilang kalau aku bisa diterima di perguruan tinggi bagus, kau akan mengunjungiku setiap dua bulan sekali sampai aku lulus. Aku diterima di Yale, aku belajar sangat keras supaya bisa diterima di sana. Kau harus menepati janjimu.”

“Hei, tenangkan dirimu—”

“Bagaimana bisa aku tenang saat mengetahui kalau pamanku sedang sekarat?!” pekik Jaemin memotong ucapan Jaehyun. “Dan apa yang sedang kau lakukan dini hari begini? Kau bisa masuk angin! Aku tahu kalau hidupmu tidak akan lama lagi! Tapi jangan membuatnya jadi semakin pendek, Jung Jaehyun! Kau tahu betapa menakutkannya hal itu buatku, hah?! Bagaimana kalau aku tidak bisa melihatmu besok pagi? Itu membuatku ketakutan! Lalu… kau juga tahu kan kalau satu-satunya orang yang bisa membuatku tidak takut itu hanya dirimu.” Isak tangis Jaemin mencegahnya untuk bicara lebih banyak selain, “Apa yang harus kulakukan kalau kau tidak ada, paman?”

Jaemin hampir tak pernah memanggil Jaehyun dengan sebutan ‘paman’. Sehingga saat bibirnya dengan gemetar mengucapkan itu, Jaehyun bisa merasakan kalau air mukanya perlahan pecah dan dia merasa lebih emosional. Andai Jaemin bisa mendengar suara hati Jaehyun, tangisnya akan keluar lebih dahsyat dari saat ini. Jaehyun tidak ingin mati—apalagi saat ini. Dia ingin sembuh. Dia ingin bersama semua orang yang disayanginya. Bahkan dia juga merindukan musim panas di Edinburgh yang hanya berlangsung di sepanjang bulan Juni sebelum dibasahi hujan dan diterjang badai angin. Jaehyun ingin mengatakan kalau saat ini, bahkan orang sepertinya sekalipun, sangat ingin hidup dan bahagia.

Alih-alih mengatakan hal yang menumpuk di benaknya, Jaehyun justu menuturkan, “Kau bisa melakukan banyak hal, bahkan tanpa kehadiranku sekalipun. Jaemin, kau lebih kuat dari yang kau bayangkan.”

“Itu tidak benar!” bantah Jaemin agak memekik. “Tidak Jaehyun, aku tidak bisa melakukan segalanya tanpamu. Aku akan butuh orang yang bisa mereview essaiku. Aku juga akan butuh pendapatmu tentang hadiah yang sebaiknya kuberikan pada Minjeong atau apa yang sebaiknya kukatakan padanya saat kami tinggal jauh dari satu sama lain. Aku tidak bisa membicarakan hal-hal seperti itu dengan orang tuaku.”

“Kau masih bisa mengobrol dengan Rose. Kalian sering mengobrolkan hal ini, kan? Oh iya, sebaiknya kita masuk ke dalam. Kau bisa terkena demam karena anginnya sangat dingin,” kata Jaehyun sambil menarik keponakannya ke dalam.

“Aku baik-baik saja…” Jaemin bicara lirih, “yang tidak baik-baik saja itu kau.”

Tapi Jaehyun tidak mendengarnya. Jika harus jujur, dia merasa kalau fokusnya terus menurun tanpa kompromi.

“Rose itu pendengar yang baik. Meskipun dia tidak bisa menjadi bibimu, tapi dia bisa menjadi temanmu. Kalian akan baik-baik saja.”

“Kau belum…” Jaemin tidak bisa merampungkan kalimatnya.

“Apa?” sahut Jaehyun setelah mereka duduk di ruang tengah. Jaehyun selalu duduk dan membaca buku di kursi itu. Dan membayangkan kalau aka nada titik di mana kursi itu kosong tanpa pemilik sukses membuat dada Jaemin sesak.

“Kau belum memberitahu Rose tentang hal ini, kan?”

Bungkamnya Jaehyun adalah sebuah jawaban. Dan itu membuat suasana menjadi lebih hening.

“Bagaimana kabar Minjeong?” tanya Jaehyun seolah memindahkan topik.

“Dia baik-baik saja. Suneung-nya berjalan lancar, kurasa Minjeong akan diterima di kampusmu,” terangnya dengan kepala tunduk.

“Sekarang tanggal berapa?” Jaehyun kembali bertanya.

“Tujuh belas. November.”

“Rose akan pulang malam ini,” tutur Jaehyun. Dia memejamkan mata, berharap kalau rasa lelahnya bisa membuat dirinya tidur lelap. Tapi harapannya selalu berakhir tanpa hasil. Alih-alih tidur, dia malah terjaga dan menyaksikan langit berubah warna menjadi biru muda sedikit pucat. “Aku akan memberitahunya nanti malam. Itu rencanaku. Rose itu sangat kuat, tapi kurasa hal ini akan membuatnya terguncang. Aku sangat khawatir. Bagaimana kalau dia tidak bisa menerima semua ini? Bukannya aku tidak berusaha, tapi penyakit sialan ini benar-benar tak bisa disembuhkan.”

Melihat Jaehyun berjalan dengan langkah sempoyongan membuat napas Jaemin tertahan di dada. Pemuda itu menepuk-nepuk dada yang terasa seolah dihimpit sepasang batu raksasa. Tangannya meraih Jaehyun—melingkarkannya di pundak yang tumbuh menjadi semakin kokoh.

“Dulu aku sangat ingin punya tubuh sepertimu. Menurutku kau keren,” kata Jaemin. Suaranya terdengar serak. “Sekarang aku sudah besar, Jaehyun.”

Senyum di wajah Jaehyun terukir tipis. Matanya mengamati Jaemin saat pemuda itu membantunya berbaring di atas kasur. “Sejak kapan kau bertumbuh jadi setinggi ini? Atau aku sedang berhalusinasi?”

“Aku memang tinggi.”

“Itu membuatmu senang?”

“Pertanyaan macam apa itu?”

Jaehyun kembali terkekeh. “Tolong tutup pintunya ketika kau keluar.”

“Kau mau kubacakan dongeng sebelum tidur?” Jaemin mengulangi pertanyaan sebagaimana yang selalu Jaehyun ucapkan saat dirinya masih anak-anak.

“Terima kasih, Jaemin. Tapi aku ingin suasana yang agak tenang.”

Mulut Jaemin membeo. “Baiklah. Aku akan menunggu di luar.”

“Kau juga harus tidur, itu baik untuk anak seusiamu.” Pria itu melanjutkan, “Apa besok kau mau pergi ke pantai?”

“Sejak kapan kau menyukai pantai?” tanya Jaemin dengan kening berkerut.

“Sejak kapan… ya? Entahlah. Tiba-tiba saja ingin pergi ke sana.”

Tanpa menyuarakan kembali kebingungannya, pemuda itu hanya mengangguk, meminta pamannya beristirahat setelah mengiyakan ajakannya. Tidak mungkin Jaemin akan menolak. Bahkan, kalau harus menukar seluruh hal yang dia punya untuk bisa membuat Jaehyun tetap di sini, Jaemin akan melakukannya. Dia selalu bisa hidup tanpa yang lain, tapi tidak tanpa Jaehyun.

Saat dia berjalan keluar dan membaringkan diri di atas kasur, dia kembali memikirkan Jaehyun, menahan keinginan untuk mengamati sang paman dari jarak sedekat mungkin. Dia tidak tahu sampai kapan dirinya bisa melihat dan bersama-sama dengan sosok yang perlahan terasa tidak nyata. Dalam beberapa tahun, bahkan mungkin kurang dari satu tahun ke depan, sosok Jaehyun hanya akan hidup sebagai kenangan dan ide yang terproyeksi dari kerinduan serta kasih sayang dalam benaknya.

Ini sangat aneh. Sudah dua hari sejak Jaehyun membalas pesannya; dan dia juga tak menjemputnya ke bandara. Sepanjang jalan pulang, Rose terus memikirkan hal itu. Meskipun Jaehyun memang bilang kalau dia memang tidak akan terlalu aktif membalas pesan, tapi dia tidak benar-benar menguraikan alasannya. Dia tidak selalu begitu—meskipun komunikasi saat mereka dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh memang kerap kali menjadi masalah, tapi Jaehyun selalu berusaha untuk membalas barang lima atau enam kali dalam sehari. Kecuali, saat dirinya benar-benar sibuk.

Mungkin saat ini dia sedang sibuk. Itu yang terus Rose beritahukan pada dirinya sendiri. Dia menahan diri untuk tidak menyerang Jaehyun dengan setumpuk pertanyaan saat mereka bertemu dalam beberapa menit lagi. Ketika bertemu dengan Jaehyun, Rose hanya ingin memeluknya. Dia sama sekali tak memiliki keraguan terhadap pria itu; dia hanya tahu kalau Jaehyun tidak akan pernah melakukan hal apapun yang akan melukai hati dan menggoyahkan kepercayaannya.

Bahkan Jennie selaku mantan kekasihnya pun mengakui hal itu. Lalu dalam kisahnya, Jaehyun tidak melakukan itu hanya untuk memenuhi kewajiban belaka, tapi karena pria itu memang mencintainya. Itu bukan sebatas hipotesa atau kepercayaan diri tanpa dasar—hati dan jiwa Rose tahu kalau itu memang perasaan yang Jaehyun miliki terhadapnya.

“Kak Baekhyun, menyetir lebih cepat, aku mau segera bertemu dengan Jaehyun.”

Baekhyun melirik melalui kaca spion, “Sebentar lagi kita sampai. Tidak perlu terburu-buru, nanti kalau celaka bisa jadi masalah. Sudah, istirahat dulu saja. Kau tidak mau bertemu Profesor Jung dalam keadaan lelah, lunglai, dan lusuh kan?”

“Memang aku kelihatan lusuh?” tanya Rose serius.

“Tidak, sih. Kau kelihatan sangat okay.”

Tidak ada tanggapan dari Rose. Matanya memang tertutup setelah itu, tapi jelas bukan tidur. Sebab setelah beberapa menit, ketika mobil berhenti di pekarangan rumah Jaehyun, dia langsung melompat keluar. Rose tidak perlu menunggu dibukakan pintu, secara teknis, dia memang tinggal di sana. Bahkan kuncinya sudah disiapkan sejak mereka masuk ke dalam mobil dari bandara.

Saat pintu terbuka, sosok yang pertama menyambutnya adalah Hank. Jaemin juga ada di situ, kelihatan sangat lelah dan murung. Meski begitu, pemuda itu tetap menyapa dan merangkulnya.

“Jaehyun sedang di kamar mandi. Kurasa dia masuk angin,” katanya serak.

“Kau sakit? Kalian habis dari mana?” Rose bertanya sambil berjalan menuju kamar Jaehyun.

“Aku habis bertemu Minjeong kemarin. Lalu tadi kami pergi ke pantai.” Jawaban Jaemin sedikit dipaksakan. Sangat tidak biasa. “Paman kurang enak badan. Jadi kalau dia tidak terlalu heboh saat menyambutmu, itu bukan karena dia tidak senang. Dia hanya… lelah.”

Rose menangguk, menerima informasi yang sebenarnya ia pun sudah tahu. “Jaehyun memang bukan orang yang senang menunjukkan emosi secara excessive, kan?”

“Barangkali kau mengharapkan sambutan yang sangat hangat saja,” ucapnya.

“Tidak. Aku baik-baik saja,” sahutnya. “Ngomong-omong, kau benar-benar akan kuliah ke Yale?”

Kepala Jaemin menyembul dari balik sofa. “Begitulah.”

“Selamat! See, kau memang sangat pintar.” Rose memuji sambil menyunggingkan senyum manis.

“Walau bagaimanapun, aku ini keponakannya Jung Jaehyun. Sudah, sana pergi. Aku mau menelpon Minjeong,” kata Jaemin berlagak mengusir. Tapi setelah Rose masuk ke kamar Jaehyun, pemuda itu justru menarik laptopnya keluar, mencari beberapa jurnal hanya untuk mengalihkan pikiran. Dalam momen seperti ini, Jaemin bahkan tak bisa menjadikan Minjeong sebagai tempat bergantung.

Sementara itu, di dalam kamar Jaehyun, lampu masih dimatikan ketika Rose melangkah masuk dan menghampiri kekasihnya yang baru keluar dari kamar mandi. Dia tidak bisa memastikan apakah tatapan mata mereka bertemu atau Jaehyun hanya kebetulan melihat ke arahnya. Satu hal yang pasti, bahkan dalam sekali lihat, Rose spontan merasakan ketakutan yang mengalir deras. Itu bukan jenis rasa takut yang membuatnya merasa terancam—dia takut kehilangan. Entah kenapa, ketika melihat dan memeluk Jaehyun, dia tiba-tiba dilanda ketakutan akan ditinggalkan.

“Kau di sini,” jadi kalimat pertama yang Jaehyun ucapkan padanya.

Rose masih memeluk Jaehyun, merasakan tubuh yang secara drastis kehilangan bobot dan tenaga. “Kau masuk angin? Tapi kenapa rasanya…” Rose tak bisa melanjutkan kalimatnya. Perlu beberapa saat sampai dia mengatakan, “Jaemin bilang kau sedang tidak enak badan. Mau kumasakan sesuatu? Bubur buatanku selalu enak.”

“Tunggu sebentar. Peluk aku seperti ini, sebentar lagi saja.” Bahkan suara Jaehyun juga kedengaran sangat lemah. Bohong kalau keadaan ini tak membuat Rose kahwatir. “Aku baik-baik saja, jangan khawatir.”

“Tapi kau… tentu, tentu, kau baik-baik saja.”

“Aku tidak akan mati besok,” ucap Jaehyun. Tawa kecil setelahnya menandakan kalau dia hanya bercanda. Tapi bagi Rose, itu kedengaran seperti sebuah bantahan akan fakta besar yang tidak mau diungkapkan. Melihat tatapan yang semakin sendu dan dipenuhi ketakutan, Jaehyun lantas melonggarkan pelukannya, mengecup bibir Rose selama beberapa saat, lalu kembali memeluknya. “Welcome home, my love. I really miss you.”

Tiba-tiba saja air mata keluar membasahi pipi Rose yang agak tirus. Tur kali ini benar-benar sangat melelahkan—terutama dengan jadwal yang selalu ditengahi pemotretan dan fashion show. Menjadi selebritis papan atas memang sulit. “Kalau rindu, seharusnya kau menelponku.”

“Rasanya sangat sulit karena aku tidak bisa memelukmu. Aku tidak suka long distance relationship. Maaf karena aku agak egois,” tutur Jaehyun. Ini memang menjadi kesulitan yang kerap kali dia suarakan. Oleh sebab itu saat jadwalnya tidak terlalu sibuk. Jaehyun akan selalu menemuinya, tidak peduli di negara manapun.

“Jangan meminta maaf. Aku kan sudah tahu itu, aku cuma menggodamu. Tubuhmu panas sekali. Mau memanggil dokter ke sini saja? Iya, sebaiknya memang begitu.”

“Tidak usah,” tolak Jaehyun sambil melepas rengkuhannya. Ia duduk di tepian kasur, lalu berbaring dalam posisi horizontal. “Kemarilah, aku mau tidur di sampingmu.”

“Aku belum mandi.” Rose membaui dirinya sendiri.

“Tidak masalah. Aku mau tidur sambil memelukmu.”

Tanpa penolakan, Rose segera menghampiri. Dia pun sangat merindukannya. Rose mau menghabiskan sebanyak mungkin waktu dengan Jaehyun. Bahkan, sebenarnya, tanpa diminta sekalipun, dia selalu suka berbaring dan tidur dalam pelukan pria itu. Jaehyun selalu terasa hangat dan menenangkan; sekarang pun begitu.

“Rose?” suara Jaehyun terdengar lembut.

“Hm?” pelukan di tubuh Jaehyun sedikit melonggar. Rose menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya.

“Aku berpikir untuk memberitahukan ini nanti. Bahkan mungkin tidak sama sekali. Tapi kupikir itu akan sangat tidak adil untukmu,” katanya semakin membuat bingung.

“Mengatakan apa?” tiba-tiba Rose merasa sangat gugup.

Ada jeda panjang sebelum Jaehyun kembali buka suara. “Aku sakit.”

Tenggorokan Rose tercekat. Ia tidak bisa memberikan respon dalam bentuk apapun.

“Fatal insomnia.”

Rose masih tidak merespon.

“Kau pernah dengar tentang fatal insomnia?” Jaehyun menunggu sampai Rose memberikan respon, tetapi kekasihnya itu tetap diam. “Aku tidak bisa tidur—singkatnya seperti itu.”

“Itu penyakit yang sama dengan ibumu,” kata Rose dengan suara bergetar. “Itu penyakit yang membunuh ibumu.”

“Mungkin akan jadi penyakit yang membunuhku juga,” kata Jaehyun dengan senyum yang tersungging lemah. “Ini akan jadi cerita yang agak membosankan. Kau mau mendengarkan?”

Seluruh momen yang dia habiskan dengan Jaehyun tak ubahnya coretan tinta permanen di tembok putih yang tidak bisa dia hapus dengan mudah. Oleh sebab itu saat Jaehyun mulai bercerita, ketika dia pun bahkan tidak bisa merampungkan untaian kalimatnya sendiri, Rose dapat merasakan dunianya mendadak runtuh. Mulutnya seolah dibungkam paksa oleh kenyataan yang tidak ingin didengar. Dalam pelukan Jaehyun, Rose hanya terdiam, dan menangis tanpa suara.

To Be Continued

Sekarang kalian paham kan kenapa aku publishnya di waktu malam? Supaya bisa menangis dengan tenang. Good luck for the next chapters, it will be dramatic and emotional.

Please stick with me till the end. I'm more than happy to have you all here. Thank you thank you!!

💖❤️💛🧡💞💗💝💘💙💚🍑🌹

Continue Reading

You'll Also Like

16.5K 2.1K 18
[Completed] Cinta yang terjalin di antara Jeon Jungkook dan Kim Yerim adalah sebuah keterlanjuran. Tragedi yang sesungguhnya. Saat Jungkook datang, s...
80.4K 7.8K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
9.4K 1.3K 16
17+ [ 𝐟𝐞𝐚𝐭 𝐫𝐨𝐬𝐞, 𝐣𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧, 𝐞𝐮𝐧𝐰𝐨𝐨 - 𝐨𝐧 𝐠𝐨𝐢𝐧𝐠 ] Roseanne harus menerima kenyataan bahwa 'Cerita Bahagia' yang ia tulis sede...
170K 16K 26
• Completed! Wendy sangat mencintai Chanyeol, namun pria itu tidak mencintainya. Akankah Chanyeol membalas perasaan Wendy? pastelseungwan © 2018 Bea...