JALAN PULANG

By cimut998

35.7K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 32

588 32 0
By cimut998

Kiai Sobirin bergegas menuju tempat yang di perintahkan oleh Suparta. Pria sepuh itu berjalan tertatih sambil membawa tongkat. Kejadian di desa cukup menguras tenaganya. Belum lagi, ia begitu khawatir dengan keadaan sang putri. Dalam hati seakan menyesal telah menyuruh sang putri untuk mengambil benda yang dimaksud. Namun, jika mengandalkan dirinya, belum tentu sang waktu akan berhenti sejenak. Tentu saja, malam akan segera berganti pagi. Dan semua warga yang masih tersisa, belum tentu bisa diselamatkan.

"Kau tidak bisa mengecoh saya, Sobirin!"

Kiai Sobirin menghentikan langkah dengan cepat, menghirup udara dengan hidung, dan mengembus perlahan lewat mulut.

"Apa yang kau mau, Ta? Mengapa kau kembali lagi ke sini? Bukankah kau bilang bah-

"Jangan bergurau denganku, Sobirin! Saya kemari bukan untuk melawan atau menolong warga di sini. Saya hanya ingin mengajak anak saya pergi dari sini, sebelum istrimu itu membunuhnya." Sela Suparta.

"Anak? Anak yang mana? Kedua anakmu sudah mati, Suparta. Apa kau lupa, kau sendiri yang membunuh janin yang dikandung Lastri. Dan sekarang, kau datang di saat desa sedang dalam kekacauan, sungguh lucu hidupmu, Parta!" Sindir Kiai Sobirin.

"Membunuh? Lastri? Hahahaha!" Suparta tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat Kiai Sobirin terheran-heran.

"Saya tidak pernah membunuh Lastri, justru dia yang membunuh dirinya sendiri. Saya tahu semuanya, Sobirin. Kamu adalah ayah dari janin itu kan?" Lanjut Suparta, dengan senyum menyeringai.

Kiai Sobirin terdiam. Raut wajahnya tegang. Tubuhnya terasa kaku sejenak. Hanya buliran keringat yang meluncur deras di pelipis.

"Di mana anak saya, Sobirin! Kau sembunyikan di mana dia?" Tanya Suparta.

"Anakmu sudah mati!" Jawab Kiai Sobirin dengan lantang.

"Jangan membuat saya marah, Sobirin!" Suparta dengan cepat menarik kerah kemeja yang di pakai Kiai Sobirin. Usianya memang sudah tak lagi muda, namun sedari dulu Suparta memang memiliki fisik yang cukup kuat. Cengkeraman di kerahnya, membuat Kiai Sobirin kesulitan bernapas.

"Cepat katakan! Di mana anak saya!" Gertak Suparta.

"Dia sudah mati!" Seru Kiai Sobirin.

BLES!

Suparta menusuk perut Kiai Sobirin dengan sebilah pisau. Kiai Sobirin terkulai, perlahan tubuhnya ambruk. Kiai Sobirin mulai ada sesuatu di dalam dirinya. Sesuatu yang tak biasa. Hawa panas mulai menjalar dari luka akibat tusukan tersebut. Dadanya dirasa semakin sesak. Belum lagi rasa mual di perut yang sedari tadi mengganggu.

"Ini pertanyaan terakhir saya, di mana anak saya, Sobirin?" Suparta mendekatkan wajahnya ke wajah Kiai Sobirin. Tiap katanya penuh penekanan.

"Saya sudah berulang kali men ... uhuk! Uhuk!" Kiai Sobirin terbatuk. Dari mulutnya keluar darah kental yang berbusa. Tentu saja Kiai itu terkejut.

"Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, li-

"Anakmu sudah mati, Parta! Saya sendiri yang menguburnya." Potong Kiai Sobirin. Pria sepuh itu berusaha berkata jujur, meskipun selalu dianggap berbohong oleh Suparta.

Bles! Bles! Bles!

Suparta yang naik pitam, kembali menusuk perut Kiai Sobirin berulang kali. Ia tak peduli berapa banyak racun yang akan menggerogoti tubuh pria renta itu.

Di saat dirinya sudah puas, Suparta menendang tubuh Kiai Sobirin. Pria sepuh itu hanya berguling di tanah tanpa perlawanan. Darah mengalir deras dari perutnya. Kiai Sobirin kehabisan tenaga. Ia memandang Suparta dengan tatapan iba.

"Pu-putramu, sudah lama mati, Parta. Sementara putrimu sekarang ada di ..." Kiai Sobirin tak melanjutkan kalimatnya. Kedua matanya membesar, sekujur tubuhnya membiru. Napasnya mulai terdengar pelan. Ia merasa, racun yang masuk ke dalam tubuhnya, sudah menembus area jantung. Detak nadinya tak lagi sama. Pandangan matanya pun semakin memudar. Tak lama kemudian pria sepuh itu mengembus napas terakhir.

"Hei! Katakan di mana anak saya! Sobirin! Jangan mati dulu! Hei!" Teriak Suparta sembari menendang tubuh Kiai Sobirin.

"Sial!" Umpat Suparta. Ia begitu menyesal telah membunuh Kiai Sobirin sebelum mendapatkan informasi tentang anaknya.

"Saya tahu di mana putrimu, Mbah!"

Suparta segera menoleh, di sana sudah berdiri Yudi dengan tangan berlumur darah. Pakaian yang ia kenakan juga tak lagi berbentuk. Banyak luka sayatan di tubuhnya. Namun, pemuda itu masih berdiri tegap di hadapan Suparta.

"Yudi ... akhirnya dirimu datang juga, Nak. Katakan pada saya, di mana anak saya! Ayo, cepat katakan!" Seru Suparta tak sabaran.

"Benar kata Kiai Sobirin, Mbah. Anak Mbah sudah lama mati. Saya tahu di mana letak makamnya." Balas Yudi.

"Kau bohong, Yud. Kau sama saja dengan Sobirin. Pembohong!" Teriak Suparta.

"Saya tidak pernah berani berbohong kepada Mbah. Semenjak saya pindah ke sini, saya pun sudah tahu bahwa anak Mbah sudah lama meninggal. Jasadnya di kubur di salah satu perkebunan warga. Tetapi, saya tidak tahu siapa yang menguburkan anak Mbah. Yang jelas, Pak Heru satu-satunya orang yang tahu akan masalah ini." Yudi memberi penjelasan kepada Suparta.

"Heru ...! Heru ...! Keponakan Alif?" Suparta mencoba mengingat nama itu.

Yudi mengangguk. "Ya, Ketua RT di sini."

***

"Nyai? Siapa Nyai, Pak?" Tanya Ilham.

"Dia lah pemimpin Bapak selama ini! Yang sudah memberikan kekayaan dan kekuatan kepada Bapak. Dan juga, yang sudah memberikan separuh nyawanya untukmu." Jawab Pak Asep.

"Pemimpin? Pemimpin apa? Apa yang Bapak katakan?" Ilham semakin kebingungan.

"Jangan banyak tanya! Sekarang, minggir! Bapak akan menghabisi gadis itu!" Pak Asep kembali mendorong tubuh Ilham. Namun pemuda itu berusaha melindungi Amara.

"Bapak tidak segan-segan menyakitimu, jika kamu terus menghalangi Bapak!" Ancam Pak Asep.

"Bunuh saja, Pak! Ilham pun tidak sudi mempunyai orang tua yang keji seperti Bapak!" Seru Ilham.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi Ilham. Pemuda itu meringis, dengan tatapan benci.

"Jaga ucapanmu! Sikapmu ini sama sekali tidak mencerminkan anak santri! Bedebah!" Umpat Pak Asep. Amara menggigit bibir. Seakan ia pun ikut merasakan pedihnya tamparan itu.

Pak Asep berganti menjambak rambut Ilham. "Ini? Seperti inikah didikan Sobirin padamu, hah!"

"Setidaknya, Kiai Sobirin lebih punya hati nurani, dibanding Bapak!" Seru Ilham. Wajahnya memerah. Emosinya sudah di ujung kepala. Rasanya ingin sekali melawan sang bapak. Sayang, ia harus menahan amarahnya di depan Amara.

"Hahaha! Hahaha! Apa kau bilang, hati? Nurani? Hahaha!" Pak Asep tertawa kencang mendengar kata-kata yang diucapkan Ilham.

Pak Asep menjambak rambut Ilham dengan kencang. "Kau tahu, justru dia lah dalang di balik semua ini, Ham."

"Pak Lek!" Tegur Wawan. Pak Asep menoleh, sambil tersenyum.

"Apa? Kamu mau tak jambak juga, Wan?"

Wawan kembali terdiam.

"Istighfar, Pak. Eling, nyebut!" Ucap Ilham.

"Persetan!" Pak Asep melepas jambakannya, kemudian meninju perut Ilham. Pukulan di perutnya, membuat Ilham sedikit mundur dari tempatnya. Sambil menahan sakit, Ilham masih berusaha melawan sang bapak.

"Jangan buat saya semakin marah, Ham!" Dengan satu kali pukul, Ilham langsung terkapar di lantai. Rupanya Pak Asep memukul Ilham tepat di ulu hati. Pemuda itu sama sekali tak bergerak. Hanya kedua matanya saja yang terlihat berkedip.

"Ham!" Amara mencoba membantu Ilham, tapi sayang, tangannya sudah lebih dulu di cengkeram oleh Pak Asep.

"Malam ini, kamu akan menjadi tumbal terbaik saya, hahaha!" Dengan perasaan senang, Pak Asep menarik tangan Amara dengan paksa. Menyeretnya untuk masuk ke salah satu ruangan. Tentu saja Amara berusaha melawan. Tetapi tetap saja, ia kalah tenaga.

Sementara Wawan hanya bisa diam mematung. Ia tak berani mencegah, bahkan menghalangi Pak Asep. Mencoba melawan pun, ia kalah telak. Akhirnya, Wawan hanya menolong Ilham. Walaupun dalam hati, ia ingin sekali membantu Amara.

"Lepas! Lepaskan saya!" Teriak Amara. Tangannya berulang kali memukul pundak Pak Asep. Pria itu justru semakin mengeraskan volume tawanya, melihat tingkah Amara yang dianggap konyol.

Pak Asep membawa Amara ke ruangan yang penuh dengan dupa. Di depan sana, terdapat sebuah dipan kayu yang penuh dengan noda darah. Ada pula beberapa bunga kering yang menempel di ujung dipan. Amara mulai ketakutan. Bukan hanya bekas darah yang ia lihat, melainkan ada juga sisa-sisa daging yang tersebar di lantai.

"Saya mohon, lepaskan saya!" Rengek Amara pada Pak Asep.

"Diam!" Bentak Pak Asep.

Amara terdiam. Bibirnya tak lagi mampu bergerak. Kepalanya tak lagi bisa berpikir jernih. Bayangan kematian seakan memenuhi isi kepalanya. Air mata mulai meluncur deras membasahi pipi.

"Sini kamu!" Pak Asep berganti menarik tangan Amara, dan menyuruhnya duduk di sebuah bangku. Di samping bangku tersebut, terdapat beberapa alat mandi. Gayung, sebuah gentong kecil berisikan air. Dan beberapa bunga yang mengambang di atasnya.

"Sudah lama saya mengincarmu, terlebih kamu adalah anak Sobirin. Orang yang selama ini saya benci. Betapa beruntungnya saya hari ini, karena kamu datang sendiri untuk menyerahkan nyawamu. Benar kata Nyai, menggunakan Ilham sebagai umpan adalah ide terbaik." Ucap Pak Asep sembari mengikat tangan dan juga kaki Amara menggunakan tali.

"Apa yang Bapak lakukan ini, semuanya tidak benar, Pak. Bapak dikendalikan hawa nafsu. Kehidupan abadi itu tidak ada, Pak. Allah sudah menentukan garis takdir seseorang, dan Bapak tidak akan bisa menyangkalnya. Bertaubat, Pak. Kembalilah ke jalan yang benar," Amara berbicara sebisanya. Ia sendiri tak sengaja mengeluarkan kata-kata tersebut. Yang ia ingin kali ini, hanyalah bisa kembali pulang dengan selamat, seperti janjinya kepada Adiba.

"Saya akan bertaubat, kalau saya sudah mati, gadis bodoh!" Seru Pak Asep tepat di depan wajah Amara. Senyum yang sedari tadi menyeringai tajam, mencoba memberitahu kepada gadis belia itu untuk menyerah.

"Lepaskan saya!" Pinta Amara.

Pak Asep menyeringai, sesaat. Sebelum pandangan Amara berubah menjadi gelap, akibat tertutup kain hitam.

"Ini tidak akan sakit," bisik Pak Asep.

Continue Reading

You'll Also Like

600K 63.7K 33
[Update tiap Rabu dan Jum'at] Ghost [Normal] Mystery [Hard] Riddle [Hard] *** Ada beberapa pantangan penting di Desa Widi. Tidak ada yang boleh ke...
4.1M 60.7K 10
karena kecerobohanya Rara harus rela menjadi istri simpanan sang tuan rumah, Darka.
72.8K 3.8K 16
Banyak hal di dunia ini yang tak pernah kita duga, termasuk mereka yang hidup berdampingan dengan kita tapi tak pernah kita lihat. Mereka berkomunik...
239K 20.1K 23
Malapetaka pun terjadi, ketika suamiku pergi haji dengan uang pesugihan. Teror demi teror pun datang, hingga mengancam nyawa. Apa yang harus kulakuka...