JALAN PULANG

Por cimut998

35.5K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... Más

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 29

598 39 2
Por cimut998

"Hahaha!" Nyai Sekar tertawa keras mendengar ucapan Yudi barusan.

"Cinta? Kau bilang cinta? Apa saya tak salah dengar, cinta?" Ledek Nyai Sekar sembari memamerkan wajah tengil.

"Ya! Saya mencintainya!" Tegas Yudi.

Wus! Seketika tubuh Nyai Sekar berpindah tempat. Jemarinya sudah berada di leher Yudi. Mencengkeramnya begitu kuat. Tentu saja, Yudi terkejut, pernapasannya mulai terganggu.

"Jangan percaya dengan cinta, cinta itu omong kosong!" Tukas Nyai Sekar, jemarinya semakin mengerat.

"Uhuk, uhuk." Yudi mulai kewalahan. Meskipun ia sudah berusaha melepaskan diri, namun tetap saja tenaganya terkuras habis, sebab cengkeraman Nyai Sekar begitu kuat.

Indah hanya berdiam mematung melihatnya. Ia dilanda bimbang. Jauh di lubuk hati, ia menolak semua perbuatan yang selama ini dilakukan. Namun, hawa nafsu terlanjur menyeretnya masuk ke lubang kemaksiatan. Tak terasa, buliran air mata terjatuh membasahi pipinya.

"Hiks, hiks," Indah menjatuhkan diri ke tanah. Melempar pisau yang sedari tadi ia genggam. Menangis terisak kemudian bersujud.

"Astaghfirullahaldzim," lirihnya sambil terus menangis.

"Bangkit, gadis bodoh! Jangan terlena dengan ucapannya, semua laki-laki itu sama. Penipu handal yang pintar merayu wanita!" Seru Nyai Sekar.

Indah tak menghiraukannya, justru ia semakin mengencangkan tangisan. Dadanya terasa begitu sakit, entah itu penyesalan, atau apa. Indah sendiri tidak tahu.

"Nyai! Nyai!" Tiba-tiba ada seorang pemuda yang lari terbirit-birit menghampiri Nyai Sekar.

"Ada apa? Kenapa kau teriak seperti itu!" Tanya Nyai Sekar.

"I-itu ... i-tu, si Heru, dan para warga mengamuk," jawab pemuda tersebut.

"Biarkan saja, mereka tidak akan mampu melawan kita. Sekarang, kembalilah ke sana. Persiapkan rencana selanjutnya, saya akan segera menyusul. Saya tidak akan berhenti menyerang dan meneror mereka sebelum Bajingan itu keluar!" Titah Nyai Sekar kepada pemuda itu.

Dengan langkah cepat, pemuda tersebut berlari menuju desa. Namun, ia sempat melirik ke arah Yudi, ada tatapan yang berbeda dari pemuda itu, sebelum suara langkah kakinya hilang tersapu angin.

"Sekarang, kamu harus menuruti keinginan saya, pemuda bodoh! Pergi dan ajak Heru ke sini, kalau tidak, saya akan membunuh gadis itu, dan mencincang tubuhnya tepat di depan matamu," ancam Nyai Sekar sembari melirik ke arah Indah. Yudi yang sedari tadi kesulitan bernapas, seketika menganggukan kepala.

Nyai Sekar melepas cengkeraman tangannya di leher Yudi. Pemuda itu terbatuk-batuk. Kini udara di sekitarnya terasa luas, dibanding sebelumnya.

"Enyahlah kau!" Usir Nyai Sekar. Yudi dengan cepat, berlari menembus kegelapan. Perasaannya sedang kacau saat ini. Apakah yang dia lakukan ini benar? Untuk kesekian kalinya, Yudi menolak kata hati, hanya demi menolong orang lain.

***

Di tempat lain, Pak Asep dan rekan-rekannya, tampak menyiapkan suatu acara. Ia melakukan ritual pengabdian untuk Ilham. Alasan Pak Asep memasukkan Ilham ke Pondok, hanya karena ingin leluasa memata-matai Kiai Sobirin. Sudah lama Pak Asep curiga dengan Kiai tersebut. Sejak peristiwa kelam yang menimpa desa, sosok dukun yang menjadi rival Suparta tiba-tiba menghilang. Setelah lama di selidiki, ternyata Sobirin, merubah penampilannya, dan mendadak membangun sebuah pesantren.

"Pak Lek, apa Pak Lek sudah yakin, kalau Ilham harus mengikuti jejak kita? Apa sebaiknya kita tanya dulu saja, siapa tahu Ilham berubah pikiran." Wawan membuka percakapan. Ia sedikit tegang, melihat Pak Asep yang sedang memandikan Ilham dengan darah beserta kembang tujuh rupa.

"Saya tidak mau putus di tengah jalan, Wan. Saya ingin Ilham hanya mengabdi kepada Nyai. Dia sudah terlalu lama tersesat, karena ajaran Sobirin." Balas Pak Asep sambil terus mengguyur segayung darah ke tubuh Ilham.

Sama seperti Ahmad, Ilham juga sedang tak sadarkan diri. Entah setan apa yang merasuki Pak Asep. Anak laki-laki semata wayangnya yang begitu rajin beribadah, kini justru dijerumuskan ke hal yang tidak di benarkan oleh agama.

"Tapi, Pak Lek ..." Wawan segera menjeda kalimatnya. Ia mengurungkan kalimat yang hendak ia tanyakan kepada pamannya itu.

"Tapi apa, Wan? Kalau bicara itu jangan setengah-setengah. Bicara saja tidak usah sungkan," pinta Pak Asep ketika menyadari Wawan sengaja menjeda kalimatnya.

"Tidak apa-apa, Pak Lek. Saya cuma kagum saja sama Pak Lek." Wawan berkilah dengan memuji Pak Asep. Ia sengaja melakukannya supaya pria itu tak lagi mencurigainya. Pak Asep adalah tipikal orang yang haus pujian, ia begitu mudah tersanjung ketika ada orang yang memujinya.

"Kamu itu dari dulu tidak berubah, Wan. Saya bangga sama kamu," ujar Pak Asep dengan tersenyum.

"Ham, sepertinya saya harus segera menyelamatkanmu," batin Wawan.

Ritual mandi darah pun selesai. Pak Asep kini beralih mengambil secawan darah dari gentong. Darah kental yang berbau anyir itu, di dapat dari berbagai macam cara. Pak Asep, terkenal kejam jika mengeksekusi korbannya. Ia tak memandang siapa pun orangnya, termasuk istrinya sendiri.

Setelah selesai memandikan Ilham, Pak Asep berpindah ke ruangan lain. Ia harus menyuruh Ilham meminum setetes darah milik Nyai Sekar sebagai tanda pengabdian. Pak Asep menitipkan Ilham sebentar ke Wawan. Pria itu hanya mengangguk.

Usai kepergian Pak Asep, Wawan segera membangunkan Ilham. Ia menggoyangkan tubuh Ilham dengan kasar, berusaha sebisa mungkin agar pemuda itu lekas bangun.

"Ayo, Ham. Bangun, Ham! Kamu tidak boleh ikut tersesat seperti kami, Ham! Sadar, Ham! Sadar!" Ucap Wawan sambil mengulang-ulang perbuatannya.

Namun, usahanya tak membuahkan hasil yang bagus. Ilham masih bertahan di alam mimpi. Pemuda itu sama sekali tak bergerak sedikit pun, walaupun Wawan sudah sangat kencang menggoyang tubuhnya.

Wawan hampir putus asa, ia tak tahu lagi bagaimana caranya membuat Ilham terbangun. Air matanya mulai menggenang di ujung mata, pria itu tampak menyesal. Rupanya, amarahnya di waktu itu membuat dirinya jauh dari ketenangan. Ia selalu merasa cemas, kala usai melakukan aksi kejinya.

Kedua tangannya sudah terlalu lama menyakiti orang lain. Bahkan, tangan tersebut juga sudah menghilangkan begitu banyak nyawa demi ambisi yang tak pernah usai.

"Hust! Hust!"

Seketika Wawan menengadahkan wajah. Ia mendengar ada seseorang yang memanggilnya.

"Siapa kamu?" Tanya Wawan saat melihat seorang gadis yang tengah melambai ke arahnya.

"Kemarilah," pinta sang gadis.

Wawan beranjak, kemudian berjalan menuju gadis tersebut.

"Amara!" Wawan terkejut, ketika melihat gadis yang memanggilnya adalah Amara, anak Kiai Sobirin.

"Izinkan saya membantu, Anda, Pak. Saya akan membantu semampu saya." Ucap Amara setengah berbisik.

"Dari mana kamu tahu tempat ini! Dan kenapa kamu bisa ada di sini?" Wawan masih tak percaya jika gadis tersebut sangat berani masuk ke dalam rumah Pamannya.

"Nanti akan saya jelaskan. Saya mohon, izinkan saya membantu Anda," pinta Amara lagi.

Wawan mengembus napas pelan. "Baiklah. Sebaiknya kamu harus berhati-hati, sebab Paman saya orangnya tak kenal belas kasih,"

Amara mengangguk. Kemudian berjalan pelan mendekati Ilham. Hatinya terasa terenyuh, melihat pemuda malang itu. Meskipun benih-benih asmara belum tumbuh di dalam hatinya, namun melihat kondisi Ilham sekarang membuat gadis itu merasa iba.

"Aku akan menolongmu, Ham. Ini bukti jika aku peduli padamu," lirih Amara. Ia meletakannya jemarinya di kening Ilham. Mendekatkan bibir ke telinga pemuda tersebut.

"Bismillahirrahmanirrahim, Allahu la ilaha illa huwal hayyul qayyum ..." Amara membaca ayat suci tepat di telinga Ilham.

Tak lama kemudian tubuh pemuda itu mengalami kejang. Wawan terkejut, ia bergegas menahan tubuh Ilham agar tak jatuh dari dipan.

"Apa yang kamu lakukan!" Seru Wawan.

"Sebentar lagi, dia akan tersadar. Tapi, maaf saya harus segera pergi, sebelum Pak Asep kembali." Cakap Amara, yang bergegas berlari keluar ruangan.

Wawan tak membalas ucapan Amara. Ia justru bingung, kenapa anak Kiai Sobirin bisa masuk ke tempat ritual mereka. Atau jangan-jangan ada pengkhianat lagi di dalam kelompok.

"Uhuk! Uhuk!" Ilham terbatuk-batuk. Kesadarannya mulai pulih. Wawan pun merasa gembira akan hal itu.

"Akhirnya kamu bangun juga, Le. Terima kasih, Tuhan. Engkau sudah memberikan pertolongan kepada keluarga hamba." Wawan tengah memeluk tubuh Ilham, ia tak peduli seberapa banyak darah yang menempel di bajunya.

"Saya kenapa, Mas? Kok bisa berdarah seperti ini? Dan ini di mana?" Tanya Ilham dengan wajah tegang.

"Kamu selamat, Ham. Kamu selamat," seru Wawan.

"Selamat dari apa?" Ilham sama sekali tak mengerti kemana arah tujuan pembicaraan ini.

"Kamu harus kabur dari sini! Pergi, selamatkan desa Ham. Kamu sangat dibutuhkan di sana!" Titah Wawan.

"Desa? Desa apa? Menyelamatkan dari apa?" Ilham semakin kebingungan mendengar ucapan keponakan bapaknya itu.

"Pokoknya kamu harus—

"Harus kemana!"

Wawan tercekat mendengar suara tersebut. Ya, itu suara Pak Asep, yang kini telah berdiri tepat di depan pintu ruangan sambil membekap mulut Amara.

"Amara? Bapak?" Ilham tampak ikut terkejut, melihat sang bapak tengah menyandera gadis pujaannya.

"Rupanya saya lengah, membiarkan pintu depan terbuka tanpa penghalang. Kamu begitu cerdik, cantik.
Sehingga bisa menemukan tempat ini," ucap Pak Asep, ia sengaja menempel dagunya ke pipi Amara. Gadis itu menggeliat, berusaha memberontak.

"Apa yang Bapak lakukan! Lepaskan Amara, Pak." Pinta Ilham.

"Lepaskan! Kamu bilang lepaskan! Dia sudah merusak rencanaku, lalu kamu bilang lepaskan? Lawak, kamu Ham!" Sindir Pak Asep kepada putranya sendiri.

"Sebenarnya apa yang sedang Bapak lakukan, dan kenapa Ilham bisa seperti ini, Pak? Tolong beritahu, Ilham." Lagi-lagi, Ilham bertanya kepada bapaknya dengan sedikit mengiba.

"Sepertinya kamu datang ke sini untuk menyelamatkan anak saya. Akan saya beri pelajaran kamu," Pak Asep melempar tubuh Amara ke tanah. Gadis itu jatuh tertelungkup.

"Bapak!" Teriak Ilham. Ia segera turun dari dipan.

"Berhenti kamu di situ! Kalau tidak, akan kupenggal kepala gadis ini!" Ancam sang bapak.

Ilham langsung terdiam. Ia tak berani lagi melangkahkan kaki. Begitu juga dengan Wawan.

Pak Asep mengambil sebilah golok di laci lemari yang berada di dalam ruangan tersebut. Memainkannya dengan lihai, kemudian berhenti tepat di depan wajah Amara.

"Siapa yang memberitahu tempat ini, Gadis dungu. Jika kamu tidak menjawab pertanyaan saya dengan jujur, saya pastikan golok ini akan menebas lehermu dengan cepat!" Ucap Pak Asep mengacungkan golok tersebut ke arah Amara.

Amara berusaha menata diri. Sebisa mungkin, ia menyembunyikan rasa takutnya. Ternyata memang benar, ia terlalu gegabah mengambil sebuah tindakan.

"Cepat jawab!" Teriak Pak Asep.

"Dari Bapak," kata Amara. Pertama kali ia mencatat sejarah dalam hidupnya. Gadis yang selalu berkata jujur itu, kini terpaksa berbohong. Ia tahu betul, meskipun ia berkata jujur pun, itu tak menjamin keselamatan nyawanya.

"Sobirin?" Pak Asep tertegun sesaat.

Seguir leyendo

También te gustarán

209K 22.7K 24
"Semenjak nenek meninggal, suasana rumah jadi menyeramkan. Nenek suka datang di waktu malam, mengetuk pintu dan jendela. Kadang juga bernyanyi dan me...
317K 27.8K 28
Warga sekitar menyebutnya Rumah Dukun. Rumah yang pernah ditinggali oleh Dukun terkenal desa ini. Rumah terkutuk yang kini aku tinggali.
37.7K 3.1K 49
Kumpulan kisah horor dan misteri yang dialami oleh para narasumber di sebuah wilayah yang dipercaya sebagai sarangnya para dedhemit. Cerita ini sebel...
8.4K 1K 10
Jika ada kejadian mistis yang disebabkan oleh hantu yang menempel ke tubuh kita dari suatu tempat, kita bisa dengan mudah mengusirnya kembali dengan...