JALAN PULANG

By cimut998

35.6K 1.8K 217

Setelah berada di desa Giung Agung, Ahmad merasa jika dirinya selalu berhalusinasi. Ia kerap melihat bayangan... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48

Bab 27

642 30 2
By cimut998

Indah menatap tajam kepada semua orang yang sedang menertawakannya. Mereka meninggalkan gadis itu dengan perasaan kesal bercampur emosi. Dulu, begitu manis kata-kata mereka saat pertama kali mengajaknya bergabung. Ia ingat betul, bagaimana sendu dan tenang wajah lelaki itu, ketika menemuinya di gapura perbatasan desa yang menghubungkan antara desa Giung Agung dengan desa Kalimayang.

Sudah lebih dari 20 tahun, desa itu tanpa penghuni. Kabarnya tak ada tanda-tanda kehidupan manusia satu pun di desa Kalimayang. Namun, semua itu hanyalah cerita fiktif belaka, yang mungkin sengaja disebar oleh seseorang. Nyatanya, masih ada beberapa orang yang hidup di desa tersebut. Termasuk keluarga Pak Asep.

"Kalau aku tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan, aku pastikan kalian semua akan menyesal." Batin Indah sembari mengepalkan tangan.

Hari berlalu begitu cepat. Matahari seakan bersaing dengan sang senja, ingin segera tenggelam, kembali istirahat setelah sekian lama bertengger di langit. Namun, kali ini senja memaksa waktu untuk bertahan lebih lama, hanya untuk sekadar menunggu, rembulan yang akan  bersinar merah malam ini. Bukan karena tengah kegirangan, melainkan akan terjadi malam yang panjang dan dingin.

"Sepertinya kita harus meminta bantuan sama Asep, Pul. Keberadaan Adiba sangat merugikan kita nanti. Apalagi sekarang, kita tidak tahu di mana Suparta tinggal." Ucap Pak Sulaiman, sambil mengamati Yudi yang sedang duduk di sudut ruangan.

Ipul memang sengaja tak mengikat Yudi kali ini, ia membiarkan Yudi begitu saja. Hanya Ahmad yang masih terikat di tiang kayu. Kesadarannya perlu dipertanyakan, sebab sudah terlalu lama pemuda itu pingsan.

"Tak perlu merepotkan Kang Asep untuk hal kecil seperti itu, Man. Kalaupun kita kehilangan dia, setidaknya kita sudah menemukan kunci dari permasalahan ini. Gadis itu memang terlahir kuat, tetapi jiwanya tetaplah lemah. Yang terpenting sekarang, bagaimana caranya membunuh pemuda ini tanpa ketahuan warga. Karena saya juga tidak ingin berlama-lama di sini." Balas Ipul. Pandangannya menatap tajam ke arah Ahmad. Pemuda itu tak sepenuhnya bersalah, hanya karena dendam masa lalu, banyak orang yang mengincar nyawanya termasuk Ipul.

Awal kedatangannya di desa, Pak Heru sudah sangat mengenali Ahmad. Hanya saja, ketua RT itu merahasiakan hal tersebut. Wajah tampannya tak jauh berbeda dari wajah sang bapak. Pak Heru memang sengaja meminta Kiai Sobirin untuk mengutus Ahmad untuk pulang ke kampung halaman. Awalnya Kiai Sobirin menolak, namun saat Pak Heru menceritakan apa yang terjadi di desa, Kiai itu segera menyetujui keinginan Pak Heru dan berbohong tentang permintaan mencari guru ngaji di desa.

Pak Sulaiman kembali terdiam. Sejak tadi, ia merasa gelisah. Entah, ia seperti sedang menunggu sesuatu. Ia juga berulang kali melirik ke arah Yudi. Pemuda itu terlihat ketakutan. Sedari tadi hanya diam sambil menggigit jari.

Tok!

Tok!

Tok!

Pak Sulaiman segera beranjak dari tempat duduk. Ia begitu bersemangat untuk membuka pintu. Wajahnya yang tampak tegang, kini tiba-tiba sumringah.

"Akhirnya kau datang juga," sambut Pak Sulaiman.

Yudi terkejut saat melihat siapa orang yang datang ke rumah Pak Sulaiman di penghujung sore ini.

"Soleh, apakabar kawan!" Ipul memeluk tubuh Pak Soleh dengan perasaan riang. Pak Soleh hanya tersenyum sambil melirik ke arah Pak Sulaiman. Pria itu menganggukkan kepala. Yudi semakin mencurigai gelagat mereka berdua.

"Baik, Pul." Balas Pak Soleh singkat.

"Ada kabar apa hari ini, saya sudah tak sabar mendengarnya." Ipul melepas pelukannya kemudian kembali duduk di tempatnya semula.

"Sang pemimpin berencana menyerang desa, untuk memancing Suparta. Sang pemimpin ingin segera membunuhnya, setelah berhasil mengacaukan kondisi Sobirin dan yang lain. Saya heran, kenapa sang pemimpin sangat ngotot ingin Suparta muncul, bukankah ia hanya dendam kepada Sobirin?" Pak Soleh dan Ipul saling memandang. Kening pria itu mengerut, seakan tak mengerti tujuan sebenarnya dari pemimpin mereka.

"Setahu saya, sang pemimpin menginginkan kematian Suparta karena dia satu-satunya orang yang bisa mengimbangi ilmunya. Sang pemimpin percaya, kalau Suparta telah mewariskan ilmunya kepada anaknya. Namun, sampai saat ini, kita tidak tahu siapa anak kandung Suparta. Dan di mana dia sekarang," Terang Ipul.

"Terus, apa hubungannya dengan Sobirin? Bukankah Kiai itu tidak ada hubungan sama sekali dengan pemimpin." Tanya Pak Soleh. Ia seperti sengaja memancing Ipul untuk mengatakan semuanya. Ia juga melirik ke arah Yudi, pemuda itu dengan sigap mendengarkan.

"Sobirin adalah suami dari pemimpin tudung hitam, Nyai Sekar, atau biasa dipanggil Maimunah, atau lebih tepatnya Mbok Inah, pemilik warung kelontong yang sering kalian kunjungi." Jawab Ipul.

"APA!" Pak Sulaiman, Pak Soleh dan juga Yudi pun terkejut mendengar ucapan Ipul.

"Ja-jadi, selama ini, sang pemimpin itu seorang wanita? Dan di-dia Mbok Inah?" Tanya Pak Sulaiman dengan mulut menganga.  Ia tak percaya dengan kata-kata Ipul. Ia sendiri memang belum pernah melihat wajah dari pemimpin tersebut. Sebab, setiap kali pertemuan, sang pemimpin sering memakai topeng dan jubah hitam. Sangat susah menebak, bagaimana rupa orang tersebut, meskipun hanya lewat suara.

Ipul mengangguk. "Ya, saya mau menikahi putrinya sebab ingin mendepak posisi itu darinya. Saya muak, dengan segala macam perintahnya yang tak masuk akal. Saya ingin mendirikan kelompok ini dengan tujuan yang lebih baik dari dia. Sayangnya, gadis itu sudah melarikan diri."

"Tapi, siapa putri Mbok Inah, eh Nyai Sekar? Bukankah dia hanya punya anak laki-laki?" Tanya Pak Soleh lagi.

"Tentu saja Adiba." Jawab Ipul dengan santai.

Pak Soleh melirik ke arah Pak Sulaiman. Pria itu mengangguk, seakan membenarkan ucapan Ipul.

"Jadi, selama ini Adiba bukan anak Pak Parta dan Asih? Dan dugaan kami juga salah, menganggap Adiba adalah anak Suparta?" Tanya Pak Soleh lagi.

"Bukan. Saya juga baru tahu, akhir-akhir ini. Saya mengorek informasi itu dari berbagai sumber, termasuk Parta. Lastri memang membawa anak itu kepada Parta. Tapi, sebelum tiba di kediaman Parta, ternyata Lastri menukar anaknya dengan anak Sobirin. Sayang sekali, pria tua itu harus tewas karena dianggap pengkhianat." Jawab Ipul.

"Jadi, selama ini Parta mengasuh anaknya Kiai Sobirin?" Pak Soleh lagi-lagi bertanya. Ipul hanya menganggukkan kepala.

"Itu artinya, anak Kiai Sobirin adalah anak Suparta. Setahu saya, Kiai itu punya anak gadis di Pondok. Apakah dia orangnya?" Lanjut Pak Soleh.

"Bukan! Gadis itu tak mempunyai tanda lahir di dagunya. Asep sudah mengutus orang untuk memata-matai gadis itu. Termasuk gerak gerik Sobirin." Tandas Ipul.

"Darimana kamu bisa tahu semua informasi ini, Pul. Bukankah kau bilang, kalau Pak Parta sudah tewas?" Tanya Pak Soleh. Entah mengapa, pria itu seakan sengaja memberi banyak pertanyaan kepada Ipul. Seperti sengaja memancing, agar Ipul mengatakanb semua yang ia ketahui.

"Dari Qorin Lastri yang sengaja saya panggil." Tukas Ipul. Akhirnya ia mengungkapkan yang sebenarnya.

Pak Soleh kesulitan menelan ludah. Isi kepalanya seakan menolak jawaban Ipul. Memang, cintanya kepada Lastri sangatlah besar, sehingga ia mempunyai keinginan untuk menghidupkan kembali perempuan itu. Bukankah, itu juga tindakan tak masuk akal? Apa bedanya dia dengan Nyai Sekar?

"Lalu, untuk apa kau memanggil saya kemari?" Pak Soleh melanjutkan pertanyaannya.

"Bunuh dia! Sisanya, kau bawa pemuda ini ke tempat biasa. Saya tidak mau, kalau warga sampai tahu, ustaz kesayangan mereka ini kita bunuh." Ipul menunjuk ke arah Yudi. Yudi gelagapan, sambil beringsut ke belakang. Punggungnya menyentuh papan kayu. Keringat bercucuran deras menggenang di pelipis. Ia tak bisa bergerak lagi.

"Salah saya apa, Pon? Kenapa kamu ingin membunuh saya," tanya Yudi sambil mengempit celananya. Sedikit demi sedikit rembesan air mulai mengalir, ia ketahuan mengompol lagi.

"Karena kau sudah banyak mendengar, Yud. Kalau tidak saya bunuh, kau bisa membocorkan rahasia saya dan yang lain. Maka dari itu, bersiaplah. Anggap saja, kau sedang bersedekah nyawa," timpal Ipul dengan muka garangnya.

"Sedekah nyawa? Kata macam apa itu!" Bentak Yudi.

"Saya ada ide yang lebih bagus. Daripada kita bunuh dia, lebih baik hilangkan saja suaranya, toh meskipun dia hidup, dia tidak akan bisa bicara apa pun." Sela Pak Sulaiman.

"Apa itu?" Tanya Ipul.

"Kita potong saja lidahnya!" Jawab Pak Sulaiman secara spontan.

Yudi terdiam. Ia menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangan sambil terus menggelengkan kepala.

"Bagus juga idemu, Man. Lakukan saja. Saya pergi dulu, jangan lupa tugasmu, Leh!" Ipul segera pergi ketika selesai berbicara dengan Pak Sulaiman dan Pak Soleh.

Sebelum pergi, Ipul sengaja menukar bajunya dengan pakaian Pak Sulaiman. Ia tak mau warga curiga jika dirinya masih hidup. Bisa-bisa rencana menumbangkan kejayaan Nyai Sekar pun gagal. Sebab, ia sendiri tidak tahu siapa dan di mana saja orang suruhan Nyai Sekar berada.

"Pak, tolong jangan potong lidah saya, Pak. Saya mohon, saya janji tidak akan bilang ke siapa-siapa soal kalian. Saya mohon, Pak." Yudi bersimpuh di hadapan Pak Sulaiman yang sudah memegang celurit milik Ipul yang sengaja ditinggal.

"Bangunlah, Yud." Pinta Pak Sulaiman.

Yudi pun bangkit, dan kembali duduk dengan tubuh bergemetar.

"Maafkan saya, Yud. Saya sengaja memberi usulan itu kepada Ipul. Saya ingin kamu tetap hidup, Yud. Kamulah satu-satunya orang yang tidak mempunyai darah di sini. Kamu lah orang yang akan menjadi penyelamat kita nanti. Tolong mengertilah, memotong lidah adalah cara terbaik daripada kami harus membunuhmu. Tolong selamatkan kami dari kutukan ini, Yud. Kami tersiksa, Yud." Ucap Pak Sulaiman diiringi isakan yang menderu. Tangis Pak Sulaiman pecah, begitu juga Pak Soleh.

Yudi memandang heran keduanya. Kenapa harus dia? Kenapa harus orang seperti dia yang justru terpilih? Lagi-lagi, Yudi memikul tanggung jawab yang besar. Yang bahkan ia sendiri pun tidak tahu, apa yang dikatakan kedua pria itu benar atau tidak.

"Kenapa harus saya, Pak? Saya saja ti—

"Karena kamu, bukanlah cucu kandung kakekmu, Yud. Bapak Ibumu, hanyalah anak angkat. Sejak kedatanganmu ke sini, saya dan Pak Soleh merasa senang, sebab sang penyelamat datang. Karena semua orang di sini, sudah dikutuk tidak akan bisa selamat dari kekejaman para dukun itu. Kami dan keturunan kami, akan menjadi tumbal mereka, termasuk Mas Ahmad, karena dia juga lahir di sini." Potong Pak Sulaiman.

"Apa?" Yudi beralih memandang Ahmad. Pemuda itu masih saja pingsan. Yudi tak percaya jika pemuda tampan itu juga bagian dari tumbal. Itu artinya, Adiba juga akan ditumbalkan. Termasuk Indah, gadis yang ia sukai.

"Tolong kami, Yud." Kali ini, Pak Soleh, Pak Sulaiman bersujud di hadapan Yudi.

Yudi mengembus napas panjang. Kepalanya terasa sangat berat. Kini, ia menyesali keputusannya untuk kembali ke desa sang kakek. Tanpa sadar, Pak Sulaiman sudah mendekat, dan perlahan membuka mulutnya.

"Maafkan saya," lirih Pak Sulaiman sembari memegang lidah Yudi. Pemuda itu memejamkan mata. Walau pada akhirnya air mata itu berhasil meluncur deras di kedua pipinya.






Continue Reading

You'll Also Like

72.8K 3.8K 16
Banyak hal di dunia ini yang tak pernah kita duga, termasuk mereka yang hidup berdampingan dengan kita tapi tak pernah kita lihat. Mereka berkomunik...
15.3K 2.3K 20
❗WARNING❗ [JANGAN BACA SENDIRIAN] ~FOLLOW SEBELUM BACA~ Hani menghilang dari rumah secara tiba-tiba pada ulang tahunnya yang kedelapan. Katna tetangg...
600K 63.7K 33
[Update tiap Rabu dan Jum'at] Ghost [Normal] Mystery [Hard] Riddle [Hard] *** Ada beberapa pantangan penting di Desa Widi. Tidak ada yang boleh ke...
7.4K 693 18
Berawal dari sebuah ide sederhana, hingga membuat mereka tersiksa. Berharap kalau liburannya akan baik-baik saja, tetapi yang terjadi adalah yang seb...